I. Pengantar Umum Kitab 1 Raja-Raja
-
Kitab 1 Raja-Raja (Ibrani: Sefer Melakhim) merupakan bagian dari kumpulan kitab sejarah dalam Perjanjian Lama yang melanjutkan kisah dari 1 dan 2 Samuel. Dalam Alkitab Ibrani, kitab ini tidak dipisahkan menjadi dua bagian, melainkan menjadi satu kesatuan yang disebut Raja-Raja (Melakhim), yang berarti “raja-raja.”(1) Istilah tersebut berasal dari kata dasar Ibrani melek (מֶלֶךְ), yang berarti “raja.” Pemisahan menjadi dua kitab (1 dan 2 Raja-Raja) baru terjadi pada masa penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) sekitar abad ke-3 SM, karena panjangnya teks sehingga tidak muat dalam satu gulungan.(2) Dalam versi Yunani, kitab ini dikenal sebagai Basileiōn, yang berarti “tentang kerajaan,” dan merupakan kelanjutan dari kisah kerajaan Israel di bawah pimpinan Salomo hingga masa kejatuhan bangsa itu.(3) Secara kanonik, 1 dan 2 Raja-Raja menempati posisi setelah kitab Samuel dan sebelum kitab Tawarikh. Dalam susunan Alkitab Ibrani (Tanakh), kitab ini termasuk dalam bagian Nevi’im Rishonim (Nabi-Nabi Awal), bersama dengan Yosua, Hakim-Hakim, dan Samuel. Hal ini menunjukkan bahwa kitab Raja-Raja tidak sekadar catatan sejarah, melainkan suatu karya teologis yang dibingkai dalam perspektif kenabian, yaitu melihat sejarah Israel sebagai perwujudan rencana dan kehendak Allah.(4)
Dengan demikian, fungsi kitab ini tidak hanya untuk mendokumentasikan fakta sejarah, tetapi untuk mengajarkan bagaimana Allah berdaulat dalam mengatur bangsa-Nya melalui para raja, nabi, dan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi.(5) Dalam kanon Septuaginta (LXX) dan Vulgata Latin, kitab 1 dan 2 Samuel disebut sebagai 1 dan 2 Raja-Raja, sedangkan kitab yang sekarang kita kenal sebagai 1 dan 2 Raja-Raja disebut 3 dan 4 Raja-Raja (III et IV Regum).(6) Pembagian dan penamaan ini kemudian disederhanakan dalam tradisi penerjemahan Alkitab Protestan dan modern, sehingga kita mengenal sistem yang berlaku hingga kini: 1-2 Samuel dan 1-2 Raja-Raja.(7) Meski demikian, struktur aslinya sebagai satu kesatuan tetap penting secara teologis, karena kisah dalam 1 Raja-Raja sesungguhnya merupakan kelanjutan langsung dari pemerintahan Daud di akhir kitab 2 Samuel, dimulai dengan perebutan tahta oleh Adonia dan penobatan Salomo sebagai raja (1Raj. 1-2). Arti penting kitab 1 Raja-Raja dalam kanon Perjanjian Lama terletak pada peranannya sebagai jembatan antara masa pemerintahan Daud yang ideal dengan masa kemerosotan rohani bangsa Israel. Di satu sisi, kitab ini menampilkan kemuliaan Israel di bawah Salomo, yang ditandai dengan pembangunan Bait Suci dan kemakmuran nasional.
Namun di sisi lain, kitab ini juga mencatat awal kemunduran spiritual akibat kompromi terhadap penyembahan berhala.(8) Oleh sebab itu, kitab 1 Raja-Raja menjadi penafsir sejarah dari sudut pandang perjanjian Allah, di mana ketaatan mendatangkan berkat, dan ketidaktaatan membawa hukuman.(9) Dalam keseluruhan kanon Kitab Suci, Kitab 1 Raja-Raja berfungsi sebagai peringatan sekaligus pengajaran bagi umat Allah sepanjang zaman. Melalui kisah para raja, Allah menyingkapkan prinsip-prinsip rohani yang tetap relevan, yakni bahwa kekuasaan tanpa ketaatan kepada Tuhan akan berujung pada kehancuran. Pesan ini juga menyiapkan jalan bagi pemahaman umat terhadap kerajaan Allah yang sejati, yang tidak bergantung pada sistem politik manusia, melainkan pada pemerintahan Mesias yang kekal.(10) Dengan demikian, kedudukan kitab 1 Raja-Raja dalam kanon tidak hanya bersifat historis, tetapi juga profetis dan kristologis, karena menuntun pembaca untuk melihat kebutuhan akan Raja yang sempurna, yaitu Kristus sendiri.(11)
-
Kitab 1 Raja-Raja tidak secara eksplisit menyebutkan siapa penulisnya. Tradisi Yahudi awal mengaitkannya dengan nabi Yeremia, karena adanya kesamaan bahasa, gaya penulisan, dan tema teologis dengan Kitab Yeremia, khususnya dalam hal penekanan terhadap dosa, penghukuman, dan pembuangan bangsa Israel.(12) Namun, sebagian besar sarjana modern berpendapat bahwa kitab ini merupakan bagian dari karya Deuteronomistik, yaitu rangkaian sejarah teologis yang meliputi Yosua, Hakim-Hakim, 1-2 Samuel, dan 1-2 Raja-Raja (sering disebut Deuteronomistic History).(13) Pandangan ini menilai bahwa penulisnya bukan hanya satu individu, melainkan sekelompok penulis atau penyunting yang hidup setelah masa pembuangan, yang berusaha menafsirkan sejarah Israel dalam terang perjanjian Allah dan hukum Taurat.
Dari segi tanggal penulisan, sebagian besar ahli menempatkan penyusunan awalnya pada masa pemerintahan Raja Yosia (sekitar 640-609 SM), ketika terjadi pembaruan besar terhadap hukum Taurat (2Raj. 22-23). Namun, redaksi akhirnya diyakini diselesaikan setelah pembuangan ke Babel (sekitar 560 SM), karena kitab ini berakhir dengan catatan mengenai pembebasan Raja Yoyakhin dari penjara di Babel (2Raj. 25:27-30), sebuah peristiwa yang terjadi sekitar tahun 561 SM.(14) Hal ini menandakan bahwa penulis atau penyunting akhir hidup pada masa pembuangan, dan menulis dengan maksud memberikan refleksi teologis atas krisis nasional yang sedang dialami umat Allah. Secara historis, 1 Raja-Raja mencatat masa pemerintahan Raja Salomo hingga perpecahan kerajaan setelah kematiannya. Narasi ini menyoroti perubahan besar dalam kehidupan bangsa Israel, dari kerajaan yang makmur, berhikmat, dan penuh kejayaan di bawah Salomo, menuju kemerosotan rohani dan politik akibat penyembahan berhala dan ketidaksetiaan para raja berikutnya.(15)
Peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam kitab ini menunjukkan dinamika antara ketaatan dan pemberontakan terhadap perjanjian Allah, serta bagaimana hal itu menentukan nasib bangsa. Dengan demikian, kitab ini bukan sekadar laporan kronologis, tetapi juga teologi sejarah, di mana setiap peristiwa dilihat dalam terang firman dan kehendak Allah. Dalam konteks teologi Deuteronomistik, kitab ini menekankan prinsip bahwa berkat dan kutuk Allah bergantung pada kesetiaan umat kepada perjanjian-Nya (bdk. Ul. 28). Setiap raja dinilai bukan berdasarkan keberhasilan politiknya, tetapi sejauh mana ia “melakukan apa yang benar di mata Tuhan.” Prinsip ini menjadi benang merah yang menghubungkan seluruh kitab, dari Salomo hingga Ahab, dan menjelaskan mengapa bangsa itu akhirnya mengalami kehancuran. Oleh karena itu, 1 Raja-Raja ditulis bukan sekadar untuk mengisahkan masa lalu, melainkan untuk memberi makna rohani dan moral bagi umat Allah yang hidup di masa pembuangan, agar mereka memahami bahwa pembuangan bukan akhir dari sejarah, melainkan panggilan untuk kembali kepada Allah yang setia.
-
Kitab 1 Raja-Raja disusun bukan sekadar untuk mencatat peristiwa sejarah politik Israel, melainkan untuk menafsirkan sejarah bangsa itu dalam terang perjanjian Allah. Penulisnya berusaha menunjukkan bahwa keberhasilan dan kehancuran kerajaan Israel tidak ditentukan oleh kekuatan militer atau kebijakan ekonomi, tetapi oleh ketaatan atau ketidaktaatan umat terhadap firman Tuhan.(16) Dengan demikian, kitab ini berfungsi sebagai refleksi rohani bagi umat Allah yang mengalami pembuangan, agar mereka memahami bahwa kehancuran Yerusalem bukan berarti Allah gagal, melainkan akibat dari pelanggaran terhadap perjanjian yang telah mereka ikrarkan. Salah satu tujuan utama penulisan kitab ini ialah untuk menegaskan kedaulatan Allah atas sejarah umat-Nya. Segala peristiwa, baik kejayaan di masa Salomo maupun kemerosotan di masa raja-raja sesudahnya, dipahami sebagai bagian dari rencana Allah yang adil dan kudus. Tidak ada raja, nabi, atau bangsa asing yang dapat melampaui kehendak Allah.
Penulis menunjukkan bahwa meskipun manusia seringkali gagal memelihara hukum Tuhan, Allah tetap berdaulat dan setia kepada janji-Nya, khususnya janji yang diberikan kepada Daud (2Sam. 7:12-16).(17) Kesetiaan Allah inilah yang menjadi dasar pengharapan umat yang hidup di tengah kehancuran nasional. Selain itu, penulis menyoroti tema kejatuhan moral dan rohani para raja sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya. Setiap raja Israel dan Yehuda dinilai dengan formula teologis: “ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan” atau “ia melakukan apa yang jahat di mata Tuhan.”(18) Penilaian ini bukan semata-mata bersifat politis, melainkan religius. Ketaatan terhadap hukum Allah menjadi ukuran sejati dari kepemimpinan, dan penyembahan berhala dianggap sebagai akar dari segala kehancuran. Karena itu, kitab ini mengandung nilai didaktik dan profetik, yang menegaskan bahwa penyimpangan dari penyembahan yang murni kepada Tuhan akan selalu berujung pada murka dan kehancuran. Dari sudut teologi Deuteronomistik, 1 Raja-Raja juga mengajarkan bahwa perjanjian Allah bersifat bersyarat dalam konteks pengalaman sejarah.
Allah yang berdaulat, umat yang dipanggil untuk taat, dan suara nabi yang menjaga kesetiaan iman."
Allah menjanjikan berkat kepada bangsa yang taat, tetapi juga mengizinkan kutuk bagi yang memberontak (bdk. Ul. 28:1-45). Salomo menjadi contoh yang jelas: pada awal pemerintahannya ia bijaksana dan beriman, tetapi pada akhir hidupnya ia menyimpang karena pengaruh istri-istri asingnya (1Raj. 11:1-13). Dengan demikian, kitab ini mengajarkan prinsip teologis yang tetap relevan sepanjang zaman: bahwa kemakmuran sejati umat Allah tidak bergantung pada sistem pemerintahan atau kekuatan ekonomi, tetapi pada kesetiaan kepada Tuhan.(19) Akhirnya, ciri khas teologis 1 Raja-Raja tampak dalam peran nabi-nabi Tuhan sebagai perantara antara Allah dan raja-raja. Kehadiran nabi seperti Natan, Ahia, dan terutama Elia menunjukkan bahwa Allah tetap aktif berbicara dan menegur bangsa-Nya melalui firman-Nya. Para nabi tidak hanya menubuatkan masa depan, tetapi juga menjadi suara moral dan teologis yang mengingatkan umat agar kembali kepada Allah. Dengan demikian, kitab ini mengandung pesan universal bahwa Allah tidak meninggalkan umat-Nya sekalipun mereka jatuh dalam dosa, tetapi terus memanggil mereka untuk bertobat dan kembali pada ketaatan sejati.
- Dari ketiga subpoin di atas, dapat disimpulkan bahwa Kitab 1 Raja-Raja memiliki posisi yang sangat penting dalam keseluruhan narasi sejarah Israel, baik dari segi kronologi kerajaan maupun dari sudut pandang teologi perjanjian. Pembahasan mengenai nama, arti, dan kedudukan kitab ini dalam kanon telah menunjukkan bahwa 1 Raja-Raja merupakan kelanjutan logis dari Kitab 2 Samuel, sekaligus pembuka bagi kisah keruntuhan moral dan politik bangsa Israel. Pemaparan tentang penulis, waktu penulisan, dan latar belakang historis juga memperlihatkan bahwa kitab ini lahir dalam konteks sejarah yang penuh gejolak, di mana umat Allah sedang berjuang memahami kehendak Tuhan di tengah transisi dari masa kerajaan bersatu menuju masa kerajaan terpecah. Sementara itu, tujuan penulisan dan ciri khas teologis kitab ini menegaskan bahwa 1 Raja-Raja bukan sekadar catatan sejarah politik, melainkan refleksi rohani yang menyingkap hubungan antara ketaatan, penyembahan yang benar, dan keberlangsungan kerajaan yang dikehendaki Allah.
Dengan demikian, seluruh penjelasan dalam bagian A menjadi fondasi bagi pemahaman yang lebih utuh terhadap struktur isi kitab ini. Penelusuran terhadap susunan naratif berdasarkan pasal dan ayat sangatlah penting, sebab melalui struktur tersebut dapat dikenali pola-pola teologis yang menghubungkan peristiwa sejarah dengan maksud ilahi di baliknya. Analisis terhadap struktur naratif akan memperlihatkan bagaimana peralihan dari pemerintahan Daud kepada Salomo, pembangunan Bait Allah, kemerosotan spiritual, serta perpecahan kerajaan menjadi sarana Allah dalam mengungkapkan keadilan dan kasih setia-Nya. Oleh sebab itu, bagian berikutnya akan menguraikan struktur naratif Kitab 1 Raja-Raja secara sistematis dan detail, sebagai langkah awal untuk menyingkap pesan teologis yang terkandung di dalamnya secara menyeluruh.
II. Struktur dan Isi Naratif Kitab 1 Raja-Raja
-
Kisah awal Kitab 1 Raja-Raja menggambarkan peralihan kekuasaan dari Raja Daud kepada putranya, Salomo. Narasi ini dimulai ketika Daud telah lanjut usia dan kesehatannya menurun (1Raj. 1:1-4), suatu situasi yang menimbulkan ketegangan politik di istana. Adonia, salah satu anak Daud, mengambil kesempatan itu untuk memproklamasikan dirinya sebagai raja tanpa persetujuan ayahnya atau restu kenabian.(20) Peristiwa ini menunjukkan dinamika klasik antara ambisi manusia dan rencana ilahi dalam sejarah Israel. Di tengah ketidakpastian tersebut, Batsyeba dan nabi Natan berperan penting dalam memastikan bahwa janji Daud mengenai pengangkatan Salomo sebagai penerus takhta benar-benar terlaksana (1Raj. 1:11-40).(21)
Pengurapan Salomo sebagai raja muda di bawah pengawasan imam Zadok dan nabi Natan (1Raj. 1:39) menandai legitimasi teologis dari kepemimpinan yang diakui Allah. Seremonial pengangkatan ini bukan sekadar tindakan politik, melainkan ekspresi liturgis bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan, bukan dari kehendak manusia. Ketika rakyat bersorak dan meniup sangkakala, tindakan itu menggambarkan penerimaan sosial atas keputusan Allah melalui Daud, dan sekaligus menegaskan keabsahan rohani dari suksesi tersebut.(22) Di sisi lain, Adonia dan para pendukungnya menjadi simbol dari ambisi yang bertentangan dengan kehendak ilahi, sehingga kegagalannya mencerminkan prinsip Alkitabiah bahwa rencana manusia tidak dapat menggagalkan maksud Allah (Ams. 19:21).
Pasal kedua dari kitab ini (1Raj. 2:1-12) menampilkan pesan terakhir Daud kepada Salomo yang berisi nasihat rohani dan politik. Daud menekankan pentingnya ketaatan terhadap hukum Tuhan sebagai dasar keberhasilan pemerintahan: “Peganglah perintah TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya” (1Raj. 2:3).(23) Pesan ini menunjukkan bahwa keberhasilan kepemimpinan di Israel bukan ditentukan oleh kekuatan militer, melainkan oleh integritas moral dan kesetiaan pada perjanjian dengan Allah. Dalam konteks historis, perintah ini menegaskan kesinambungan antara masa Daud dan masa Salomo sebagai realisasi dari janji Allah bahwa takhta Daud akan tetap teguh selama keturunannya hidup dalam ketaatan (2Sam. 7:12-16).(24) Narasi kemudian diakhiri dengan tindakan Salomo menegakkan stabilitas pemerintahan dengan menyingkirkan lawan-lawan potensial, seperti Adonia, Yoab, dan Simei (1Raj. 2:13-46).(25) Walau tampak keras, tindakan ini harus dipahami dalam konteks hukum kerajaan Timur Dekat Kuno, di mana keamanan politik dan kelangsungan dinasti bergantung pada ketegasan raja terhadap ancaman internal. Dari perspektif teologis, tindakan Salomo menggambarkan proses penyucian simbolis terhadap kerajaan, agar kekuasaan dijalankan dalam kemurnian dan ketaatan kepada Allah. Dengan demikian, peristiwa suksesi takhta ini menjadi fondasi naratif dan teologis bagi seluruh kitab, yang akan terus mengaitkan keberhasilan atau kejatuhan raja-raja Israel dengan sejauh mana mereka hidup sesuai kehendak Allah.(26)
-
Kisah dalam 1 Raja-Raja 3 menggambarkan salah satu titik teologis paling penting dalam seluruh narasi kitab Raja-Raja, yaitu peristiwa ketika Salomo memohon hikmat dari Allah untuk memimpin umat-Nya. Bagian ini dimulai dengan penegasan bahwa Salomo “mengasihi TUHAN dan hidup menurut ketetapan Daud, ayahnya” (1Raj. 3:3), meskipun catatan kecil disisipkan bahwa ia masih mempersembahkan korban di bukit-bukit pengorbanan.(27) Narasi ini menunjukkan adanya ketegangan awal antara ketulusan hati Salomo dan praktik ibadah yang belum sepenuhnya sesuai dengan hukum Taurat. Dalam hal ini, permohonan Salomo bukanlah permintaan duniawi, melainkan sebuah ekspresi kerendahan hati di hadapan Allah yang ia sadari sebagai Raja atas Israel yang sejati. Ia mengaku, “Aku ini masih sangat muda dan tidak tahu bagaimana memimpin” (1Raj. 3:7), sebuah pengakuan yang menandakan kesadaran teologis bahwa hikmat sejati bersumber dari Allah semata.(28) Permohonan Salomo akan hati yang paham menimbang perkara (Ibrani: leb shomea) menjadi inti dari seluruh bagian ini. Dalam konteks kebudayaan Timur Dekat kuno, seorang raja biasanya memohon umur panjang, kekayaan, atau kemenangan militer. Namun Salomo menempuh jalan yang berbeda: ia meminta kemampuan moral dan spiritual untuk menegakkan keadilan di tengah umat Allah. Narasi ini bukan hanya menggambarkan kebajikan pribadi Salomo, tetapi juga menunjukkan bahwa keadilan merupakan wujud konkret dari pemerintahan ilahi di bumi.(29) Allah berkenan atas permohonan itu dan memberikan bukan hanya hikmat, tetapi juga kekayaan dan kehormatan, menegaskan prinsip bahwa kebijaksanaan rohani melampaui semua keuntungan materi.
Dalam kerangka teologis Deuteronomistis, peristiwa ini menandai legitimasi rohani kerajaan Salomo, yang berakar bukan pada kekuatan politik, melainkan pada hubungan perjanjian dengan Allah.(30) Bagian kedua dari pasal ini (ay. 16-28) memperlihatkan bukti nyata dari hikmat yang telah dianugerahkan kepada Salomo, melalui kisah terkenal tentang dua perempuan sundal yang memperebutkan seorang bayi. Kasus ini, yang tampak sederhana namun sarat kompleksitas moral dan emosional, digunakan penulis kitab untuk menampilkan secara naratif bagaimana hikmat ilahi bekerja dalam konteks sosial yang nyata. Ketika Salomo memerintahkan agar bayi itu dibelah dua, tujuannya bukan kekejaman, melainkan ujian terhadap kasih sejati seorang ibu. Reaksi emosional sang ibu sejati, yang lebih memilih kehilangan anaknya daripada melihatnya mati, menyingkapkan kebenaran di hadapan publik dan mengukuhkan Salomo sebagai hakim yang adil dan berhikmat.(31) Melalui kisah ini, penulis 1 Raja-Raja menegaskan bahwa hikmat sejati bersumber dari Allah dan diwujudkan dalam keadilan serta kasih. Hikmat tidak hanya berupa kemampuan intelektual, tetapi juga kepekaan moral dan empati terhadap sesama. Reaksi rakyat yang “takut kepada raja, karena mereka melihat bahwa hikmat Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan” (1Raj. 3:28), menegaskan teologi utama dari kitab ini: bahwa otoritas manusia hanya sah sejauh ia memantulkan kebenaran dan keadilan Allah sendiri. Dengan demikian, pasal ini menjadi fondasi spiritual dari seluruh pemerintahan Salomo yang akan diuraikan lebih lanjut pada bagian-bagian berikutnya.(32)
-
Pasal 4 Kitab 1 Raja-Raja menggambarkan puncak kemegahan pemerintahan Salomo. Bagian ini berfungsi semacam “catatan administratif kerajaan” yang menampilkan kebijaksanaan, tatanan politik, dan kemakmuran yang belum pernah dicapai dalam sejarah Israel sebelumnya.(33) Salomo membentuk struktur pemerintahan yang terorganisir dengan baik, terdiri atas para pejabat tinggi negara seperti imam, sekretaris, bendahara, dan para kepala wilayah (1Raj. 4:1-19). Setiap wilayah diatur untuk menyediakan kebutuhan bagi istana dan pasukan secara bergiliran, menunjukkan adanya sistem administrasi yang efisien dan terencana. Struktur birokrasi ini mencerminkan pergeseran dari pemerintahan karismatik pada masa raja-raja sebelumnya menuju sistem monarki yang lebih terpusat dan modern untuk konteks zamannya.(34) Narasi ini juga menegaskan stabilitas politik yang dihasilkan dari pemerintahan Salomo.
Salomo memerintah dengan hikmat yang dikaruniakan Allah, membangun Bait Suci di Yerusalem, dan mencapai kemakmuran serta kehormatan dari bangsa-bangsa lain.
Israel hidup dalam damai dengan bangsa-bangsa di sekitarnya, dan wilayah kekuasaan Salomo terbentang “dari sungai Efrat sampai ke tanah Filistin dan perbatasan Mesir” (1Raj. 4:21). Pernyataan ini bukan hanya menunjukkan keberhasilan militer, tetapi juga pengaruh ekonomi dan politik Israel di kawasan Timur Dekat kuno.(35) Semua bangsa di sekitar membawa persembahan dan menjadi bagian dari jejaring diplomasi yang luas, memperlihatkan reputasi Salomo sebagai penguasa yang dihormati dan bijaksana. Dalam perspektif teologis, kemegahan ini bukan semata hasil strategi manusia, tetapi merupakan penggenapan janji Allah kepada Daud bahwa anaknya akan memerintah dengan damai dan kemuliaan (2Sam. 7:12-16). Selain dalam bidang politik, Salomo juga dikenal karena hikmat yang luar biasa, sebagaimana digambarkan dalam 1 Raja-Raja 4:29-34. Hikmatnya melampaui semua orang sezamannya, bahkan dibandingkan dengan orang-orang Mesir dan Timur. Ia menulis 3.000 amsal dan 1.005 nyanyian, serta memiliki pengetahuan luas tentang flora, fauna, dan fenomena alam.(36)
Aspek ini menegaskan bahwa kebijaksanaan Salomo bukan hanya intelektual atau politik, tetapi juga mencakup pemahaman kosmik tentang ciptaan Allah. Dalam tradisi Israel, hikmat semacam ini adalah anugerah ilahi yang menuntun manusia untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan (bdk. Ams. 9:10). Dengan demikian, kepemimpinan Salomo dipandang sebagai puncak integrasi antara hikmat, keadilan, dan pemerintahan yang saleh. Namun, di balik narasi kemakmuran ini, penulis Deuteronomistis menyelipkan tanda-tanda peringatan. Kemewahan istana, kekayaan luar biasa, dan sistem kerja paksa yang diperlukan untuk menopang kemegahan kerajaan menimbulkan bayangan ancaman terhadap kesetiaan kepada Allah.(37) Dengan gaya naratif yang halus, teks ini mengantisipasi kemerosotan moral dan spiritual yang kelak akan terjadi pada akhir masa pemerintahan Salomo. Maka, bagian ini tidak hanya menjadi catatan historis tentang kejayaan, tetapi juga refleksi teologis bahwa setiap bentuk kemakmuran harus tetap tunduk kepada hukum dan kehendak Allah.
-
Bagian ini menandai puncak kemegahan pemerintahan Salomo dan penggenapan janji Allah kepada Daud, yakni pendirian rumah bagi nama Tuhan. Narasi dalam pasal 5-7 menggambarkan bahwa pembangunan Bait Allah bukan sekadar proyek arsitektural, melainkan tindakan teologis yang menegaskan kehadiran dan kemuliaan Allah di tengah umat-Nya. Raja Salomo menjalin persekutuan diplomatik dengan Hiram, raja Tirus, untuk memperoleh bahan dan tenaga ahli dalam pembangunan Bait Allah. Perikop ini menunjukkan bahwa hikmat dan kebijaksanaan Salomo juga mencakup kemampuan administrasi dan diplomasi internasional.(38) Pembangunan dimulai pada tahun keempat pemerintahan Salomo dan berlangsung selama tujuh tahun (1Raj. 6:37-38). Teks 1 Raja-Raja 6 memberikan detail arsitektur Bait Allah yang mengingatkan pada pola kemah suci, namun dengan kemegahan yang jauh lebih besar.
Ukuran bangunan, bahan kayu aras dari Libanon, serta pelapisan emas di ruang dalam melambangkan kekudusan dan kemuliaan Allah. Simbolisme teologis dari Bait Allah menekankan bahwa Allah berkenan berdiam di tengah umat-Nya, tetapi bukan dalam arti fisik terbatas. Salomo sendiri menyadari keterbatasan ruang tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya langit dan langit segala langit tidak dapat menampung Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini” (1Raj. 8:27).(39)> Selain Bait Allah, Salomo juga membangun istananya sendiri yang berdiri megah selama tiga belas tahun masa pembangunan (1Raj. 7:1). Perbandingan antara waktu pembangunan Bait Allah dan istana raja sering ditafsirkan secara simbolis oleh para penafsir sebagai indikasi potensi pergeseran orientasi spiritual Salomo dari Allah menuju kemegahan duniawi.(40)
Meskipun pembangunan istana merupakan bagian sah dari administrasi kerajaan, penulis 1 Raja-Raja tampak menampilkan ketegangan naratif antara kemuliaan bagi Allah dan kemegahan pribadi raja. Selanjutnya, Salomo memanggil Hiram, seorang ahli dari Tirus, untuk membuat berbagai perlengkapan logam bagi Bait Allah, termasuk dua tiang besar yang dinamai Yakhin dan Boas (1Raj. 7:13-22). Tiang-tiang ini melambangkan kekokohan dan kestabilan pemerintahan yang ditopang oleh Allah sendiri.(41) Bait Allah dilengkapi dengan bejana air besar yang disebut “laut tuangan,” berbagai kandil, meja roti sajian, dan perabotan dari emas murni, yang kesemuanya memperlihatkan keindahan sekaligus kekudusan tempat ibadah tersebut. Melalui seluruh proses pembangunan ini, teologi kerajaan Israel ditegaskan: Allah adalah pusat kehidupan nasional, dan keberhasilan raja sejati terletak pada kesetiaannya kepada Tuhan yang hadir di tengah umat-Nya.(42)
-
Perikop ini merupakan puncak dari seluruh narasi mengenai pembangunan Bait Allah dan menandai momen paling sakral dalam pemerintahan Salomo. Setelah penyelesaian bangunan tersebut, Salomo mengumpulkan para tua-tua Israel, kepala-kepala suku, dan seluruh pemimpin keluarga Israel untuk membawa tabut perjanjian dari Kota Daud ke tempat kediamannya yang baru, yaitu ruang maha kudus di Bait Allah (1Raj. 8:1-6). Peristiwa ini melambangkan perpindahan pusat ibadah dan pemerintahan rohani Israel dari zaman kemah suci menuju era kerajaan yang mapan. Kehadiran awan kemuliaan Tuhan yang memenuhi rumah itu menandakan penerimaan Allah terhadap tempat tersebut sebagai tanda kehadiran-Nya di tengah umat-Nya(43). Dalam bagian ini, Salomo tampil bukan hanya sebagai raja, tetapi juga sebagai pemimpin rohani yang berperan sebagai imam bangsa.
Doa pentahbisan yang ia ucapkan (1Raj. 8:22-53) merupakan salah satu teks teologis terpanjang dalam Perjanjian Lama yang berisi teologi doa, pengampunan, dan kehadiran Allah. Salomo menegaskan bahwa sekalipun Allah tidak dapat dibatasi oleh ruang atau bangunan, Ia berkenan menjadikan tempat itu sebagai pusat perjumpaan antara manusia dengan Tuhan. Doa ini juga mencakup berbagai situasi kehidupan umat: dari dosa pribadi, kekalahan perang, kelaparan, kekeringan, hingga pembuangan. Dalam setiap kondisi tersebut, Salomo memohon agar Allah tetap mendengarkan doa umat yang berbalik kepada-Nya(44). Doa Salomo mengandung teologi universal yang menegaskan keterbukaan Allah bagi bangsa-bangsa lain. Dalam ayat 41-43, ia berdoa agar orang asing yang datang untuk berdoa di rumah Allah juga diterima dan doanya dikabulkan, “supaya segala bangsa di bumi mengenal nama-Mu dan takut kepada-Mu.” Bagian ini menunjukkan bahwa misi Israel tidak bersifat eksklusif, melainkan berorientasi pada penyataan nama Tuhan di seluruh dunia.
Para teolog Perjanjian Lama menilai bahwa bagian ini menjadi fondasi bagi teologi misi Perjanjian Lama, di mana rumah Allah menjadi simbol persekutuan universal antara Allah dan umat manusia(45). Sesudah doa tersebut, Salomo memberkati seluruh jemaat Israel dan mempersembahkan korban bakaran serta korban keselamatan dalam jumlah besar sebagai tanda syukur atas kebaikan Tuhan (1Raj. 8:62-64). Pentahbisan ini diakhiri dengan pesta tujuh hari penuh sukacita di hadapan Tuhan, menandai momen klimaks spiritual dan politik dalam sejarah Israel kuno. Namun, dalam kerangka naratif kitab Raja-Raja, peristiwa ini juga mengandung ironi teologis: kemegahan ibadah yang begitu besar menjadi kontras dengan kemerosotan iman Salomo di kemudian hari. Penulis kitab tampak sengaja menempatkan momen ini sebagai peringatan bahwa bahkan ibadah yang paling mulia sekalipun akan kehilangan maknanya jika tidak diiringi dengan ketaatan sejati kepada Tuhan(46).
-
Setelah puncak kemuliaan ibadah pada saat pentahbisan Bait Allah, narasi 1 Raja-Raja 9 beralih pada suatu peristiwa penting yakni penampakan kedua Allah kepada Salomo. Dalam bagian ini, Tuhan meneguhkan perjanjian-Nya dan pada saat yang sama memberikan peringatan keras kepada sang raja. Firman Tuhan datang kepada Salomo dengan dua nada utama bahwa janji berkat yang besar jika ia hidup dalam ketaatan, dan ancaman kehancuran jika ia menyimpang dari hukum-hukum Allah. Tuhan berfirman, “Jika engkau hidup di hadapan-Ku dengan setia seperti Daud, ayahmu, maka Aku akan meneguhkan takhtamu untuk selama-lamanya” (1Raj. 9:4-5). Namun, Ia juga menambahkan peringatan serius bahwa jika Salomo atau keturunannya berpaling kepada ilah lain, maka Israel akan dibuang dari tanah yang dijanjikan, dan Bait Allah akan menjadi tanda kebinasaan bagi bangsa-bangsa(47).
Secara teologis, bagian ini memperlihatkan pola khas perjanjian Allah dalam sejarah Israel bahwa setiap berkat selalu diikat oleh syarat ketaatan. Janji Allah tidak bersifat otomatis atau mekanis, melainkan menuntut komitmen moral dan rohani dari pihak manusia. Dalam konteks pemerintahan Salomo, janji itu menegaskan bahwa kestabilan politik dan kemakmuran ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan kepada hukum Tuhan. Teguran Allah dalam pasal ini dengan demikian berfungsi sebagai pagar rohani yang menjaga raja agar tidak terjerumus dalam kesombongan dan penyalahgunaan kekuasaan(48).
Selain menyampaikan janji dan teguran, pasal ini juga menyingkapkan sisi administratif dari pemerintahan Salomo. Bagian akhir (1Raj. 9:15-28) mencatat kegiatan-kegiatan besar yang dilakukan Salomo, seperti pembangunan benteng-benteng di kota Hazor, Megido, dan Gezer; pengorganisasian kerja paksa; serta perdagangan maritim melalui Ezion-Geber dan Ofir. Catatan ini menggambarkan betapa luasnya jaringan ekonomi dan militer Israel pada masa itu. Namun, di balik kemegahan tersebut, penulis kitab memberi isyarat bahwa sistem kerja paksa dan orientasi pada kekayaan mulai menjadi benih penyimpangan moral Salomo di kemudian hari. Dengan demikian, narasi ini tidak hanya mencatat keberhasilan politik, tetapi juga menyiapkan dasar bagi penurunan rohani yang akan diceritakan dalam pasal 11(49). Secara naratif, struktur pasal ini membentuk jembatan antara kemuliaan religius di pasal 8 dan kemerosotan moral di pasal 11. Penulis menampilkan Salomo dalam posisi ambivalen: ia masih mendengarkan firman Allah, namun mulai memperlihatkan gejala kesombongan karena keberhasilan yang ia capai. Teguran ilahi dalam pasal ini berfungsi sebagai tanda kasih Allah yang menuntun raja untuk kembali kepada jalur ketaatan. Namun sayangnya, peringatan itu kelak diabaikan, dan sejarah membuktikan bahwa nasib Israel berjalan sesuai dengan firman Tuhan yang telah diucapkan di sini(50).
-
Pasal ini menampilkan puncak kejayaan pemerintahan Salomo baik dalam aspek ekonomi, politik, maupun spiritual. Narasi diawali dengan kisah kedatangan Ratu Syeba yang datang dari negeri jauh untuk “menguji Salomo dengan teka-teki” (1Raj. 10:1). Kedatangan tokoh perempuan ini mencerminkan reputasi internasional yang dimiliki Salomo, di mana hikmatnya telah dikenal hingga ke wilayah-wilayah selatan Arabia atau Afrika Timur. Ratu Syeba datang membawa persembahan berharga berupa emas, rempah-rempah, dan batu permata, simbol dari hubungan diplomatik dan perdagangan lintas bangsa pada zaman kuno(51).
Kisah ini bukan hanya menggambarkan kekaguman atas kecerdasan Salomo, tetapi juga menegaskan penggenapan janji Allah bahwa hikmat yang dianugerahkan kepada raja itu akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain. Respons Ratu Syeba yang berkata, “Terpujilah Tuhan, Allahmu, yang sudi menempatkan engkau di atas takhta Israel” (1Raj. 10:9), menunjukkan pengakuan teologis dari seorang bangsa asing terhadap kedaulatan Allah Israel. Secara teologis, peristiwa ini menyingkapkan dimensi universal dari berkat Abraham: bahwa melalui Israel, segala bangsa akan menerima berkat (Kej. 12:3). Dengan demikian, kisah ini bukan sekadar catatan diplomatik, melainkan manifestasi dari misi ilahi di mana hikmat dan kemakmuran Israel menjadi sarana penyataan kemuliaan Allah bagi bangsa-bangsa(52).
Bagian berikutnya (1Raj. 10:14-25) menggambarkan secara detail kemakmuran kerajaan Salomo. Emas yang masuk setiap tahun mencapai 666 talenta, dan segala perkakas istana dibuat dari emas murni, bahkan perisai, takhta, dan bejana minum pun tidak dibuat dari perak karena dianggap tidak berharga. Gambaran ini menunjukkan kemakmuran yang luar biasa, namun juga memunculkan kesan hiperbola teologis yang disengaja oleh penulis kitab. Narasi ini ingin menekankan bahwa Salomo telah mencapai titik tertinggi dalam sejarah Israel bahwa kebijaksanaan, kekayaan, dan kemuliaannya melebihi semua raja di bumi. Namun, di balik deskripsi tersebut tersimpan ironi bahwa kemegahan material ini menjadi tanda awal kemerosotan spiritual yang akan terungkap dalam pasal berikutnya(53). Secara naratif, kisah Ratu Syeba berfungsi sebagai cermin moral bagi pembaca. Jika seorang asing dapat mengenali hikmat Allah melalui Salomo, maka seharusnya bangsa Israel sendiri lebih peka terhadap karya Tuhan di tengah mereka. Namun, ironi terbesar muncul karena bangsa yang dipilih justru akan kehilangan kepekaan itu. Para penafsir modern menilai bahwa pasal ini bukan hanya pujian terhadap kebesaran Salomo, melainkan juga sebuah satire halus terhadap kesombongan dan materialisme yang mulai menandai pemerintahannya. Penulis kitab Raja-Raja tampaknya ingin memperingatkan pembaca bahwa kemakmuran tanpa ketaatan akan menjadi jebakan yang menuntun pada kejatuhan moral dan rohani(54).
-
Pasal ini menandai titik balik tragis dalam narasi kehidupan Salomo. Setelah masa panjang kejayaan dan kemakmuran, penulis Kitab Raja-Raja menutup kisah pemerintahan Salomo dengan catatan kelam tentang kemerosotan iman. Dinyatakan bahwa “Raja Salomo mencintai banyak perempuan asing” (1Raj. 11:1), termasuk dari bangsa-bangsa yang telah dilarang oleh Tuhan bagi orang Israel karena mereka dapat mencondongkan hati kepada ilah lain. Kecenderungan Salomo terhadap perempuan asing ini bukan hanya soal moral pribadi, melainkan pelanggaran terhadap prinsip teologis yang fundamental, yaitu kesetiaan eksklusif kepada Yahweh sebagai satu-satunya Allah Israel(55). Kisah ini memperlihatkan ironi besar dalam kehidupan Salomo. Raja yang terkenal karena hikmat ilahinya justru gagal menerapkan kebijaksanaan tersebut dalam hal rohani dan etika. Ia yang dahulu memohon hikmat untuk “membedakan antara yang baik dan yang jahat” (1Raj. 3:9), kini kehilangan kemampuan moral untuk menolak penyembahan berhala.
Warna senja melukiskan berakhirnya masa kejayaan rohani, sementara asap dupa dari altar asing menandakan hati yang berbalik dari Tuhan.
Dalam 1 Raja-Raja 11:4 dikatakan bahwa “hati Salomo telah condong kepada allah lain,” menandakan pergeseran batin dari pusat penyembahan yang benar. Kejatuhan ini mengingatkan pembaca pada natur manusia yang rapuh, bahwa keberhasilan, hikmat, dan kemakmuran tidak imun terhadap penyimpangan ketika seseorang tidak menjaga relasi pribadi dengan Allah(56). Dampak dari penyimpangan ini segera tampak dalam narasi bahwa Tuhan menjadi murka terhadap Salomo dan mengumumkan penghukuman yang akan datang atas keturunannya. Meskipun Allah tidak mencabut kerajaan itu langsung dari tangan Salomo karena kasih-Nya kepada Daud, Ia berfirman bahwa kerajaan itu akan terpecah pada masa anaknya, Rehabeam (1Raj. 11:11-13). Dalam hal ini, penulis kitab menegaskan keadilan dan kesetiaan Allah secara bersamaan bahwa keadilan, karena dosa harus mendatangkan akibat; dan kesetiaan, karena Allah tetap mengingat perjanjian-Nya dengan Daud. Dengan demikian, teks ini menampilkan paradoks teologis antara penghukuman dan kasih karunia yang menjadi pola khas relasi Allah dengan umat-Nya sepanjang sejarah keselamatan(57). Selain aspek spiritual, bagian akhir pasal ini juga mencatat munculnya berbagai lawan yang diizinkan Allah untuk melawan Salomo, seperti Hadad orang Edom, Rezon dari Damsyik, dan Yerobeam bin Nebat, hamba Salomo yang kemudian memberontak (1Raj. 11:14-40).
Kemunculan tokoh-tokoh ini bukan sekadar peristiwa politik, melainkan bagian dari disiplin ilahi terhadap penyimpangan Salomo. Dengan memasukkan elemen geopolitik ke dalam narasi rohani, penulis kitab menunjukkan bahwa sejarah politik Israel tidak pernah terlepas dari dinamika rohani umatnya. Perpecahan kerajaan yang akan terjadi setelah Salomo bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan konsekuensi teologis dari hati yang berpaling dari Tuhan(58). Penutup pasal ini (1Raj. 11:41-43) mengakhiri kisah Salomo dengan nada reflektif. Segala kemegahan dan hikmat yang dimilikinya dicatat dalam “Kitab Riwayat Salomo,” tetapi warisan spiritualnya tercemar oleh ketidaktaatan. Dalam konteks naratif, kisah ini menjadi pelajaran moral yang mendalam bagi Israel bahwa keberhasilan tanpa kesetiaan akan berakhir pada kehancuran. Teologi Kitab Raja-Raja dengan demikian menekankan prinsip bahwa pusat kehidupan umat Allah bukanlah kemakmuran atau kuasa, melainkan penyembahan yang murni kepada Yahweh. Salomo, yang di awal kisahnya menjadi simbol hikmat, akhirnya menjadi contoh tragis dari kebijaksanaan yang gagal karena tidak diiringi dengan ketaatan(59).
- Kisah perpecahan kerajaan setelah kematian Salomo merupakan salah satu titik balik paling signifikan dalam sejarah Israel. Dalam 1 Raja-Raja 12 digambarkan bagaimana bangsa yang semula bersatu di bawah pemerintahan Daud dan Salomo terbelah menjadi dua kerajaan: Israel di utara dan Yehuda di selatan. Peristiwa ini bukan hanya perpecahan politik, tetapi juga refleksi teologis tentang akibat dosa dan ketidaktaatan terhadap Allah. Narasi ini menunjukkan bahwa kehancuran nasional bukanlah hasil dari tekanan eksternal semata, melainkan akibat internal dari hati yang berpaling dari Tuhan(60).
-
Kisah perpecahan kerajaan dalam 1 Raja-Raja 12 merupakan salah satu momen paling tragis dalam sejarah Israel, ketika bangsa yang sebelumnya bersatu di bawah pemerintahan Daud dan Salomo kini terpecah menjadi dua entitas politik yang berbeda yakni Kerajaan Israel di utara dan Kerajaan Yehuda di selatan. Narasi dimulai dengan kenaikan Rehabeam, anak Salomo, yang pergi ke Sikhem untuk diangkat menjadi raja atas seluruh Israel (1Raj. 12:1). Di sana, sepuluh suku Israel datang dengan satu permintaan sederhana: agar beban kerja dan pajak yang berat di masa Salomo dapat diringankan. Permintaan ini bersifat politis sekaligus moral, rakyat mengharapkan pemerintahan yang adil dan penuh belas kasihan setelah masa kemegahan yang menekan ekonomi mereka(61).
Namun Rehabeam, dalam kesombongan masa mudanya, mengabaikan nasihat para tua-tua yang bijaksana dan lebih memilih mendengarkan nasihat rekan-rekan sebayanya. Ia menjawab rakyat dengan kata-kata keras: “Ayahku menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan cambuk berduri besi” (1Raj. 12:14). Sikap ini memperlihatkan ketidaksiapan spiritual dan emosional seorang pemimpin yang mewarisi takhta tanpa mewarisi kebijaksanaan ayahnya. Penulis kitab menggambarkan peristiwa ini bukan sekadar sebagai kesalahan politik, tetapi sebagai pemenuhan nubuat ilahi yang sudah diucapkan oleh nabi Ahia kepada Yerobeam bin Nebat (1Raj. 11:29–31), bahwa kerajaan itu akan dirobek dan sepuluh suku akan diberikan kepadanya(62).
Adegan ini menampilkan pemberontakan sepuluh suku dan pendirian kerajaan utara dengan simbol lembu emas di Betel dan Dan.
Perpecahan tersebut tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mencerminkan kehendak Allah yang sedang bekerja di balik dinamika manusia. Teks menegaskan, “Hal itu terjadi karena hal itu sudah ditetapkan oleh Tuhan” (1Raj. 12:15). Dalam perspektif teologis, hal ini menunjukkan bahwa Allah tetap berdaulat atas sejarah bangsa-Nya, bahkan ketika manusia bertindak bodoh dan egois. Allah menggunakan kegagalan manusia untuk menggenapi rencana-Nya. Namun demikian, kedaulatan ini tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Rehabeam dan para penasihatnya tetap dimintai pertanggungjawaban atas ketidakbijaksanaan yang membawa bangsa pada perpecahan(63). Yerobeam kemudian tampil sebagai tokoh utama dalam bagian selanjutnya. Ia adalah seorang pejabat kerja paksa pada masa Salomo (1Raj. 11:28) yang dikenal cakap dan kuat, namun kemudian memberontak karena nubuat Ahia. Setelah perpecahan terjadi, sepuluh suku Israel memanggil Yerobeam dari Mesir dan menobatkannya menjadi raja atas Israel (1Raj. 12:20). Dengan demikian, terbentuklah dua kerajaan: Israel (dengan ibu kota awal di Sikhem) dan Yehuda (dengan pusatnya tetap di Yerusalem). Namun, stabilitas politik ini segera terancam karena Yerobeam mengambil langkah-langkah yang salah untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia mendirikan dua anak lembu emas di Betel dan Dan, sambil berkata kepada rakyat, “Sudah cukup kamu pergi ke Yerusalem. Hai Israel, lihatlah allahmu yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir” (1Raj. 12:28). Tindakan ini menjadi titik awal penyembahan yang menyimpang di Israel utara(64).
Secara teologis, dosa Yerobeam merupakan bentuk sincretisme yang berbahaya: ia tidak menolak Tuhan secara total, tetapi mengubah cara penyembahan agar sesuai dengan kepentingan politiknya. Ia menciptakan agama nasional yang tampak serupa dengan iman Israel, namun kehilangan pusat ketaatan sejati kepada Allah di Yerusalem. Dengan cara ini, Yerobeam berupaya mengontrol dimensi spiritual rakyat demi stabilitas kekuasaan. Namun tindakan ini justru menjadi “dosa Yerobeam” yang terus disebut dalam seluruh kitab Raja-Raja sebagai warisan buruk bagi generasi selanjutnya. Dosa ini menggambarkan bahaya ketika agama dijadikan alat kekuasaan, dan ketika ketaatan kepada Allah dikompromikan demi kepentingan manusia(65). Dengan demikian, 1 Raja-Raja 12 tidak hanya mencatat perpecahan politik pertama dalam sejarah Israel, tetapi juga membuka bab baru dalam sejarah penyimpangan rohani umat Allah. Struktur naratifnya memperlihatkan dua lapisan makna. Pertama, perpecahan yang diakibatkan oleh kebodohan manusia; kedua, penggenapan dari kehendak Allah yang menegakkan keadilan-Nya atas dosa dan penyimpangan. Kisah ini menjadi peringatan bagi generasi berikutnya bahwa kekuasaan tanpa hikmat ilahi akan berujung pada kehancuran, dan bahwa penyembahan yang tidak berpusat pada kehendak Tuhan, betapapun indahnya secara lahiriah, tetap membawa kutuk rohani bagi umat pilihan(66).
-
Kisah dalam 1 Raja-Raja 13 menyoroti sebuah peristiwa penting di masa pemerintahan Yerobeam, yakni kedatangan seorang abdi Allah dari Yehuda ke Betel yang membawa nubuat penghukuman terhadap mezbah penyembahan berhala yang didirikan oleh Yerobeam. Narasi ini menunjukkan bahwa sejak awal berdirinya kerajaan utara, penyembahan berhala telah menjadi dosa struktural yang menjerumuskan bangsa Israel. Yerobeam bukan hanya mendirikan mezbah yang salah, tetapi juga menolak firman Tuhan yang disampaikan melalui nabi-Nya. Dengan demikian, pasal ini menegaskan bahwa otoritas politik tanpa ketaatan rohani akan berujung pada kehancuran moral dan spiritual bangsa.(67)
Dalam perikop ini, mezbah di Betel menjadi simbol penyelewengan ibadah. Saat abdi Allah menubuatkan bahwa mezbah itu akan terbelah dan abu akan tumpah, hal itu menandakan pembalikan kuasa ilahi terhadap kekuasaan manusia yang congkak. Ketika Yerobeam mengulurkan tangannya untuk menangkap nabi, tangannya menjadi kaku sebagai tanda hukuman langsung dari Allah (ay. 4). Namun setelah raja memohon, tangan itu dipulihkan, menandakan bahwa Tuhan tetap panjang sabar, namun tidak menoleransi dosa. Kisah ini menyiratkan bahwa anugerah Allah selalu membuka kesempatan untuk pertobatan, tetapi Yerobeam gagal memanfaatkannya.(68)
Tragedi yang menyusul terjadi ketika nabi muda itu melanggar perintah Tuhan dengan kembali makan dan minum di rumah nabi tua di Betel. Ketidaktaatan nabi muda memperlihatkan bahwa bahkan pelayan Tuhan pun tidak kebal terhadap ujian integritas dan ketaatan. Hukuman yang menimpanya, diterkam singa di jalan, menjadi simbol keras dari konsekuensi pelanggaran terhadap firman Tuhan, sekaligus cerminan bahwa ketaatan lebih penting daripada pengalaman atau senioritas rohani.(69) Akhir pasal 13 mencatat bahwa Yerobeam tidak berbalik dari jalan jahatnya, tetapi malah terus mengangkat imam-imam dari kalangan rakyat biasa untuk melayani di tempat-tempat penyembahan berhala. Narasi ini menjadi transisi teologis yang penting menuju penilaian ilahi atas seluruh kerajaan utara: bahwa dosa yang dibiarkan tanpa pertobatan akan menjadi pola kebinasaan turun-temurun (lih. 1Raj. 14:9-10). Dengan demikian, kisah ini bukan sekadar sejarah religius, tetapi peringatan moral bagi setiap pemimpin agar tidak menolak suara kenabian yang mengoreksi kekuasaan.(70)
-
Bagian ini menampilkan salah satu episode paling menentukan dalam penilaian teologis atas pemerintahan Yerobeam, raja pertama Israel Utara. Ketika putranya sakit, Yerobeam mengutus istrinya secara diam-diam ke Syilo untuk bertemu Nabi Ahia, nabi yang sebelumnya dipakai Allah untuk menubuatkan kenaikan Yerobeam atas sepuluh suku Israel.(71) Penyamarannya menunjukkan ketidakberanian spiritual Yerobeam, sekaligus ketidakmampuannya menghadapi konsekuensi dari kepemimpinannya sendiri. Namun Allah telah mendahului rencana tersebut: meski matanya telah kabur karena usia lanjut, Ahia telah menerima firman Tuhan sebelum kedatangan perempuan itu. Dengan demikian, penyamaran manusia terbukti tidak berguna di hadapan pengetahuan ilahi.
Nubuat yang disampaikan Ahia merupakan deklarasi hukuman yang paling keras terhadap rumah Yerobeam. Nabi itu mengingatkan bahwa Yerobeam telah dipanggil Allah untuk memerintah Israel dengan syarat kesetiaan kepada perjanjian-Nya, tetapi ia justru mengkhianati panggilan itu dengan membangun patung-patung dan sistem kultis baru yang menyesatkan bangsa.(72) Dosa ini bukan hanya penyimpangan pribadi, tetapi dosa struktural yang menyeret Israel ke dalam penyembahan berhala. Karena itu, Allah menyatakan bahwa seluruh keturunan lelaki Yerobeam akan dibinasakan sampai tuntas, dan hanya anaknya yang sakit itulah yang akan memperoleh pemakaman layak karena dalam dirinya ditemukan sesuatu yang berkenan kepada Tuhan.(73) Ironi ini menekankan prinsip teologis bahwa Allah menghakimi berdasarkan kesetiaan, bukan garis keturunan atau status politik.
Nubuat tersebut kemudian berkembang menjadi deklarasi penghukuman kolektif atas Israel. Ahia menubuatkan bahwa Israel akan “digoncangkan seperti buluh,” dan akhirnya dihanyutkan dari tanah yang diberikan kepada nenek moyang mereka, suatu gambaran yang mengantisipasi pembuangan bangsa itu pada masa Asyur.(74) Kehancuran nasional tersebut dikaitkan langsung dengan dosa Yerobeam, sehingga menegaskan munculnya istilah formulaik “dosa Yerobeam”, sebuah penilaian standar bagi raja-raja Israel Utara dalam Kitab Raja-Raja. Dengan demikian, narasi ini tidak hanya mencatat dosa individu, tetapi juga membentuk kerangka teologis bagi pembacaan seluruh sejarah Israel Utara. Bagian ini ditutup dengan laporan kematian Yerobeam dan naiknya Nadab sebagai penerusnya. Namun demikian, narator menegaskan bahwa nubuat Ahia tetap menjadi dasar penilaian ilahi atas dinasti tersebut dan mendasari perkembangan tragedi berikutnya dalam sejarah Israel.(75) Secara teologis, perikop ini memperlihatkan bahwa kekuasaan politik tanpa kesetiaan kepada Yahweh tidak hanya kehilangan legitimasi moral, tetapi juga menuju kehancuran yang pasti.
-
Rehabeam, putra Salomo, tampil dalam catatan singkat namun penting pada 1 Raja-Raja 14:21-31 sebagai raja yang memerintah atas Yehuda sesudah perpecahan kerajaan. Ia naik takhta pada usia empat puluh satu tahun dan memerintah selama tujuh belas tahun di Yerusalem, kota yang menjadi pusat ibadah dan pemerintahan bagi Yehuda.(76) Pernyataan singkat tentang masa dan tempat pemerintahannya menegaskan kesinambungan dinasti Daud, sebuah tema teologis krusial dalam narasi Raja-Raja meskipun konteks politik telah berubah drastis oleh perpecahan yang baru saja terjadi.
Secara rohani, laporan tentang Rehabeam menunjukkan bahwa meskipun ia adalah penerus garis Daud, kerajaan Yehuda pada masa pemerintahannya tidak sepenuhnya setia kepada Allah. Kitab menegaskan bahwa orang Yehuda “melakukan apa yang jahat di mata TUHAN” (1Raj. 14:22), memasang bukit-bukit pengorbanan dan berhala, serta mengikuti praktik-praktik agama Kanaan yang dilarang.(77) Dalam kerangka teologi Deuteronomistik, pernyataan ini bukan sekadar laporan moral, melainkan indikator bahwa legitimasi kerajaan diukur menurut kesetiaan pada perjanjian, bukan semata-mata oleh garis keturunan atau kekuasaan politik.
Konsekuensi politik dan simbolik dari kemerosotan rohani ini muncul ketika Rehabeam menghadapi invasi Syishak, raja Mesir. Serangan ini, yang terjadi pada tahun kelima pemerintahan Rehabeam, menghasilkan penjarahan perbendaharaan istana dan rumah TUHAN, termasuk perisai emas Salomo, yang kemudian diganti dengan perisai tembaga, sebuah gambaran penurunan status materiil dan rohani kerajaan (1Raj. 14:25-27).(78) Penarikan kemuliaan simbolik dari pusat ibadah dan otoritas raja menegaskan korelasi teologis antara ketaatan umat dan keselamatan/kemakmuran nasional dalam tradisi historis Israel. Teks diakhiri dengan catatan literer bahwa riwayat lengkap pemerintahan Rehabeam tercatat dalam “kitab riwayat raja-raja Yehuda” dan dengan penguburannya “di kota Daud,” yang menandai kontinuitas dinasti meski kondisi rohani dan politik memburuk (1Raj. 14:29-31).(79) Secara keseluruhan, fragmen naratif ini berfungsi sebagai pengingat teologis bahwa warisan Daud tetap terpelihara oleh anugerah ilahi, tetapi keberlangsungan berkat nasional senantiasa bergantung pada ketaatan rohani dan integritas pemimpin.
-
Bagian 1 Raja-Raja 15-16 memaparkan rangkaian pergantian raja di Kerajaan Israel Utara setelah kematian Yerobeam, yang ditandai dengan instabilitas politik, perebutan kekuasaan, dan pola keagamaan yang semakin menyimpang dari kehendak Tuhan. Narasi ini memperlihatkan bagaimana dosa Yerobeam, terutama pendirian dua anak lembu emas di Betel dan Dan, menjadi pola yang diwarisi dan dilanjutkan oleh para raja berikutnya(80). Struktur teks menunjukkan bahwa setiap raja dalam dinasti yang singkat ini diukur bukan hanya dari keberhasilan politik, tetapi terutama dari kesetiaan atau ketidaksetiaan mereka kepada YHWH. Dengan demikian, penulis Deuteronomistis menghadirkan sejarah bukan sebagai laporan politik semata, melainkan sebagai penilaian teologis terhadap moralitas nasional Israel.
Rangkaian raja yang memerintah setelah Yerobeam dimulai dari Nadab, anak Yerobeam, yang hanya memerintah dua tahun sebelum dibunuh oleh Baesa (1Raj. 15:25-28). Nadab secara eksplisit dinilai “melakukan apa yang jahat di mata Tuhan,” dan mengikuti dosa ayahnya(81).
Baesa kemudian mengambil alih takhta dan mendirikan dinasti baru, tetapi ia juga berjalan dalam jalan Yerobeam, sehingga melalui nabi Yehu bin Hanani, Tuhan mengumumkan hukuman atas rumah Baesa (1Raj. 16:1-4). Dinasti Baesa tidak bertahan lama, karena anaknya, Ela, dibunuh oleh Zimri, seorang panglima kereta, yang kemudian memerintah hanya tujuh hari sebelum bunuh diri di tengah pemberontakan melawan dirinya(82). Pergantian kekuasaan yang cepat ini menggarisbawahi betapa rapuhnya stabilitas Israel ketika pemerintahan tidak berakar pada kesetiaan kepada YHWH. Setelah kematian Zimri, dua kelompok bersaing memperebutkan takhta: kelompok Omri dan kelompok Tibni. Konflik ini berlangsung beberapa waktu hingga akhirnya Omri mengalahkan Tibni dan menjadi raja (1Raj. 16:21-22). Omri kemudian membangun ibu kota baru di Samaria, langkah yang berdampak besar secara politik dan militer, tetapi secara teologis ia tetap dipandang negatif karena “melakukan yang jahat melebihi semua orang yang mendahuluinya” (1Raj. 16:25-26)(83).
Puncak dari kemerosotan Israel tampak pada masa Ahab, putra Omri, yang dinilai sebagai raja yang lebih jahat lagi daripada Omri. Ahab bukan hanya melanjutkan dosa Yerobeam, tetapi juga melegitimasi penyembahan Baal melalui pengaruh istrinya, Izebel dari Sidon. Karena itu, narator menilai pemerintahannya sebagai titik rendah spiritual Israel, yang menyiapkan panggung bagi pelayanan profetis Elia (1Raj. 16:29-34)(84). Secara keseluruhan, bagian ini memperlihatkan pola teologis yang konsisten: setiap raja Israel Utara yang tidak setia kepada YHWH mempercepat kehancuran moral dan politik bangsa. Tidak ada satu pun raja Israel Utara yang dinilai “baik” atau “melakukan yang benar di mata Tuhan,” dan hal ini menunjukkan bahwa penyimpangan dari pusat penyembahan di Yerusalem bukan hanya masalah liturgis, tetapi persoalan identitas iman yang fundamental. Penggambaran silih-bergantinya raja dengan cara kekerasan, kudeta, dan pembunuhan menegaskan bahwa Israel telah kehilangan fondasi teologis yang stabil, suatu pelajaran penting bagi umat Tuhan pada masa kini.
-
Bagian 1 Raja-Raja 15 menampilkan perkembangan Kerajaan Yehuda setelah masa Rehabeam, dengan memperkenalkan dua raja yang memerintah secara berurutan: Abiam (juga disebut Abiyam atau Abijah) dan Asa. Berbeda dengan Kerajaan Israel Utara yang mengalami instabilitas dinastik, Yehuda tetap mempertahankan garis keturunan Daud, meskipun kualitas rohani para rajanya mengalami naik turun. Narasi ini juga menyoroti bagaimana setiap raja dinilai berdasarkan kesetiaan mereka terhadap YHWH, sehingga penulis Deuteronomistis terus menekankan bahwa stabilitas politik dan moral Yehuda sangat bergantung pada kesetiaan terhadap perjanjian Daud(85).
-
Abiam memerintah hanya selama tiga tahun di Yerusalem dan secara teologis ia dinilai negatif. Teks mencatat bahwa ia “berjalan dalam segala dosa yang dilakukan ayahnya sebelumnya,” dan hatinya “tidak sepenuhnya kepada Tuhan” (1Raj. 15:3). Meskipun demikian, karena janji YHWH kepada Daud, Yehuda tetap dipelihara dan diberikan “pelita” melalui keberlangsungan dinasti Daud(86). Penekanan ini memperlihatkan bahwa kelangsungan Yehuda bukan hasil kemampuan politik Abiam, tetapi anugerah perjanjian Allah. Sumber-sumber akademik menilai bahwa gambaran ini menunjukkan teologi perjanjian sebagai fondasi utama historiografi Deuteronomistis, di mana Daud menjadi tolok ukur bagi semua raja Yehuda setelahnya(87).
-
Asa, putra Abiam, memerintah selama empat puluh satu tahun dan dipandang jauh lebih positif. Teks mencatat bahwa “Asa melakukan apa yang benar di mata Tuhan seperti Daud, nenek moyangnya” (1Raj. 15:11), yang menandai kebangkitan kembali kesetiaan terhadap YHWH di Yehuda. Reformasinya meliputi penghapusan praktik-praktik kebejatan kultis, pemusnahan berhala, dan bahkan pemecatan Ma’aka, neneknya sendiri, dari posisi “ibu suri” karena keterlibatannya dalam penyembahan berhala(88). Tindakan ini menegaskan bahwa Asa tidak hanya melakukan reformasi simbolik, tetapi benar-benar merombak struktur keagamaan yang telah tercemar sejak masa Rehabeam.
Namun demikian, Asa tidak digambarkan sempurna. Teks menyebut bahwa ia bergantung kepada raja Aram, Benhadad, untuk menekan Baesa (raja Israel), alih-alih mengandalkan Tuhan sepenuhnya (1Raj. 15:18-20). Selain itu, “bukit-bukit pengorbanan” (high places) tidak sepenuhnya dihapuskan, sebuah kelemahan yang sering muncul pada raja-raja Yehuda lainnya. Kendati demikian, penilaian keseluruhan terhadap Asa tetap positif, dan masa pemerintahannya digambarkan sebagai periode stabilitas relatif di Yehuda(89). Secara teologis, Asa menunjukkan bahwa kesetiaan kepada YHWH dapat menghasilkan stabilitas politik dan spiritual, meskipun tidak semua praktik sinkretis dapat dihapus sekaligus.
-
Gambaran raja-raja Yehuda setelah Rehabeam menonjolkan kontras antara kegagalan Abiam dan keberhasilan relatif Asa. Dengan mempertahankan garis keturunan Daud, teks memperlihatkan bahwa Yehuda memiliki fondasi yang lebih stabil dibanding Israel, tetapi kualitas kepemimpinan tetap sangat menentukan arah rohani bangsa. Prinsip utama yang ditonjolkan adalah bahwa pemimpin yang setia pada Tuhan membawa pembaruan dan ketertiban, sedangkan pemimpin yang tidak setia menyebabkan ketidakkonsistenan spiritual. Narasi ini, seperti dicatat banyak penafsir, berfungsi sebagai pengingat bagi umat Tuhan bahwa anugerah perjanjian tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan ketaatan yang sejati(90).
-
Perikop 1 Raja-Raja 16:1–28 menampilkan dinamika kepemimpinan Israel Utara yang penuh gejolak melalui figur Zimri, Tibni, dan Omri. Masa ini mencerminkan krisis politik dan spiritual yang mendalam, di mana pergantian kekuasaan berlangsung melalui kudeta, konflik internal, dan ketidaksetiaan para raja terhadap kehendak Allah.(91)
-
Zimri muncul sebagai tokoh yang merebut takhta melalui pembunuhan terhadap Raja Ela, tindakan yang menandai kekacauan struktural dalam sistem pemerintahan Israel. Masa pemerintahannya yang hanya berlangsung selama tujuh hari (1Raj. 16:15) menjadi indikasi bahwa kekuasaan tanpa legitimasi moral dan tanpa restu Tuhan tidak memiliki fondasi yang kokoh.(92) Ketika rakyat menolak kepemimpinannya dan mengangkat Omri sebagai raja, Zimri memilih untuk membakar istana dan mengakhiri hidupnya sendiri (ay. 18). Kisah tragis ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang tidak berakar pada kesetiaan kepada Tuhan cenderung berakhir pada kehancuran diri dan bangsa.(93)
-
Setelah kematian Zimri, Israel tidak memasuki masa stabil, tetapi justru terpecah menjadi dua kubu: satu mendukung Tibni dan yang lain mendukung Omri (ay. 21). Pembelahan ini menandai terjadinya perang saudara dalam skala nasional, yang memperlihatkan bahwa Israel sedang mengalami disorientasi spiritual yang serius. Dalam perspektif teologis, peristiwa ini menunjukkan bahwa ketika para pemimpin tidak berjalan dalam kehendak Tuhan, tatanan sosial menjadi rapuh dan rentan terhadap konflik.(94) Akhirnya, Omri berhasil mengalahkan Tibni, tetapi kemenangan tersebut tidak menunjukkan kualitas rohani, melainkan sekadar dominasi kekuatan politik.(95)
-
Omri merupakan raja yang menonjol dalam catatan sejarah Israel. Bukti arkeologis seperti Prasasti Mesa dan catatan Asyur tentang “Bît Humri” menunjukkan pengaruh dinastinya dalam kawasan Timur Dekat kuno.(96) Keputusan Omri untuk membangun ibu kota baru di Samaria (ay. 24) memperlihatkan kapasitas administratif dan strategi politik yang kuat. Namun, penulis kitab Raja-Raja menilai pemerintahannya dengan sangat negatif: “Omri melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, bahkan ia melakukan lebih jahat dari semua orang yang mendahuluinya” (ay. 25).
Evaluasi teologis ini menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan seorang raja Israel bukan terletak pada pencapaian politik, tetapi pada kesetiaannya kepada Tuhan. Omri melanjutkan dosa-dosa Yerobeam dalam hal penyembahan berhala, sehingga membawa Israel semakin jauh dari kehendak Allah.(97)
-
Dari ketiga tokoh ini, terdapat beberapa implikasi teologis yang dapat dicatat. Pertama, kisah tersebut menegaskan bahwa Allah tetap berdaulat atas sejarah, tetapi Ia tidak mentoleransi kejahatan politik atau penyalahgunaan kekuasaan.(98) Kedua, karakter para raja memperlihatkan bahwa ambisi pribadi yang tidak didasari takut akan Tuhan membawa kehancuran, baik bagi diri sendiri maupun bagi komunitas. Ketiga, stabilitas sosial dan politik suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh moralitas dan spiritualitas para pemimpinnya. Terakhir, catatan tentang Omri menunjukkan bahwa prestasi politik tidak dapat menggantikan kesetiaan kepada Tuhan sebagai tolok ukur kepemimpinan sejati.(99)
III. Pelayanan Nabi Elia di Zaman Ahab (1 Raja-Raja 17-22)
-
Perikop 1 Raja-Raja 17 menampilkan Elia sebagai nabi yang diutus Allah bukan hanya bagi Israel, tetapi juga bagi bangsa-bangsa di luar Israel. Hal ini mulai terlihat ketika Tuhan memerintahkan Elia untuk pergi ke Sarfat, sebuah wilayah yang berada di Fenisia, wilayah asal Izebel, istri Ahab yang memperkenalkan pemujaan Baal secara masif di Israel. Sarfat sendiri berada dekat Sidon, pusat religius Baalisme. Fakta bahwa Allah mengutus nabi-Nya ke daerah yang secara religius berlawanan dengan iman Israel mencerminkan bahwa karya pemeliharaan Allah tidak terbatas pada wilayah atau etnis tertentu(100). Pemilihan seorang janda non-Israel sebagai alat pemeliharaan bagi Elia juga menyingkapkan pola teologis yang konsisten dalam Alkitab, yaitu bahwa Allah kerap memakai orang-orang kecil dan rentan untuk menggenapi maksud-Nya. Dalam konteks dunia kuno, janda dianggap kelompok yang paling lemah secara sosial, ekonomi, dan politis.
Namun justru melalui seorang janda miskin, Allah menyediakan makanan bagi hamba-Nya. Narasi ini memperkuat ide bahwa tindakan Allah tidak dibatasi oleh kekuatan politis ataupun keagamaan Israel, tetapi bergerak secara bebas bahkan di tengah bangsa yang tidak mengenal Yahweh(101). Secara literer, kisah ini berfungsi sebagai antitesis yang kuat terhadap istana Ahab dan Izebel. Sementara istana kerajaan berada dalam kekelaman spiritual akibat penyembahan Baal, Allah justru menyingkapkan diri-Nya di wilayah asing melalui mujizat pemeliharaan bagi nabi-Nya. Dengan demikian, pengutusan Elia ke Sarfat bukan hanya penyediaan logistik selama masa kekeringan, tetapi juga bagian dari strategi teologis untuk menunjukkan superioritas Yahweh di atas Baal, sekaligus menegaskan bahwa karya keselamatan dan pemeliharaan Allah bersifat lintas-batas(102).
-
Pengumuman Elia mengenai tidak akan turunnya hujan (1Raj. 17:1) merupakan tindakan profetis yang menegaskan otoritas firman Allah di tengah penyembahan Baal yang semakin mengakar di Israel. Dalam tradisi Kanaan, Baal dipandang sebagai dewa badai dan kesuburan; oleh sebab itu, deklarasi Elia bahwa “tidak akan ada embun atau hujan” adalah konfrontasi langsung terhadap klaim ilahi Baal. Tindakan ini bersifat polemis, menunjukkan bahwa kuasa atas musim dan kesuburan bukan terletak pada dewa-dewa Kanaan, tetapi sepenuhnya berada di tangan TUHAN, Allah Israel(104). Selain itu, pernyataan ini juga menggemakan pola teologis Perjanjian Lama yang menempatkan ketaatan kepada TUHAN sebagai syarat bagi berkat atas tanah. Dalam Ulangan 11:16-17, Israel diingatkan bahwa penyembahan kepada allah lain akan membawa murka Allah yang diwujudkan melalui tidak turunnya hujan.
Dengan demikian, pengumuman Elia bukan hanya hukuman, tetapi juga penggenapan firman perjanjian yang telah Allah nyatakan sebelumnya. Tindakan profetis ini menyatakan bahwa krisis ekologis yang melanda Israel tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan konsekuensi dari penyimpangan religius bangsa tersebut(105). Dari perspektif naratif, pengumuman ini menempatkan Elia sebagai nabi yang membawa pesan yang tidak populer, namun sepenuhnya selaras dengan kehendak Allah. Ia tampil bukan sebagai figur politik atau pemimpin karismatik, tetapi sebagai hamba yang menyuarakan realitas ilahi, sekalipun pesan tersebut menantang status quo yang diatur oleh Ahab dan pengaruh Jezebel. Dengan demikian, ketegasan Elia menciptakan fondasi bagi konflik teologis yang lebih besar yang akan berkembang dalam narasi selanjutnya, terutama pada peristiwa konfrontasi di Gunung Karmel(106).
-
Narasi mengenai pemeliharaan Allah kepada Elia di tepi Sungai Kerit (1Raj. 17:2-7) menegaskan bahwa Allah bukan hanya Hakim atas Israel, tetapi juga Penopang setia bagi hamba-hamba-Nya. Perintah Tuhan agar Elia “pergi dari sini, berjalan ke timur, dan bersembunyi di tepi sungai Kerit” menunjukkan bahwa pelayanan profetis sering kali disertai periode pengasingan yang bertujuan membentuk karakter dan ketergantungan kepada Allah(108). Penyembunyian ini bukan sekadar tindakan strategis untuk menghindari ancaman Ahab, melainkan bagian dari proses pedagogis ilahi yang menempatkan Elia dalam ruang keheningan, jauh dari pusat konflik politik dan religius. Pemeliharaan yang Allah berikan melalui “burung-burung gagak” memperlihatkan kreativitas dan kebebasan Allah dalam menolong umat-Nya. Dalam konteks budaya Israel kuno, burung gagak dianggap sebagai binatang najis, namun narasi ini memperlihatkan bahwa Allah dapat menggunakan sarana yang tidak lazim untuk menyatakan pemeliharaan-Nya(109).
Tindakan ini sekaligus menggarisbawahi bahwa keteraturan ilahi tidak tunduk pada batasan-batasan kultis, tetapi bekerja melampaui kategori-kategori ritual bila berkaitan dengan pemenuhan rencana-Nya. Selain itu, keberadaan air dari Sungai Kerit memberi gambaran simbolis tentang kehidupan yang tetap mengalir sekalipun situasi bangsa sedang mengalami kekeringan rohani dan fisik. Ketika sungai itu akhirnya mengering (1Raj. 17:7), narasi ini memperlihatkan bahwa pemeliharaan Allah bersifat dinamis, setiap tahap memiliki tujuan dan waktunya sendiri. Kekeringan sungai tidak menunjukkan kegagalan Allah, melainkan penanda transisi menuju karya ilahi berikutnya dalam hidup Elia, yaitu pengutusan ke Sarfat(110). Secara teologis, pemeliharaan di Sungai Kerit menjadi model bagi pemahaman biblika tentang penyertaan Allah yang tidak hanya hadir dalam mujizat spektakuler, tetapi juga dalam ritme keseharian yang sederhana: makan, minum, dan ketenangan dalam penyembunyian. Narasi ini mengingatkan bahwa kesetiaan Allah tidak tergantung pada keadaan eksternal, melainkan bersumber dari karakter-Nya sebagai Allah yang hidup dan memelihara(111).
-
Narasi pengutusan Elia kepada seorang janda di Sarfat (1Raj. 17:8-24) menampilkan perluasan karya Allah melampaui batas-batas etnis Israel. Perintah Tuhan agar Elia pergi ke Sarfat, sebuah wilayah di Sidon, daerah asal Izebel, secara teologis bersifat ironis: Allah mengutus nabi-Nya ke daerah yang secara politis dan religius menjadi sumber penyembahan Baal di Israel(112). Pengutusan ini memperlihatkan bahwa karya Allah tidak dibatasi oleh permusuhan geopolitik, melainkan diarahkan untuk menyatakan kuasa dan kasih-Nya di tengah bangsa-bangsa. Pemilihan seorang janda sebagai penerima pelayanan profetis juga sarat makna teologis. Janda dalam dunia kuno merupakan simbol kelompok rentan dan tidak memiliki perlindungan sosial. Justru kepada sosok yang lemah inilah Allah mengutus Elia, menegaskan pola konsisten penyelamatan Allah yang berpihak kepada mereka yang terpinggirkan(113).
Fakta bahwa janda tersebut adalah non-Israel menunjukkan bahwa kemurahan Allah tidak bersifat eksklusif etnis, melainkan bersifat universal, sekaligus menyingkapkan kegagalan Israel sendiri untuk percaya kepada Allah dalam konteks krisis. Interaksi pertama antara Elia dan janda Sarfat menunjukkan kontras antara kelaparan ekstrem yang melanda wilayah itu dan pemeliharaan Allah yang setia. Ketika janda tersebut mengungkapkan bahwa ia hanya memiliki segenggam tepung dan sedikit minyak untuk “membuat roti terakhir,” ketegangan naratif mencapai puncaknya. Dalam situasi ini, iman janda diuji melalui tindakan menerima Elia dan memberikan baginya terlebih dahulu, sebuah tindakan yang kemudian diganjar dengan mukjizat kelimpahan tepung dan minyak yang tidak habis-habis(114). Tindakan Allah memelihara janda non-Israel melalui Elia menjadi kritik tidak langsung terhadap Israel di zaman Ahab.
Ketika bangsa pilihan justru berpaling kepada Baal untuk mencari kesuburan dan kehidupan, Allah menunjukkan kuasa-Nya kepada bangsa asing melalui seorang perempuan yang rentan namun responsif. Dengan demikian, narasi ini berfungsi sebagai pembalikan teologis: Allah bekerja di luar Israel justru untuk menyatakan kegagalan Israel dan sekaligus mempertahankan identitas-Nya sebagai Allah seluruh bumi(115). Peristiwa ini kemudian mencapai klimaks ketika anak janda tersebut meninggal dan Elia memohon kepada Tuhan untuk memulihkannya. Kebangkitan anak janda Sarfat, peristiwa pertama kebangkitan yang dicatat dalam Alkitab, menjadi penegasan bahwa Allah tidak hanya menyediakan kebutuhan fisik, tetapi juga memegang kuasa atas kehidupan dan kematian. Janda itu akhirnya mengakui Elia sebagai “abdi Allah” dan firman Tuhan sebagai “kebenaran,” sebuah pernyataan iman yang menandai transformasi spiritual dalam kehidupan seorang perempuan asing yang sebelumnya berada di pinggir sejarah keselamatan(116).
-
Mukjizat tepung dan minyak yang tidak habis (1Raj. 17:14-16) menjadi inti dari narasi pemeliharaan Allah terhadap Elia dan janda Sarfat. Dalam teks ini, janji Tuhan disampaikan oleh Elia: “Tepung dalam tempayan tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli tidak akan berkurang sampai pada hari Tuhan menurunkan hujan.” Janji ini memperlihatkan bahwa Allah bertindak secara aktif di tengah krisis kelaparan dengan menyediakan pemeliharaan harian yang bersifat supranatural(117). Mukjizat ini bukan semata intervensi ilahi untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga mengandung pesan teologis penting mengenai iman dan ketaatan. Janda Sarfat, yang semula berada dalam keputusasaan karena persediaan terakhirnya hanya cukup untuk “satu kali makan sebelum mati,” kini melakukan tindakan iman ketika ia memberikan bagian pertama kepada Elia.
Respon janda ini menunjukkan suatu bentuk “ketaatan radikal” yang membuka ruang bagi karya Allah dinyatakan dalam kehidupannya(118). Pada sisi lain, narasi ini menonjolkan perbedaan antara Allah Israel dan Baal. Secara ironi, mukjizat kelimpahan diberikan justru di Sarfat, daerah asal Izebel yang mempopulerkan kultus Baal di Israel. Dalam teologi kuno, Baal dikenal sebagai dewa kesuburan dan hujan. Namun di tengah paceklik, Baal terbukti tidak berdaya untuk menyediakan pangan; sebaliknya, Allah Israel menunjukkan kuasa-Nya sebagai penyedia yang setia bahkan di wilayah asing(119). Dengan demikian, kisah ini menjadi kritik implisit terhadap sinkretisme Israel dan memperlihatkan bahwa hanya YHWH yang memiliki kuasa atas hidup dan kelimpahan.
Adegan ini menggambarkan perjumpaan antara penderitaan manusia dan kuasa pemulihan Allah.
Mukjizat yang terjadi setiap hari, tepung dan minyak yang tidak pernah habis, menghadirkan pola pemeliharaan Allah yang mirip dengan pemberian manna di padang gurun. Pemeliharaan harian ini menegaskan bahwa Allah tidak hanya bekerja melalui peristiwa besar, tetapi juga melalui penyediaan kecil yang berlangsung terus-menerus. Kesinambungan mukjizat ini merupakan tanda bahwa Allah hadir dan bekerja secara konsisten dalam keseharian umat-Nya(120). Akhirnya, mukjizat ini bukan hanya meneguhkan iman janda Sarfat, tetapi juga memperdalam keyakinan Elia sendiri dalam menjalankan tugas profetisnya. Situasi kelaparan, pengungsian, dan keterbatasan sumber daya menjadi ruang formasi spiritual baik bagi nabi maupun bagi penerima pelayanan profetis tersebut. Oleh sebab itu, kisah ini tidak hanya memuat unsur penyediaan pangan, tetapi merupakan upaya pedagogis Allah untuk membentuk iman, ketaatan, dan pengakuan akan kuasa-Nya di tengah bangsa-bangsa(121).
-
Narasi 1 Raja-Raja 18 dibuka dengan sebuah perintah ilahi yang menentukan arah pelayanan Elia pada masa krisis nasional Israel. Setelah lebih dari tiga tahun masa kekeringan yang ditetapkan oleh Allah, sebuah tindakan penghakiman langsung atas penyembahan Baal, Tuhan kembali berbicara kepada Elia: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada Ahab, sebab Aku hendak memberi hujan ke atas muka bumi” (ay. 1). Pengutusan ini menegaskan bahwa inisiatif rekonsiliasi dan pemulihan selalu berasal dari Allah sendiri, bukan dari respons manusia.(122) Bahkan ketika Israel terjerumus dalam penyembahan berhala, Allah tetap memegang kendali sejarah dan mengarahkan jalannya menuju pemulihan menurut waktu dan cara-Nya. Perintah untuk menampakkan diri kepada Ahab tidak hanya menegaskan otoritas kenabian Elia, tetapi juga menempatkan nabi itu pada risiko besar. Ahab bersama Izebel telah mengejar dan membunuh para nabi TUHAN, sehingga kembali muncul di hadapan raja merupakan tindakan keberanian yang didorong oleh iman dan ketaatan total kepada Allah.(123)
Namun demikian, ketaatan Elia menjadi cermin teologis bahwa panggilan kenabian tidak pernah terpisah dari risiko, dan justru di tengah ancaman itu kuasa Allah dinyatakan. Selain itu, bagian ini menjadi titik awal dari tema besar 1 Raja-Raja 18 yakni, kontras antara kuasa Yahweh dan ketidakberdayaan Baal. Allah memulai pemulihan hujan, yang dianggap domain kekuasaan Baal, untuk menunjukkan bahwa hanya Yahweh yang memegang kendali atas alam dan sejarah.(124) Dengan demikian, perintah ini bukan sekadar instruksi operasional bagi Elia, melainkan deklarasi teologis tentang supremasi Allah atas ilah-ilah palsu dan seluruh struktur kuasa politik Israel. Di akhir ayat 2, poin penting muncul yakni, Elia “pergi untuk memperlihatkan dirinya kepada Ahab.” Ketaatan langsung ini menonjolkan respons ideal seorang hamba Allah, ketaatan mendahului pemahaman penuh, dan tindakan mendahului hasil yang terlihat. Respons Elia memperlihatkan bahwa relasi kenabian dibangun atas dasar kepercayaan total kepada firman Allah yang hidup dan efektif.
-
Gambaran mengenai kondisi istana Ahab dalam 1 Raja-Raja 18:3-6 menampilkan kontras tajam antara sistem pemerintahan yang dikuasai oleh penyembahan berhala dan kehadiran seorang hamba Tuhan yang setia bernama Obaja. Teks mencatat bahwa, di tengah pemerintahan Ahab yang korup dan dipengaruhi oleh Izebel, terdapat seorang pengelola istana yang “sangat takut akan TUHAN” (ay. 3). Pernyataan ini menghadirkan ketegangan teologis: bahwa kesetiaan kepada Allah dapat tetap bertahan bahkan di pusat kekuasaan yang telah menyimpang dari kehendak-Nya.(125) Obaja berperan sebagai figur kunci dalam teks yang menyingkapkan dinamika iman di dalam struktur politik yang dikuasai ideologi Baal. Sementara Ahab dan Izebel secara aktif melenyapkan para nabi TUHAN, Obaja justru mengambil risiko besar untuk menyembunyikan seratus nabi di dua gua dan menyediakan makanan serta air bagi mereka (ay. 4). Tindakan ini merupakan bentuk civil courage yang lahir dari iman: keberanian melakukan kehendak Allah di tengah ancaman kekuasaan yang jahat.(126)
Dengan demikian, Obaja tidak hanya menjadi pengelola istana, ia adalah agen penyelamatan Allah dalam konteks nyata penindasan spiritual. Situasi istana juga memperlihatkan ironi yang ingin disoroti oleh penulis kitab Raja-Raja. Ahab, raja yang mendukung penyembahan Baal-ilah yang diklaim mampu mengendalikan hujan dan kesuburan, justru harus mencari padang rumput bagi ternaknya agar tidak mati karena kekeringan (ay. 5-6). Narasi ini menyampaikan pesan teologis bahwa penyembahan berhala membawa kehampaan dan ketidakmampuan total, bahkan raja yang mengandalkan Baal tidak dapat mempertahankan hidup ternaknya sendiri.(127) Sementara itu, seorang hamba Allah yang setia, yakni Obaja, menjadi penyangga bagi kelangsungan umat Allah. Kontras ini memperkuat tema besar pasal 18 bahwa Allah tetap bekerja melalui individu-individu yang setia, meskipun berada dalam lingkungan yang rusak secara spiritual dan politis. Obaja hadir sebagai model kesetiaan dalam kondisi yang tidak bersahabat, menegaskan bahwa iman sejati dapat bertahan bahkan di jantung sistem kekuasaan yang melawan Allah. Narasi ini menjadi bukti bahwa Allah tidak pernah kehilangan saksi-Nya, sekalipun dalam zaman kemurtadan nasional.
-
Pertemuan antara Elia dan Obaja dalam 1 Raja-Raja 18:7-14 menghadirkan salah satu momen paling dramatis dalam narasi pelayanan Elia. Obaja, yang sedang menjalankan tugas istana di tengah kondisi kekeringan, tiba-tiba berjumpa dengan nabi yang telah lama dicari oleh Ahab. Reaksi Obaja yang langsung sujud memberi hormat (ay. 7) menunjukkan pengakuannya terhadap otoritas rohani Elia, sekaligus mencerminkan integritas iman yang ia pegang di tengah lingkungan istana yang jahat.(128) Dialog antara keduanya menampilkan ketegangan emosional dan politis yang kuat. Ketika Elia memerintahkan Obaja untuk menyampaikan kepada Ahab bahwa ia telah kembali (ay. 8), Obaja langsung mengungkapkan ketakutannya yang paling mendasar, bahwa Roh TUHAN mungkin akan membawa Elia pergi sebelum Ahab tiba, sehingga dirinya akan dibunuh karena dianggap berbohong (ay. 9-12).
Ketakutan ini bukan tanpa dasar, sebab Ahab telah memburu Elia ke banyak negeri dan membuat para raja bersumpah bahwa mereka tidak menyembunyikannya (ay. 10). Narasi ini menunjukkan bahwa Obaja berada dalam tekanan politik yang luar biasa, bahwa kesalahan kecil dapat berarti kematian.(129) Walau demikian, respons Obaja memperlihatkan integritas imannya. Ia mengingatkan Elia tentang kesetiaannya dalam menyembunyikan seratus nabi TUHAN (ay. 13), seakan-akan ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak layak mati oleh tangan Ahab. Pengakuan ini bukan bentuk pembenaran diri, melainkan ungkapan pergumulan seorang hamba Allah yang berusaha setia di tengah rezim yang tiranik. Ketegangan ini memperlihatkan konflik batin antara panggilan iman dan ancaman kekuasaan yang korup.(130) Dalam perspektif teologis, dialog ini memperlihatkan dimensi providensi Allah. Ketakutan Obaja yang menganggap Elia bisa “hilang” sewaktu-waktu menunjukkan kesadarannya akan kebebasan Roh Allah yang berkarya secara supranatural.
Namun, melalui pernyataan Elia yang menegaskan bahwa ia pasti akan menampakkan diri kepada Ahab (ay. 15), narasi menekankan bahwa misi Allah tidak dapat digagalkan oleh kekuatan politik apa pun. Ketetapan Allah bergerak melalui para hamba-Nya, baik nabi di padang gurun maupun pejabat setia di istana. Dengan demikian, pertemuan Elia dan Obaja menghadirkan sinergi antara keberanian profetis dan kesetiaan administratif, semuanya berada di dalam pemeliharaan Allah. Melalui bagian ini, penulis kitab Raja-Raja membangun kontras antara ketakutan manusia dan kepastian rencana ilahi. Obaja tunduk pada tekanan kekuasaan Ahab, tetapi Allah tetap memegang kendali. Elia, sebagai nabi yang membawa otoritas ilahi, meneguhkan kembali bahwa tindakan-tindakan Allah dalam sejarah tidak pernah bergantung pada kekuatan politik manusia, melainkan pada kesetiaan-Nya sendiri dalam memelihara umat-Nya.
-
Narasi 1 Raja-Raja 18:15-16 mencatat puncak ketegangan antara panggilan iman dan risiko nyata yang harus dihadapi seorang hamba Allah. Setelah pergumulan panjang yang diungkapkan Obaja mengenai ancaman Ahab, Elia akhirnya meneguhkan keseriusan misinya dengan sumpah profetis bahwa “Demi TUHAN semesta alam yang hidup, yang kulayani, sesungguhnya pada hari ini juga aku akan menampakkan diri kepada Ahab.” (ay. 15). Pernyataan ini tidak hanya berfungsi sebagai jaminan, tetapi juga sebagai deklarasi otoritatif bahwa tindakan Elia berada di bawah mandat yang langsung berasal dari Allah.(131) Kepastian yang diberikan Elia tersebut menjadi titik balik bagi Obaja. Dari seorang pelayan istana yang dicekam ketakutan politis, Obaja berubah menjadi seorang utusan yang taat. Teks mencatat bahwa “Obaja pergi menemui Ahab dan memberitahukan kepadanya” (ay. 16a).
Meskipun risiko kematian masih sangat besar, Obaja menunjukkan ketaatan yang lahir dari keyakinan akan kehadiran dan otoritas Allah. Ketaatan ini menunjukkan bahwa iman bukan sekadar keyakinan batin, tetapi diwujudkan dalam tindakan konkret meskipun penuh bahaya.(132) Peristiwa ini sekaligus menampilkan sinergi peran antara nabi dan pelayan istana. Elia membawa otoritas profetis untuk menghadapi Ahab secara langsung, sedangkan Obaja, dengan posisi administratifnya, berfungsi sebagai jembatan yang memungkinkan pertemuan kritis itu terjadi. Dalam hal ini, narasi memperlihatkan bahwa pelayanan kepada Tuhan dapat hadir dalam berbagai bentuk: ada yang tampil di panggung publik dengan keberanian profetis, dan ada yang bekerja diam-diam dengan kesetiaan dalam struktur yang rapuh dan berbahaya.(133)
Secara teologis, bagian ini menegaskan bahwa Allah bekerja melalui keberanian dan ketaatan para hamba-Nya, meskipun mereka berada di tengah sistem kekuasaan yang korup. Ketaatan Obaja tidak menghapus risiko, namun menegaskan bahwa iman yang sejati menemukan kekuatannya bukan pada jaminan keselamatan manusia, melainkan pada kepastian firman Allah. Obaja menjadi contoh pelayanan yang setia dalam konteks politik yang menindas bahwa seorang pelayan yang mengambil langkah iman karena percaya bahwa Allah memegang kendali atas sejarah. Melalui adegan singkat ini, penulis kitab Raja-Raja memperlihatkan bahwa kesetiaan tidak selalu ditandai oleh tindakan spektakuler. Terkadang, ketaatan terbesar tampak dalam langkah sederhana, seperti menyampaikan pesan berbahaya kepada seorang raja yang kejam, yang dilakukan dengan keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam yang hidup.
-
Pertemuan antara Elia dan Ahab di 1 Raja-Raja 18:17-18 menandai titik awal dari salah satu konfrontasi teologis paling penting dalam narasi Perjanjian Lama. Ketika Ahab melihat Elia, ia langsung menuduh sang nabi sebagai “penggoncang Israel,” sebuah label yang menunjukkan betapa bahwa rezim Ahab memandang gangguan terhadap stabilitas politis lebih berbahaya daripada kesalahan moral-spiritual mereka sendiri.(134) Tuduhan ini memperlihatkan distorsi teologi kekuasaan di bawah pemerintahan Ahab, yaitu bahwa kesetiaan kepada TUHAN dianggap sebagai ancaman, bukan fondasi kehidupan nasional. Elia membalikkan tuduhan itu dengan tajam bahwa bukan dirinya, melainkan Ahab dan keluarga dinastinya-lah yang telah mengguncang Israel melalui penyembahan Baal (ay. 18). Pernyataan ini menggarisbawahi prinsip penting dalam teologi Deuteronomistik bahwa keberadaan umat Allah ditentukan oleh kesetiaan mereka kepada perjanjian, dan penyembahan berhala merupakan sumber utama kehancuran bangsa.(135)
Dengan demikian, Elia membenarkan posisi profetisnya sebagai penjaga perjanjian yang berani mengoreksi raja. Konfrontasi ini juga memperlihatkan dinamika penting antara kebenaran dan kekuasaan. Ahab, dengan kekuatan politik yang besar, merasa berhak mendefinisikan penyebab krisis nasional. Sebaliknya, Elia, meskipun tidak memiliki kedudukan politis, memiliki otoritas moral dan teologis yang berasal dari panggilan profetisnya.(136) Narasi ini membangun dasar bagi peristiwa-peristiwa berikutnya, bahwa di Gunung Karmel, konflik inti bukan sekadar antara nabi dan raja, tetapi antara kebenaran Allah dan penyimpangan yang lahir dari kekuasaan yang korup. Secara teologis, bagian ini menegaskan bahwa para nabi dipanggil bukan untuk menjaga kenyamanan para pemimpin, tetapi untuk menegakkan kebenaran perjanjian. Konfrontasi Elia dan Ahab membuka panggung bagi pemurnian iman Israel dan penegasan kembali keesaan dan kuasa Yahweh di tengah bangsa yang telah tersesat.
-
Ajakan Elia kepada seluruh Israel untuk berkumpul di Gunung Karmel (ay. 19) merupakan tindakan strategis dan teologis yang sangat signifikan. Elia memerintahkan agar 450 nabi Baal dan 400 nabi Asyera, yang diasuh oleh Izebel, ikut hadir, sehingga konfrontasi yang akan terjadi bukan hanya antara seorang nabi TUHAN dan raja, tetapi antara Allah Israel dan dewa-dewa kafir yang telah merasuki kehidupan religius bangsa.(137) Dengan demikian, Elia menempatkan isu penyembahan bukan pada ranah privat, tetapi sebagai persoalan nasional yang menentukan arah masa depan Israel. Ketika Israel berkumpul, Elia menyampaikan pertanyaan yang menjadi inti teologis seluruh perikop yakni “Berapa lama lagi kamu berpaling dan timpang di antara dua pendapat?” (ay. 21). Pertanyaan ini menggambarkan kondisi rohani Israel sebagai bangsa yang tidak lagi tegas memihak kepada TUHAN, tetapi hidup dalam ambiguitas religius yang merusak kesetiaan mereka.(138)
Sikap “timpang di antara dua pendapat” bukan sekadar keraguan intelektual, tetapi sebuah kompromi moral-teologis yang berbahaya. Keheningan Israel sebagai respons atas pertanyaan Elia (ay. 21b) adalah simbol kegoyahan spiritual dan hilangnya discernment rohani yang benar. Di bawah pengaruh Ahab dan Izebel, bangsa itu kehilangan keberanian untuk menyatakan iman yang benar, suatu fenomena yang oleh para penafsir dipahami sebagai konsekuensi langsung dari sinkretisme yang merusak identitas perjanjian mereka.(139) Secara teologis, perikop ini memperlihatkan bahwa Allah menuntut keputusan yang tegas dari umat-Nya. Tantangan Elia bukan hanya sebuah deklarasi profetis, tetapi sebuah panggilan pertobatan kolektif. Pengumpulan bangsa di Gunung Karmel menandai awal dari pemulihan teologis yang harus terjadi melalui tindakan demonstratif kuasa Allah pada ayat-ayat berikutnya.
-
Narasi 1 Raja-Raja 18:22-29 menampilkan kontras tajam antara ibadah para nabi Baal dan pelayanan profetis Elia. Secara literer, penulis kitab Raja-Raja sengaja memosisikan Elia sebagai satu-satunya nabi YHWH yang tersisa, berhadapan dengan 450 nabi Baal, untuk menonjolkan ketimpangan kuantitatif sekaligus menegaskan superioritas teologis Allah Israel.(140) Panggung kontestasi ini tidak hanya memperlihatkan konflik religius, tetapi juga mengungkap kedalaman penyimpangan spiritual Israel di bawah pemerintahan Ahab. Respons ritual para nabi Baal diuraikan secara progresif dan mencolok: mereka berseru, melompat-lompat di sekitar mezbah, dan semakin lama semakin intens dalam usaha memanggil dewa mereka. Namun, meskipun dilakukan dengan kesungguhan fisik dan emosional, narator mencatat dengan repetisi yang tajam bahwa “tidak ada suara, tidak ada yang menjawab, dan tidak ada tanda perhatian” (ay. 26, 29).(141) Penegasan ini merupakan strategi retoris yang menyoroti ketidakberdayaan Baal sebagai ilah yang tidak hidup. Pada titik tengah adegan, Elia mengejek para nabi Baal, menyarankan bahwa dewa mereka mungkin sedang merenung, bepergian, atau bahkan tertidur (ay. 27).
Ejekan ini bukan sekadar humor, melainkan bentuk polemik teologis yang menggambarkan absurditas ilah-ilah asing yang memiliki keterbatasan seperti manusia.(142) Dengan demikian, ironi profetis ini memperkuat kontradiksi mendasar antara Allah Israel yang transenden dan dewa-dewa palsu yang tidak memiliki eksistensi ontologis. Peningkatan ritual menjadi tindakan melukai diri dengan pedang dan tombak (ay. 28) merupakan ciri khas liturgi Baal yang bercorak magis, yaitu upaya memaksa respons dari dewa melalui ekspresi fisik ekstrem.(143) Dari perspektif Deuteronomistik, praktik ini menegaskan bahwa ibadah yang berakar pada manipulasi justru bertentangan dengan karakter YHWH yang bebas dan berdaulat. Klimaks bagian ini adalah kegagalan total Baal untuk merespons, sebuah diam teologis yang menunjukkan bukan sekadar ketidakhadiran dalam momen tertentu, tetapi ketiadaan kuasa dan eksistensi. Dengan demikian, struktur naratif bagian ini mempersiapkan pembaca untuk tindakan penyataan ilahi yang akan dinyatakan melalui Elia pada bagian berikutnya.(144)
-
Setelah kegagalan total ritual para nabi Baal, narasi beralih kepada tindakan Elia yang penuh ketenangan dan otoritas profetis. Elia memanggil seluruh bangsa untuk “mendekat” (ay. 30), suatu tindakan yang secara simbolis memanggil Israel kembali kepada relasi perjanjian mereka dengan YHWH.(145) Seruan ini bukan hanya ajakan fisik, tetapi panggilan liturgis untuk memperbaiki hubungan yang rusak akibat penyembahan Baal. Tindakan Elia “memperbaiki mezbah YHWH yang telah diruntuhkan” (ay. 30) memiliki makna teologis yang mendalam. Mezbah yang runtuh merupakan metafora bagi iman Israel yang telah rusak, sementara tindakan pemulihan Elia menegaskan mandat profetis untuk mengembalikan penyembahan yang benar.(146) Pemilihan dua belas batu menegaskan kesatuan dua belas suku Israel, sebuah deklarasi simbolis bahwa kesetiaan kepada YHWH tidak dibatasi oleh fragmentasi politik yang terjadi setelah perpecahan kerajaan. Elia kemudian menggali parit di sekeliling mezbah dan menata kayu serta lembu jantan sebagai korban bakaran (ay. 32–33). Namun bagian yang paling mencolok adalah perintah Elia untuk menyiram korban dan mezbah dengan air sebanyak tiga kali sampai parit terisi penuh (ay. 34-35).
Tindakan ini, yang secara logis membuat penyalaan api mustahil, berfungsi sebagai strategi teologis untuk meniadakan kemungkinan atribusi naturalistik terhadap mukjizat yang akan terjadi.(147) Dengan demikian, mujizat yang akan datang mesti dilihat sebagai karya YHWH secara eksklusif. Dari perspektif naratif, persiapan yang penuh simbol ini membangun ketegangan menuju klimaks kontes Karmel. Namun, secara teologis, tindakan Elia memperlihatkan karakter ibadah yang benar bahwa bukan manipulasi magis seperti ritual para nabi Baal, tetapi persiapan yang taat disertai pengakuan bahwa hanya Allah yang dapat bertindak.(148) Dengan demikian, penekanan utama bagian ini adalah bahwa restorasi penyembahan kepada YHWH selalu dimulai dari pemulihan altar dan hati umat. Adegan ini tidak hanya mempersiapkan mukjizat api dari langit, tetapi juga mengilustrasikan kembali teologi Deuteronomistik mengenai ketaatan dan penyataan ilahi. Persiapan yang dilakukan Elia sekaligus menjadi kritik terhadap bentuk penyembahan sinkretistik yang telah mencemari Israel di bawah pemerintahan Ahab.(149)
-
Peristiwa turunnya api Tuhan di Gunung Karmel merupakan klimaks dari seluruh rangkaian konfrontasi antara Elia dan para nabi Baal. Teks ini menampilkan momen ketika Allah sendiri menjawab doa Elia, sehingga membuktikan keesaan dan kemahakuasaan-Nya. Elia mendekati mezbah pada waktu korban petang dan mempersembahkan sebuah doa yang singkat namun sarat makna teologis bahwa ia memohon agar Tuhan menyatakan diri sebagai Allah Israel, meneguhkan pengutusan dirinya sebagai nabi, dan menggerakkan hati umat agar kembali kepada-Nya(150). Doa ini bukan sekadar permohonan mukjizat, melainkan suatu deklarasi iman yang menempatkan Allah sebagai pusat sejarah penyelamatan. Turunnya api Tuhan yang menghanguskan korban, kayu, batu, tanah, bahkan air di parit (ay. 38), menunjukkan kuasa ilahi yang melampaui segala konsep kesaktian dewa-dewa Kanaan(151). Narasi ini memperlihatkan bahwa Allah Israel bukan hanya Tuhan yang hidup, tetapi juga Tuhan yang menjawab doa umat-Nya secara nyata dan berdaulat atas seluruh ciptaan.
(1 Raj. 18:36-38)."
Kejadian ini menjadi jawaban langsung terhadap ritual sia-sia para nabi Baal, sementara mereka berseru sepanjang hari tanpa jawaban, Elia hanya berdoa sebentar dan Tuhan bertindak secara dramatis. Dengan demikian, teks ini memberikan kontras teologis yang tajam antara ibadah sejati dan penyembahan berhala. Selain itu, tindakan Allah dalam peristiwa ini memiliki dimensi pedagogis bagi Israel. Api Tuhan berfungsi sebagai tanda yang memulihkan kesadaran kolektif bangsa yang telah terpengaruh oleh sinkretisme keagamaan di bawah pemerintahan Ahab dan Izebel(152). Tujuannya adalah agar umat kembali bertobat dan mengakui otoritas Yahweh. Secara literer, narasi ini juga meneguhkan kembali motif teologis dalam kitab Raja-Raja bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya tersesat tanpa memperlihatkan pekerjaan-Nya yang adil dan penuh kuasa. Dengan demikian, peristiwa turunnya api Tuhan bukan hanya sebuah mukjizat spektakuler, tetapi suatu tindakan penyataan diri Allah yang menegaskan identitas umat dan panggilan mereka untuk setia.
-
Klimaks dari peristiwa di Gunung Karmel terjadi setelah api Tuhan turun dari langit dan membakar korban persembahan Elia. Respons Israel sangat jelas: mereka tersungkur dan menyatakan, “Tuhan, Dialah Allah!” (1 Raj. 18:39). Pengakuan ini merupakan momen teologis penting, yang menandai kembalinya bangsa itu kepada penyembahan eksklusif kepada Yahweh, sekaligus penolakan terhadap kultus Baal yang telah mendominasi kehidupan religius Israel di bawah pemerintahan Ahab dan pengaruh Izebel. Para ahli menekankan bahwa seruan tersebut bukan hanya ekspresi emosional sesaat, melainkan afirmasi teologis yang memiliki konsekuensi sosial dan religius yang besar(153). Setelah pengakuan iman tersebut, Elia memerintahkan penangkapan para nabi Baal, dan mereka dibawa ke sungai Kishon untuk dieksekusi (ay. 40). Tindakan ini sering dibaca sebagai tindakan keras, namun dalam konteks perjanjian, hal ini merupakan penerapan dari hukum Taurat yang melarang dan menghukum tegas para penyembah berhala serta para pemimpin kultus palsu (Ul. 13:1–5).
Dengan demikian, tindakan Elia tidak dapat dipisahkan dari mandat perjanjian yang menuntut kemurnian ibadah Israel demi mempertahankan identitas iman mereka(154). Secara naratif, eksekusi ini menutup konfrontasi antara Yahweh dan Baal dengan kemenangan mutlak Allah Israel. Para penafsir modern, termasuk Simundson, melihat bahwa tindakan ini berfungsi sebagai deklarasi dramatis bahwa tidak ada kompromi antara penyembahan Allah yang hidup dan praktik-praktik kafir yang menghancurkan integritas iman Israel. Peristiwa ini juga memulihkan otoritas kenabian Elia di hadapan bangsa, mengukuhkan dirinya sebagai instrumen Allah dalam memanggil Israel kembali kepada pertobatan(155).
-
Ayat 41 mencatat: “Lalu berkatalah Elia kepada Ahab: ‘Naiklah, makan dan minumlah, sebab bunyi derau hujan yang lebat itu!’” Pernyataan ini tampak paradoksal karena secara visual tidak ada tanda-tanda hujan di langit Samaria yang kering. Namun, secara teologis, teks ini memperlihatkan dinamika iman profetis Elia yang melihat realitas rohani sebelum fakta empiris terwujud.(156) Elia tidak hanya berfungsi sebagai nabi yang menyampaikan firman, tetapi sebagai mediator pemulihan relasional antara Allah dan Israel setelah periode panjang penyembahan Baal. Perintah Elia kepada Ahab untuk “makan dan minum” tidak bersifat sekadar sosial, melainkan mengandung makna teologis bahwa Elia sudah mendengar “bunyi hujan” secara iman, sementara Ahab diminta untuk mempersiapkan diri menerima karya Allah.(157)
Hal ini menunjukkan kontras yang jelas antara kedua tokoh yakni Elia bertindak berdasarkan penyataan Allah, sedangkan Ahab menerima anugerah pemulihan itu tanpa menunjukkan pertobatan yang mendalam. Dalam narasi yang lebih luas, tindakan ini menggambarkan bahwa inisiatif pemulihan selalu dimulai dari Allah, bahkan ketika umat belum sepenuhnya siap menyambutnya. Selain itu, ayat ini juga menyiapkan pembaca untuk melihat hubungan antara pertobatan Israel di Gunung Karmel dan pemulihan alam melalui turunnya hujan. Dalam teologi Deuteronomistis, ketaatan atau ketidaktaatan Israel kepada Yahweh berkaitan erat dengan kondisi tanah, termasuk berkat hujan atau kekeringan.(158) Dengan demikian, seruan Elia tidak hanya bernuansa eskatologis, tetapi juga menegaskan bahwa pertobatan sejati mendatangkan pemulihan ciptaan.
-
Setelah memerintahkan Ahab untuk makan dan minum, Elia sendiri “naik ke puncak Gunung Karmel, kemudian ia membungkuk ke tanah dengan mukanya di antara kedua lututnya” (ay. 42). Sikap tubuh ini bukan hanya menunjukkan kerendahan hati, tetapi juga intensitas doa seorang nabi yang bergumul bagi bangsanya.(159) Sementara Ahab menikmati makanan, Elia justru memilih postur penyerahan total di hadapan Yahweh, menegaskan bahwa pemulihan Israel tidak terjadi melalui kekuatan politik atau tindakan kerajaan, melainkan melalui kuasa Allah yang menjawab doa umat-Nya. Narasi kemudian menggambarkan dinamika repetisi dimana Elia menyuruh hambanya untuk “pergi dan melihat ke arah laut,” namun enam kali berturut-turut hamba itu melaporkan bahwa tidak ada apa-apa (ay. 43). Repetisi ini bukan sekadar detail naratif, tetapi menyoroti dimensi teologis mengenai ketekunan doa.(160)
Dalam perspektif Deuteronomistis, berkat hujan berkaitan dengan ketaatan dan kesediaan Allah memulihkan relasi-Nya dengan Israel. Maka, ketekunan Elia menjadi model intervensi profetis yang tidak menyerah meskipun tanda-tanda pemulihan belum tampak secara kasat mata. Ketika pada kali ketujuh hambanya melihat “segumpal awan kecil sebesar telapak tangan manusia” (ay. 44), narasi menunjukkan pergeseran dari ketidakjelasan menuju kepastian pemulihan. Awan yang kecil itu, secara literer, berfungsi sebagai simbol anugerah yang mulai bekerja dari sesuatu yang kecil namun pasti menuju pemenuhan janji Allah.(161) Transformasi dari awan kecil menjadi hujan lebat menegaskan bahwa karya Allah sering dimulai secara tersembunyi sebelum menjadi nyata. Dari sudut pandang teologis, hal ini juga menekankan bahwa iman tidak bergantung pada besarnya tanda awal, tetapi pada kesetiaan Allah yang menyatakan diri seturut waktu-Nya.
-
Dalam laporan hamba Elia pada kali ketujuh, ia melihat “segumpal awan kecil sebesar telapak tangan manusia” muncul dari laut (1 Raj. 18:44). Tanda yang tampak kecil ini menjadi titik balik narasi, sebab awan tersebut berfungsi sebagai indikator awal bahwa Allah telah mendengar doa Elia dan memulai proses pemulihan Israel.(162) Munculnya awan dari arah laut, wilayah yang sering dikaitkan dengan kekuatan kosmik dalam mitologi kuno, mengandung pesan teologis bahwa Yahweh tidak hanya berdaulat atas Israel, tetapi juga atas alam dan elemen-elemen yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural oleh bangsa-bangsa sekitar. Ukuran awan yang sekecil “telapak tangan manusia” merupakan simbol literer yang sengaja ditonjolkan penulis untuk menegaskan bahwa pekerjaan Allah sering dimulai dari tanda-tanda yang tidak mencolok.(163)
Dalam konteks naratif 1 Raja-Raja 17-18, motif “yang kecil tetapi penuh kuasa” sudah muncul sebelumnya, misalnya melalui tepung dan minyak janda Sarfat yang tidak habis, atau melalui doa seorang nabi yang memulihkan kehidupan anak janda itu. Pola ini menekankan bahwa penyataan kuasa Allah tidak selalu bergantung pada gejala besar, tetapi justru bekerja melalui proses yang bertahap dan setia. Selain itu, awan kecil ini menandai bahwa pemulihan relasional antara Allah dan Israel telah dimulai kembali setelah periode panjang ketidaktaatan dan penyembahan Baal. Tanda tersebut merupakan kontras teologis dengan ketidakmampuan para nabi Baal di Gunung Karmel.(164) Jika ritual mereka yang panjang dan penuh kekerasan gagal menghasilkan respons ilahi, maka awan kecil ini menjadi bukti nyata bahwa Yahweh merespons doa nabi-Nya tanpa perlu tindakan ritualistik ekstrem. Dengan demikian, awan kecil itu menjadi metafora pemulihan covenantal: sebuah permulaan yang sederhana namun membawa dampak besar bagi kehidupan bangsa.
-
Turunnya hujan yang sangat lebat setelah periode kekeringan selama tiga setengah tahun menjadi momen klimaks dalam narasi pemulihan yang dikerjakan Allah melalui pelayanan Elia. Teks menyatakan bahwa “dalam sekejap langit menjadi kelam oleh awan dan angin, lalu turunlah hujan lebat” (1 Raj. 18:45), suatu gambaran dramatik yang mengontraskan “awan kecil” sebelumnya dengan limpahan curah hujan yang akhirnya memenuhi seluruh tanah Israel.(165) Kecepatan perubahan cuaca ini menegaskan bahwa tindakan Allah bukan hanya pasti, tetapi juga penuh kuasa dan tidak bergantung pada kekuatan manusia. Turunnya hujan tersebut juga merupakan penggenapan janji Allah yang sebelumnya disampaikan Elia kepada Ahab (1 Raj. 18:41). Dalam kerangka teologi Perjanjian Lama, hujan sering dipandang sebagai tanda berkat perjanjian (Ul. 11:13-14), sehingga pemulihan hujan berarti pemulihan relasi covenantal antara Allah dan umat-Nya.(166)
Dengan demikian, hujan lebat yang turun bukan sekadar fenomena alam, tetapi sebuah deklarasi ilahi bahwa murka Allah telah surut dan hubungan-Nya dengan Israel kembali dipulihkan setelah pembersihan spiritual yang terjadi di Gunung Karmel. Selain itu, pemulihan hujan dalam narasi ini menunjukkan bahwa doa Elia memiliki efektivitas teologis yang signifikan. Yakobus 5:17-18 mengutip peristiwa ini untuk menegaskan bahwa “doa orang benar besar kuasanya”. Narasi dalam 1 Raja-Raja mencerminkan hal tersebut melalui pola bahwa doa, tanda kecil, penggenapan penuh, yang menekankan bahwa kuasa Allah dinyatakan melalui ketaatan dan ketekunan doa nabi-Nya.(167) Di sini, partisipasi manusia melalui doa tidak meniadakan inisiatif ilahi, tetapi menjadi sarana yang Allah pakai untuk menghadirkan rencana pemulihan-Nya bagi umat.
-
Narasi penutup dalam pasal 18 mencatat tindakan yang luar biasa bahwa “Tangan TUHAN meliputi Elia; ia mengikat pinggangnya dan berlari mendahului Ahab sampai ke pintu gerbang Yizreel” (1 Raj. 18:46). Ungkapan “tangan TUHAN” di sini menandakan intervensi ilahi yang memberikan kekuatan supranatural kepada sang nabi, suatu motif yang kerap muncul dalam tradisi para nabi untuk menegaskan bahwa mereka bertindak bukan oleh kemampuan manusia, melainkan oleh kuasa Allah yang menguatkan.(168) Makna teologis dari adegan ini lebih dalam daripada sekadar pencapaian fisik Elia. Dengan berlari mendahului kereta kerajaan Ahab, Elia tampak mengambil posisi simbolik sebagai “pelari pembuka jalan” (forerunner), suatu praktik yang dalam konteks kerajaan kuno biasanya dilakukan oleh para pengawal istana. Gestur ini dapat dipahami sebagai tanda bahwa Elia, bukan para nabi Baal, yang kini menjadi penyampai kehendak Allah bagi Israel, bahkan menuntun raja menuju arah yang seharusnya.(169)
Dengan demikian, tindakan tersebut bukan pengagungan terhadap Ahab, tetapi sebuah deklarasi profetis bahwa kepemimpinan sejati harus mengikuti arahan Tuhan, bukan ilah-ilah asing. Selain itu, keberangkatan menuju Yizreel menandai transisi penting dalam struktur narasi. Yizreel adalah pusat kekuasaan politik Ahab dan Izebel, tempat di mana konflik berikutnya antara Elia dan kekuatan Baalisme akan memuncak pada pasal 19. Dengan kata lain, kecepatan Elia menuju Yizreel bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga langkah menuju konfrontasi spiritual yang lebih besar, menegaskan kesinambungan tema bahwa pelayanan profetik selalu bergerak menuju pusat ketidaksetiaan umat untuk memanggil mereka kembali kepada Tuhan.(170)
-
Setelah kemenangan besar di Gunung Karmel, narasi 1 Raja-Raja 19 dibuka dengan perubahan suasana drastis. Ahab memberitahukan kepada Izebel segala yang dilakukan Elia, termasuk pembantaian para nabi Baal (1 Raj. 19:1). Respons Izebel bukanlah pertobatan, melainkan ancaman pembunuhan terhadap Elia. Ancaman ini bukan hanya reaksi emosional, tetapi tindakan politik yang menegaskan bahwa kekuasaan dan pengaruh Baalisme tetap kuat dalam struktur istana Israel, sekalipun telah dipermalukan di Karmel.(171) Teks menyatakan bahwa Elia “bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya” (ay. 3). Reaksi ini menunjukkan sisi manusiawi seorang nabi besar. Setelah menghadapi tekanan berat, bahaya fisik, dan kesunyian pelayanan, Elia mengalami kelelahan mental dan emosional yang memengaruhi keberaniannya.(172)
Narasi ini dengan cermat menyoroti bahwa para nabi, sekalipun dipenuhi Roh, bukanlah figur tak tersentuh. Mereka tetap rapuh dan bisa dilanda ketakutan ketika ancaman yang dihadapi begitu besar dan berkelanjutan. Pelarian Elia menuju Bersyeba di Yehuda memiliki makna teologis penting. Ia tidak hanya menjauh dari ancaman Izebel, tetapi juga meninggalkan wilayah kekuasaan Ahab, seakan simbol bahwa kerajaan Israel Utara telah gagal dalam panggilan teokratisnya.(173) Bersyeba, yang sering dipahami sebagai batas paling selatan tanah perjanjian (“dari Dan sampai Bersyeba”), menjadi titik awal perjalanan rohani Elia menuju hubungan yang dipulihkan dengan Allah. Pelarian fisik ini menjadi awal dari transformasi spiritual yang Allah siapkan baginya.
Hormat Saya
Penulis dari Pinggiran
Catatan Kaki
- Willem A. VanGemeren, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 1990), 311. ↩
- Gleason L. Archer, A Survey of Old Testament Introduction (Chicago: Moody Press, 1994), 275. ↩
- John H. Walton & Andrew E. Hill, A Survey of the Old Testament, 4th ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 233. ↩
- Tremper Longman III & Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2006), 168. ↩
- Paul R. House, Old Testament Theology (Downers Grove: IVP Academic, 1998), 235. ↩
- R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), 713. ↩
- Raymond E. Brown, The Message of the Old Testament (New York: Doubleday, 1985), 452. ↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament: The Histories (Downers Grove: IVP Academic, 2007), 101. ↩
- D. A. Carson & Douglas J. Moo, Biblical Theology of the Old Testament (Grand Rapids: Baker, 2013), 227. ↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 245. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., The Promise-Plan of God: A Biblical Theology of the Old and New Testaments (Grand Rapids: Zondervan, 2008), 183. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 212. ↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 5–6. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings: Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 2–4. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: Broadman & Holman, 1995), 57–59. ↩
- Ibid, 60. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings: Interpretation, A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 14–15. ↩
- Richard D. Patterson dan Hermann J. Austel, “1 & 2 Kings,” dalam The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 4, ed. Frank E. Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1988), 19. ↩
- John Gray, I & II Kings: A Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1970), 42–44. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: Broadman & Holman, 1995), 78.↩
- Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2006), 176. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson, 1995), 35–37. ↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: InterVarsity Press, 2000), 319.↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2000), 42. ↩
- Richard D. Patterson dan Hermann J. Austel, “1 and 2 Kings,” dalam The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 4, ed. Frank E. Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1988), 21–23. ↩
- Donald J. Wiseman, 1 and 2 Kings: An Introduction and Commentary (Downers Grove: InterVarsity Press, 1993), 61. ↩
- John Gray, I & II Kings: A Commentary, 2nd ed. (Philadelphia: Westminster Press, 1970), 96. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 47. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 107–108. ↩
- Terence E. Fretheim, “The Theological Significance of Solomon’s Prayer,” Word & World 24, no. 2 (2004): 182–189. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 57–59. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 168. ↩
- John Gray, I & II Kings: A Commentary, 2nd ed. (Philadelphia: Westminster Press, 1970), 112–114. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 131–132. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 85. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 95. ↩
- Terence E. Fretheim, The Suffering of God: An Old Testament Perspective (Philadelphia: Fortress Press, 1984), 67. ↩
- Richard D. Patterson dan Hermann J. Austel, “1 and 2 Kings,” dalam The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 4, ed. Frank E. Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan, 1991), 38. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: An Exegetical and Theological Exposition of Holy Scripture (Nashville: Broadman & Holman, 1995), 99–100. ↩
- Tremper Longman III, Introduction to the Old Testament, 2nd ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2006), 177. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings: New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 75. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2000), 102–103. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 141–143. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings: New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 85–87. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2000), 113–115. ↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2018), 329–330. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 152–153. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings: New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 93–95. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2000), 121–124. ↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2018), 331–332. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 158–160. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2000), 125–127. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings: New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 97–99. ↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2018), 334–335. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 162–164. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings: New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 101–103. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2000), 129–132. ↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2018), 336–338. ↩
- Tremper Longman III, Introducing the Old Testament: A Short Guide to Its History and Message (Grand Rapids: Zondervan, 2017), 178–180. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 175–178. ↩
- Ibid, 175–177. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2000), 139–141. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings: New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 108–110. ↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2018), 342–343. ↩
- Tremper Longman III, Introducing the Old Testament: A Short Guide to Its History and Message (Grand Rapids: Zondervan, 2017), 182–184. ↩
- Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2020), 227–230. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 163–165. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings: Understanding the Bible Commentary Series (Grand Rapids: Baker Books, 2012), 118. ↩
- Tremper Longman III and Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2006), 177. ↩
- August H. Konkel, The NIV Application Commentary: 1 and 2 Kings (Grand Rapids: Zondervan, 2006), 229–230. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 189–191. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 179. ↩
- Iain Provan, 1 and 2 Kings (Peabody: Hendrickson, 1995), 113–114. ↩
- Mordechai Cogan and Hayim Tadmor, II Kings: A New Translation with Introduction and Commentary, Anchor Bible (New York: Doubleday, 1988), 168.↩
- Richard D. Nelson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 104. ↩
- Ibid, 103-104. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: Broadman & Holman, 1995), 175–177. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings: Interpretation (Louisville: Westminster John Knox Press, 2000), 139–141. ↩
- Iain W. Provan, 1 & 2 Kings, New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson, 1995), 108–110. ↩
- Mordechai Cogan and Hayim Tadmor, II Kings: A New Translation with Introduction and Commentary (New Haven: Yale University Press, 2016), 181–183. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 108. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 114–117. ↩
- J. Daniel Hays, The Message of the Prophets: A Survey of the Prophetic and Apocalyptic Books of the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2010), 115. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 188–190. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 104–106. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 198–199. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings (Peabody: Hendrickson Publishers, 1995), 132–134. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 112–113. ↩
- Mordechai Cogan, 1 Kings: A New Translation with Introduction and Commentary (New Haven: Yale University Press, 2001), 187–189. ↩
- J. Gary Millar, Now Choose Life: Theology and Ethics in Deuteronomy (Downers Grove: IVP, 2015), 212–214. ↩
- Mordechai Cogan, 1 Kings: A New Translation with Introduction and Commentary (New Haven: Yale University Press, 2001), 395–396. ↩
- Richard D. Patterson, “Zimri,” Anchor Yale Bible Dictionary (New York: Doubleday, 1992), 1124. ↩
- Iain Provan, 1 and 2 Kings (Grand Rapids: Baker Academic, 2017), 124–125. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings (Nashville: B&H Publishing, 2019), 197. ↩
- Daniel Bodi, “Omri,” ABD (1992), 14. ↩
- K. Lawson Younger, Ancient Conquest Accounts (Leiden: Brill, 2016), 258–260. ↩
- J. Gordon McConville, Exploring the Old Testament: A Guide to the Historical Books (Downers Grove: IVP, 2016), 77–78. ↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP, 2018), 143. ↩
- J. Gary Millar, Now Choose Life: Theology and Ethics in Deuteronomy (Downers Grove: IVP, 2015), 212–214. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 211–213. ↩
- Mordechai Cogan, “1 Kings,” in The Anchor Yale Bible Commentary (New Haven: Yale University Press, 2001), 396–398. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1995), 209–211. ↩
- Craig G. Bartholomew dan Michael W. Goheen, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 95–97. ↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2018), 112–115. ↩
- Daniel I. Block, “The Vulnerability of the Land in Biblical Theology,” Journal of Biblical Literature 139, no. 3 (2020): 451–455. ↩
- Tremper Longman III, 1–2 Kings, The Story of God Commentary (Grand Rapids: Zondervan Academic, 2019), 95–98. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox, 2019), 215–217. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson, 2019), 123–124. ↩
- Ralph W. Klein, “Ravens and Divine Provision in the Elijah Narrative,” Catholic Biblical Quarterly 82, no. 1 (2020): 44–47. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings, New American Commentary (Nashville: B&H Academic, 2021), 209–211. ↩
- T. D. Alexander, The Servant King: Reading 1–2 Kings Through the Theological Lens of Divine Kingship (Nottingham: Apollos, 2018), 142–144. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson, 2019), 125–128. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox, 2019), 219–221. ↩
- Robert L. Cohn, “The Widow of Zarephath and the Theology of Provision,” Journal of Biblical Literature 140, no. 2 (2021): 267–272. ↩
- T. R. Hobbs, 1 Kings, Word Biblical Themes (Dallas: Word, 2018), 87–89. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings, New American Commentary (Nashville: B&H Academic, 2021), 214–218. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, New International Biblical Commentary (Peabody: Hendrickson, 2019), 129. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 221–222. ↩
- Daniel J. Simundson, “Elijah, Baal, and the Omride World,” Catholic Biblical Quarterly 83, no. 1 (2021): 45–49. ↩
- Tremper Longman III, Introducing the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2020), 203–204. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings, New American Commentary (Nashville: B&H Academic, 2021), 219–221. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2019), 487–488. ↩
- Tremper Longman III, Introducing the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2021), 231–232. ↩
- Iain Provan, 1 and 2 Kings, Understanding the Bible Commentary Series (Grand Rapids: Baker, 2017), 132–133. ↩
- Baruch Halpern, The Constitution of the Monarchy in Israel (Chico: Scholars Press, 2020), 265–266. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings, New American Commentary (Nashville: B&H Academic, 2017), 217–218. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, Understanding the Bible Commentary Series (Grand Rapids: Baker, 2017), 134–135. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings, New American Commentary (Nashville: B&H Academic, 2017), 219. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, Understanding the Bible Commentary Series (Grand Rapids: Baker, 2017), 136–137. ↩
- Mordechai Cogan, 1 Kings: A New Translation with Introduction and Commentary, AB Commentary (New Haven: Yale University Press, 2008), 423–424. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings, New American Commentary (Nashville: B&H Academic, 2017), 221. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, Understanding the Bible Commentary Series (Grand Rapids: Baker, 2017), 138. ↩
- Mordechai Cogan, 1 Kings: A New Translation with Introduction and Commentary, AB Commentary (New Haven: Yale University Press, 2008), 425. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings, New American Commentary (Nashville: B&H Academic, 2017), 230. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 213. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, Understanding the Bible Commentary Series (Grand Rapids: Baker, 2017), 142. ↩
- Daniel J. Simundson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 89-90. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 118. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings, Understanding the Bible Commentary (Grand Rapids: Baker, 2017), 148. ↩
- Daniel J. Simundson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 89-90. ↩
- J. Gray, I & II Kings (London: SCM Press, 2016), 398–401. ↩
- R. D. Nelson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 113. ↩
- Mark S. Smith, The Early History of God (Grand Rapids: Eerdmans, 2017), 89–92. ↩
- D. T. Tsumura, The Theology of the Former Prophets (Winona Lake: Eisenbrauns, 2021), 214. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 115. ↩
- Walter Brueggemann, 1 & 2 Kings (Macon: Smyth & Helwys, 2017), 231-233. ↩
- Iain Provan, 1 and 2 Kings (Peabody: Hendrickson, 2016), 133–135. ↩
- Terence E. Fretheim, The Pentateuch and the Former Prophets (Nashville: Abingdon, 2020), 284. ↩
- Mordechai Cogan, 1 Kings: A New Translation (New Haven: Yale University Press, 2019), 354–355. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 226-227. ↩
- Daniel J. Simundson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 92. ↩
- Iain Provan, 1 and 2 Kings (Peabody: Hendrickson, 2017), 138–140. ↩
- Ibid, 138. ↩
- Daniel J. Simundson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 93-94. ↩
- Mordechai Cogan, 1 Kings: A New Translation with Introduction and Commentary (New Haven: Yale University Press, 2021), 415–416. ↩
- Lissa M. Wray Beal, 1 & 2 Kings (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 224. ↩
- Daniel J. Simundson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 92. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Kings (Interpretation Commentary; Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 113–114. ↩
- Mordechai Cogan, 1 Kings: A New Translation with Introduction and Commentary (AB 10; New Haven: Yale University Press, 2016), 435–436. ↩
- Lissa M. Wray Beal, 1 & 2 Kings (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 226. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Kings (Interpretation Commentary; Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 115. ↩
- Daniel J. Simundson, First and Second Kings (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 89-90. ↩
- Walter Brueggemann, Testimony to Otherwise: The Witness of Elijah and Elisha (Eugene: Wipf & Stock, 2017), 44. ↩
- Lissa M. Wray Beal, 1 & 2 Kings (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 229. ↩
- Ibid, 230. ↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2018), 146–147. ↩
- Iain W. Provan, 1 and 2 Kings (Grand Rapids: Zondervan, 2019), 133. ↩
- Mordechai Cogan and Hayim Tadmor, II Kings: A New Translation with Introduction and Commentary (New Haven: Yale University Press, 2016), 223. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings (Nashville: Thomas Nelson, 2018), 218. ↩
- Lissa M. Wray Beal, 1 & 2 Kings (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 234. ↩
- Lissa M. Wray Beal, 1 & 2 Kings (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 240. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Kings (Nashville: Thomas Nelson, 2018), 223–224. ↩
- Mordechai Cogan and Hayim Tadmor, II Kings: A New Translation with Introduction and Commentary (New Haven: Yale University Press, 2016), 231. ↩
0 Comments