I. Latar Belakang Historis Kitab 2 Samuel
-
Secara tradisional, kitab 2 Samuel dikaitkan dengan nabi Samuel sebagai penulis utamanya. Namun pandangan ini mulai dipertanyakan karena Samuel sendiri wafat sebelum sebagian besar peristiwa dalam kitab ini terjadi, khususnya yang berkaitan dengan masa kejayaan dan kejatuhan Daud setelah menjadi raja atas seluruh Israel(1). Oleh sebab itu, mayoritas sarjana Perjanjian Lama modern berpendapat bahwa kitab ini disusun oleh lebih dari satu penulis, kemungkinan besar dari kalangan para nabi atau juru catat istana. Beberapa teori menyebutkan bahwa kitab ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai sumber seperti Court History of David (Sejarah Istana Daud) dan dokumentasi administratif kerajaan(2).
Terkait waktu penulisannya, sebagian besar ahli menempatkan penyusunan kitab ini pada masa pemerintahan Daud atau segera setelahnya, kira-kira abad ke-10 atau ke-6 SM(3). Namun terdapat pula indikasi bahwa kitab ini mengalami proses penyuntingan bertahap, bahkan hingga masa setelah pembuangan di Babel. Misalnya, adanya nada reflektif mengenai kejatuhan moral dan konflik dinasti menunjukkan kemungkinan adanya penyusunan ulang oleh komunitas pascapembuangan(4). Hal ini menguatkan pandangan bahwa kitab ini tidak sekadar menyajikan catatan sejarah, tetapi merupakan historiografi teologis, sejarah yang ditafsirkan dalam terang penyertaan dan disiplin Allah. Dengan demikian, pembahasan mengenai penulis kitab 2 Samuel tidak dapat disederhanakan hanya pada satu tokoh tertentu. Penulisnya tampaknya bekerja bukan semata-mata sebagai jurnalis sejarah, tetapi sebagai teolog naratif yang ingin menunjukkan bagaimana Allah berkarya melalui kelemahan maupun keberhasilan para pemimpin manusia.
Kejujuran kitab ini dalam menampilkan dosa Daud, terutama dalam peristiwa Batsyeba, menjadi bukti bahwa tujuan penulisan kitab ini bukan untuk mengultuskan tokoh Daud, melainkan untuk menyatakan bahwa Allah tetap berdaulat sekalipun raja-Nya jatuh dalam kegagalan moral(5). Bahkan jika tidak diketahui secara pasti siapa penulis tunggalnya, gaya penulisan kitab ini menunjukkan adanya keutuhan visi teologis: Allah tidak hanya hadir dalam kemenangan peperangan, tetapi juga dalam proses koreksi, disiplin, dan pemulihan. Dengan demikian, pembaca diajak melihat bahwa sejarah kerajaan Daud bukan semata-mata catatan politik, melainkan perwujudan dari anugerah dan penghakiman Allah yang bekerja dalam realitas manusia. Identitas penulis mungkin samar, tetapi pesan ilahi yang hendak disampaikan tetap terang.
-
Masa pemerintahan Daud menandai periode penting dalam sejarah Israel, di mana bangsa yang sebelumnya terbagi menjadi suku-suku independen mulai dipersatukan menjadi sebuah kerajaan yang lebih terstruktur secara politik dan administratif(6). Daud tidak hanya menaklukkan wilayah musuh seperti Filistin, Moab, dan Ammon, tetapi juga memperkuat struktur pemerintahan dalam negeri melalui pengangkatan pejabat istana, sistem militer, dan penataan wilayah administratif. Hal ini mencerminkan upaya konsolidasi kekuasaan yang bukan sekadar bersifat militer, tetapi juga politik dan ekonomi, yang berfungsi menjaga stabilitas kerajaan di bawah kepemimpinan pusat.
Secara sosial, masyarakat Israel pada masa Daud berada dalam dinamika transformasi yang kompleks. Pemindahan tabut perjanjian ke Yerusalem (2 Samuel 6) bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga langkah strategis yang memperkuat pusat legitimasi politik melalui simbol keagamaan(7).
Simbol konsolidasi politik dan sosial serta integrasi keagamaan pada masa pemerintahan Daud (2 Samuel 5-6).
Dengan menempatkan Yerusalem sebagai ibu kota politik sekaligus pusat ibadah, Daud menegaskan integrasi antara kuasa politik dan spiritual. Dalam konteks ini, para pemimpin dan warga disadarkan akan keterkaitan erat antara ketaatan kepada Allah dan stabilitas nasional, sebuah prinsip yang menjadi tema sentral sepanjang kitab ini.
Selain itu, konflik internal antar keluarga dan fraksi istana menonjol sebagai bagian dari dinamika sosial-politik pada masa itu. Pemberontakan Absalom dan ketegangan antara rumah Saul dan Daud menunjukkan bahwa kekuasaan raja selalu terikat dengan hubungan interpersonal yang rumit serta pengaruh suku-suku yang berbeda(8). Tantangan-tantangan ini tidak hanya bersifat politik, tetapi juga moral dan religius, karena pengambilan keputusan raja selalu menjadi cermin tanggung jawabnya di hadapan Allah dan rakyatnya. Dengan kata lain, kepemimpinan di Israel masa itu tidak dapat dilepaskan dari dimensi teologis; setiap keputusan politik memiliki implikasi rohani.
Ekonomi dan jaringan perdagangan juga menjadi bagian penting dari konteks sosial-politik. Keberhasilan Daud dalam menguasai kota-kota penting dan wilayah strategis memperkuat sistem pajak dan distribusi sumber daya, memungkinkan kerajaan untuk mendukung tentara, pelayan istana, dan kegiatan keagamaan. Analisis historis menunjukkan bahwa stabilitas sosial Israel pada masa ini sangat bergantung pada kemampuan raja untuk mengelola hubungan antara kekuatan militer, elit politik, dan warga biasa secara berimbang(9).
Dengan memahami konteks sosial-politik ini, pembaca dapat melihat bahwa Kitab 2 Samuel bukan hanya menyajikan narasi pribadi Daud, tetapi juga teologi sejarah yang menghubungkan keberhasilan maupun kegagalan raja dengan keterlibatan Allah dalam kehidupan sosial dan politik Israel. Hal ini memberikan pemahaman mendalam bahwa kepemimpinan yang efektif dalam sejarah Israel selalu bersifat holistik, memadukan aspek politik, sosial, dan spiritual dalam satu kerangka yang harmonis(10).
-
Kitab 2 Samuel tidak hanya ditulis sebagai catatan sejarah kerajaan Daud, tetapi sebagai narasi teologis yang bertujuan membentuk cara umat Israel memahami karya Allah dalam perjalanan bangsa mereka. Banyak ahli menegaskan bahwa kitab ini merupakan bagian dari apa yang disebut “Sejarah Deuteronomistik”, yakni rangkaian tulisan dari Ulangan hingga Raja-Raja yang disusun untuk menunjukkan bahwa seluruh dinamika politik bangsa Israel dipahami dalam terang ketaatan atau ketidaktaatan kepada Allah.(11) Dengan demikian, tujuan utama kitab ini bukan sekadar mendokumentasikan kisah-kisah kepahlawanan Daud, melainkan menunjukkan bahwa keberhasilan dan kegagalan pemimpin Israel ditentukan bukan oleh strategi politik atau kekuatan militer, tetapi oleh relasi mereka dengan Tuhan.
Kemungkinan besar, kitab ini pertama kali ditujukan kepada umat Israel yang hidup setelah masa pembuangan, atau setidaknya mereka yang sedang mengalami krisis identitas sebagai bangsa.(12) Dengan mengangkat kembali kisah pemerintahan Raja Daud, umat yang tercerai-berai disegarkan oleh harapan bahwa Allah tidak pernah benar-benar meninggalkan mereka, bahkan ketika mereka mengalami kehancuran politik. Narasi ini berfungsi sebagai “cermin sejarah” yang mengajak bangsa Israel untuk bercermin dan bertanya: apakah mereka ingin meneladani Daud yang bertobat dan kembali kepada Allah, atau justru mengikuti jejak Saul yang keras hati dan mengalami kejatuhan tragis?
Lebih dari sekadar penghiburan historis, kitab ini juga memiliki nilai pengajaran dan koreksi. Penulisan ulang peristiwa-peristiwa kelam seperti dosa Daud dengan Batsyeba atau pemberontakan Absalom menunjukkan bahwa kitab 2 Samuel bukanlah propaganda kerajaan yang hanya menampilkan sisi gemilang sang raja. Sebaliknya, kitab ini jujur dalam menggambarkan kelemahan dan kegagalan, agar umat belajar dari sejarah dan memperbarui hidup mereka di hadapan Allah.(13)
Sebaliknya, kitab ini menegaskan bahwa bahkan pemimpin terbesar Israel tetap tunduk pada penghakiman Allah. Dengan demikian, tujuan kitab ini juga bersifat profetis, memperingatkan setiap pemimpin atau umat agar tidak menyalahgunakan kuasa. Pada akhirnya, kitab 2 Samuel menyajikan visi tentang pemerintahan ideal yang berpusat pada Allah, bukan pada manusia. Raja Daud digambarkan bukan sebagai pahlawan tanpa cela, tetapi sebagai raja yang besar karena ia mau merendahkan diri di hadapan Allah. Narasi ini mengantar pembaca untuk berharap bukan pada seorang raja duniawi, melainkan pada keturunan Daud yang dijanjikan akan memerintah dengan keadilan kekal.(14) Dengan demikian, kitab ini tidak hanya bersifat historis atau moral, tetapi juga eskatologis, mengarahkan pandangan umat kepada masa depan keselamatan yang sempurna.
Ditulis untuk Generasi yang Hancur dan Generasi yang Dibangkitkan Kembali.
-
Dalam kanon Ibrani, Kitab 2 Samuel tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari satu kesatuan besar yang dikenal sebagai Nevi’im Rishonim (Nabi-Nabi Awal), bersama dengan Yosua, Hakim-Hakim, 1 Samuel, dan 1-2 Raja-Raja.(15) Dengan demikian, kitab ini dipahami bukan hanya sebagai karya historiografi, tetapi sebagai teks profetis yang menafsirkan sejarah Israel dalam terang kehendak Allah. Di dalam struktur tersebut, 2 Samuel menempati posisi transisional yang sangat penting: ia menjadi jembatan dari masa suku-suku yang longgar menuju pemerintahan monarki yang kokoh secara politik sekaligus fundamental secara teologis.
Dalam kanon Kristen, 2 Samuel ditempatkan setelah 1 Samuel dan sebelum 1 Raja-Raja, mempertahankan kesinambungan naratif dari masa pemerintahan Saul ke masa pemerintahan Daud dan akhirnya menuju keruntuhan moral generasi selanjutnya.(16) Penempatan ini memiliki makna teologis yang mendalam: ia mengingatkan umat bahwa sejarah umat Allah bergerak bukan secara linier menuju kejayaan duniawi, tetapi secara siklik antara ketaatan, kejatuhan, pertobatan, dan pemulihan.
Titik Poros Kanon yang Menyambungkan Sejarah dan Janji Mesias.
Dengan demikian, 2 Samuel bukan sekadar “masa keemasan Daud”, tetapi juga “cermin” bagi setiap generasi untuk merenungkan bahwa sekalipun Allah mengangkat, Ia juga menghukum demi menciptakan kembali kesetiaan. Secara teologis, posisi kitab ini menjadi sangat strategis karena dari sinilah muncul salah satu tema terpenting dalam keseluruhan Alkitab yaitu Perjanjian Daud (2 Sam. 7). Perjanjian ini menjadi dasar bagi pengharapan mesianis Israel bahwa akan datang seorang raja dari keturunan Daud yang akan memerintah untuk selama-lamanya.(17) Oleh sebab itu, 2 Samuel tidak hanya dibaca oleh umat Israel sebagai kisah masa lalu, tetapi juga sebagai “kompas eskatologis” yang menunjuk ke masa depan, hingga akhirnya digenapi dalam pribadi Yesus Kristus menurut pemahaman Perjanjian Baru (Mat. 1:1; Luk. 1:32–33). Dengan demikian, posisi Kitab 2 Samuel dalam kanon bukanlah sekadar urutan literer, melainkan fondasi teologis yang menjelaskan bagaimana Allah bekerja melalui sejarah manusia, memakai seorang raja yang lemah dan tidak sempurna untuk menyatakan rencana kekal-Nya. Kitab ini berdiri sebagai pengingat bahwa Allah bukan hanya Tuhan atas ibadah, tetapi juga atas politik, keluarga, peperangan, dan kegagalan manusia. Di sinilah letak kekuatan 2 Samuel: ia mengajarkan bahwa kerajaan Allah tidak hadir dalam dunia yang steril, tetapi justru bertumbuh dari tanah yang penuh luka dan pertobatan.
II. Struktur Naratif Kitab 2 Samuel
-
Kisah pembuka Kitab 2 Samuel tidak dimulai dengan kemenangan politik atau deklarasi kekuasaan Daud, melainkan dengan air mata. Bukannya bersukacita atas kematian Saul yang selama ini mengejarnya, Daud justru merespons berita duka itu dengan kesedihan mendalam. Ia merobek pakaiannya, menangis, berpuasa, dan bahkan mengadili orang Amalek yang mengaku membunuh Saul, bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai kriminal.(18) Reaksi ini menunjukkan bahwa bagi Daud, kerajaan bukanlah ambisi pribadi melainkan karya Allah; karena itu ia tidak bersukacita atas kehancuran musuhnya, terlebih ketika yang mati adalah “orang yang diurapi Tuhan” (2 Sam. 1:14). Dengan demikian, narasi ini sejak awal membentuk paradigma pembaca bahwa kepemimpinan yang saleh tidak dibangun di atas dendam atau perebutan kekuasaan, tetapi penghormatan terhadap kehendak Allah. Ratapan Daud atas Saul dan Yonatan (ay. 19-27), yang sering disebut The Song of the Bow, bukan hanya ekspresi emosional, tetapi juga karya puisi liturgis yang sarat makna teologis. Dalam struktur Ibrani kuno, penulisan ratapan semacam ini bukan sekadar untuk mengenang, tetapi untuk mengajarkan umat tentang bagaimana memaknai kematian dan kehancuran dalam terang iman.(19)
Daud tidak menutupi kesalahan Saul, tetapi ia memilih untuk menonjolkan keberanian dan keperkasaannya, seakan ingin mengajarkan bahwa bahkan pemimpin yang jatuh sekalipun tetap harus dihormati karena jabatan yang pernah Allah berikan kepadanya. Secara naratif, perikop ini berfungsi sebagai pembersihan hati sebelum Daud memasuki tahta kerajaan. Ia tidak naik dengan membawa trauma dendam, melainkan dengan hati yang telah diproses melalui duka dan kasih. Dalam kerangka teologi kepemimpinan Perjanjian Lama, seorang pemimpin sejati bukan hanya ahli strategi, tetapi juga mampu menangis bagi bangsanya.(20) Dengan demikian, 2 Samuel pasal 1 meneguhkan bahwa air mata adalah bagian dari spiritualitas kerajaan Allah, bahwa jalan menuju kuasa sering kali dimulai dari kerendahan hati dan empati yang tulus. Ratapan ini juga menjadi cermin bagi pembacanya, baik pada masa Daud maupun generasi Israel setelah pembuangan. Di tengah kehilangan, Tuhan mengizinkan umat-Nya menangis, tetapi bukan dalam keputusasaan, melainkan dalam pengharapan bahwa Allah tetap bekerja bahkan dalam kematian seorang raja. Maka cerita 2 Samuel tidak dimulai dengan “Daud naik tahta”, tetapi dengan “Daud meratap”; sebab hanya mereka yang tahu cara meratap dengan benar yang layak memimpin dengan benar.
-
Setelah masa ratapan dan persiapan spiritual, Daud diurapi sebagai raja atas Yehuda di Hebron (2 Sam. 2:1-4), menandai awal resmi kepemimpinannya secara politik. Pengurapan ini tidak sekadar simbol formalitas, melainkan tindakan teologis yang menunjukkan bahwa Allah memilih Daud sebagai pemimpin sesuai kehendak-Nya, bukan karena ambisi pribadi atau pengaruh manusia semata.(21) Tindakan para pemimpin suku Yehuda yang hadir dalam pengurapan menegaskan prinsip legitimasi politik dalam konteks sosial Israel: kuasa raja harus diakui oleh komunitas umat yang dipimpin, sekaligus menegaskan keterlibatan Allah dalam sejarah manusia.
Proses pengurapan ini juga menandai awal periode konsolidasi internal. Meski hanya atas Yehuda, pengurapan ini menjadi fondasi penting bagi Daud untuk kemudian diperluas menjadi pengaruh atas seluruh Israel. Dalam konteks naratif 2 Samuel, pengurapan ini mengajarkan bahwa kepemimpinan yang benar selalu diawali dengan pengakuan akan otoritas Allah dan kerendahan hati sang pemimpin.(22)
Awal kepemimpinan ilahi yang diakui oleh rakyat dan pemimpin suku.
Daud tidak segera merebut kekuasaan dari suku-suku lain dengan cara paksa; ia menunggu legitimasi Allah dan pengakuan rakyat Yehuda, sebuah teladan kepemimpinan yang bijaksana dan berlandaskan iman. Secara teologis, perikop ini menegaskan hubungan erat antara ritual keagamaan dan politik dalam Israel. Pengurapan dengan minyak suci bukan sekadar tanda status, tetapi penegasan bahwa setiap tindakan politik seorang raja harus sejalan dengan kehendak Allah. Dengan demikian, momen ini bukan hanya awal kekuasaan manusia, tetapi juga pengingat bahwa seluruh sejarah bangsa Israel berada di tangan Allah, yang mengangkat dan menuntun pemimpin sesuai rencana ilahi.(23) Narasi 2 Samuel 2:1-7 mengajarkan pula bahwa kepemimpinan yang sah dan efektif selalu membutuhkan pengakuan sosial dan spiritual. Kehadiran pemimpin suku dan imam dalam pengurapan menegaskan bahwa Daud bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pemimpin spiritual yang memimpin rakyat dalam kesetiaan kepada Allah. Dengan demikian, pengurapan Daud di Hebron menjadi model teologis bagi pembaca mengenai bagaimana Allah bekerja melalui legitimasi manusiawi yang disinergikan dengan kehendak ilahi.
-
Setelah Daud diangkat menjadi raja atas Yehuda, muncul ketegangan politik yang cukup tajam. Abner bin Ner, panglima militer dari kerajaan Saul, menetapkan Ish-boset sebagai raja atas wilayah Israel di Mahanaim (2 Sam. 2:8-9). Akibatnya, Israel memasuki masa kepemimpinan ganda: Daud memerintah Yehuda di selatan, sementara Ish-boset memimpin Israel di utara. Kisah ini menggambarkan betapa kompleksnya dinamika kekuasaan di zaman kuno, di mana kepemimpinan rohani yang telah Allah tetapkan bagi Daud harus berhadapan dengan warisan kekuasaan lama yang masih kuat secara sosial dan militer.(24)
Pertempuran di kolam Gibeon (2 Sam. 2:12-17) menggambarkan secara dramatis bagaimana konflik politik sering kali meledak menjadi konflik militer. Namun yang menarik, meskipun Daud memiliki legitimasi ilahi, ia tidak secara pribadi terlibat dalam pertempuran itu, justru para panglimanya yakni Yoab dan Abisai, yang memimpin pasukan.(25) Hal ini menunjukkan bahwa Daud tetap menjaga jarak dari pertumpahan darah yang tidak perlu, seolah-olah menegaskan bahwa perebutan tahta bukan urusan ambisi pribadi, tetapi harus terjadi melalui proses yang Allah sendiri izinkan dalam sejarah.
Narasi 2 Samuel 3:1 secara eksplisit menyatakan bahwa “Perang antara keluarga Saul dan keluarga Daud berlangsung lama akan tetapi Daud makin lama makin kuat, sedangkan keluarga Saul makin lama makin lemah.” Pernyataan ini bukan sekadar laporan sejarah, melainkan penilaian teologis atas dua bentuk kekuasaan bahwa yang satu berdiri atas pilihan Allah, dan yang lain bertahan hanya oleh struktur manusia.(26) Bahkan ketika Abner kemudian berbalik mendukung Daud (2 Sam. 3:6-21), yang menjadi faktor penentu bukan diplomasi atau kekuatan militer, tetapi kesadaran bahwa Allah telah menetapkan Daud sebagai raja atas seluruh Israel. Dengan demikian, kemenangan Daud tidak dipahami sebagai hasil strategi politik, melainkan sebagai penggenapan janji Allah yang berjalan melalui proses yang panjang dan sering kali penuh konflik. Perikop ini mengajarkan bahwa dalam sejarah umat Allah, pergumulan antara yang sah secara rohani dan yang kuat secara struktural tidak selalu terselesaikan secara instan. Allah tidak selalu menghapus oposisi secara ajaib, tetapi sering kali membiarkan proses sejarah berjalan untuk membuktikan keabsahan kepemimpinan yang sejati. Narasi ini bukan hanya laporan konflik perebutan takhta, melainkan cermin bagi pembaca bahwa setiap kepemimpinan yang bertahan di luar kehendak Allah pada akhirnya akan runtuh, sedangkan yang berdiri dalam kebenaran akan diteguhkan melalui waktu.
-
Peristiwa pembunuhan Abner oleh Yoab (2 Sam. 3:22-30) merupakan salah satu momen paling kompleks dalam narasi kepemimpinan Daud. Setelah Abner menyatakan kesediaannya untuk mengalihkan seluruh Israel kepada Daud, Yoab, atas dendam pribadi karena kematian Asael saudaranya, ia membunuh Abner secara licik di gerbang kota Hebron. Tindakannya tidak hanya melanggar etika peperangan kuno, tetapi juga mengancam stabilitas politik proses penyatuan Israel.(27) Menariknya, Daud tidak sekadar menolak keterlibatan, tetapi secara publik meratapi Abner dan mengutuk rumah Yoab (3:31-39), seolah ingin menegaskan bahwa pemerintahannya tidak dibangun di atas kekerasan yang tidak sah. Tindakan ini memperlihatkan etos kepemimpinan Daud yang bukan hanya mengejar kekuasaan, tetapi menjaga integritas moral dan spiritual negara.
Kematian Isyboset (2 Sam. 4:1-12) menambah dimensi lain dalam narasi ini. Setelah mendengar Abner mati, Isyboset kehilangan keberanian dan seluruh Israel gentar, menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan yang berdiri tanpa dasar ilahi.(28) Dua prajurit yang membunuh Isyboset mengira mereka membawa “kabar baik” kepada Daud, namun justru dihukum mati karena mereka bertindak tanpa mandat Allah. Sama seperti ketika Daud menolak membunuh Saul, ia menolak memperoleh kekuasaan melalui kekerasan manusia. Dengan begitu, teks ini menegaskan bahwa Daud tidak hanya menjadi raja karena kemampuan politiknya, tetapi karena ia menolak cara-cara yang tidak kudus dalam meraih tahta.
Sikap Daud terhadap pembunuhan Abner dan Isyboset memiliki muatan teologis yang mendalam bahwa kedaulatan Allah tidak dapat ditegakkan melalui tangan kotor manusia, bahkan jika hasil akhirnya tampak baik secara politis. Kepemimpinan yang sejati bukan hanya tentang berada di takhta, tetapi tentang bagaimana seseorang sampai ke sana. Di sinilah perbedaan antara Daud dan para oportunis politik lainnya bahwa Daud menolak menjadi raja dengan jalan kekerasan, karena ia percaya bahwa Allah sendiri yang akan mengokohkan tahtanya pada waktu-Nya.(29) Kisah ini juga berbicara tentang bahaya ambisi religius yang dibungkus sebagai pelayanan. Orang-orang yang membunuh Isyboset mengira mereka sedang membantu rencana Allah, tetapi dalam kenyataannya mereka hanya memperalat nama Allah untuk ambisi pribadi. Ini menjadi peringatan bagi setiap pemimpin rohani maupun politik bahwa tidak semua tindakan yang mengatasnamakan Tuhan benar-benar mewakili kehendak-Nya. Sejarah Kerajaan Daud menunjukkan bahwa kebenaran tidak bisa ditegakkan dengan cara yang salah. Allah tidak hanya memperhatikan tujuan, tetapi juga memperhitungkan jalan yang ditempuh menuju tujuan itu.
-
Setelah masa panjang konflik antara rumah Saul dan rumah Daud, akhirnya seluruh tua-tua Israel datang kepada Daud di Hebron dan berkata, “Sesungguhnya, kami ini darah dagingmu” (2 Sam. 5:1). Pernyataan ini bukan sekadar deklarasi politik, tetapi pengakuan relasional yang kuat bahwwa mereka tidak hanya menerima Daud sebagai pemimpin secara struktural, tetapi mengakui adanya kedekatan identitas sebagai satu umat. Mereka juga teringat bahwa bahkan ketika Saul masih berkuasa, Daudlah yang memimpin pasukan Israel keluar masuk medan perang. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kepemimpinan Daud sudah lama dikenal dan dihormati, jauh sebelum ia secara resmi diangkat sebagai raja. Pengakuan atas peran strategis Daud dalam peperangan menjadi bukti bahwa Allah telah mempersiapkan dan memperlengkapi dia untuk memimpin umat-Nya sejak awal.(30)
Momen pengurapan Daud sebagai raja atas seluruh Israel di Hebron (2 Sam. 5:3) bukan hanya peristiwa politik, tetapi titik balik rohani yang sangat penting. Ketika para tua-tua Israel datang dan Daud mengikat perjanjian dengan mereka di hadapan TUHAN, kita melihat bahwa dasar pemerintahan Daud bukanlah kekuatan militer atau tradisi semata, melainkan komitmen spiritual yang melibatkan Allah sebagai saksi utama.(31)
Dengan perjanjian itu, kerajaan Israel tidak lagi sekadar menjadi sistem pemerintahan, tetapi berubah menjadi komunitas perjanjian, sebuah bangsa yang hidup dalam ikatan relasi antara Allah, sang raja, dan umat-Nya. Inilah fondasi teologis yang membedakan kepemimpinan Daud dari model kekuasaan duniawi.
Penulis mencatat bahwa Daud berumur tiga puluh tahun ketika ia menjadi raja, dan lamanya ia memerintah adalah empat puluh tahun (2 Sam. 5:4). Angka ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan simbol kepenuhan dalam tradisi iman Israel, sebuah tanda bahwa Allah sedang menyempurnakan rencana-Nya melalui kehidupan seorang raja yang dipilih-Nya.(32) Kerajaan Daud bukan hanya struktur pemerintahan, ia adalah gambaran dari kerajaan yang berakar pada perjanjian kudus. Di dalamnya, kita melihat tiga pilar utama yang menopang otoritas ilahi yakni pengakuan umat, pengurapan oleh Allah, dan perjanjian yang mengikat antara Tuhan, raja, dan umat-Nya. Daud tidak naik tahta karena ambisi pribadi, melainkan karena panggilan surgawi yang diteguhkan oleh komunitas dan disahkan dalam perjanjian kudus.
Inilah cikal bakal pengharapan mesianik, bahwa dari keturunan Daud akan lahir Sang Raja Damai, yang memerintah bukan dengan pedang, melainkan dengan kasih dan kebenaran. Maka, ketika kita merenungkan kerajaan Daud, kita tidak hanya melihat sejarah, tetapi juga janji bahwa Allah setia menegakkan pemerintahan-Nya di tengah umat yang bersedia hidup dalam perjanjian.
Dengan demikian, puncak pengangkatan Daud bukanlah sekadar keberhasilan politik atau kemenangan strategi manusia. Ia adalah buah dari rencana Allah yang digenapi melalui sejarah yang panjang, melintasi konflik, penantian, dan kesetiaan. Kerajaan Allah tidak pernah dibangun secara instan; ia ditegakkan di atas dasar ketaatan, kesabaran, dan penghormatan terhadap cara kerja Allah yang sering kali tersembunyi namun pasti.
Daud tidak merebut tahta dengan paksa, tidak memanipulasi keadaan demi ambisi pribadi. Justru sebaliknya, ia menanti, memberi ruang bagi Allah untuk bertindak, dan menolak jalan kekuasaan yang kotor. Dan ketika waktunya tiba, bukan Daud yang memaksa Israel, tetapi Israel yang datang kepadanya, memohon agar ia memerintah. Di sinilah kita belajar bahwa kepemimpinan sejati bukan sesuatu yang dikejar, tetapi sesuatu yang dipercayakan, lahir dari karakter, bukan dari perebutan; dari panggilan, bukan dari paksaan.
-
Salah satu tonggak penting dalam kepemimpinan Daud adalah keberhasilannya merebut Yerusalem dari tangan orang Yebus (2 Sam. 5:6-10). Kota ini sebelumnya tidak pernah dikuasai sepenuhnya oleh Israel, bahkan sejak zaman Yosua.(33) Ketika Daud mendekati kota itu, orang Yebus dengan sombong berkata bahwa bahkan orang buta dan lumpuh pun dapat mempertahankannya (ay. 6), suatu bentuk ejekan yang menunjukkan bahwa mereka menganggap Yerusalem tidak mungkin ditembus. Namun narator segera menegaskan bahwa Daud merebut kubu pertahanan Sion, dan kota itu kemudian disebut sebagai “Kota Daud” (ay. 7). Perubahan nama ini bukan hanya bersifat topografis, melainkan teologis: kota yang dulunya menjadi simbol perlawanan terhadap Allah kini menjadi pusat pemerintahan ilahi.(34)
Penaklukan Yerusalem bukan hanya bukti kecerdasan strategi Daud, tetapi juga cerminan dari kepekaan rohaninya. Bukannya menjadikan Hebron kota leluhurnya sebagai ibu kota permanen, justru Daud memilih Yerusalem karena letaknya netral secara politis, tidak dimiliki oleh suku mana pun sehingga dapat menjadi simbol pemersatu seluruh Israel.(35) Namun yang lebih mendalam, Yerusalem kemudian menjadi tempat Tabut Perjanjian bersemayam (2 Sam. 6). Di sinilah pusat pemerintahan dan pusat ibadah dipersatukan. Daud memahami bahwa kedaulatan politik tanpa kehadiran Allah adalah kosong. Ia tidak hanya membangun kota, tetapi membangun altar; tidak hanya menata kekuasaan, tetapi menata penyembahan.
Penaklukan Yerusalem bukan sekadar kemenangan militer, melainkan langkah menuju sinkronisasi antara kerajaan manusia dan kerajaan Allah. Di sana, kita melihat bahwa pemerintahan sejati lahir ketika takhta dan mezbah berdiri berdampingan, ketika raja tunduk kepada Raja segala raja.
Kisah selanjutnya (2 Sam. 5:17-25) memperlihatkan dua kemenangan Daud atas orang Filistin. Setiap kali diserang, Daud tidak langsung mengambil keputusan militer, tetapi terlebih dahulu bertanya kepada Tuhan (ay. 19, 23). Hal ini menegaskan bahwa meskipun Daud adalah panglima yang ulung, ia menolak menggantungkan keberhasilannya pada pengalaman atau kekuatan militernya sendiri.(36) Dalam kemenangan di Baal-Perasim, Daud menyatakan, “Tuhan telah menerobos musuhku di depanku seperti air menerobos” (ay. 20), suatu pengakuan bahwa kemenangan bukan hasil taktik manusia, tetapi intervensi ilahi.
Menariknya, pada pertempuran kedua, Tuhan memberikan strategi yang berbeda: bukan menyerang langsung, tetapi menunggu suara langkah-langkah di puncak pohon kertau (ay. 24). Ini bukan sekadar taktik kamuflase, melainkan latihan ketaatan, Daud harus belajar bahwa tidak semua peperangan dimenangkan dengan cara yang sama, dan tidak ada keberhasilan rohani yang boleh dijadikan rumus tetap.(37)
Kepemimpinan Daud menjadi cermin bagi iman kita, bahwa kemenangan sejati bukan terletak pada keberanian untuk menyerang, melainkan pada kepekaan untuk mendengar suara Tuhan dan bergerak hanya ketika Ia memerintahkan. Daud bukan hanya seorang raja yang kuat, tetapi seorang hamba yang tahu kapan harus melangkah dan kapan harus menanti dalam diam. Yerusalem menjadi kota kudus bukan karena kekuatan temboknya, tetapi karena fondasinya adalah ketaatan dan kehadiran Allah. Di sana, Daud tidak sekadar menaklukkan wilayah, ia menundukkan hatinya kepada kehendak Tuhan. Penaklukan Yerusalem bukan hanya pencapaian militer, tetapi langkah iman menuju sinkronisasi antara kerajaan manusia dan kerajaan Allah. Kekuatan sejati seorang pemimpin tidak diukur dari banyaknya peperangan yang ia menangkan, tetapi dari seberapa dalam ia tunduk kepada pimpinan Tuhan dalam setiap pergumulan. Di dalam Daud, kita melihat bahwa otoritas yang sejati lahir dari ketaatan, bukan dari ambisi; dari penyerahan diri, bukan dari perebutan kuasa.
Daud Menjawab Ejekan dengan Strategi dan Iman (2 Sam. 5:6–10)
-
Tabut Allah, yang sering disebut sebagai “takhta Tuhan yang bersemayam di atas kerub-kerub”, adalah lambang paling nyata dari kehadiran ilahi di tengah umat Israel.(38) Ia bukan sekadar benda suci atau ornamen ibadah, melainkan tanda otoritas Allah yang hidup dan bekerja dalam sejarah umat-Nya. Sejak zaman Musa hingga masa para hakim, Tabut itu menyertai Israel: dalam peperangan, dalam penyembahan, bahkan dalam penghukuman ketika umat memperlakukannya dengan sembarangan.
Maka ketika Daud memutuskan untuk membawa Tabut Allah ke Yerusalem, ia tidak sekadar memindahkan benda sakral. Ia sedang memindahkan pusat spiritual bangsa ke kota yang baru ia tetapkan sebagai pusat pemerintahan. Dalam tindakan ini, Daud menyatukan takhta dan mezbah, politik dan penyembahan, kekuasaan dan kehadiran Allah. Yerusalem tidak hanya menjadi ibu kota secara administratif, tetapi juga menjadi jantung rohani umat, tempat Allah berdiam di tengah-tengah bangsa-Nya.(39) Motivasi Daud bersifat ganda, politik dan spiritual berpadu dalam satu visi.
Sebagai seorang negarawan, ia memahami bahwa sebuah kerajaan yang kokoh tidak cukup hanya dibangun di atas kekuatan militer. Ia membutuhkan legitimasi ilahi, pengakuan dari seluruh suku Israel bahwa Allah sendirilah yang menetapkan kepemimpinannya. Maka, ketika Daud membawa Tabut Allah ke Yerusalem, ia tidak sekadar menetapkan pusat pemerintahan, tetapi juga memusatkan kehadiran Allah di jantung bangsa. Namun lebih dari itu, sebagai seorang penyembah, Daud tidak hanya menginginkan Allah berpihak kepadanya dalam peperangan. Ia merindukan Allah berdiam bersamanya, menjadi pusat hidup, bukan sekadar pelindung kekuasaan. Di sinilah kita melihat bahwa bagi Daud, pemerintahan bukan soal dominasi, tetapi soal kemitraan rohani. Ia memerintah bukan dari ambisi, tetapi dari penyembahan; bukan dari kekuatan, tetapi dari keintiman dengan Tuhan.(40) Apa yang awalnya tampak sebagai peristiwa mulia, pengangkutan Tabut Allah ke Yerusalem, mendadak berubah menjadi tragedi ketika Uza mati karena menyentuh Tabut. Bagi pembaca masa kini, kisah ini mungkin mengejutkan. Namun bagi umat Israel kuno, kematian Uza adalah peringatan yang mendalam, bahwa Allah yang hadir di tengah umat-Nya adalah Allah yang kudus, dan kekudusan-Nya tidak bisa diperlakukan sembarangan.(41)
Kesalahan Uza bukan sekadar menyentuh benda suci, tetapi memperlakukan kekudusan Allah seolah-olah bisa dikendalikan oleh tangan manusia. Daud pun menjadi takut, bukan karena Allah kejam, tetapi karena ia tersadar bahwa ibadah sejati tidak cukup hanya dengan niat yang tulus. Ia harus dibangun di atas ketaatan yang benar. Kesalehan tanpa ketaatan adalah bahaya yang nyata; semangat rohani tanpa hormat pada tata cara ilahi bisa berujung pada kehancuran. Dalam momen ini, kita diingatkan bahwa Allah bukan hanya sahabat yang dekat, tetapi juga Raja yang kudus. Dan di hadapan-Nya, penyembahan bukanlah soal perasaan semata, tetapi soal tunduk sepenuhnya pada kehendak-Nya. Setelah tiga bulan Tabut Allah tinggal di rumah Obed-Edom, Daud melanjutkan prosesi pemindahan Tabut ke Yerusalem dengan sikap yang jauh lebih rendah hati dan tata ibadah yang lebih sesuai. Kali ini, Daud menari dengan segenap tenaga, mengenakan efod dari kain lenan, simbol kerendahan hati seorang raja yang rela menanggalkan kemegahan lahiriahnya demi menghormati kehadiran Tuhan.(42)
Ibadah Daud tidak dibatasi oleh formalitas; tubuhnya ikut bersukacita bersama roh yang menyembah, menari bukan untuk tontonan, tetapi sebagai ungkapan cinta kepada Allah. Namun justru sikap ini menimbulkan ketegangan dengan Mikhal, istrinya, yang memandang tarian Daud sebagai sesuatu yang memalukan dan tidak pantas bagi seorang raja. Di sinilah muncul pertentangan antara dua bentuk liturgi yaitu liturgi hati yang lahir dari penyembahan sejati, dan liturgi status sosial yang terikat pada citra dan kehormatan manusia. Bagi Mikhal, martabat harus dijaga; bagi Daud, kemuliaan Allah harus dirayakan, meskipun itu berarti ia tampak rendah di mata manusia. Daud mengajarkan kita bahwa penyembahan sejati tidak selalu rapi di mata dunia, tetapi selalu indah di mata Tuhan. Ketika hati dipenuhi sukacita karena kehadiran Allah, tubuh pun ikut menari, dan kemuliaan Tuhan menjadi satu-satunya alasan untuk bersorak. Peristiwa ini mengajarkan bahwa ibadah yang benar selalu menyeimbangkan hormat terhadap kekudusan Allah dan sukacita karena kehadiran-Nya. Gereja masa kini pun harus bertanya: Apakah kita lebih takut menghormati tradisi ibadah daripada takut kehilangan hadirat Allah? Dan secara pribadi, kita patut bertanya kepada diri sendiri: Apakah kita sungguh memandang Tuhan sebagai Raja yang kudus, sekaligus Sahabat yang layak dirayakan dengan tarian jiwa?
-
Pasal 7 dalam Kitab 2 Samuel sering disebut oleh para teolog sebagai “Gunung Sinai kedua” dalam sejarah Israel.(43) Jika perjanjian Sinai membentuk Israel sebagai umat Allah secara komunal, maka perjanjian dengan Daud membentuk Israel secara kerajaan dan mesianik. Perikop ini menjadi salah satu pilar utama dalam teologi Perjanjian Lama, sebab darinya lahir konsep “Dinasti Daud yang kekal”, yang kemudian menjadi dasar bagi pengharapan Mesias.(44)
Konteksnya dimulai ketika Daud, yang telah mapan di istananya, menyatakan keinginannya membangun rumah bagi Tuhan. Niat itu tampak saleh, namun respons Tuhan mengejutkan: “Bukan engkau yang akan mendirikan rumah bagi-Ku, melainkan Aku yang akan mendirikan rumah bagimu.” (2 Sam. 7:11). Di sini terlihat bahwa Tuhan tidak membutuhkan manusia untuk membangun kemuliaan-Nya; sebaliknya manusia yang membutuhkan Tuhan untuk menegakkan kehidupannya.(45)
Janji Allah kepada Daud mencakup tiga aspek utama: (1) Nama yang besar "reputasi yang akan dikenang sepanjang zaman", (2) Tempat yang aman bagi Israel, "stabilitas nasional yang bersumber dari pemerintahan ilahi", dan (3) Takhta yang kekal "kerajaan yang tidak akan lenyap meskipun keturunan Daud jatuh dan bangkit".(46) ketiga Unsur inilah yang kemudian membentuk fondasi teologi Mesianik dalam seluruh Alkitab. Bahkan ketika kerajaan Daud secara historis runtuh pada masa pembuangan, nabi-nabi tetap memegang janji ini dan menantikan “Tunas dari tunggul Isai.” (Yes. 11:1). Harapan itu mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus, yang disebut oleh Injil sebagai “Anak Daud.” Namun lebih dari itu, teks ini menampilkan kontras antara rencana manusia dan rencana Allah. Daud ingin membangun rumah fisik bagi Tuhan; Tuhan malah berjanji membangun rumah rohani bagi Daud. Ini menunjukkan bahwa dalam relasi iman, inisiatif selalu milik Allah. Kesalehan manusia tetap penting, tetapi tidak boleh berubah menjadi ambisi religius yang ingin “membalas budi” kepada Tuhan. Kadang manusia ingin bekerja bagi Tuhan, tetapi Tuhan lebih ingin bekerja di dalam manusia. Perikop ini menantang orang percaya masa kini untuk bertanya: Apakah pelayanan kita lahir dari kerinduan untuk memuliakan Tuhan, atau untuk merasa berguna bagi Tuhan? Sebab Allah tidak mencari kontribusi, melainkan ketundukan. Dialah yang membangun; kita hanya menerima dan berjalan dalam karya-Nya.
-
Pasal 8 2 Samuel menampilkan keberhasilan politik dan militer Daud sekaligus refleksi kepemimpinan yang adil dan tegas.(47) Dalam teks ini, Daud disebut menaklukkan Filistin, Moab, Edom, dan orang Syria di Zoba, menandai ekspansi wilayah Israel yang signifikan (ay. 1-6). Namun narasi ini lebih dari sekadar laporan sejarah peperangan; penekanan utama tertuju pada legitimasi Allah atas raja dan pengakuan atas otoritasnya. Setiap kemenangan militer dikaitkan dengan intervensi ilahi, menegaskan bahwa kekuasaan politik yang sah berakar pada penyertaan Tuhan, bukan semata-mata strategi manusia.(48) Selain keberhasilan militer, pasal ini menyoroti administrasi dan keadilan pemerintahan Daud. Daud menempatkan perwira-perwira di wilayah yang ditaklukkan dan membentuk birokrasi yang teratur (ay. 15-16).
Penekanan pada pengangkatan para jenderal dan pengelola wilayah menunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektif selalu menyeimbangkan kekuatan dengan keadilan administratif. Dalam konteks teologis, ini mencerminkan kerajaan Allah di bumi, di mana otoritas raja harus dijalankan dengan integritas, keadilan, dan pertanggungjawaban.(49) Selain itu, Daud dikenal karena menegakkan hukum dan mengatur hukuman dengan bijaksana. Dalam beberapa narasi sampingan, ia membebaskan Israel dari tekanan negara-negara tetangga, dan menjadikan keadilan sebagai fondasi stabilitas politik. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan tegas tidak harus otoriter, melainkan selalu dikaitkan dengan perlindungan dan kesejahteraan rakyat.
Di sinilah kita melihat pola yang konsisten dengan teologi Perjanjian Lama: rakyat yang adil akan dipimpin oleh raja yang adil, dan adil bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal kepedulian terhadap kesejahteraan umat. Kepemimpinan Daud juga mencakup dimensi spiritual. Ia menempatkan Allah sebagai pusat legitimasi kekuasaannya. Keberhasilan militer, perluasan wilayah, dan stabilitas pemerintahan dipahami sebagai berkat ilahi, sehingga rakyat Israel tidak hanya melihat Daud sebagai penguasa duniawi, tetapi sebagai wakil Allah yang menjalankan keadilan dan melindungi umat-Nya.(50) Dengan demikian, pasal ini menegaskan bahwa kepemimpinan yang ideal menurut Alkitab adalah kombinasi antara keberanian, strategi, keadilan administratif, dan ketundukan pada kehendak Tuhan. Model ini relevan bagi pemimpin masa kini, baik dalam konteks gereja maupun masyarakat sipil: kekuatan dan otoritas yang tidak dipandu oleh nilai-nilai ilahi dan prinsip keadilan tidak akan mampu menciptakan kesejahteraan jangka panjang.
-
Kisah Daud dan Mefiboset dalam 2 Samuel 9 bukan sekadar adegan belas kasihan seorang raja kepada seorang penyandang disabilitas, melainkan cerminan mendalam tentang etika kekuasaan dalam perspektif teologis. Dalam tradisi kerajaan di Timur Dekat kuno, lazim bagi seorang penguasa baru untuk memusnahkan seluruh keturunan dinasti sebelumnya sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan(51). Namun Daud bertindak sebaliknya bahwa ia justru secara aktif mencari keturunan Saul bukan untuk dihukum, tetapi untuk ditunjukkan ḥesed, kasih setia yang berakar pada perjanjian persahabatan dengan Yonatan (1 Sam. 20:14-17). Dengan demikian, tindakan Daud tidak lahir dari sentimentalitas spontan, tetapi dari komitmen covenantal yang kokoh. Menariknya, tokoh yang ditemukan adalah Mefiboset, seorang laki-laki yang “lumpuh kakinya” (2 Sam. 9:3).
Penekanan fisik ini menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak memiliki kapasitas untuk mengancam kekuasaan Daud. Secara sosial, ia tidak hanya lemah, tetapi juga rentan, terbuang dari istana, hidup dalam ketidakpastian, dan mungkin menyimpan ketakutan bahwa Daud akan membalas dosa Saul. Namun respons Daud membongkar semua asumsi antagonistik itu: “Jangan takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasih setia kepadamu oleh karena Yonatan” (2 Sam. 9:7). Kata “pasti” menunjukkan komitmen yang tak bersyarat, bukan belas kasih yang tergantung pada perilaku atau prestasi Mefiboset. Bukan hanya kehidupan Mefiboset yang dijamin, tetapi seluruh harta keluarganya dipulihkan, dan ia bahkan diberi tempat tetap untuk makan sehidangan dengan raja. Dalam budaya kuno, diundang ke meja makan raja bukan sekadar bentuk keramahan, tetapi lambang adopsi kehormatan(52). Dengan kata lain, Daud tidak hanya menyelamatkan Mefiboset, tetapi mengangkat martabatnya.
Di sinilah terlihat bahwa kekuasaan yang takut kehilangan posisi akan menyingkirkan orang lemah, tetapi kekuasaan yang bertumpu pada kasih setia berani merangkul mereka. Kisah ini mencerminkan gambaran Injili bahwa manusia seperti Mefiboset, tak berdaya, penuh ketakutan, tanpa kontribusi apa pun, namun diundang untuk duduk di meja Sang Raja. Paulus berkata, “Kita dahulu mati karena pelanggaran-pelanggaran kita, tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus” (Ef. 2:1,4–5). Anugerah bukanlah hadiah bagi yang berguna, melainkan undangan bagi yang tidak berdaya. Karena itu, kisah ini mengoreksi paradigma kepemimpinan Kristen yang sering terjebak pada logika utilitarian: menghargai mereka yang produktif, dan mengabaikan yang tidak dianggap berkontribusi. Pertanyaannya: apakah gereja masa kini lebih mirip Daud yang mengangkat yang terbuang, atau lebih mirip raja-raja kafir yang menjaga tahta dengan cara menyingkirkan yang dianggap tidak berguna?
-
Narasi peperangan Daud dengan Bani Amon tidak dapat dipahami secara reduktif sebagai konflik geopolitik semata. Teks menegaskan bahwa akar dari peperangan ini bermula dari kesalahpahaman dan penghinaan terhadap kemurahan hati Daud. Ketika Daud mengutus para pegawainya untuk menyampaikan belasungkawa kepada Hanun atas kematian ayahnya, para pemuka Amon justru menuduh delegasi tersebut sebagai mata-mata (2 Sam. 10:3-4). Walter Brueggemann menyebut tindakan Hanun sebagai “kebodohan politis yang berujung pada konfrontasi dengan Allah, bukan hanya dengan Daud”(53). Dengan demikian, narasi ini menggeser titik fokus dari sekadar konflik antarkerajaan menjadi persoalan moral: bagaimana sebuah bangsa menyikapi kemurahan hati yang ditawarkan oleh Allah melalui pemimpin-Nya.
Dalam kerangka teologi Perjanjian Lama, peperangan semacam ini sering dipahami sebagai “holy war” atau milḥāmāh qōdeš, suatu perang yang disahkan oleh Allah dan dijalankan sebagai bagian dari mandat ilahi menegakkan keadilan dan kekudusan. Keil dan Delitzsch menafsirkan peperangan ini sebagai perwujudan “kedaulatan Yahweh yang tidak membiarkan penghinaan terhadap umat pilihan-Nya tanpa pembelaan”(54).
Dengan demikian, walaupun pertempuran dilakukan melalui pedang dan strategi militer, teologi naratifnya menunjukkan bahwa Yahweh-lah yang menjadi komandan tertinggi. Ini ditegaskan dalam 2 Samuel 10:12 melalui seruan Yoab: “Kuatkanlah hatimu... kiranya TUHAN melakukan yang baik di mata-Nya”, sebuah deklarasi iman yang menempatkan peperangan ini bukan sebagai aksi balas dendam, tetapi sebagai bagian dari ketaatan kepada kehendak ilahi. Literatur modern juga menggarisbawahi bahwa konsep perang kudus dalam teks-teks seperti ini tidak boleh disalahartikan sebagai pembenaran kekerasan fanatik. Robert P. Gordon menegaskan bahwa “Holy war in Samuel is not aggressive expansionism but a theological response to injustice and dishonor against the divine order”(55) (Perang suci dalam kitab Samuel bukanlah ekspansionisme yang agresif, melainkan respons teologis terhadap ketidakadilan dan penghinaan terhadap tatanan ilahi). Dengan kata lain, peperangan Daud melawan Amon pada dasarnya merupakan bentuk pertanggungjawaban moral. Ketika kebaikan dipermalukan, keadilan Allah menuntut respon. Dalam hal ini, Daud tampil bukan sebagai tiran, melainkan sebagai pelaksana hukum surgawi. Namun refleksi teologis atas narasi ini juga menantang pembaca untuk melihat ketegangan antara kasih dan keadilan Allah.
Daud memulai dengan belas kasihan, tetapi ketika belas kasihan dihina, ia beralih pada tindakan penegakan hukum. Adam Clarke mencatat, “Mercy rejected becomes the seed of judgment”(56) (Belas kasihan yang ditolak menjadi benih bagi penghukuman). Prinsip ini tetap relevan bagi umat Allah sepanjang zaman bahwa kemurahan Tuhan tidak boleh dianggap remeh, sebab Allah yang penuh kasih juga adalah Allah yang kudus dan adil. Dalam terang Perjanjian Baru, tema ini menemukan puncaknya dalam Kristus, Ia datang membawa damai, tetapi damai itu pun tidak dapat dipaksakan atas mereka yang menolaknya. Dengan demikian, perikop ini tidak sekadar menceritakan kemenangan militer Daud, melainkan menampilkan pola kerja Allah dalam sejarah bahwa Ia menawarkan anugerah terlebih dahulu sebelum mengizinkan pedang dihunus. Perang menjadi jalan terakhir, bukan sebagai sarana dominasi, tetapi sebagai penegasan kedaulatan ilahi atas bangsa-bangsa. Maka, umat Kristen masa kini harus membaca teks ini bukan untuk membenarkan kekerasan, tetapi untuk memahami bahwa keadilan Allah berjalan seiring dengan belas kasihan-Nya. Peperangan Daud dengan Amon adalah cermin bahwa Tuhan tidak tinggal diam terhadap penghinaan terhadap kasih-Nya, dan setiap kali umat-Nya melangkah dalam ketaatan, mereka tidak pernah sendirian di medan perang.
-
Peristiwa perselingkuhan Daud dengan Batsyeba merupakan salah satu momen paling dramatis dalam narasi 2 Samuel. Raja yang diurapi, yang sebelumnya dipuji karena kepemimpinan dan ketaatannya, jatuh dalam dosa yang jelas dan terbuka (2 Sam. 11:1-5). Namun, teks ini menekankan bahwa kejatuhan manusia tidak pernah berada di luar pengawasan Allah; setiap tindakan tercatat dalam konteks mandat ilahi, dan akibatnya tidak dapat dielakkan. Robert Alter menyatakan, “The narrative of David and Bathsheba presents sin within the framework of divine moral order, highlighting the consequences that inevitably follow”(57) (Narasi tentang Daud dan Batsyeba menghadirkan dosa dalam kerangka tatanan moral ilahi, menyoroti konsekuensi yang tak terelakkan sebagai akibatnya). Dosa Daud tidak berhenti pada perselingkuhan; ia memperparah kesalahan dengan merancang kematian Uriah, suami Batsyeba (2 Sam. 11:14-17). Di sini, narasi menunjukkan bahwa pelanggaran moral sering berkembang menjadi pola tindakan yang lebih gelap, tetapi Allah tetap hadir melalui intervensi Nabi Natan. Natan membawa teguran ilahi yang tegas namun tepat sasaran, menekankan bahwa tindakan Daud bukan hanya melukai manusia lain tetapi juga mengundang murka Allah (2 Sam. 12:1-12).
Momen pertama melihat Batsyeba dari sotoh istana (2 Samuel 11:1–27)
Walter Brueggemann menegaskan bahwa peristiwa ini “reveals God’s justice not as abstract punishment but as relational accountability”(58) (Mengungkapkan keadilan Allah bukan sebagai hukuman yang abstrak, melainkan sebagai pertanggungjawaban yang bersifat relasional). Yang menonjol dalam perikop ini adalah kontras antara dosa dan rahmat Allah. Meskipun hukuman datang, kematian anak yang lahir dari perselingkuhan, konflik internal keluarga, dan kerusakan sosial, Allah juga memberikan kesempatan bagi Daud untuk bertobat. Mazmur 51, yang ditulis oleh Daud setelah ditegur, menjadi teks klasik pertobatan dan pemulihan spiritual. John Gill menekankan, “Although David fell grievously, God’s mercy remains available to the penitent heart”(59) (Meskipun Daud jatuh dalam dosa yang berat, belas kasihan Allah tetap tersedia bagi hati yang bertobat). Ini menunjukkan prinsip teologis bahwa pertobatan sejati tidak menghapus akibat dosa, tetapi membuka jalan bagi pemulihan relasi dengan Allah. Peristiwa ini juga memberi pelajaran penting tentang kekuatan konsekuensi moral. Kejatuhan seorang pemimpin dapat membawa dampak luas, mulai dari kehilangan kepercayaan rakyat hingga konflik dalam keluarga dan negara.
Namun Allah menyeimbangkan keadilan dengan kasih, menegaskan bahwa meskipun hukuman ilahi diterapkan, tujuan-Nya adalah koreksi dan pemulihan, bukan pembinasaan total. Joyce Baldwin menegaskan bahwa “The narrative underscores God’s discipline as redemptive, designed to restore covenantal order”(60) (Narasi ini menekankan bahwa disiplin Allah bersifat menebus, dirancang untuk memulihkan tatanan perjanjian). Secara reflektif, narasi Daud dan Batsyeba mengajarkan bahwa dosa pemimpin tidak pernah final ketika disertai kesadaran, pengakuan, dan pertobatan. Pertobatan Daud bukan sekadar formalitas, tetapi pernyataan iman kepada Allah yang adil dan penuh kasih. Paulus dalam Roma 3:23-24 menekankan bahwa “semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah, tetapi oleh anugerah mereka dibenarkan melalui Kristus.” Kisah ini menjadi ilustrasi historis dari prinsip tersebut. Untuk gereja dan kehidupan Kristen masa kini, perikop ini mengingatkan bahwa Allah tetap menawarkan rahmat meski kesalahan manusia besar. Meskipun konsekuensi dosa tidak selalu hilang, pertobatan dan penerimaan kasih karunia membuka kesempatan bagi pemulihan moral, sosial, dan spiritual. Dalam konteks kepemimpinan, teks ini menegaskan pentingnya integritas, pengakuan dosa, dan keberanian menghadapi akibat yang timbul.
-
Setelah kejatuhan moral Daud dalam kasus Batsyeba dan Uriah, Allah segera menegur raja melalui Nabi Natan. Narasi ini menampilkan pola klasik dalam Perjanjian Lama: ketika pemimpin jatuh dalam dosa besar, teguran ilahi datang melalui nabi yang dipilih, menegaskan bahwa otoritas manusia selalu berada di bawah kedaulatan Allah. Walter Brueggemann menekankan bahwa “Natan acts as God’s prophetic conscience, confronting David with his moral failure”(61) (Natan bertindak sebagai suara hati kenabian dari Allah, menghadapkan Daud pada kegagalan moralnya). Teguran ini bukan sekadar kritik personal, tetapi konfrontasi teologis terhadap pelanggaran perjanjian. Kisah perumpamaan domba yang dicuri dari seorang miskin (2 Sam. 12:1–4) menggambarkan dosa Daud dalam istilah yang mudah dipahami, menunjukkan bahwa pelanggaran moral memiliki dampak sosial dan spiritual yang luas. Robert Alter mencatat bahwa perumpamaan ini “transforms an abstract sin into concrete injustice, making the king aware of relational harm”(62) (Mengubah dosa yang abstrak menjadi ketidakadilan yang nyata, membuat sang raja sadar akan kerusakan relasional yang ditimbulkannya). Dengan demikian, penekanan utama adalah bahwa kejahatan terhadap sesama adalah juga kejahatan terhadap Allah, sebab Allah hadir dalam hubungan yang rusak.
Respons Daud menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran spiritual di berkata “Aku telah berdosa terhadap TUHAN” (2 Sam. 12:13). Ungkapan pengakuan ini menjadi model pertobatan sejati, menekankan bahwa pengakuan dosa adalah langkah pertama menuju pemulihan. John Gill menekankan bahwa “David’s confession exemplifies true repentance, acknowledging sin before God without defensiveness”(63) (Pengakuan Daud menjadi teladan pertobatan sejati, mengakui dosa di hadapan Allah tanpa sikap membela diri). Kontras antara hukuman dan anugerah Allah terlihat jelas. Anak hasil perselingkuhan Daud dan Batsyeba meninggal, menunjukkan konsekuensi dosa tetap dijalankan. Namun, Allah tetap memberi pengharapan bahwa kehidupan Daud tidak dihapuskan, perjanjian dengannya tetap berlaku, dan kelak melalui garis keturunannya, Mesias akan datang (2 Sam. 12:24-25). Joyce Baldwin menekankan, “God’s justice is executed, yet His mercy remains, highlighting the tension between punishment and restoration”(64) (Keadilan Allah dijalankan, namun belas kasih-Nya tetap ada, menyoroti ketegangan antara hukuman dan pemulihan).
Pertobatan Daud melahirkan refleksi moral dan spiritual yang mendalam. Mazmur 51, yang dikaitkan dengan peristiwa ini, menegaskan kebutuhan akan hati yang hancur dan roh yang remuk sebagai syarat pemulihan: “Create in me a clean heart, O God, and renew a steadfast spirit within me” (KJV: Mzm. 51:10) (Ciptakanlah hati yang bersih dalam diriku, ya Allah, dan perbaruilah roh yang teguh di dalam batinku). Hal ini menegaskan bahwa Allah menerima pertobatan yang tulus, sekalipun konsekuensi tetap dijalani. Dalam konteks teologi kepemimpinan, kisah ini menjadi pelajaran bahwa integritas, pertanggungjawaban, dan kesediaan untuk menerima teguran ilahi adalah kunci bagi pemimpin yang takut akan Allah. Daud tidak menutup diri terhadap teguran, melainkan menerima nasihat nabi dan bertobat, menegaskan bahwa pemulihan selalu tersedia bagi yang bersedia kembali kepada jalan yang benar. Akhirnya, teks ini menekankan bahwa Allah menyeimbangkan keadilan dan rahmat: dosa tetap dihukum, tetapi pertobatan membuka jalan bagi pemulihan relasi, kelanjutan perjanjian, dan pemeliharaan garis Mesianik. Gereja masa kini diajak merenungkan bahwa teguran, meski sulit dan menyakitkan, adalah sarana Allah untuk memulihkan integritas dan kesetiaan umat-Nya.
-
Pemberontakan Absalom menandai salah satu krisis terbesar dalam pemerintahan Daud. Anak yang dikasihi raja ini merencanakan kudeta yang matang, menarik simpati rakyat Israel, dan merongrong otoritas Daud (2 Sam. 15:1-6). Teks menekankan bahwa ketidaksetiaan keluarga dapat menjadi tantangan serius bagi kepemimpinan, bahkan bagi raja yang diurapi Allah. Brueggemann menekankan bahwa “the narrative presents Absalom’s revolt as a theological crisis as well as a political one, showing the vulnerability of God’s chosen king”(65) (Narasi pemberontakan Absalom ditampilkan sebagai krisis teologis sekaligus krisis politik, yang memperlihatkan kerentanan raja pilihan Allah). Kisah ini juga menyoroti dimensi psikologis dan sosial dari konflik internal. Absalom memanipulasi rakyat dengan menampilkan diri sebagai pelindung hak dan keadilan rakyat, sementara tindakan Daud disalahartikan sebagai ketidakpedulian (2 Sam. 15:7-12). Robert Alter mengamati bahwa “Absalom’s charisma and political acumen expose the tension between public perception and divine mandate”(66) (Karisma dan kecakapan politik Absalom mengungkap ketegangan antara persepsi publik dan mandat ilahi). Di sini pembaca diajak melihat bahwa pengkhianatan tidak hanya muncul dari niat jahat, tetapi juga dari ketidakseimbangan persepsi publik terhadap pemimpin. Allah tetap hadir sebagai aktor utama di balik narasi.
Ketika Daud meninggalkan Yerusalem untuk menghindari konfrontasi langsung, teks menekankan keberanian iman raja yang tetap menempatkan dirinya dalam lindungan Allah (2 Sam. 15:13-23). Joyce Baldwin menekankan bahwa “David’s flight is not cowardice but a strategic act rooted in trust in God’s providence”(67) (Pelarian Daud bukanlah tindakan pengecut, melainkan langkah strategis yang berakar pada kepercayaan akan pemeliharaan Allah). Pengaturan Ilahi terlihat dalam peristiwa-peristiwa yang melindungi Daud dan menunda kehancurannya, menunjukkan bahwa bahkan dalam pengkhianatan, Allah bekerja untuk tujuan-Nya. Pertempuran antara pasukan Daud dan Absalom di hutan Efraim (2 Sam. 18:5-15) menyoroti konsekuensi tragis pemberontakan. Absalom tewas terjepit oleh rambutnya di pohon, simbol ironi dari kebanggaannya sendiri yang menjadi penyebab kehancuran. Keil & Delitzsch menekankan bahwa “Absalom’s death illustrates the moral order maintained by Yahweh: pride and rebellion meet divine justice”(68) (Kematian Absalom menggambarkan tatanan moral yang dijaga oleh Yahweh: kesombongan dan pemberontakan berakhir pada keadilan ilahi). Peristiwa ini sekaligus menegaskan prinsip teologis bahwa Allah menegakkan keadilan meski jalan-Nya misterius. Selain aspek hukum dan keadilan, teks menekankan dimensi relasional dan emosional. Daud berduka mendalam atas kematian Absalom, meski anak itu telah memberontak (2 Sam. 18:33). Refleksi ini menunjukkan kompleksitas kepemimpinan dan kasih dalam menghadapi pengkhianatan bahwa pemimpin yang adil tetap manusia yang mampu berempati.
Alter menambahkan bahwa “David’s grief underscores the human cost of rebellion and the emotional depth of biblical leadership”(69) (Kesedihan Daud menegaskan harga kemanusiaan dari pemberontakan serta kedalaman emosional dalam kepemimpinan menurut Alkitab). Secara naratif-teologis, pemberontakan Absalom mengajarkan bahwa kedaulatan Allah melampaui peristiwa sejarah, bahkan ketika rencana manusia tampak mengancam. Allah tetap memelihara garis keturunan Daud, melindungi kerajaan-Nya, dan mengatur peristiwa agar tujuan ilahi tercapai. Brueggemann menegaskan bahwa “the David-Absalom narrative reflects God’s providential care even amidst human treachery”(70) (Narasi tentang Daud dan Absalom mencerminkan pemeliharaan ilahi Allah yang tetap bekerja di tengah pengkhianatan manusia). Akhirnya, kisah ini relevan bagi pemimpin Kristen masa kini bahwa kepemimpinan harus diwarnai iman, ketekunan, dan kesadaran akan kedaulatan Allah, terutama ketika menghadapi konflik internal atau pengkhianatan. Pemberontakan Absalom mengajarkan pentingnya keseimbangan antara strategi manusia dan ketergantungan total pada bimbingan ilahi, serta pengelolaan emosi dan belas kasih dalam menghadapi konsekuensi dosa orang lain.
-
Setelah kematian Absalom dan berakhirnya pemberontakan, Daud kembali ke Yerusalem untuk memulihkan pemerintahannya. Narasi ini menekankan proses rekonsiliasi dan pemulihan kepemimpinan, di mana Daud harus menghadapi rakyat yang beragam perasaan, antara kesetiaan, kebencian, dan trauma akibat konflik internal (2 Sam. 19:1-15). Brueggemann menekankan bahwa “Kembalinya Daud menunjukkan betapa kompleksnya tugas untuk memulihkan tatanan dan otoritas moral setelah konflik saudara”(71).
Peristiwa ini juga menyoroti keadilan restoratif. Daud tidak segera menghukum semua pihak yang bersimpati atau mendukung Absalom, tetapi menekankan pemulihan dan perdamaian, termasuk pertemuan emosional dengan orang-orang yang menahan dendam. Robert Alter mengamati, “Tindakan pengampunan Daud menunjukkan bahwa kepemimpinan di bawah mandat Allah menuntut hikmat dan belas kasih, bukan sekadar pembalasan”(72). Dalam konteks teologis, Ungkapan ini menyoroti dimensi etis dan spiritual dalam kepemimpinan alkitabiah, bahwa otoritas ilahi bukan hanya soal menegakkan keadilan, tetapi juga memulihkan relasi dan menuntun umat dengan hati yang penuh pengertian.
Konflik tidak sepenuhnya hilang; setelah kembali, Daud menghadapi pemberontakan oleh Sekar dan masalah internal lainnya (2 Sam. 20:1-22). Teks menekankan bahwa pemulihan kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan politik, tetapi juga pemeliharaan tatanan moral dan sosial. Keberhasilan Daud dalam menegakkan hukum dan mengatasi pemberontakan menunjukkan keterlibatan ilahi dalam menjaga kerajaan-Nya tetap stabil. Joyce Baldwin menekankan, “Narasi ini mencerminkan kebutuhan yang terus-menerus akan tuntunan ilahi dalam menghadapi tantangan politik dan moral”(73). Ungkapan tersebut menyoroti bahwa dalam pergumulan kepemimpinan, konflik keluarga, dan krisis nasional seperti yang dialami Daud, hikmat manusia saja tidak cukup. Diperlukan kepekaan rohani dan penyerahan diri kepada Allah agar keputusan yang diambil tidak hanya strategis, tetapi juga selaras dengan kehendak-Nya. Salah satu aspek penting dari narasi ini adalah reintegrasi tokoh-tokoh kunci. Ziba, Mephiboset, dan pemimpin suku-suku Israel kembali memainkan peran dalam stabilisasi kerajaan (2 Sam. 19:24-43).
Tindakan Daud menunjukkan bahwa pemulihan kerajaan memerlukan pendekatan yang adil dan inklusif, menghargai hak dan posisi setiap individu, serta menegaskan prinsip keadilan Allah dalam kehidupan sosial. Narasi ini juga menekankan dimensi spiritual dan teologis. Pemulihan Daud bukan semata-mata kemenangan politik, tetapi cerminan kedaulatan Allah yang tetap menjaga perjanjian dengan umat-Nya. Alter menekankan, “Pemulihan Daud menegaskan bahwa pemeliharaan ilahi tetap menjaga keutuhan kerajaan perjanjian, meskipun diwarnai oleh kegagalan dan pemberontakan manusia”(74). Hal ini menyiratkan bahwa Allah tidak membatalkan janji-Nya meski Daud jatuh dalam dosa dan keluarganya dilanda konflik. Sebaliknya, Allah menuntun proses pemulihan dengan kesetiaan yang melampaui kelemahan manusia, memperlihatkan bahwa kerajaan yang dibangun atas dasar perjanjian tetap berada dalam genggaman kasih dan keadilan-Nya. Secara reflektif, kisah ini menegaskan bahwa kepemimpinan Kristen modern memerlukan keseimbangan antara keadilan, belas kasih, dan ketegasan.
Pemimpin harus mampu menegakkan hukum, mengelola konflik, dan tetap mengandalkan hikmat ilahi untuk menjaga kesejahteraan umat. Brueggemann menyatakan bahwa “Pemerintahan Daud pasca-konflik menjadi teladan dalam mengintegrasikan otoritas moral dengan kepedulian pastoral”(75). Ungkapan ini menyoroti bahwa setelah krisis dan pemberontakan, Daud tidak hanya memulihkan struktur politik, tetapi juga membangun kembali relasi dengan rakyatnya melalui pengampunan, rekonsiliasi, dan kepekaan rohani. Kepemimpinannya mencerminkan bahwa mandat ilahi menuntut bukan hanya keadilan, tetapi juga hati gembala yang memahami luka umat. Akhirnya, narasi ini menunjukkan bahwa pemulihan menyeluruh memerlukan waktu, kebijaksanaan, dan bimbingan ilahi. Daud berhasil memulihkan Yerusalem dan stabilitas kerajaan bukan karena kekuatan pribadi semata, tetapi karena pertolongan Allah, kesabaran, dan penerapan prinsip keadilan restoratif. Kisah ini mengajarkan bahwa setiap proses rekonsiliasi, baik personal maupun sosial, selalu membutuhkan keseimbangan antara keadilan dan rahmat, prinsip yang relevan bagi kehidupan iman Kristen masa kini.
-
Bagian penutup kitab 2 Samuel tidak dimulai dengan kemuliaan atau perayaan, melainkan dengan bencana nasional berupa tiga tahun kelaparan (2 Sam. 21:1). Menariknya, Alkitab tidak langsung memberikan penjelasan ilmiah atau ekonomis, melainkan mengaitkannya dengan dosa masa lalu Raja Saul terhadap orang Gibeon. Ini memperlihatkan bahwa sejarah moral suatu bangsa dapat terus berbicara bahkan setelah pelakunya tiada. Walter Brueggemann mencatat bahwa peristiwa ini adalah sebuah “teologi kolektif tentang keadilan Allah yang bekerja dalam sejarah, bukan hanya pada individu, tetapi pada komunitas”(76). Di sini, Daud berperan sebagai mediator yang mencari wajah Tuhan bukan dengan strategi politik, tetapi melalui doa dan penyelidikan spiritual. Sikap ini menegaskan kembali bahwa seorang pemimpin sejati bukan hanya administrator kekuasaan, melainkan imam yang memikul beban moral bangsanya.
Penyelesaian konflik ini pun menimbulkan pertanyaan etis: mengapa keturunan Saul harus dihukum atas dosa leluhur mereka? Dalam konteks modern, hal ini bisa disalahpahami sebagai kekejaman, namun teks menempatkannya dalam kategori “keadilan perjanjian”, di mana keterikatan historis dan tanggung jawab kolektif adalah bagian dari struktur sosial Israel kuno. Robert Alter menjelaskan bahwa “Narasi ini mencerminkan pemahaman kuno tentang keadilan perjanjian, di mana rekonsiliasi kadang menuntut pemulihan yang mahal”(77). Ungkapan ini menyoroti bahwa dalam tradisi alkitabiah, keadilan bukan sekadar hukuman atau pengampunan, melainkan proses pemulihan relasi yang adil dan bertanggung jawab. Restitusi, baik dalam bentuk pengakuan, pengorbanan, atau tindakan pemulihan, menjadi bagian dari kesetiaan terhadap perjanjian Allah. Akan tetapi, yang menarik adalah Rahmat Allah tetap hadir di tengah hukuman, sebagaimana ditunjukkan oleh penghormatan Daud terhadap tulang-tulang Saul dan Yonatan (2 Sam. 21:12-14). Daud tidak hanya menyelesaikan masalah secara politis, tetapi juga memulihkan martabat keluarga Saul, menegaskan bahwa keadilan Allah tidak identik dengan balas dendam, melainkan pemulihan tatanan moral dan kehormatan.
Bagian ini ditutup dengan catatan kemenangan Daud dan para pahlawannya atas bangsa Filistin (2 Sam. 21:15-22). Penempatan narasi peperangan di akhir episode kelaparan menunjukkan bahwa setelah penghakiman dan rekonsiliasi, Allah kembali memberikan perlindungan dan kemenangan. Joyce Baldwin mencatat bahwa struktur pasal ini mengajarkan bahwa “Keadilan Allah tidak berakhir dalam kehancuran, melainkan menghasilkan berkat yang diperbarui dan kekuatan yang dipulihkan”(78). Hal ini menegaskan bahwa tindakan penghakiman ilahi bukanlah titik akhir, melainkan bagian dari proses pemurnian yang membuka jalan bagi pemulihan. Dalam narasi Daud, kita melihat bahwa meskipun ia mengalami kehancuran akibat dosa dan konflik, Allah tetap bekerja untuk memulihkan kerajaan, relasi, dan panggilan hidupnya. Dengan demikian, perikop ini menegaskan tiga tema besar: Allah yang kudus menuntut keadilan, pemimpin harus sensitif terhadap dosa sejarah, dan pemulihan bangsa dimulai dengan pertobatan serta penghormatan terhadap pihak yang pernah dilukai. Sebuah pelajaran yang tetap relevan dalam konteks rekonsiliasi sosial dan politik masa kini.
-
Mazmur dalam 2 Samuel 22 muncul sebagai nyanyian syukur yang intens, bukan sekadar puisi kemenangan formal, melainkan refleksi batin seorang pejuang yang telah melalui pergumulan hidup ekstrem dan kini menoleh ke belakang untuk membaca jejak keselamatan Tuhan dalam seluruh riwayatnya. Dalam untaian yang kaya metafora, Daud menyatakan bagaimana ia “ditarik dari air yang dalam” dan diselamatkan dari musuh yang berlipat-lipat, ungkapan yang menandai pengalaman eksis seorang pejuang yang mengenal bahaya hingga ke pori-pori rohaninya.(79) Narasi puitis ini menegaskan bahwa keberanian dan prestasi militer Daud dipahami bukan sebagai klaim atas diri sendiri, melainkan sebagai respons terhadap anugerah ilahi yang menyertai langkahnya.
Metafora teologis utama di mazmur ini adalah gambaran Tuhan sebagai “gunung batu, kubu pertahanan, dan penyelamat”, sebuah bahasa yang lahir dari pengalaman nyata seorang pejuang yang pernah berlindung di gua dan bukit batu ketika dikejar maut. Penyebutan Tuhan sebagai gunung batu menekankan aspek perlindungan yang konkrit dan dapat diandalkan; bukan sekadar konsep abstrak, melainkan tempat berlindung yang nyata dalam situasi kritis.(80) Dari perspektif ini, mazmur berfungsi ganda bahwa ia memuji Tuhan atas keselamatan historis yang dialami Daud sekaligus mengajarkan pembaca bahwa teologi sejati lahir dari pengalaman keselamatan yang konkret. Meski bernuansa kemenangan, mazmur ini juga memuat napas kehati-hatian moral. Daud mengaitkan keselamatan dengan hidup yang berkenan di hadapan Allah dan memberi ruang bagi pengakuan bahwa kemenangan bukan hasil totalitas moral manusia, melainkan kemurahan Tuhan yang bekerja meski melalui insan yang berdosa.
Dalam konteks teologi pejuang, ini memberikan model spiritualitas bahwa seorang pejuang sejati memuliakan Allah sebagai Sumber keselamatan dan tetap rendah hati meski diberi kemenangan.(81) Bagi pembaca masa kini, utamanya mereka yang bergelut dalam “medan perang” kehidupan sehari-hari, pelayanan, atau pergumulan sosial, mazmur ini menjadi undangan untuk mengalami Tuhan bukan sekadar sebagai doktrin, tetapi sebagai Gunung Batu yang meneguhkan dan menyelamatkan. Pertanyaannya bukan semata “apakah kita percaya Tuhan itu kuat?”, tetapi “apakah kita pernah merasakan-Nya sebagai tempat berlindung ketika segala benteng manusia runtuh?” Mazmur Daud menuntun pembacanya dari klaim religius menuju pengalaman iman yang konkret, di mana pujian dilahirkan dari keselamatan yang sungguh dialami.(82)
-
Pasal 23 dalam 2 Samuel menghadirkan dua bagian yang tampaknya kontras, “Ucapan terakhir Daud” dan “Daftar para pahlawan Daud”, namun justru membentuk satu kesaksian utuh tentang akhir perjalanan seorang pemimpin yang hidup dalam anugerah dan komunitas perjanjian. Dalam ucapan terakhirnya, Daud tidak sekadar meninggalkan pesan politik, melainkan testimoni nubuat tentang pemerintahan yang adil dan takut akan Tuhan sebagai standar ilahi bagi seorang raja. Ia menyebut dirinya sebagai “orang yang diangkat tinggi, yang diurapi Allah Yakub,” tetapi secara teologis menarik bahwa ia tidak menonjolkan prestasinya, melainkan menekankan bahwa segala otoritasnya bersumber dari Roh Tuhan yang berbicara melalui dirinya.(83) Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati dalam perspektif alkitabiah bukanlah sekadar karisma atau kekuatan militer, melainkan kesediaan untuk menjadi corong kehendak Allah.
Bagian kedua, daftar para pahlawan Daud, berfungsi sebagai pengakuan eksplisit bahwa keberhasilan Daud tidak pernah bersifat individual. Nama-nama seperti Yosheb-Basyebet, Eleazar bin Dodo, dan Simea bin Agae menandai figur-figur yang mempertaruhkan nyawa ketika Daud belum menjadi raja besar.(84) Tindakan heroik mereka, mulai dari membunuh ratusan musuh dalam satu pertempuran, bertahan sendirian di tengah ladang kacang, hingga tindakan sederhana namun penuh loyalitas seperti mengambil air dari sumur Betlehem, memperlihatkan bahwa kerajaan Daud dibangun bukan hanya oleh seorang raja pilihan Allah, tetapi oleh komunitas orang-orang setia yang rela berkorban. Ironisnya, beberapa nama dalam daftar ini kelak terlibat dalam konflik atau tragedi, namun penulis tetap mencatat mereka sebagai pahlawan, menunjukkan bahwa sejarah ilahi tidak meniadakan kelemahan manusia, tetapi menghormati kesetiaan mereka pada waktu yang tepat.
Bila kedua bagian ini dibaca bersama, kita menemukan model kepemimpinan yang eskatologis sekaligus relasional. Ucapan terakhir Daud menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mengakhiri hidupnya dengan kesadaran bahwa otoritas berasal dari Tuhan; sementara daftar pahlawan menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati tidak berdiri di puncak sendirian, tetapi mengakui mereka yang ikut menopang kemenangannya.(85) Dalam konteks gereja atau pelayanan masa kini, perikop ini mengoreksi dua ekstrem bahwa pemimpin yang merasa dirinya pusat segala keberhasilan, dan jemaat yang lupa menghormati mereka yang telah berjuang diam-diam di balik layar. Sebagaimana Daud memuji para pahlawannya, demikian pula setiap pemimpin Kristen dipanggil untuk menutup pelayanannya bukan dengan gelar, melainkan dengan warisan relasional dan kesaksian iman yang dikenang oleh banyak saksi.(86)
-
Peristiwa sensus yang dilakukan Daud pada masa tuanya tampak sederhana secara administratif, namun di hadapan Allah hal itu merupakan tindakan yang sarat dengan kesombongan dan ketidakpercayaan. Alkitab mencatat bahwa “hati Daud berdebar setelah ia menghitung bangsa itu” (2 Sam. 24:10), menandakan bahwa nurani rohaninya segera menyadari bahwa ia telah beralih dari sikap bergantung pada Allah menuju kepercayaan pada kekuatan militernya sendiri. Banyak penafsir berpendapat bahwa sensus ini bukanlah sekadar tindakan statistik, tetapi simbol dari mentalitas self-reliance yang bertolak belakang dengan spiritualitas seorang raja yang seharusnya memimpin dengan ketergantungan penuh kepada Tuhan(87). Dalam teologi Perjanjian Lama, pemimpin Israel tidak pernah diizinkan mengukur kekuatannya berdasarkan jumlah pasukan, sebab kemenangan tidak datang dari kuantitas manusia, tetapi dari kesetiaan Allah(88). Respons Allah terhadap sensus ini berupa tulah yang menewaskan ribuan orang dalam waktu singkat, sebuah gambaran tragis bahwa dosa seorang pemimpin dapat membawa dampak luas bagi seluruh umat.
Namun puncak narasi ini bukan pada hukuman, melainkan pada momen ketika Daud diperintahkan untuk mendirikan mezbah di tempat pengirikan Arauna orang Yebus. Di sinilah titik balik terjadi, dari kesombongan menuju penyesalan, dari murka menuju belas kasihan. Ketika Daud menolak menerima tanah itu secara cuma-cuma dan berseru, “Aku tidak mau mempersembahkan kepada TUHAN... korban bakaran yang tidak mengeluarkan biaya apa-apa bagiku” (2 Sam. 24:24), ia sedang menunjukkan bahwa rekonsiliasi sejati selalu menuntut harga, bukan sekadar penyesalan verbal(89). Yang menarik, tempat itu kemudian menjadi lokasi Bait Allah yang akan dibangun oleh Salomo (2 Taw. 3:1), menjadikan peristiwa ini bukan hanya penutup kitab, tetapi jembatan menuju sejarah penebusan. Mezbah Arauna adalah tipologi dari salib Kristus, tempat di mana murka Allah bertemu dengan belas kasihan-Nya. Seperti darah korban bakaran itu menghentikan tulah secara tiba-tiba, demikian pula salib Kristus menghentikan kutuk dosa yang seharusnya menimpa umat manusia(90). Dengan demikian, kisah sensus bukan hanya peringatan keras tentang bahaya kesombongan dalam kepemimpinan, tetapi juga pengingat bahwa Allah senantiasa menyediakan jalan pemulihan melalui altar pengampunan-Nya.
III. Analisis Teologis dan Naratif Kitab 2 Samuel
-
Kitab 2 Samuel secara konsisten menegaskan bahwa perjalanan politik Israel tidak pernah ditentukan oleh kekuatan militer, strategi diplomasi, atau keterampilan kepemimpinan Daud semata, melainkan oleh tangan Allah yang bekerja secara aktif di balik seluruh peristiwa sejarah. Bahkan ketika Daud baru naik tahta, ia menyadari bahwa pengangkatannya bukan hasil kecerdikannya, melainkan “Tuhan telah meneguhkannya sebagai raja atas Israel” (2 Sam. 5:12). Para penafsir Perjanjian Lama menyebut pola ini sebagai theological historiography, bahwa sejarah dalam Alkitab tidak pernah netral, tetapi ditulis untuk memperlihatkan Allah sebagai subjek utama yang memegang kendali(91). Dalam perspektif ini, bahkan konflik politik dan pergolakan internal seperti pemberontakan Absalom sekalipun berada dalam jangkauan rencana Allah, bukan anomali yang menggagalkan kehendak-Nya. Salah satu bukti yang paling nyata akan kedaulatan Allah dalam kitab ini adalah bagaimana Ia menyatakan kehendak-Nya melalui keberhasilan maupun kegagalan manusia.
Ketika Daud menunjukkan ketaatan, Allah meninggikannya; tetapi ketika ia jatuh dalam dosa Batsyeba, Allah tidak segan menghukumnya. Pola ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya berdaulat atas kemenangan, tetapi juga atas disiplin rohani yang diterapkan kepada umat pilihan-Nya(92). Dalam teologi biblika, kedaulatan Allah tidak berarti bahwa manusia menjadi boneka pasif, tetapi bahwa sekalipun manusia bertindak bebas, baik dalam kebenaran maupun kesalahan, Allah tetap mampu menenun seluruh peristiwa menjadi bagian dari rencana penebusan-Nya yang lebih besar. Menariknya, kedaulatan Allah dalam kitab ini tidak pernah bersifat fatalistik atau deterministik. Allah bukan hanya pengatur sejarah dari jauh, tetapi juga mitra relasional yang terlibat secara personal. Doa-doa Daud, seperti dalam Mazmur syukurnya (2 Sam. 22), menunjukkan bahwa kuasa Allah tidak dimaknai sebagai kekuatan dingin yang memaksa, tetapi sebagai perlindungan seorang Bapa yang menopang dan memelihara hamba-Nya(93). Dengan demikian, doktrin kedaulatan Allah dalam Kitab 2 Samuel tidak hanya menghibur, tetapi juga mengoreksi manusia dari kesombongan sekaligus memanggilnya untuk tunduk kepada kehendak Tuhan yang lebih tinggi dari segala perencanaan manusia.
-
Narasi 2 Samuel secara jujur menampilkan bahwa keberimanan tidak menghapus potensi dosa dalam diri umat pilihan Allah. Daud, yang disebut “seorang yang berkenan di hati Tuhan”, tetap tergelincir dalam skandal fatal: perzinahan dengan Batsyeba dan pembunuhan terhadap Uria (94). Fakta bahwa Alkitab tidak menyensor kelemahan tokoh utamanya menjadi peringatan keras bahwa dosa bukanlah masalah orang fasik saja, tetapi ancaman yang mengintai bahkan mereka yang paling dipakai Tuhan (95). Dengan demikian, kisah Daud tidak dimaksudkan untuk menciptakan kultus kepahlawanan rohani, tetapi justru untuk menegaskan realitas keterbatasan manusia dan kebutuhan mutlak akan disiplin ilahi. Allah yang mengasihi umat-Nya adalah Allah yang tidak bersedia membiarkan dosa tanpa konsekuensi. Namun, hukuman Allah dalam kitab 2 Samuel tidak pernah dimaksudkan untuk membinasakan Daud, melainkan untuk membentuk dan memurnikannya. Anak hasil perzinahan itu mati, pemberontakan Absalom mengguncang takhtanya, dan dosa sensus menimbulkan tulah mematikan, semuanya adalah konsekuensi ilahi yang keras namun penuh tujuan pedagogis (96).
Dalam teologi PL, hukuman bukan bentuk penolakan Allah, melainkan bagian dari kasih-Nya yang menolak membiarkan manusia menetap dalam pemberontakan (97). Oleh karena itu, hidup orang percaya harus memahami penderitaan bukan semata sebagai takdir buta, melainkan sebagai kesempatan untuk mengevaluasi diri dan kembali kepada Allah dengan pertobatan sejati. Puncak dari dinamika dosa dan hukuman ini terdapat pada respons Daud ketika ditegur Nabi Natan: “Aku telah berdosa kepada Tuhan” (2 Sam. 12:13). Pengakuan ini tidak defensif, tidak menyalahkan keadaan ataupun orang lain, tetapi langsung dan tanpa pembenaran diri. Dalam Mazmur 51, yang lahir dari peristiwa ini, Daud mengakui bahwa masalah utama dari setiap dosa bukanlah pelanggaran moral horizontal terhadap sesama, melainkan pengkhianatan vertikal terhadap Allah sendiri (98).
Dari sini tampak bahwa kedalaman pertobatan bukan diukur dari kesedihan emosional, melainkan dari kesadaran teologis akan siapa yang dilukai oleh dosa. Dan justru dalam titik kerendahan inilah anugerah Allah dinyatakan. Dengan demikian, kitab 2 Samuel menghadirkan pola teologis yang sangat relevan bagi kehidupan rohani masa kini bahwa dosa orang percaya adalah fakta, hukuman Allah adalah proses pemurnian, dan pengampunan adalah kepastian bagi yang bertobat dengan tulus. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk tidak diampuni, tetapi juga tidak ada dosa yang terlalu kecil untuk tidak didisiplinkan (99). Oleh karena itu, kehidupan iman tidak boleh dibangun di atas asumsi “sekali selamat tetap selamat tanpa konsekuensi”, melainkan pada kesadaran bahwa kasih Allah selalu menyelamatkan, tetapi tidak pernah membiarkan manusia nyaman dalam kejatuhan. Pertobatan sejati bukan hanya jalan keluar dari dosa, tetapi jalan masuk kepada pemulihan yang lebih dalam bersama Allah.
-
Dalam struktur pemerintahan Israel kuno, raja memegang kekuasaan tertinggi secara politis dan militer, tetapi secara teologis ia tetap tunduk kepada otoritas yang lebih tinggi, yaitu firman Tuhan yang diwakili oleh para nabi. Tokoh Nabi Natan dalam kitab 2 Samuel menjadi contoh paling jelas bagaimana Allah menempatkan “suara kebenaran” yang berdiri berdampingan dengan tahta kerajaan tanpa harus menjadi rival politiknya(100). Ketika Daud jatuh dalam dosa perzinahan dan pembunuhan, tidak ada panglima perang atau penasihat istana yang berani menegurnya; hanya nabi yang berani berbicara atas nama Allah tanpa takut kehilangan posisi maupun nyawanya. Dengan demikian, peran nubuatan bukan sekadar memberi prediksi masa depan, tetapi menjadi fungsi profetis-etis: menjaga agar kekuasaan tidak berubah menjadi tirani yang kebal kritik. Metode teguran Natan juga menunjukkan kebijaksanaan pastoral dalam berhadapan dengan penguasa. Ia tidak menyerang Daud secara langsung, melainkan menyampaikan perumpamaan tentang orang kaya yang merampas satu-satunya anak domba milik orang miskin (2 Sam. 12:1-4). Dengan cara ini, Daud secara tidak sadar menjatuhkan vonis atas dirinya sendiri sebelum Natan berkata, “Engkaulah orang itu!”(101).
Di sini terlihat bahwa teguran profetis tidak sekadar menyuarakan kemarahan moral, tetapi menciptakan ruang bagi pelaku dosa untuk menyadari kesalahannya sendiri. Dalam konteks gereja dan pelayanan masa kini, pendekatan Natan menjadi model bahwa kritik terhadap pemimpin rohani atau struktural harus dilakukan bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk memulihkan dengan kebijaksanaan dan kepekaan rohani. Peran Natan tidak berhenti pada teguran, tetapi juga menjadi mediator rekonsiliasi antara Allah dan raja. Setelah Daud mengakui dosanya, Natan segera menyampaikan kabar pengampunan Tuhan: “Tuhan telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati” (2 Sam. 12:13)(102). Dengan demikian, nabi tidak hanya hadir sebagai jaksa rohani, tetapi juga sebagai pengawal anugerah. Ia menjaga agar kebenaran dan kasih Allah tidak dipisahkan.
Gereja masa kini sering mengalami dua ekstrim: ada yang terlalu lembut hingga mengabaikan teguran, dan ada yang terlalu keras hingga menghapus harapan pemulihan. Figur Natan menegaskan bahwa pelayanan profetik sejati harus menegur tanpa membinasakan, dan mengampuni tanpa mengabaikan keadilan. Oleh sebab itu, kehadiran figur “Natan-Natan” dalam kehidupan rohani maupun dalam struktur gereja menjadi mutlak. Kekuasaan, baik dalam bentuk jabatan politik maupun otoritas pelayanan, selalu memiliki potensi koruptif jika tidak dikelilingi oleh suara profetis yang berani berbicara benar(103). Setiap pemimpin, baik raja, gembala, maupun kepala keluarga, membutuhkan sosok yang cukup mengasihi untuk menegur, sekaligus cukup bijak untuk menuntun pada pertobatan. Dengan demikian, keberadaan nabi dalam kitab 2 Samuel bukan hanya bagian dari sejarah kuno, tetapi menjadi pola relasional yang terus relevan bagi gereja dan masyarakat yang ingin tetap hidup dalam takut akan Tuhan.
-
Salah satu ciri paling menonjol dari narasi 2 Samuel adalah fungsi tokoh Daud bukan hanya sebagai raja historis, tetapi juga sebagai figur tipologis yang mengarah kepada Mesias yang akan datang. Janji Allah dalam 2 Samuel 7:12-1, bahwa keturunan Daud akan menduduki takhta untuk selama-lamanya, membangun fondasi teologis bagi pengharapan mesianik Israel(104). Meskipun secara langsung nubuat ini digenapi sebagian dalam diri Salomo, sejarah membuktikan bahwa takhta keturunan Daud kemudian runtuh secara politis. Hal ini menandakan bahwa janji tersebut memiliki dimensi eskatologis yang lebih dalam. Teolog seperti Walter Kaiser menegaskan bahwa janji Daudik bersifat “progresif,” yaitu bertumbuh menuju penggenapan penuh dalam diri Yesus Kristus, Sang Anak Daud yang sejati(105). Dalam teologi Perjanjian Baru, narasi Daud secara konsisten dipahami secara kristologis. Injil Matius secara eksplisit membuka silsilah Yesus dengan menyebut-Nya “Anak Daud” (Mat. 1:1), sebuah deklarasi politik dan teologis bahwa Yesus adalah pewaris sah takhta ilahi tersebut(106).
Namun, berbeda dengan Daud yang berperang dengan pedang, Yesus memerintah melalui salib, memperlihatkan bahwa kekuasaan Mesianik tertinggi tidak ditegakkan melalui agresi militer, tetapi melalui pengorbanan diri. Dengan demikian, tipologi Daud tidak hanya berfungsi sebagai paralel kekuasaan, tetapi juga sebagai kontras profetis bahwa Daud menang dengan menaklukkan musuh-musuhnya, sedangkan Kristus menang dengan menanggung dosa musuh-musuh-Nya. Lebih dari itu, berbagai episode dalam kehidupan Daud menjadi pola nubuatan yang digenapi secara rohani dalam diri Kristus. Daud dikhianati oleh sahabatnya Ahitofel, sebagaimana Yesus dikhianati oleh Yudas(107). Daud melarikan diri dari Yerusalem saat dikhianati Absalom, sedangkan Kristus diarak keluar dari Yerusalem untuk disalibkan, dua-duanya mengalami penderitaan mesianik sebagai bagian dari jalan menuju kemenangan. Namun, sementara Daud kembali merebut takhta, Yesus bangkit dari kematian dan naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa sebagai Raja kekal.
Dengan demikian, narasi Daud tidak berdiri sebagai akhir, melainkan sebagai jembatan menuju pengenalan akan Sang Raja sejati yang lebih besar daripada Daud (Mat. 22:45). Maka, teologi 2 Samuel tidak boleh berhenti pada kekaguman terhadap pemerintahan Daud, tetapi harus bergerak menuju kontemplasi akan pemerintahan Kristus. Jika Daud memberi gambaran tentang raja yang kuat namun rentan terhadap dosa, Kristus memberi gambaran tentang Raja yang rendah hati namun tanpa cela. Di sinilah fungsi tipologi bekerja bukan sekadar sebagai studi paralel tokoh, tetapi sebagai refleksi spiritual: setiap kekaguman terhadap Daud harus berujung pada penyembahan kepada Kristus. Tanpa dimensi Mesianik, kitab 2 Samuel berakhir sebagai kisah heroik biasa; tetapi dengan kacamata Kristologis, kitab ini menjadi deklarasi bahwa sejarah manusia tidak berhenti pada raja manusia, tetapi menemukan puncaknya pada Raja segala raja.
IV. Relevansi Kitab 2 Samuel dan pertumbuhan iman Kristen di Lakahang
-
Dalam konteks Kelurahan Lakahang, Kec. Tabulahan, Kab. Mamasa, kepemimpinan umat Kristen seringkali berada pada persilangan antara otoritas gerejawi dan struktur adat. Tokoh-tokoh seperti kepala suku, to matua tondá atau tokoh tua kampung masih memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan komunal, bahkan dalam urusan gereja. Kitab 2 Samuel menawarkan refleksi tajam melalui figur Daud yang meskipun memiliki legitimasi politik dan spiritual, tetap memerintah dengan kesadaran bahwa dirinya hanyalah wakil Allah, bukan pemilik kekuasaan itu sendiri(108). Dengan demikian, kepemimpinan Kristen di Lakahang dipanggil bukan untuk mendominasi, melainkan melayani dengan integritas dan ketakutan akan Tuhan. Daud memperlihatkan gaya kepemimpinan yang tidak hanya berorientasi struktur, tetapi juga berorientasi relasi. Ia tidak membangun kerajaan melalui kekuatan militer semata, melainkan melalui penerimaan dan rekonsiliasi, seperti saat ia merangkul orang-orang Benyamin yang sebelumnya setia kepada Saul(109).
Nilai ini sangat relevan dalam konteks gereja-gereja di Lakahang yang kadang terjebak dalam rivalitas antar keluarga, antar sektor rumah tangga ibadah, atau bahkan antar denominasi. Seorang pemimpin Kristen sejati bukan hanya administrator liturgi, tetapi pemelihara kesatuan tubuh Kristus. Lebih jauh, kitab 2 Samuel menegaskan bahwa otoritas rohani tidak hanya ditentukan oleh jabatan, tetapi oleh kepekaan terhadap teguran Allah. Daud tidak kebal kritik meskipun ia adalah raja; ketika Nabi Natan menegurnya, ia tidak menggunakan kuasa untuk membungkam suara profetik(110). Ini menjadi pelajaran penting bagi para pelayan, penatua, maupun tokoh adat Kristen di Lakahang: seorang pemimpin sejati adalah mereka yang berani ditegur dan mau bertobat. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan adat (To mepairam versi Bambang), rendah hati untuk mengakui kesalahan justru merupakan bentuk kepemimpinan yang paling Alkitabiah.
-
Salah satu pelajaran besar dari kitab 2 Samuel adalah bahwa dosa pribadi seorang pemimpin dapat membawa akibat sosial bagi seluruh komunitas. Ketika Daud berdosa dalam kasus Batsyeba atau dalam melakukan sensus yang penuh kesombongan, Allah tidak hanya menegur dia secara individual, tetapi juga menyentuh bangsa secara komunal melalui hukuman yang meluas(111). Di konteks Kelurahan Lakahang, hal ini mengingatkan bahwa dosa yang disembunyikan, baik itu perselingkuhan, korupsi dana gereja, konflik antar keluarga, atau kebencian yang dipelihara dalam hati, tidak pernah menjadi urusan pribadi semata. Dalam budaya masyarakat Mamasa yang hidup dalam ikatan to marapuam (keluarga besar) kakalebuam (keterikatan kekerabatan), dosa seseorang seringkali menjadi aib seluruh kelompok. Maka, 2 Samuel mengajarkan bahwa pemulihan sejati harus terjadi melalui pengakuan terbuka dan pertobatan komunal, bukan hanya doa pribadi dalam hati.
Namun, pertobatan tidak akan terjadi tanpa keberanian untuk saling menegur dalam kasih. Nabi Natan menjadi teladan besar sebagai suara kebenaran yang tidak takut menyampaikan firman meskipun ditujukan kepada raja yang berkuasa(112). Dalam konteks gereja-gereja di Lakahang, peran seperti ini seringkali hilang karena rasa sungkan, takut dianggap tidak sopan, atau karena hierarki adat yang menempatkan orang tertentu sebagai “tidak boleh dikoreksi.” Padahal, Alkitab menunjukkan bahwa teguran yang diabaikan adalah jalan menuju kehancuran, sedangkan teguran yang diterima dengan rendah hati membuka pintu pemulihan bagi seluruh komunitas. Karena itu, gereja perlu kembali membangun budaya ma’kurre sumanga (saling menguatkan dalam kebenaran), bukan hanya ma' állá-állá (saling memuji tanpa kejujuran).
Yang menarik, 2 Samuel juga memperlihatkan bahwa Allah lebih menghargai hati yang hancur karena dosa daripada reputasi yang dipaksakan tetap bersih. Setelah ditegur Natan, Daud tidak mencari alasan, tidak menyalahkan kondisi, dan tidak mencoba menutupi kesalahannya. Ia langsung berkata, "Aku telah berdosa kepada Tuhan" (2 Sam. 12:13), yang kemudian melahirkan doa pertobatan mendalam seperti dalam Mazmur 51(113). Dalam konteks Lakahang, pertobatan seperti ini bisa berarti keberanian seorang ayah yang selama ini keras mengakui kekerasannya kepada anak-anaknya; seorang pelayan gereja yang menyatakan kesalahannya secara terbuka; atau seorang jemaat yang datang kembali setelah lama menjauh karena rasa malu. Ketika pertobatan terjadi, bukan hanya individu yang dipulihkan, tetapi relasi sosial dan spiritual seluruh jemaat pun diperbarui.
-
Konflik keluarga dalam kisah Daud, khususnya pemberontakan Absalom, menunjukkan bahwa luka terdalam sering kali muncul bukan dari musuh luar, melainkan dari orang-orang terdekat(114). Realitas ini sangat relevan dalam konteks jemaat di Kelurahan Lakahang, di mana relasi kekeluargaan dan persekutuan gerejawi sering tumpang tindih; ketika konflik muncul dalam lingkup keluarga, ia hampir selalu merembet ke dalam komunitas jemaat. Banyak perselisihan yang terjadi bukan karena perbedaan doktrin, melainkan karena sakit hati pribadi, kecemburuan pelayanan, atau perebutan pengaruh dalam struktur adat dan gereja. Kisah Daud tidak menawarkan penyelesaian instan; ia justru menampilkan rasa kehilangan, ratapan, dan pergumulan emosional yang mendalam ketika relasi keluarga retak. Dengan demikian, rekonsiliasi sejati tidak bisa dibangun hanya melalui mekanisme formal seperti “perdamaian adat” atau “surat pernyataan damai” semata, tetapi harus dimulai dari pengakuan emosi yang terluka dan kesediaan untuk melihat pihak lain sebagai sesama ahli waris kasih karunia Allah(115).
Dalam beberapa kasus di jemaat lokal, konflik sering dibiarkan “dingin” tanpa diselesaikan secara tuntas. Orang boleh kembali beribadah dalam satu gereja yang sama, tetapi duduk di bangku yang berbeda, saling menghindar tanpa kata, seakan-akan damai sudah terjadi padahal hanya luka yang ditutup rapi. Kisah rekonsiliasi Daud dan Absalom yang gagal menunjukkan bahwa perdamaian yang tidak disertai pertobatan dan pemulihan relasional hanya akan menjadi “rekonsiliasi palsu” yang menyuburkan pemberontakan lebih besar di kemudian hari(116). Gereja di Lakahang perlu belajar bahwa rekonsiliasi bukan sekadar “kembali bicara”, melainkan perjalanan spiritual yang mencakup kejujuran, pengampunan, dan komitmen untuk membangun kembali kepercayaan. Dalam hal ini, peran gembala dan penatua sebagai fasilitator perdamaian sangat penting, bukan sebagai hakim yang menentukan siapa salah dan siapa benar, tetapi sebagai pendamai yang menuntun kedua belah pihak kembali kepada anugerah Allah yang menyatukan.
Lebih jauh, rekonsiliasi dalam perspektif kitab 2 Samuel tidak hanya bersifat personal tetapi juga komunal. Ketika Daud memerintahkan rakyat “berlaku ramah terhadap Absalom meskipun ia musuh” (2Sam. 18:5), ia menegaskan bahwa komunitas tidak boleh menjadi arena pembalasan, melainkan medan kasih yang memulihkan. Dalam konteks jemaat Lakahang, prinsip ini menuntut agar seluruh anggota jemaat tidak memperkeruh konflik dengan ikut menyebarkan gosip atau mengambil pihak, tetapi justru menjadi penopang proses pemulihan. Rekonsiliasi sejati adalah proyek bersama, bukan tugas individu(117). Dengan demikian, gereja dipanggil bukan hanya untuk menjadi tempat ibadah, melainkan rumah penyembuhan relasi yang retak, sebuah komunitas yang mencerminkan hati Allah yang tidak pernah berhenti mengejar anak-anak-Nya yang terpisah karena luka dan kesalahan.
-
Kitab 2 Samuel bukan hanya narasi tentang politik dan kekuasaan, tetapi juga kesaksian tentang bagaimana seorang raja besar seperti Daud pun berkali-kali mengalami titik keputusasaan dan keterbatasan manusiawi. Pada masa pengejaran oleh Saul maupun Absalom, Daud tidak duduk di singgasana, melainkan hidup sebagai pelarian di padang gurun, bergantung sepenuhnya pada perlindungan Allah dan kebaikan orang-orang yang menolongnya(118). Gambaran ini sangat relevan bagi jemaat di Kelurahan Lakahang yang hidup dalam situasi ekonomi sederhana, dengan mata pencaharian yang bergantung pada pertanian, perkebunan, atau pekerjaan musiman. Di tengah keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, orang percaya mudah merasa bahwa Tuhan hanya dekat bagi mereka yang “berkelimpahan.” Namun kisah Daud menunjukkan bahwa penyertaan Allah justru paling nyata ketika manusia tidak lagi mampu mengandalkan kekuatannya sendiri(119).
Ketergantungan kepada Tuhan bukan berarti pasif atau fatalistis, melainkan respons iman yang aktif bahwa bekerja dengan tekun sambil belajar percaya bahwa hasil akhir bukan ditentukan oleh usaha semata, tetapi oleh anugerah Allah. Dalam konteks sosial Lakahang, ada kecenderungan sebagian jemaat mencari solusi melalui praktik-praktik adat tertentu atau bahkan menggunakan cara-cara instan yang tidak sejalan dengan iman Kristen, seperti utang konsumtif, perjudian terselubung, atau mengandalkan "orang kuat" untuk mendapatkan bantuan. Melalui kitab 2 Samuel, gereja diajak untuk melihat bahwa kepekaan rohani dan ketundukan kepada Allah lebih menentukan masa depan sebuah komunitas daripada kekuatan ekonomi atau relasi politis(120). Sebab Tuhan yang sama yang menyertai Daud dari padang gurun sampai istana adalah Tuhan yang bekerja di tengah ladang kering, rumah sederhana, dan dapur yang persediaannya terbatas.
Akhirnya, ketergantungan kepada kuasa Allah juga berarti membangun spiritualitas pengharapan dalam komunitas. Ketika Daud hampir kehilangan seluruh kerajaannya, ia tidak berhenti menyembah; justru dalam masa-masa terkelam ia menulis mazmur-mazmur pengakuan bahwa “pertolonganku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 121:2). Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu, jemaat Lakahang perlu menumbuhkan budaya doa, syukur, dan solidaritas, bukan hanya budaya keluhan dan persaingan. Ketika keluarga-keluarga mau berbagi hasil panen dengan tetangga yang kekurangan, ketika gereja menjadi tempat orang yang kesusahan dihibur dan dikuatkan, maka di situlah nyata bahwa kuasa Allah bukan hanya cerita masa lalu, melainkan pengalaman hidup masa kini(121). Dengan demikian, kitab 2 Samuel mengajarkan bahwa iman bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi cara hidup yang menjadikan Tuhan sebagai sumber pengharapan di tengah realitas keterbatasan.
V. Kesimpulan
-
Kitab 2 Samuel menghadirkan sebuah narasi historis-teologis yang kompleks: kisah seorang raja besar yang dipilih oleh Allah, namun sekaligus manusia rapuh yang jatuh dalam dosa. Sejarah kehidupan Daud bukanlah biografi kepahlawanan yang disajikan secara idealistis, melainkan sebuah kesaksian otentik tentang bagaimana Allah bekerja di tengah realitas kekuasaan, konflik, dosa, dan pemulihan. Dari kemenangan militer hingga kegagalan moral, dari puncak kejayaan hingga titik kejatuhan terdalam, seluruh perjalanan Daud menjadi gambaran nyata bahwa Allah tidak pernah berhenti berkarya dalam sejarah manusia, bukan hanya melalui keberhasilan yang megah, tetapi juga melalui luka, kegagalan, dan air mata pertobatan. Di sinilah nilai historis kitab ini menjadi relevan lintas zaman: ia tidak hanya mencatat masa lalu, tetapi membuka jendela untuk memahami cara Allah memimpin umat-Nya di setiap generasi. Pesan teologis utama kitab ini adalah bahwa kedaulatan Allah berdiri di atas segala dinamika manusia. Kerajaan Daud bertahan bukan karena kemampuan militernya atau kecerdikan politiknya, melainkan karena Allah yang menopangnya. Namun kedaulatan Allah bukan berarti mengabaikan tanggung jawab manusia; justru sebaliknya, setiap dosa membawa konsekuensi. Pelanggaran Daud terhadap Batsyeba dan Uria melahirkan konflik keluarga, pemberontakan Absalom, dan luka kolektif bangsa. Tetapi Allah juga menunjukkan bahwa hukuman bukanlah akhir dari cerita.
Dalam teguran Nabi Natan, dalam air mata Daud, dan dalam penyertaan Allah yang terus berlanjut, tampak bahwa pengampunan bukan hanya pemulihan relasi pribadi dengan Tuhan, tetapi juga pemulihan sosial yang melibatkan komunitas secara luas. Bagi umat Kristen masa kini, khususnya di konteks pedesaan Lakahang yang menghadapi berbagai tantangan moral, sosial, dan ekonomi, kitab 2 Samuel menjadi cermin dan pelita. Kehidupan Daud mengajarkan bahwa keberanian dan kesuksesan sejati tidak diukur dari kekayaan, keberhasilan politis, atau status sosial, tetapi dari kerendahan hati untuk kembali kepada Tuhan saat tergelincir. Dalam konteks masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh tradisi adat, pola relasi kuasa yang bersifat personal, dan ikatan kekeluargaan yang kuat, pesan kitab ini menegaskan bahwa iman Kristen bukanlah bentuk pelarian dari kenyataan, melainkan sumber kekuatan untuk menghadapi dan mengelola kenyataan dengan sikap takut akan Tuhan. Para pemimpin gereja, tokoh adat, dan orang tua dalam keluarga dipanggil untuk meneladani Daud, bukan karena ia selalu benar, tetapi karena ia senantiasa kembali kepada Tuhan. Lebih dari itu, kitab 2 Samuel memperlihatkan bahwa gesekan sosial, konflik dalam keluarga, maupun perpecahan dalam jemaat bukanlah bukti kegagalan iman, melainkan bagian dari dinamika kehidupan umat Allah sejak dahulu. Yang menjadi pembeda adalah bagaimana respons yang diambil terhadap situasi tersebut.
Jika konflik dihadapi dengan ego, maka ia melahirkan perpecahan; tetapi jika direspons dengan pertobatan dan kerendahan hati, maka ia menjadi jalan menuju rekonsiliasi dan pembaruan komunal. Dengan demikian, kitab ini mengundang gereja di Lakahang untuk tidak malu mengakui dosa, tidak takut ditegur, dan tidak menunda rekonsiliasi. Sebab saat umat berani merendahkan diri di hadapan Tuhan dan sesama, di situlah pintu pemulihan terbuka. Akhirnya, 2 Samuel menunjuk pada sebuah harapan yang lebih besar bahwa kerajaan manusia, sekuat apa pun, tidak akan bertahan tanpa landasan iman kepada Allah. Janji Allah kepada Daud tentang keturunan yang memerintah untuk selama-lamanya menemukan puncaknya dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, kisah Daud bukan hanya masa lalu Israel, tetapi bagian dari narasi keselamatan yang menuntun gereja masa kini kepada Kristus sebagai Raja sejati. Dalam terang itu, umat Kristen di Lakahang, sekalipun hidup dalam kesederhanaan, memiliki panggilan mulia bahwa membangun hidup, keluarga, dan komunitas bukan di atas kekuatan sendiri, tetapi di atas pengharapan kepada Tuhan yang setia dari zaman Daud hingga hari ini. Kitab 2 Samuel, dengan demikian, bukan sekadar kitab sejarah, tetapi firman yang hidup, mengajar, menegur, memulihkan, dan menuntun umat Allah menuju hidup yang berkenan kepada-Nya.
Hormat Saya
Penulis dari Pinggiran
Catatan Kaki
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 143. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: John Knox Press, 1998), 12. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 7. ↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 211. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), xxiii. ↩
- Baruch Halpern, David's Secret Demons: Messiah, Murderer, Traitor, King (Grand Rapids: Eerdmans, 2001), 45. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 95. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: John Knox Press, 1998), 84. ↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Literature in Its Cultural Context (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 217. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 36. ↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1981), 32. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1998), 12. ↩
- Walter Brueggemann, David’s Truth in Israel’s Imagination and Memory (Minneapolis: Fortress Press, 1985), 21–23. ↩
- Gordon J. Wenham, Exploring the Old Testament: The Histories (Nottingham: IVP Academic, 2008), 77. ↩
- Brevard S. Childs, Introduction to the Old Testament as Scripture (Philadelphia: Fortress Press, 1979), 263. ↩
- Ralph W. Klein, 1 Samuel, 2 Samuel (Nashville: Thomas Nelson, 2006), 18. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 563. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 213. ↩
- Robert Alter, The Art of Biblical Poetry (New York: Basic Books, 1985), 62. ↩
- Bill T. Arnold, 1 & 2 Samuel (Grand Rapids: Zondervan Academic, 2003), 287. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 225. ↩
- Richard D. Nelson, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1998), 102. ↩
- Brevard S. Childs, Introduction to the Old Testament as Scripture (Philadelphia: Fortress Press, 1979), 274. ↩
- P. Kyle McCarter Jr., II Samuel: A New Translation with Introduction, Notes and Commentary (New York: Doubleday, 1984), 81. ↩
- Robert P. Gordon, 1 & 2 Samuel (Grand Rapids: Zondervan, 1986), 229. ↩
- Walter Brueggemann, David's Truth: In Israel's Imagination and Memory (Minneapolis: Fortress Press, 1985), 44. ↩
- David Firth, 1 & 2 Samuel: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 296. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Life (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 423. ↩
- Gordon J. Wenham, “Leadership and Divine Justice in the Books of Samuel,” Journal for the Study of the Old Testament 45, no. 3 (2020): 347. ↩
- Hans Wilhelm Hertzberg, I & II Samuel: A Commentary (London: SCM Press, 1964), 318. ↩
- Patrick D. Miller, “Kingship, Torah Obedience, and Prayer in the Davidic Narratives,” Journal of Biblical Literature 106, no. 4 (1987): 611. ↩
- John H. Walton dan Andrew E. Hill, Old Testament Today (Grand Rapids: Zondervan, 2014), 242. ↩
- Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2007), 212. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox, 1990), 249. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 456. ↩
- Bill T. Arnold, 1 & 2 Samuel (Grand Rapids: Zondervan, 2003), 459. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel, The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1996), 338. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox, 1990), 256. ↩
- David F. Payne, “The Ark Narrative and Israelite Worship,” Journal of Biblical Literature 129, no. 2 (2010): 243–244. ↩
- Gordon J. Wenham, “The Role of the Ark in Israel’s Religion,” Vetus Testamentum 60, no. 3 (2010): 375. ↩
- Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2007), 215. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 468. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox, 1990), 270. ↩
- Gordon J. Wenham, 1 & 2 Samuel, Word Biblical Commentary 15 (Nashville: Thomas Nelson, 1984), 164. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel, The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1996), 369. ↩
- John H. Walton dan Andrew E. Hill, Old Testament Today (Grand Rapids: Zondervan, 2014), 250. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox, 1990), 284. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 472. ↩
- Richard S. Hess, Israelite Religions: An Archaeological and Biblical Survey (Grand Rapids: Baker Academic, 2007), 218. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel, The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1996), 372. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: John Knox Press, 1990), 249. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton & Company, 1999), 231. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 242. ↩
- C. F. Keil and F. Delitzsch, Biblical Commentary on the Books of Samuel (Edinburgh: T&T Clark, 1866), 321. ↩
- Robert P. Gordon, 1 & 2 Samuel: A Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 1986), 215. ↩
- Adam Clarke, Commentary on the Bible, Vol. 2 (Nashville: Abingdon, 1826), 87. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 178. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 306. ↩
- John Gill, Exposition of the Old and New Testament, Vol. 2 (London: Blackie & Son, 1875), 182. ↩
- Joyce Baldwin, 1 and 2 Samuel: Tyndale Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP, 1988), 141. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 322. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 189. ↩
- John Gill, Exposition of the Old and New Testament, Vol. 2 (London: Blackie & Son, 1875), 192. ↩
- Joyce Baldwin, 1 and 2 Samuel: Tyndale Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP, 1988), 149. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 345. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 210. ↩
- Joyce Baldwin, 1 and 2 Samuel: Tyndale Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP, 1988), 158. ↩
- C. F. Keil and F. Delitzsch, Biblical Commentary on the Books of Samuel (Edinburgh: T&T Clark, 1866), 364. ↩
- Robert Alter, The David Story, 215. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel, 351. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 362. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 222. ↩
- Joyce Baldwin, 1 and 2 Samuel: Tyndale Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP, 1988), 168. ↩
- Robert Alter, The David Story, 225. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel, 368. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 384. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 310. ↩
- Joyce Baldwin, 1 and 2 Samuel: Tyndale Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP, 1988), 181. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 384. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 312–314. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 489. ↩
- Joyce G. Baldwin, 1 and 2 Samuel: Tyndale Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP, 1988), 183. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 387. ↩
- Robert Alter, The David Story (New York: W. W. Norton, 1999), 323–325. ↩
- Dale Ralph Davis, 2 Samuel: Out of Every Adversity (Fearn: Christian Focus, 2002), 242. ↩
- Joyce G. Baldwin, 1 and 2 Samuel (Downers Grove: IVP, 1988), 191. ↩
- David Firth, 1 & 2 Samuel: Apollos Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 548. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 365. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel, New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1996), 472. ↩
- Alec Motyer, Look to the Rock: An Old Testament Background to Our Understanding of Christ (Leicester: IVP, 1996), 212. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 17. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 541. ↩
- Robert Barron, 2 Samuel, Brazos Theological Commentary on the Bible (Grand Rapids: Brazos Press, 2015), 232. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel, The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 1996), 364. ↩
- Gordon J. Wenham, “David and Bathsheba: The Bible’s Unvarnished Portrait of a Fallen Saint,” Journal for the Study of the Old Testament 50, no. 3 (2019): 289. ↩
- Walter Brueggemann, David’s Truth: In Israel’s Imagination and Memory (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 51. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Life (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 478. ↩
- Tremper Longman III, Psalms: An Introduction and Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2014), 224. ↩
- Christopher J. H. Wright, Old Testament Ethics for the People of God (Downers Grove: IVP Academic, 2004), 213. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Samuel, New American Commentary (Nashville: B&H, 1995), 312. ↩
- John Woodhouse, 2 Samuel: Your Kingdom Come (Wheaton: Crossway, 2015), 356. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox, 1990), 282. ↩
- Ellen F. Davis, “The Prophet Nathan as Truth-Teller,” Interpretation 71, no. 4 (2017): 412. ↩
- Walter C. Kaiser Jr., The Messiah in the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 1995), 74. ↩
- Ibid., 82. ↩
- R. T. France, The Gospel of Matthew (Grand Rapids: Eerdmans, 2007), 28. ↩
- Tremper Longman III, How to Read the Psalms (Downers Grove: IVP, 1988), 155. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 221. ↩
- David Firth, 1 & 2 Samuel: A Kingdom Comes (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 147. ↩
- Eugene H. Peterson, Leap Over a Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians From the Story of David (New York: HarperCollins, 1997), 203. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC 7; Nashville: Broadman & Holman, 1996), 367. ↩
- Walter Brueggemann, Prophetic Imagination (Minneapolis: Fortress Press, 2001), 48. ↩
- Eugene H. Peterson, Leap Over a Wall (New York: HarperCollins, 1997), 214. ↩
- Walter Brueggemann, David's Truth in Israel's Imagination and Memory (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 87. ↩
- Ellen F. Davis, Getting Involved with God: Rediscovering the Old Testament (Lanham: Cowley Publications, 2001), 142. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: InterVarsity Press, 2003), 598. ↩
- Patrick D. Miller, “Divine Command and Human Mediation,” Journal for the Study of the Old Testament 43 (2019): 23. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 423. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 211. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Samuel (Nashville: Broadman & Holman, 1995), 312. ↩
- Eugene H. Peterson, Leap Over a Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians (New York: HarperCollins, 1997), 198. ↩
0 Comments