I. Latar Belakang Historis Kitab Rut
-
A. Penulis dan Penanggalan Kitab Rut
-
Secara eksplisit, kitab Rut tidak menyebutkan nama penulisnya. Hal ini umum terjadi dalam sebagian besar kitab naratif Perjanjian Lama (seperti Hakim-Hakim, Samuel, Raja-Raja, bahkan Ayub) yang disusun tanpa mencantumkan identitas penulis secara langsung. Oleh karena itu, informasi mengenai penulis Kitab Rut bersifat hipotesis berdasarkan tradisi Yahudi maupun analisis para ahli biblika.
Beberapa pandangan utama yang dikenal dalam literatur akademik adalah:
- Tradisi Yahudi kuno (misalnya dalam Talmud Baba Bathra 14b) menyatakan bahwa Samuel adalah penulis Kitab Rut(1). Pandangan ini muncul karena kitab ini diletakkan dalam konteks zaman hakim dan berhubungan dengan silsilah Daud, tokoh kunci yang juga muncul dalam kitab 1 Samuel.
Menurut para Sarjana Modern Namun sebagian besar sarjana modern meragukan atribusi ini, karena bahasa dan gaya naratif Kitab Rut menunjukkan struktur sastra yang lebih halus dan berkembang, yang memungkinkan kitab ini ditulis pada masa monarki Daud atau bahkan sesudahnya, mungkin pada masa Salomo atau periode pascapembuangan(2).
Pandangan lain Ada juga pandangan yang menyebut bahwa kitab ini ditulis untuk membela legitimasi Daud sebagai raja, karena ia memiliki keturunan asing (melalui Rut, perempuan Moab). Jadi kitab ini bisa jadi ditulis oleh seorang sejarawan istana atau penulis hikmat dengan tujuan teologis dan politis tertentu(3).
Dengan demikian, penulis Kitab Rut tidak diketahui secara pasti, tetapi:
Tradisi: Menyebut Samuel.
Kajian kritis: Menyatakan anonim, kemungkinan ditulis pada masa monarki awal (Daud-Salomo) atau bahkan periode pascapembuangan.
Fokus utama kitab ini bukan pada penulisnya, melainkan pada pesan teologis dan naratifnya, sehingga anonimnya penulis justru memperkuat sifat universal pesannya.
-
Kitab Rut ditulis pada periode yang diyakini terjadi pada zaman hakim (sekitar abad ke-12 hingga ke-11 SM), ketika masyarakat Israel hidup dalam siklus ketidakstabilan sosial dan politik setelah kematian Yosua dan sebelum munculnya monarki (Hakim-Hakim 2:6–23)(4). Dalam periode ini, struktur masyarakat bersifat klanis, dengan keluarga besar (tribal) sebagai unit utama, dan tanah menjadi sumber utama kehidupan ekonomi. Tanah yang subur menentukan kesejahteraan, sedangkan kelaparan dapat menyebabkan migrasi, seperti yang terjadi pada keluarga Elimelek yang pindah dari Betlehem ke Moab (Rut 1:1–2). Fenomena migrasi ini bukan sekadar peristiwa individu, tetapi mencerminkan ketidakpastian ekonomi dan risiko sosial yang dihadapi bangsa Israel pada masa tersebut(5).
Dalam konteks sosial-ekonomi itu, status perempuan, terutama janda, sangat rentan. Seorang janda, tanpa dukungan laki-laki, sering menghadapi keterbatasan hak kepemilikan tanah dan perlindungan sosial. Kitab Rut menekankan kondisi ini melalui karakter Naomi, yang kehilangan suami dan kedua anak laki-lakinya, sehingga posisinya menjadi marginal secara sosial dan ekonomi (Rut 1:3–5). Penting dicatat bahwa dalam hukum Israel, mekanisme perlindungan seperti levirate marriage dan hak gleaning di ladang (Imamat 19:9–10; Ulangan 24:19) menunjukkan upaya sistemik untuk melindungi perempuan janda, yang secara naratif menjadi landasan munculnya tindakan penyertaan Allah melalui tokoh Rut dan Boas(6).
Lebih lanjut, interaksi dengan bangsa Moab, yang dianggap asing oleh Israel, menekankan dimensi lintas budaya dan integrasi sosial. Pernikahan antara keluarga Israel dengan orang Moab, seperti yang terjadi antara Mahlon dan Rut, membuka peluang naratif untuk menyoroti ketaatan, kesetiaan, dan providensi Allah di tengah masyarakat yang plural dan terkadang bermusuhan (Rut 1:4–5)(7). Kitab ini, walaupun singkat, merefleksikan realitas historis dan sosial-ekonomi, sekaligus menekankan bahwa Allah bekerja melalui situasi keseharian manusia biasa dan melalui interaksi lintas budaya untuk mewujudkan rencana keselamatan.
Dengan memahami konteks sosial-ekonomi ini, pembaca dapat menangkap dimensi historis dan teologis kitab Rut, di mana kesetiaan manusia dan penyertaan Allah saling bersinggungan. Kitab ini menegaskan bahwa, meski menghadapi ketidakpastian ekonomi dan posisi marginal dalam masyarakat, kesetiaan dan ketaatan kepada Allah membawa berkat dan providensi yang nyata, yang menjadi pesan utama bagi umat Israel dan juga bagi jemaat Kristen masa kini.
-
Hubungan antara Israel dan bangsa Moab pada zaman hakim bersifat kompleks, penuh ketegangan, tetapi juga saling bergantung dalam konteks sosial-ekonomi dan pernikahan antarbangsa. Kitab Rut secara eksplisit menempatkan Moab sebagai latar asing yang kontras dengan tanah Israel, sekaligus menjadi ruang interaksi lintas budaya. Migrasi keluarga Elimelek dari Betlehem ke Moab akibat kelaparan (Rut 1:1–2) menegaskan ketergantungan ekonomi terhadap wilayah tetangga, sekaligus membuka kesempatan bagi pertemuan lintas budaya. Narasi ini menunjukkan bahwa Allah dapat bekerja melalui konteks asing untuk mewujudkan rencana-Nya, sebagaimana terlihat dari kesetiaan Rut, seorang Moabit, yang menjadi bagian dari garis keturunan Daud (Rut 4:17)(8).
Secara historis, hubungan Israel-Moab sering diwarnai konflik, seperti yang dicatat dalam Kitab Bilangan 21:13–35 dan Hakim-Hakim 3:12–30, di mana Moab kadang menjadi musuh dan kadang rekan dagang. Pernikahan Mahlon dan Rut dengan perempuan Moab mencerminkan praktik sosial dan hukum yang fleksibel, namun tetap berlandaskan norma-norma Israel. Hukum mengenai orang asing (ger) memberikan perlindungan tertentu, seperti hak untuk memungut sisa panen di ladang (gleaning, Imamat 19:9–10), yang menjadi latar praktik keseharian Rut saat bekerja di ladang Boas (Rut 2:2–3)(9).
Selain aspek sosial-ekonomi, hubungan ini juga memiliki dimensi teologis. Rut, seorang Moabit, memilih untuk mengikuti Allah Israel dan mertuanya, Naomi, menunjukkan bahwa iman dan kesetiaan melampaui batas etnis dan nasional. Keputusan Rut (“Allahmu akan menjadi Allahku”) bukan hanya tindakan kesetiaan pribadi, tetapi juga simbol inklusivitas Allah yang bekerja melalui orang asing untuk mewujudkan janji keselamatan (Rut 1:16–17)(10). Hal ini menegaskan bahwa peran bangsa tetangga seperti Moab tidak semata-mata sebagai latar geografis atau historis, melainkan bagian dari narasi providensi ilahi, yang menuntun kepada garis keturunan Daud dan rencana mesianik Allah. Dengan demikian, hubungan Israel dengan Moab dalam Kitab Rut mengandung dimensi historis, sosial, dan teologis. Historis, Moab sebagai tetangga yang kadang bersahabat dan kadang bermusuhan. Sosial, interaksi antarbangsa yang melibatkan migrasi, pernikahan, dan hak-hak perempuan. Teologis, Allah bekerja melalui orang asing untuk mewujudkan tujuan-Nya. Narasi ini memberikan pembaca perspektif bahwa Allah tidak terbatas pada satu bangsa atau kultur tertentu, tetapi memperluas karya keselamatan-Nya melalui kesetiaan dan ketaatan manusia, meski mereka berasal dari latar asing.
-
Dalam struktur sosial Israel kuno, posisi perempuan sangat ditentukan oleh relasinya dengan laki-laki, baik sebagai anak, istri, maupun ibu. Identitas perempuan hampir selalu dilekatkan pada status suami atau ayahnya, sebagaimana tampak dalam sejumlah narasi Alkitab yang menyebut perempuan hanya dalam kaitan dengan laki-laki, seperti “Naomi istri Elimelek” atau “Rut, istri Mahlon” (Rut 1:2, 4). Ketika seorang perempuan kehilangan suami, ia tidak hanya mengalami duka personal, tetapi juga kehilangan perlindungan hukum dan ekonomi, sehingga menjadi bagian dari kelompok rentan dalam masyarakat. Alkitab mencatat bahwa janda, bersama dengan yatim piatu dan orang asing (ger), dikategorikan sebagai kelompok yang harus secara khusus diperhatikan oleh masyarakat Israel (Ulangan 24:19–21)(11). Hal ini merupakan pengakuan terhadap kenyataan sosial bahwa janda berada dalam posisi marginal dan membutuhkan dukungan komunitas serta mekanisme hukum untuk bertahan hidup.
Kitab Rut memberikan gambaran konkret mengenai kerentanan perempuan dalam kondisi janda melalui sosok Naomi dan Rut. Naomi, setelah kehilangan suami dan kedua anak laki-lakinya, menyatakan bahwa dirinya “pulang dengan tangan kosong” (Rut 1:21), menandakan tidak adanya jaminan ekonomi yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Dalam konteks ini, hukum Israel menyediakan mekanisme perlindungan sosial, seperti gleaning (hak memungut sisa panen) dan levirate marriage (perkawinan penebusan), yang memungkinkan janda tetap memperoleh nafkah dan keturunan demi meneruskan nama keluarga (Imamat 19:9–10; Ulangan 25:5–10)(12). Namun, penerapan hukum-hukum ini sangat bergantung pada kerelaan dan ketaatan individu laki-laki yang bertanggung jawab sebagai goel (penebus), sehingga sekalipun terdapat perlindungan legal, perempuan tetap berada dalam posisi pasif dan bergantung pada kemurahan hati pihak laki-laki. Walaupun demikian, narasi Kitab Rut juga menunjukkan bahwa perempuan tidak sepenuhnya tanpa agensi. Naomi secara strategis merancang rencana untuk mendapatkan penebus bagi Rut (Rut 3:1–4), dan Rut sendiri bertindak dengan inisiatif dan keberanian, sekaligus menunjukkan kesalehan dan ketaatan yang dihargai oleh masyarakat. Boas menyebut Rut sebagai “perempuan yang baik” (eshet chayil), istilah yang juga digunakan dalam Amsal 31 untuk menggambarkan perempuan berhikmat (Rut 3:11)(13). Dengan demikian, meskipun perempuan, khususnya janda, berada dalam posisi rentan secara struktural, Kitab Rut menghadirkan narasi yang menegaskan bahwa kesetiaan, kebijaksanaan, dan ketaatan seorang perempuan dapat menjadi sarana utama bagi Allah untuk bekerja dalam sejarah keselamatan.
II. Struktur Naratif Kitab Rut
-
A. Krisis keluarga Naomi dan keputusan Rut untuk setia (Rut 1)
-
Kitab Rut dibuka dengan latar waktu “pada zaman para hakim memerintah,” suatu periode penuh ketidakstabilan politik, sosial, dan spiritual di Israel (Rut 1:1).(14) Narasi ini langsung memperkenalkan keluarga Elimelekh yang meninggalkan Betlehem akibat kelaparan menuju negeri Moab, sebuah keputusan yang secara geografis tampak logis, namun secara teologis sarat ironi, dimana “Betlehem” berarti rumah roti, namun di sana tidak ada roti. Keadaan ini menjadi simbol kemerosotan rohani bangsa yang hidup “menurut pandangan mereka sendiri” (Hak. 21:25), sehingga bahkan tanah perjanjian pun kehilangan berkatnya.(15)
Keputusan Elimelekh untuk pergi ke Moab menggambarkan dinamika iman dalam situasi krisis. Dalam Alkitab, Moab sering dikaitkan dengan ketegangan moral dan teologis terhadap Israel (lih. Bil. 25:1–3; Ul. 23:3–6). Dengan demikian, perpindahan keluarga ini bukan sekadar migrasi ekonomi, tetapi juga simbol pelarian dari tanah janji menuju wilayah asing yang tidak dijanjikan Allah. Ketika Elimelekh dan kedua anaknya mati di Moab, Naomi menghadapi keadaan tanpa pelindung dan tanpa keturunan, situasi yang menempatkannya di pinggiran eksistensi sosial Israel kuno.(16) Dalam dunia patriarkal kuno, ketiadaan suami dan anak berarti kehilangan status, keamanan, dan masa depan.
Di tengah penderitaan itu, keputusan Naomi untuk “kembali ke tanah asalnya” (Rut 1:6) mencerminkan perubahan arah naratif dari kematian menuju kehidupan. Motif “kembali” (šûb) menjadi kata kunci yang muncul lebih dari sepuluh kali dalam pasal pertama, menandakan proses pertobatan dan pemulihan yang dikerjakan Allah di balik penderitaan manusia.(17) Keputusan Rut untuk meninggalkan Moab dan mengikatkan diri pada Naomi, dan lebih dari itu, pada Allah Israel, menjadi puncak dramatik dari bab ini: “Bangsamulah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku” (Rut 1:16). Pernyataan iman ini menggeser identitas Rut dari seorang asing Moab menjadi bagian dari komunitas perjanjian. Dalam konteks teologi naratif, kesetiaan Rut melampaui loyalitas keluarga; ia merupakan ekspresi iman yang aktif terhadap Allah yang hidup, yang dikenal melalui relasinya dengan Naomi.(18) Secara teologis, pasal pertama Kitab Rut menunjukkan bagaimana kasih setia Allah (ḥesed) bekerja di balik penderitaan manusia. Sekalipun Allah tidak disebut secara eksplisit berbicara atau bertindak, kehadiran-Nya terasa dalam keputusan, arah, dan kesetiaan tokoh-tokoh dalam narasi. Naomi kembali “kosong” ke Betlehem, namun rencana Allah justru sedang dimulai melalui keberadaan seorang perempuan asing yang setia. Dengan demikian, pasal ini memperkenalkan tema utama Kitab Rut, transformasi dari kekosongan menuju kepenuhan, yang akan mencapai puncaknya dalam pemulihan dan kelahiran keturunan di pasal terakhir.(19)
-
Pasal kedua Kitab Rut memperlihatkan transisi yang lembut namun mendalam dari penderitaan menuju pemeliharaan ilahi. Setelah kedatangan mereka di Betlehem, Rut mengambil inisiatif untuk bekerja dengan memungut sisa-sisa gandum di ladang (Rut 2:2), suatu tindakan yang sederhana namun mencerminkan keberanian dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks hukum Israel, tindakan ini merupakan bentuk implementasi dari hukum leqet (Im. 19:9–10; Ul. 24:19–22), yang memperbolehkan orang miskin, janda, dan orang asing untuk memungut sisa panen sebagai sarana hidup. Dengan demikian, Rut bukan hanya mempraktikkan kerja keras, tetapi juga menunjukkan penghargaan terhadap hukum Yahweh yang memberi perlindungan bagi kelompok rentan.(20)
Narator menekankan bahwa “kebetulan” Rut sampai di ladang milik Boas (Rut 2:3), namun kata ini bukan sekadar ungkapan kebetulan manusiawi. Dalam narasi Ibrani, peristiwa yang tampak kebetulan sering kali menjadi sarana penyingkapan providensi Allah.(21) Dengan memilih ladang Boas, seorang kerabat Elimelekh, narasi menunjukkan bahwa Allah diam-diam bekerja melalui peristiwa sehari-hari. Boas sendiri digambarkan sebagai seorang “yang kaya dan terpandang” (Rut 2:1), tetapi lebih dari itu, ia adalah pribadi yang takut akan Tuhan, terbukti dari salamnya kepada para pekerja: “Tuhan kiranya menyertai kamu” (Rut 2:4). Salam ini bukan formalitas sosial, melainkan cerminan iman yang menghidupi relasi kerja dan kepemilikan harta.
Pertemuan antara Boas dan Rut merupakan momen sentral di mana kemurahan (ḥesed) manusia mencerminkan kemurahan Allah. Boas menunjukkan belas kasih yang melampaui tuntutan hukum dengan memperbolehkan Rut makan bersama para penuai, bahkan memberikan perlindungan khusus agar ia tidak diganggu oleh para pekerja (Rut 2:8–9, 14–16).(22) Dalam perspektif teologis, tindakan Boas bukan hanya kebaikan moral, melainkan wujud nyata dari karakter Allah yang penuh rahmat. Ia menjadi agen providensi Allah yang menjembatani jurang sosial antara orang Israel dan orang asing, antara kaya dan miskin, serta antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Respons Rut terhadap kebaikan Boas juga penting: “Mengapa aku mendapat kasih karunia di matamu, padahal aku seorang asing?” (Rut 2:10). Ucapan ini memperlihatkan kesadaran teologis bahwa kasih karunia tidak dapat dituntut, melainkan diterima dengan rendah hati. Melalui pengalaman ini, Rut belajar bahwa Allah yang disembah Naomi adalah Allah yang hidup, yang bekerja melalui manusia untuk menghadirkan pemulihan dan keberlanjutan. Tema ḥesed (kasih setia) dan go’el (penebusan) mulai diperkenalkan di sini sebagai benang merah teologis yang akan berujung pada karya penebusan Boas terhadap Rut di pasal selanjutnya.(23)
Secara naratif, pasal ini menunjukkan bagaimana tindakan manusia yang sederhana, bekerja, menolong, memberi makan, dapat menjadi saluran karya Allah yang besar. Providensi Allah dalam Kitab Rut tidak bekerja melalui mukjizat spektakuler, melainkan melalui keputusan moral yang berakar pada kasih dan tanggung jawab. Dengan demikian, pasal 2 bukan hanya melanjutkan kisah kesetiaan Rut, tetapi juga menegaskan teologi yang dalam bahwa kemurahan hati manusia adalah cermin dari kemurahan Allah, dan di tengah kesunyian hidup, tangan Tuhan sedang bekerja secara tersembunyi namun pasti.(24)
-
Pasal ketiga dari Kitab Rut merupakan bagian penting yang menyingkap makna rohani di balik hubungan antara Rut dan Boas.
Setelah mengalami kemurahan di ladang Boas, kini Rut menempuh langkah yang sarat risiko namun penuh iman.
Naomi, yang telah mulai pulih dari kepahitan hidup, menyusun rencana untuk memastikan masa depan Rut.
Ia menasihati Rut agar menemui Boas di tempat pengirikan pada malam hari, suatu tindakan yang pada zaman itu
bermakna meminta perlindungan dan penebusan dari seorang go’el atau penebus keluarga (Rut 3:1–4).
Tindakan ini mencerminkan pengharapan baru bahwa Allah tetap bekerja di tengah keterpurukan manusia,
menghadirkan pemulihan melalui hukum dan kasih yang berlaku dalam komunitas Israel kuno.
(25)
Rut dengan rendah hati menaati nasihat Naomi. Ia mendekati Boas di tempat pengirikan dan berbaring di kakinya sebagai tanda permohonan perlindungan.
Tindakan ini sering disalahpahami secara modern, namun dalam konteks budaya Ibrani kuno,
tindakan itu merupakan simbol ketundukan dan permintaan penebusan, bukan suatu isyarat yang tidak sopan.
Makna ini semakin jelas ketika dihubungkan dengan perkataan Boas sebelumnya:
“Kiranya Tuhan membalas perbuatanmu itu, dan kepadamu kiranya dikaruniakan upah penuh oleh Tuhan, Allah Israel,
yang di bawah sayap-Nya engkau datang berlindung” (Rut 2:12).
Boas mengerti makna rohani dari tindakan Rut dan memuji kesetiaannya(26), menyebutnya sebagai “perempuan yang baik budi”
yang menampilkan kehormatan dan iman yang sejati.
(27)
Tempat pengirikan, yang dalam masyarakat agraris merupakan tempat pemisahan antara gandum dan sekam,
menjadi simbol penyaringan moral dan rohani.
Rut menunjukkan ketaatan dan kesucian yang tidak didorong oleh ambisi pribadi,
melainkan oleh kasih yang tulus dan kesetiaan terhadap keluarga serta Allah Israel.
Boas pun memperlihatkan integritas yang luar biasa. Ia tidak mengambil keuntungan dari situasi yang rawan tersebut,
melainkan melindungi kehormatan Rut dan menegaskan bahwa penebusan harus dilakukan dengan cara yang sah menurut hukum.
Melalui karakter Boas, Kitab Rut menampilkan gambaran kasih karunia Allah yang memulihkan,
bukan dengan paksaan, tetapi melalui kasih yang melindungi dan menebus.
(28)
Secara teologis, kisah ini menyingkap interaksi mendalam antara ketaatan manusia dan providensi Allah.
Ketaatan Rut menjadi saluran bagi Allah untuk melaksanakan rencana penebusan yang lebih besar.
Boas sebagai penebus keluarga (go’el) tidak hanya memulihkan garis keturunan Elimelekh,
tetapi juga menyiapkan jalur silsilah bagi Daud dan akhirnya bagi Kristus (Mat. 1:5–6).
Kisah Rut dan Boas di tempat pengirikan menjadi lambang relasi antara Kristus dan umat-Nya:
Kristus sebagai Penebus yang kudus dan Gereja sebagai mempelai yang datang dengan kerendahan hati untuk berlindung di bawah kasih karunia-Nya.
Dengan demikian, pasal ini tidak hanya menyingkap nilai-nilai sosial dari penebusan,(29)
tetapi juga pesan soteriologis tentang kasih setia Allah yang bekerja melalui ketaatan dan kemurnian hati.
(30)
-
Pasal keempat Kitab Rut menutup narasi dengan klimaks teologis dan sosial, menampilkan pemulihan penuh yang diwujudkan melalui tindakan penebusan Boas. Boas mengambil langkah resmi untuk menebus Rut dan mengembalikan warisan keluarga Elimelekh, sebagaimana diatur oleh hukum go’el dalam Imamat 25:25–28. Tindakan ini bukan hanya pemulihan hak milik, tetapi juga pemulihan garis keturunan dan kehormatan keluarga, menunjukkan bagaimana kasih setia Allah (ḥesed) bekerja melalui interaksi sosial yang sah dan etis.(31)
Perkawinan Boas dan Rut bukan hanya pemulihan sosial atau hukum, tetapi juga simbol pemulihan spiritual dan genealogis. Mereka menjadi nenek moyang Raja Daud dan, dalam perspektif Kristen, bagian dari silsilah Mesias (Mat. 1:5–6). Dengan demikian, narasi ini tidak hanya menggambarkan kesetiaan dan kemurahan manusia, tetapi juga menegaskan providensi Allah yang lebih besar, yang menjadikan sejarah pribadi sebagai bagian dari rencana keselamatan ilahi. Tema penebusan, kasih setia, dan pemulihan hadir sebagai benang merah teologis yang menekankan ketaatan, keberanian, dan iman sebagai sarana Allah bekerja di dunia manusia.(33)
III. Pokok-Pokok Teologis Utama Kitab Rut
-
A. Kesetiaan dan Loyalitas sebagai Bentuk Ketaatan kepada Allah
-
Kesetiaan dan loyalitas merupakan tema sentral yang mewarnai keseluruhan kisah dalam Kitab Rut, terutama tercermin melalui tindakan dan keputusan Rut terhadap Naomi. Dalam konteks sosial-budaya Israel kuno, kesetiaan kepada keluarga suami yang telah meninggal bukanlah kewajiban hukum bagi seorang perempuan asing seperti Rut. Namun, keputusan Rut untuk tetap bersama Naomi, meninggalkan bangsanya, dan mengadopsi iman kepada Allah Israel (“bangsamu adalah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku”, Rut 1:16) menunjukkan bahwa kesetiaannya bukan sekadar kasih insani, melainkan ekspresi iman yang taat kepada Allah(35).
Loyalitas Rut menjadi bentuk ketaatan yang melampaui rasionalitas manusia dan norma sosial. Ia tidak hanya menunjukkan solidaritas kemanusiaan terhadap mertuanya yang miskin dan tertindas, tetapi juga menegaskan dimensi rohani dari ketaatan kepada Allah yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Dalam hal ini, kesetiaan Rut menjadi wujud konkret dari prinsip hesed (חֶסֶד), yakni kasih setia yang aktif dan penuh pengorbanan(36). Istilah hesed ini menggambarkan relasi yang berakar pada kasih Allah yang setia terhadap umat-Nya, dan tindakan Rut menjadi cerminan kasih Allah itu sendiri dalam konteks manusiawi.
Dari perspektif teologis, kesetiaan Rut mengandung dimensi profetis, karena tindakan tersebut memperlihatkan bagaimana iman sejati tidak dibatasi oleh garis etnis atau bangsa. Kesetiaan Rut kepada Naomi juga merupakan bentuk pengakuan iman terhadap kedaulatan Allah Israel. Dengan demikian, loyalitas yang ditunjukkan Rut tidak hanya bersifat personal, tetapi juga teologis, menjadi bentuk partisipasi manusia dalam karya keselamatan Allah(37). Dalam konteks kehidupan umat percaya masa kini, nilai kesetiaan dan loyalitas seperti Rut menantang setiap orang Kristen untuk mempraktikkan iman bukan hanya dalam pengakuan verbal, tetapi dalam tindakan konkret yang mencerminkan kasih dan ketaatan kepada Allah. Dalam dunia yang sering menilai hubungan berdasarkan keuntungan atau kepentingan pribadi, kesetiaan Rut menjadi teladan iman yang murni dan setia, bahkan dalam penderitaan. Ketaatan yang diwujudkan dalam kesetiaan itu memperlihatkan bahwa iman sejati selalu menyatu dengan tindakan kasih yang berakar pada relasi dengan Allah(38).
-
Narasi dalam Kitab Rut menggambarkan dengan sangat indah bagaimana providensi Allah bekerja dalam kehidupan manusia melalui peristiwa-peristiwa yang tampak biasa. Tidak ada mukjizat spektakuler, tidak ada manifestasi langsung dari kuasa supranatural seperti dalam kitab-kitab sebelumnya, namun justru melalui kejadian sehari-hari, kematian, kelaparan, perjalanan, kerja di ladang, dan pernikahan, tangan Allah tampak bekerja dengan lembut namun pasti. Konsep ini memperlihatkan bahwa Allah tidak hanya hadir dalam hal-hal besar, tetapi juga turut serta dalam dinamika kehidupan umat-Nya yang paling sederhana(39). Dalam konteks teologi Perjanjian Lama, hal ini menegaskan kebenaran bahwa pemeliharaan Allah meliputi segala aspek ciptaan dan bahwa tidak ada satu peristiwa pun yang luput dari perhatian-Nya (lih. Mzm. 37:23–25).
Providensi Allah tampak nyata dalam cara Ia menuntun Rut ke ladang milik Boas, suatu “kebetulan” yang dalam pandangan iman sesungguhnya merupakan tindakan ilahi. Penulis Kitab Rut sengaja menggunakan bahasa yang mengesankan seolah-olah kebetulan (“kebetulanlah Rut sampai ke ladang Boas,” Rut 2:3), padahal sebenarnya, seluruh peristiwa itu diatur oleh Allah untuk mencapai rencana penebusan yang lebih besar(40). Inilah inti dari providensi bahwa keterlibatan Allah yang tersembunyi namun efektif dalam mengarahkan sejarah dan kehidupan individu menuju maksud yang baik (Rm. 8:28). Dalam tindakan sederhana seperti mengais bulir gandum, Allah sedang mengatur langkah-langkah untuk melanjutkan garis keturunan yang akan melahirkan Daud, dan pada akhirnya, Mesias (Rut 4:17–22). Melalui kisah ini, pembaca diingatkan bahwa hidup sehari-hari bukanlah sekadar rangkaian kebetulan, melainkan ruang tempat Allah menyatakan kasih setia-Nya. Teologi providensi dalam Kitab Rut menolak dikotomi antara yang sakral dan yang profan; setiap pekerjaan manusia yang dilakukan dengan kesetiaan menjadi bagian dari karya Allah yang lebih besar(41). Dalam konteks kehidupan modern, terutama bagi umat Kristen di komunitas-komunitas kecil seperti di Lakahang, pemahaman ini meneguhkan bahwa Allah turut bekerja melalui aktivitas ekonomi, sosial, dan relasional sehari-hari. Dengan demikian, iman bukan hanya berakar pada pengharapan eskatologis, tetapi juga pada kesadaran praktis bahwa setiap langkah hidup berada di bawah naungan providensi Allah yang penuh kasih.
-
Salah satu tema teologis paling signifikan dalam Kitab Rut adalah konsep penebusan (Ibrani: ga’al), yang di dalamnya muncul istilah goel atau “penebus kerabat terdekat.” Dalam konteks hukum Israel kuno, goel adalah anggota keluarga yang memiliki tanggung jawab menebus tanah atau keturunan keluarga yang terancam punah agar nama keluarga tidak hilang dari Israel (Im. 25:25; Ul. 25:5–10). Dalam narasi Kitab Rut, Boas berperan sebagai goel bagi keluarga Elimelekh dengan menikahi Rut, janda dari Mahlon, anak Elimelekh. Tindakan Boas tidak hanya memenuhi tuntutan hukum adat, tetapi juga mencerminkan tindakan kasih, belas kasih, dan tanggung jawab sosial yang berakar pada karakter Allah sendiri(42).
Konsep goel dalam Kitab Rut memiliki kedalaman teologis yang jauh melampaui konteks sosialnya. Penebusan yang dilakukan Boas tidak semata-mata menyangkut pemulihan tanah dan keturunan, melainkan menjadi lambang kasih setia Allah (hesed) yang memulihkan kehidupan manusia dari kehampaan dan penderitaan. Rut yang dahulu seorang asing dan janda kini menjadi bagian dari umat perjanjian Allah, menegaskan bahwa tindakan penebusan selalu berakar pada kasih Allah yang menembus batas etnis dan status sosial(43). Dengan demikian, tindakan Boas adalah gambaran konkret dari sifat Allah yang “menebus” umat-Nya, seperti yang digenapi secara sempurna dalam pribadi Kristus sebagai Penebus sejati (Ef. 1:7; Tit. 2:14).
Selain itu, peran goel juga memperlihatkan hubungan erat antara hukum, kasih, dan keadilan dalam teologi Perjanjian Lama. Boas tidak bertindak karena paksaan, tetapi karena dorongan kasih dan integritas moral yang didasarkan pada pengenalan akan Allah. Dalam konteks sosial Israel kuno, tindakan ini merupakan bentuk ketaatan aktif terhadap hukum Taurat yang menekankan perlindungan terhadap yang lemah, janda, yatim, dan orang asing (Ul. 24:19–21). Dengan demikian, konsep penebusan dalam Kitab Rut memperlihatkan dimensi ganda: di satu sisi sebagai tindakan hukum yang sah, dan di sisi lain sebagai tindakan kasih yang menebus. Hal ini menjadi dasar teologis yang kuat untuk memahami karya keselamatan Allah yang berakar pada kasih setia dan keadilan-Nya(44). Bagi umat Kristen masa kini, khususnya dalam konteks kehidupan bergereja di wilayah-wilayah pedesaan seperti Lakahang, pemahaman tentang goel meneguhkan nilai solidaritas, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap sesama. Ketika setiap anggota jemaat mengambil peran “penebus kecil”, menolong mereka yang terpinggirkan dan kehilangan harapan, maka kasih penebusan Allah diwujudkan dalam realitas komunitas. Dengan demikian, narasi penebusan dalam Kitab Rut bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan panggilan etis untuk menjadi saluran kasih setia Allah dalam kehidupan nyata.
-
Kisah Rut merupakan salah satu teks Perjanjian Lama yang secara mendalam memperlihatkan dimensi inklusif dari kasih dan anugerah Allah. Dalam konteks historis, bangsa Moab sering dipandang negatif oleh Israel karena asal-usul mereka yang berhubungan dengan Lot (Kej. 19:30–38) dan larangan dalam hukum Taurat yang menolak orang Moab masuk ke dalam jemaah Tuhan hingga keturunan kesepuluh (Ul. 23:3). Namun, narasi Rut menembus batas eksklusivitas tersebut dengan menghadirkan sosok perempuan Moab yang tidak hanya diterima dalam komunitas Israel, tetapi bahkan menjadi bagian dari garis keturunan Mesias (Mat. 1:5). Dengan demikian, kitab ini menyampaikan pesan teologis yang kuat bahwa rencana keselamatan Allah bersifat universal dan melampaui sekat-sekat etnis, sosial, maupun religius. (45)
Melalui pengalaman iman Rut, tampak bahwa ketaatan dan kesetiaan kepada Allah lebih menentukan daripada identitas kebangsaan. Rut, yang semula orang asing dan tanpa hak di tengah komunitas Israel, justru tampil sebagai teladan iman dan kasih setia yang murni. Ia tidak hanya meninggalkan bangsanya dan dewa-dewanya, tetapi juga memeluk iman kepada Allah Israel dengan kesungguhan hati: “Bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16). Sikap iman yang demikian menjadi pintu masuk bagi penggenapan janji keselamatan Allah bagi bangsa-bangsa lain. Teologi naratif kitab ini memperlihatkan bahwa anugerah Allah tidak terbatas secara geografis atau genealogis, melainkan menjangkau setiap orang yang percaya kepada-Nya. Hal ini sejalan dengan prinsip universalitas keselamatan yang ditegaskan dalam Perjanjian Baru bahwa “Allah menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1Tim. 2:4). (46)
Kisah Rut menunjukkan bahwa Allah membuka pintu keselamatan bagi semua bangsa. Dari perempuan Moab ini, kasih karunia Allah mengalir melintasi batas etnis menuju rencana penebusan yang digenapi dalam Kristus. (47)
Lebih jauh, inklusivitas yang tampak dalam kisah Rut juga menyiratkan dimensi misiologis dari rencana keselamatan Allah. Dalam perspektif teologi biblika, kisah Rut menubuatkan terbukanya pintu keselamatan bagi bangsa-bangsa melalui karya penebusan Kristus. Rut sebagai perempuan non-Israel yang diangkat menjadi nenek moyang Daud menggambarkan keterlibatan bangsa-bangsa dalam sejarah keselamatan (Heilsgeschichte). Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal Allah telah menanamkan dalam sejarah Israel unsur keterbukaan terhadap seluruh bangsa, yang pada akhirnya digenapi melalui misi Yesus Kristus dan gereja-Nya di dunia (Mat. 28:19–20). Oleh sebab itu, kitab Rut dapat dibaca sebagai cikal bakal teologi misi universal yang menegaskan bahwa keselamatan bukan hanya bagi “umat pilihan” secara etnis, tetapi bagi semua umat manusia yang mau menerima kasih karunia Allah. (48) Dengan demikian, kisah Rut bukan hanya narasi tentang cinta dan kesetiaan, tetapi juga pernyataan teologis mengenai karakter Allah yang penuh kasih, adil, dan inklusif. Allah yang menerima Rut adalah Allah yang sama yang mengundang setiap manusia untuk mengalami penebusan di dalam Kristus. Di dalam rencana keselamatan universal ini, setiap orang, tanpa memandang asal-usul, budaya, maupun status sosial, memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari umat Allah. Pesan teologis ini menegaskan bahwa kasih karunia Allah menembus batas eksklusivitas religius dan mengarahkan umat manusia kepada suatu komunitas iman yang bersifat kosmik, di mana semua bangsa bersatu dalam penyembahan kepada Allah yang satu. (49)
IV. Relevansi Teologis Kitab Rut bagi Iman Kristen Masa Kini
-
A. Teladan Kesetiaan dan Komitmen dalam Relasi Keluarga dan Komunitas
-
Kisah Rut dan Naomi menghadirkan sebuah potret mendalam tentang kesetiaan dan komitmen yang melampaui sekadar hubungan darah. Dalam konteks sosial Israel kuno, keputusan Rut untuk tetap bersama Naomi, “ke mana engkau pergi, ke situ juga aku pergi” (Rut 1:16), menjadi tindakan iman yang berakar pada kasih dan tanggung jawab relasional. Kesetiaan Rut bukan hanya terhadap mertuanya, tetapi juga terhadap Allah yang disembah Naomi, memperlihatkan bagaimana relasi keluarga yang dilandasi iman dapat menjadi sarana nyata dari pernyataan kasih Allah kepada manusia.(50)
Dalam konteks masyarakat modern, khususnya di komunitas jemaat seperti di Lakahang, semangat kesetiaan Rut mengajarkan pentingnya membangun komitmen yang kokoh dalam keluarga dan komunitas iman. Banyak relasi masa kini menghadapi disintegrasi karena egoisme dan ketidakmampuan bertahan dalam kesulitan. Namun, Kitab Rut menunjukkan bahwa kesetiaan yang sejati bersumber dari pengenalan akan Allah yang setia. Dalam keluarga Kristen, hal ini tercermin melalui kesediaan untuk saling menopang, mengampuni, dan bertekun bersama dalam penderitaan. Kesetiaan yang demikian bukanlah hasil kemampuan manusia, melainkan buah dari kasih karunia yang bekerja melalui iman.(51)
Adegan ini menyoroti kesetiaan Rut terhadap Naomi sebagai gambaran relasi yang dilandasi iman dan kasih. Dalam perjalanan menuju Betlehem, kesetiaan menjadi jembatan antara luka masa lalu dan pengharapan baru yang lahir dari Allah yang setia.
Selain itu, teladan Rut juga menegaskan nilai penting dari komunitas iman yang saling mendukung. Dalam kisah tersebut, Boas dan para tua-tua Betlehem turut menjadi saksi dan bagian dari proses pemulihan keluarga Naomi. Artinya, kesetiaan pribadi selalu memiliki dimensi sosial, setiap tindakan kasih setia pribadi berdampak pada penguatan tubuh Kristus secara keseluruhan (band. Galatia 6:2). Gereja dipanggil untuk meneladani semangat solidaritas ini, di mana anggota jemaat tidak berjalan sendiri, melainkan saling menanggung beban hidup bersama sebagai cerminan kasih Kristus.(52) Dengan demikian, teladan kesetiaan Rut menantang umat Kristen di masa kini untuk memandang keluarga dan komunitas sebagai tempat pelayanan kasih yang nyata. Relasi yang dibangun atas dasar iman dan komitmen kepada Allah akan memancarkan kesaksian hidup yang meneguhkan, baik di tengah gereja maupun di masyarakat luas. Dalam terang Injil, kesetiaan Rut menemukan maknanya yang paling dalam, dalam diri Kristus, yang tetap setia kepada umat-Nya hingga akhir (2 Timotius 2:13).(53)
-
Salah satu pesan penting dari Kitab Rut yang relevan bagi gereja masa kini adalah panggilan untuk membangun solidaritas dan kepedulian sosial dalam kehidupan bersama. Cerita tentang Rut, seorang perempuan asing yang diterima dan dipelihara di tengah komunitas Israel, memperlihatkan dimensi sosial dari kasih Allah. Boas, sebagai tokoh utama laki-laki dalam kisah ini, menunjukkan kepedulian yang tulus dengan mengizinkan Rut memungut gandum di ladangnya dan memastikan ia tidak diganggu oleh pekerja-pekerja lain (Rut 2:8–9). Tindakan ini melampaui batas kewajiban hukum mengenai “sisa ladang” (Im. 19:9–10); ia menjadi perwujudan kasih yang bergerak, sebuah solidaritas sosial yang tumbuh dari pengenalan akan karakter Allah yang adil, penuh belas kasihan, dan peduli terhadap yang lemah. Di dalamnya, kasih tidak tinggal sebagai konsep, melainkan menjelma dalam tindakan nyata yang menyentuh kehidupan sesama.(54)
Kisah ini memiliki relevansi langsung bagi kehidupan jemaat di masa kini, termasuk bagi konteks lokal seperti jemaat di Kelurahan Lakahang. Dalam situasi sosial-ekonomi yang beragam, semangat solidaritas menjadi kunci untuk memelihara keseimbangan dan kesejahteraan bersama. Gereja dipanggil bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai ruang persekutuan yang menumbuhkan empati dan saling berbagi. Rut dan Boas memperlihatkan bahwa kepedulian sosial tidak harus berskala besar; justru dalam tindakan-tindakan sederhana, seperti memberi kesempatan, mendengarkan, atau menolong yang lemah, kasih Allah menjadi nyata dan dirasakan secara konkret.(55)
Solidaritas yang ditekankan dalam Kitab Rut juga mengandung dimensi teologis yang mendalam. Boas bertindak sebagai perpanjangan tangan Allah yang menegakkan keadilan bagi mereka yang tidak berdaya, sementara Rut mewujudkan iman yang bekerja dalam kasih. Dalam hal ini, solidaritas bukan hanya nilai sosial, tetapi ekspresi iman yang aktif (Yak. 2:17). Gereja yang meneladani pola relasional semacam ini akan menjadi komunitas yang hidup dalam kasih, bukan sekadar karena kewajiban moral, melainkan karena mengalami dan menyalurkan kasih penebusan Kristus sendiri.(56) Dengan demikian, pesan Kitab Rut mengingatkan bahwa iman sejati tidak berhenti pada pengakuan pribadi, tetapi diwujudkan dalam keterlibatan sosial yang konkret. Di tengah konteks gereja lokal seperti di Lakahang, solidaritas jemaat, dalam bentuk perhatian kepada yang miskin, dukungan terhadap yang menderita, dan keterbukaan terhadap sesama, merupakan bentuk nyata dari kasih Allah yang bekerja di tengah dunia. Seperti Rut dan Boas yang berpartisipasi dalam karya pemeliharaan ilahi, demikian pula gereja diundang menjadi alat Allah untuk menghadirkan kasih dan keadilan-Nya bagi sesama.(57)
-
Konsep providensi Allah menjadi salah satu tema sentral dalam Kitab Rut yang menyingkapkan bagaimana Allah berkarya melalui peristiwa-peristiwa yang tampak biasa namun mengandung maksud ilahi yang mendalam. Dalam kisah Naomi dan Rut, mulai dari penderitaan kehilangan, keputusan untuk kembali ke Betlehem, hingga perjumpaan dengan Boas, semuanya memperlihatkan tangan Allah yang bekerja dalam diam, mengarahkan segala sesuatu menuju pemulihan dan berkat.(58) Dalam konteks kehidupan warga Lakahang, pemahaman ini sangat relevan karena mereka memandang Allah sebagai Pribadi yang hadir bukan hanya dalam ibadah gerejawi, melainkan juga dalam rutinitas sehari-hari seperti bekerja di ladang, mendidik anak, dan bergumul dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak selalu mudah.(59)
Providensi Allah bagi warga Lakahang tampak nyata dalam kesadaran bahwa segala sesuatu, baik keberhasilan maupun kegagalan, berada di bawah kendali kasih Allah. Banyak kesaksian jemaat menggambarkan bagaimana pertolongan Tuhan hadir melalui sesama, dukungan komunitas, atau peluang kecil yang tak terduga namun membawa dampak besar. Pemahaman seperti ini menunjukkan iman yang matang, di mana mereka belajar melihat kehadiran Tuhan bukan hanya dalam peristiwa luar biasa, tetapi juga dalam hal-hal sederhana yang sarat makna rohani.(60)
Lebih dari itu, providensi Allah menjadi dasar bagi pengharapan di tengah penderitaan. Dalam situasi sulit seperti gagal panen, penyakit, atau kehilangan pekerjaan, warga Lakahang meneladani Rut dan Naomi yang tetap setia dan tidak menyerah, percaya bahwa Allah sedang menyiapkan jalan pemulihan yang baru. Sikap iman seperti ini sejalan dengan ajaran Paulus bahwa “segala sesuatu bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah” (Rm. 8:28).(61) Akhirnya, kesadaran akan providensi Allah membentuk spiritualitas yang bersyukur dan realistis di tengah jemaat. Mereka menyadari bahwa hidup adalah panggilan untuk berjalan dalam iman, bukan karena semua hal dapat dipahami, tetapi karena Allah yang memegang kendali atas semuanya. Dengan demikian, providensi Allah bukan sekadar doktrin, melainkan pengalaman nyata yang membangun kedewasaan iman, meneguhkan harapan, dan mempererat solidaritas umat di Lakahang dalam perjalanan iman mereka.(62)
-
Narasi Kitab Rut menyajikan dimensi inklusivitas ilahi yang menembus batas-batas etnis dan budaya, sebuah pesan yang tetap relevan bagi komunitas Kristen masa kini, termasuk bagi jemaat di Kelurahan Lakahang. Rut, seorang perempuan Moab, diterima bukan hanya sebagai bagian dari komunitas Israel, tetapi juga sebagai bagian dari garis keturunan Mesias (Mat. 1:5). Hal ini menunjukkan bahwa kasih dan rencana keselamatan Allah bersifat universal, mencakup semua bangsa tanpa diskriminasi(63). Penerimaan Rut oleh Boas dan oleh komunitas Betlehem mengajarkan bahwa iman kepada Allah Israel melampaui identitas biologis dan kultural, dan bahwa kesetiaan kepada Tuhan menjadi dasar sejati dari persekutuan umat.
Dalam konteks jemaat Lakahang, pesan ini menjadi panggilan nyata untuk mempraktikkan kasih yang melampaui sekat sosial dan budaya. Di tengah masyarakat yang beragam suku dan latar belakang, iman Kristen mendorong terbentuknya komunitas yang terbuka dan saling menerima. Inklusivitas bukan berarti mengaburkan identitas iman, melainkan mewujudkan karakter Allah yang penuh kasih dan penerimaan(64). Seperti Rut yang beriman di tengah bangsa asing, gereja juga dipanggil untuk menjadi ruang yang menerima dan memulihkan setiap orang yang mencari kasih dan kebenaran Allah.
Secara teologis, inklusivitas dalam Kitab Rut berakar pada natur Allah yang universal dan misi keselamatan yang melampaui Israel. Boas, sebagai goel (penebus), menjadi gambaran tipologis Kristus yang menebus umat dari berbagai bangsa (Ef. 2:14–16). Dalam terang Kristus, jemaat dipanggil untuk memperluas pelayanan lintas budaya dan sosial, baik dalam bentuk misi lokal di Lakahang maupun solidaritas dengan gereja-gereja lain di luar daerah(65). Dengan demikian, inklusivitas bukan sekadar sikap sosial, tetapi bagian dari partisipasi dalam misi Allah (missio Dei) yang mengarahkan seluruh ciptaan kepada rekonsiliasi dan kesatuan di dalam Kristus. Akhirnya, pesan inklusivitas ini meneguhkan bahwa tidak ada latar belakang, status sosial, atau batas geografis yang dapat membatasi karya keselamatan Allah. Dalam setiap bentuk pelayanan lintas budaya, gereja diundang untuk meneladani kasih Allah yang universal sebagaimana diwujudkan dalam kisah Rut, kasih yang melintasi batas, menebus yang terpinggirkan, dan menyatukan yang berbeda dalam kesatuan iman dan kasih(66). Inilah panggilan gereja untuk terus menghidupi Injil secara terbuka, kontekstual, dan penuh kasih di tengah dunia yang plural.
V. Kesimpulan
-
A. Sintesis Teologis dan Pesan Utama Kitab Rut
-
Kitab Rut merupakan salah satu permata naratif dalam Perjanjian Lama yang menampilkan dimensi teologi yang mendalam melalui kisah sederhana tentang kasih, kesetiaan, dan penebusan. Secara teologis, kitab ini memperlihatkan bahwa karya Allah tidak hanya terjadi melalui mukjizat besar atau nabi yang berotoritas, tetapi juga melalui kehidupan sehari-hari orang biasa yang hidup dalam kesetiaan kepada-Nya(67). Dalam kisah Naomi dan Rut, Allah bekerja melalui proses yang tampak alami, migrasi, penderitaan, kerja di ladang, dan pernikahan, untuk menggenapi rencana keselamatan-Nya yang lebih besar. Dengan demikian, Kitab Rut menjadi kesaksian bahwa providensi Allah hadir secara nyata di tengah kehidupan yang tampak biasa.
Lebih jauh, Kitab Rut memperlihatkan keterpaduan antara iman pribadi dan tanggung jawab sosial. Kesetiaan Rut kepada Naomi bukan hanya tindakan kasih keluarga, tetapi juga ekspresi iman kepada Allah Israel (Rut 1:16–17). Boas, pada pihak lain, menunjukkan ketaatan sosial-religius sebagai pelaksana hukum penebusan (goel), yang mencerminkan keadilan dan kasih dalam tindakan konkret(68). Dengan demikian, kitab ini tidak hanya menyoroti hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan antarmanusia yang dijalani dalam iman. Nilai kesetiaan, kasih, dan tanggung jawab sosial menjadi refleksi dari karakter Allah sendiri yang setia dan penuh belas kasih.
Selain itu, pesan teologis Kitab Rut menegaskan dimensi universal dari karya keselamatan Allah. Kehadiran Rut, seorang perempuan Moab, dalam garis keturunan Daud (Rut 4:22; Mat. 1:5–6) merupakan simbol inklusivitas kasih Allah yang melampaui batas etnis dan nasional(69). Melalui kisah ini, umat diingatkan bahwa Allah bekerja di luar eksklusivitas Israel untuk menggenapi janji keselamatan bagi semua bangsa. Dengan demikian, Kitab Rut menjadi jembatan antara teologi Perjanjian Lama dan penggenapan mesianik dalam Perjanjian Baru, di mana Yesus Kristus hadir sebagai Goel sejati yang menebus umat manusia dari segala bangsa. Bagi jemaat Kristen masa kini, termasuk di Kelurahan Lakahang, pesan Kitab Rut tetap relevan dalam meneguhkan iman di tengah tantangan sosial dan budaya. Kesetiaan Rut menginspirasi setiap orang percaya untuk tetap taat di tengah penderitaan; tindakan Boas meneladankan tanggung jawab sosial dan etika pelayanan; sedangkan providensi Allah meneguhkan keyakinan bahwa tidak ada aspek kehidupan yang terlepas dari penyertaan-Nya(70). Dengan demikian, Kitab Rut menjadi cermin bagi gereja untuk meneladani kasih dan kesetiaan Allah melalui hidup yang melayani, menebus, dan membuka diri terhadap karya keselamatan yang universal.
-
Kitab Rut menampilkan suatu narasi yang sederhana namun sarat dengan kedalaman teologis dan relevansi moral bagi kehidupan umat Allah sepanjang masa. Dalam kisah seorang perempuan Moab yang menunjukkan kesetiaan kepada ibu mertuanya, tersirat pesan universal tentang kasih, tanggung jawab, dan pengharapan dalam pemeliharaan Allah. Kisah Rut tidak hanya merekam perjalanan pribadi, tetapi juga mengungkapkan cara Allah bekerja di balik peristiwa-peristiwa manusia untuk menghadirkan rencana penebusan yang lebih besar. Melalui perjumpaan antara Rut dan Boas, tampak bahwa kesetiaan manusia menjadi sarana bagi karya penyelamatan Allah yang berlangsung dalam sejarah.
Bagi kehidupan iman Kristen masa kini, kisah Rut menjadi cermin yang meneguhkan panggilan untuk hidup setia dan berkomitmen, baik dalam relasi keluarga maupun dalam komunitas gereja. Dalam dunia modern yang ditandai oleh individualisme dan pragmatisme, teladan Rut mengingatkan setiap orang percaya bahwa kasih yang tulus, loyalitas, dan tanggung jawab sosial merupakan ekspresi nyata dari iman kepada Allah. Komunitas gereja dipanggil untuk meneladani solidaritas dan kepedulian yang diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama terhadap mereka yang lemah dan tersisih, sebagaimana Boas menunjukkan kasih kepada Rut yang asing.
Lebih jauh, kitab ini juga meneguhkan pemahaman tentang providensi Allah yang bekerja secara halus namun pasti dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak ada peristiwa yang berada di luar kendali dan tujuan-Nya. Melalui kesetiaan manusia yang sederhana, Allah menggenapi janji penyelamatan yang mencapai puncaknya dalam kedatangan Yesus Kristus, keturunan Daud, yang garis keturunannya melibatkan Rut. Dengan demikian, kisah ini bukan sekadar catatan sejarah keluarga, tetapi bagian dari rangkaian karya keselamatan Allah yang melintasi batas suku, budaya, dan bangsa.
Akhirnya, pesan inklusivitas yang terpancar dari kisah Rut menantang gereja masa kini untuk menjadi komunitas yang terbuka dan misioner. Seperti Allah menerima Rut ke dalam umat-Nya, demikian pula gereja dipanggil untuk memeluk semua orang tanpa memandang latar belakang etnis, sosial, atau status ekonomi. Dalam konteks warga jemaat Lakahang dan masyarakat luas, semangat kitab Rut mengingatkan bahwa misi Allah selalu bersifat lintas budaya, menembus batas-batas manusiawi dan meneguhkan kasih yang universal. Karena itu, kesetiaan, kepedulian, pengakuan akan providensi Allah, dan semangat inklusif merupakan empat tiang utama yang perlu terus dihidupi oleh umat Kristen dalam menjalani iman di masa kini.
Hormat Saya
Penulis dari Pinggiran
Catatan Kaki
- The Babylonian Talmud, Baba Bathra 14b, mencantumkan Samuel sebagai penulis Kitab Rut. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., Word Biblical Commentary: Ruth (Dallas: Word Books, 1988), 34–35. ↩
- Daniel I. Block, Judges and Ruth, New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1999), 606. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 143. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., Word Biblical Commentary: Ruth (Dallas: Word Books, 1988), 21. ↩
- Gordon J. Wenham, Genesis 16–50, Word Biblical Commentary (Dallas: Word Books, 2000), 311. ↩
- Kathy Keller, Ruth: God’s Faithfulness in Times of Crisis (New York: Crossway, 2021), 56. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., Word Biblical Commentary: Ruth (Dallas: Word Books, 1988), 38–39. ↩
- Gordon J. Wenham, Genesis 16–50, Word Biblical Commentary (Dallas: Word Books, 2000), 313. ↩
- Kathy Keller, Ruth: God’s Faithfulness in Times of Crisis (New York: Crossway, 2021), 59. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., Toward Old Testament Ethics (Grand Rapids: Zondervan, 1991), 116. ↩
- Elisabeth Meier Tetlow, Women, Crime, and Punishment in Ancient Law and Society (New York: Continuum, 2004), 89–91. ↩
- Daniel I. Block, Judges and Ruth, New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1999), 628. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 79. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth (NAC; Nashville: Broadman & Holman, 1999), 606. ↩
- Kathleen A. Robertson Farmer, Ruth (Interpretation; Louisville: Westminster John Knox, 2017), 25. ↩
- Barry G. Webb, The Book of Judges and Ruth (NICOT; Grand Rapids: Eerdmans, 2021), 456. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 241. ↩
- K. Lawson Younger Jr., “Ruth,” dalam Expositor’s Bible Commentary Revised Edition, Vol. 3 (Grand Rapids: Zondervan, 2019), 527. ↩
- Victor P. Hamilton, Handbook on the Historical Books (Grand Rapids: Baker Academic, 2001), 191. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 134. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth (NAC; Nashville: Broadman & Holman, 1999), 649. ↩
- Kathleen A. Robertson Farmer, Ruth (Interpretation; Louisville: Westminster John Knox, 2017), 47. ↩
- Barry G. Webb, The Book of Judges and Ruth (NICOT; Grand Rapids: Eerdmans, 2021), 472. ↩
- Bandingkan dengan Imamat 25:25–55 mengenai konsep go’el atau penebus keluarga yang berfungsi memulihkan hak dan warisan dalam komunitas Israel. ↩
- Gordon J. Wenham, Story as Torah: Reading the Old Testament Ethically (Edinburgh: T&T Clark, 2020), 142–144. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 2021), 684. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmans, 2022), 208–210. ↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP Academic, 2019), 196. ↩
- John Piper, A Sweet and Bitter Providence: Sex, Race, and the Sovereignty of God (Wheaton: Crossway, 2020), 112–115. ↩
- Victor P. Hamilton, Handbook on the Historical Books (Grand Rapids: Baker Academic, 2001), 198. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth (NAC; Nashville: B&H Publishing, 1999), 700. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmans, 2022), 220. ↩
- Kathleen A. Robertson Farmer, Ruth (Interpretation; Louisville: Westminster John Knox, 2017), 62. ↩
- Lihat Daniel I. Block, Judges, Ruth, New American Commentary Vol. 6 (Nashville: Broadman & Holman, 2015), hlm. 627–629. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmans, 2018), hlm. 108–110. ↩
- Katharine Doob Sakenfeld, Ruth: Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox, 2017), hlm. 45–47. ↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP Academic, 2019), hlm. 211–214. ↩
- John Piper, Desiring God: Meditations of a Christian Hedonist (Colorado Springs: Multnomah, 2011), 142. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth, NICOT (Grand Rapids: Eerdmans, 2008), 121. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth (NAC 6; Nashville: Broadman & Holman, 2017), 696. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth, NICOT (Grand Rapids: Eerdmans, 2008), 242. ↩
- Katharine Doob Sakenfeld, Ruth: Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox, 2018), 104. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth (NAC 6; Nashville: Broadman & Holman, 2017), 738. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth, NICOT (Grand Rapids: Eerdmans, 2008), 258. ↩
- Katharine Doob Sakenfeld, Ruth: Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox, 2018), 112. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth (NAC 6; Nashville: Broadman & Holman, 2017), 752. ↩
- Tremper Longman III, Old Testament Commentary Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2014), 223. ↩
- Francis I. Andersen & David Noel Freedman, Exploring the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 2002), 480. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth, NICOT (Grand Rapids: Eerdmans, 2008), 44. ↩
- Katharine Doob Sakenfeld, Ruth: Interpretation Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 2018), 29. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth (NAC 6; Nashville: Broadman & Holman, 2017), 668. ↩
- John Piper, Ruth: Under the Wings of God (Wheaton: Crossway, 2021), 114. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth, NICOT (Grand Rapids: Eerdmans, 2008), 112. ↩
- Katharine Doob Sakenfeld, Ruth: Interpretation Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 2018), 76. ↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP Academic, 2018), 236. ↩
- N. T. Wright, After You Believe: Why Christian Character Matters (New York: HarperOne, 2010), 143. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth: An Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture (Nashville: B&H Publishing, 2019), 637. ↩
- R. L. Hubbard Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmans, 2020), 56. ↩
- John Piper, Providence (Wheaton: Crossway, 2021), 41–42. ↩
- Christopher J. H. Wright, The God I Don’t Understand: Reflections on Tough Questions of Faith (Grand Rapids: Zondervan, 2019), 89. ↩
- N. T. Wright, After You Believe: Why Christian Character Matters (New York: HarperOne, 2010), 143. ↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 224. ↩
- Miroslav Volf, Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation (Nashville: Abingdon Press, 1996), 78. ↩
- Lesslie Newbigin, The Gospel in a Pluralist Society (Grand Rapids: Eerdmans, 1989), 132. ↩
- John Stott, Christian Mission in the Modern World (Downers Grove: IVP, 2015), 64. ↩
- Robert L. Hubbard Jr., The Book of Ruth (Grand Rapids: Eerdmans, 1988), 42. ↩
- Katharine Doob Sakenfeld, Ruth: Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox Press, 1999), 61. ↩
- Daniel I. Block, Judges, Ruth: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1999), 731. ↩
- Tremper Longman III, Introducing the Old Testament: A Short Guide to Its History and Message (Grand Rapids: Zondervan, 2017), 152. ↩
0 Comments