property='og:image'/>

Kitab Keluaran sebagai Fondasi Teologi Pembebasan: Perspektif Bapa Gereja dan Teologi Kontemporer

Panorama Kitab Keluaran yang menggambarkan perbudakan Israel di Mesir, pembebasan melalui Musa, tulah dan Paskah, penyeberangan Laut Teberau, pemberian hukum di Gunung Sinai, dan pembangunan Kemah Suci.
"Kitab Keluaran: dari perbudakan di Mesir, pembebasan melalui tulah dan Paskah, hingga perjanjian Sinai dan pembangunan Kemah Suci."

Latar Belakang Kitab Keluaran

Kitab Keluaran, dalam bahasa Ibrani disebut Shemot (“nama-nama”), mendapat judul dari kata pembuka yang mencatat keturunan Israel yang masuk ke Mesir (Kel. 1:1). Dalam Septuaginta, terjemahan Yunani Perjanjian Lama, kitab ini disebut Exodos, yang berarti “keluar” atau “jalan keluar,” menunjuk pada peristiwa besar pembebasan Israel dari Mesir. Judul ini bukan sekadar keterangan historis, melainkan juga sarat makna teologis: Allah yang setia membebaskan umat-Nya dari perbudakan. John Calvin menyebut peristiwa ini sebagai “fondasi semua karya keselamatan,” karena di dalamnya Allah menyingkapkan diri sebagai Penebus yang hidup dan berkuasa.(1) Brevard Childs menambahkan bahwa Keluaran tidak hanya kisah masa lampau, melainkan kerangka teologis yang membentuk identitas Israel sebagai umat perjanjian yang dipanggil untuk melayani Allah.(2)

Tradisi Yahudi-Kristen secara konsisten mengakui Musa sebagai penulis Pentateukh, termasuk Kitab Keluaran. Musa dipandang sebagai nabi, pemimpin, dan saksi mata dari peristiwa yang dicatat. Perjanjian Baru pun mengafirmasi otoritas Musa sebagai pemberi hukum (Yoh. 7:19). Namun, pendekatan akademis modern mengajukan teori dokumen (J, E, P, D) yang melihat Keluaran sebagai hasil penggabungan tradisi yang diedit secara bertahap.(3) Meski demikian, kesaksian tradisi tidak bisa diabaikan, sebab teologi kitab ini jelas menekankan keterlibatan seorang pemimpin yang dipanggil Allah. Augustine menegaskan dalam City of God bahwa Musa bukan hanya pemberi hukum, tetapi juga saksi sejarah karya agung Allah yang menopang iman Israel dan gereja.(4) Walter Brueggemann melihat hal ini sebagai ketegangan kreatif antara tradisi dan redaksi, yang justru memperkaya pemahaman teologis Kitab Keluaran.(5)

Secara historis, latar Kitab Keluaran bermula dari pengalaman Israel di Mesir. Pada awalnya, Israel diterima dengan baik karena jasa Yusuf, namun kemudian mereka diperbudak oleh Firaun yang tidak mengenal Yusuf. Narasi ini menggambarkan penindasan yang dialami umat Allah, termasuk kerja paksa dan ancaman pemusnahan melalui perintah membunuh bayi laki-laki Ibrani (Kel. 1:15–22). Penderitaan ini menegaskan realitas kuasa dunia yang menindas umat Allah dan menunjukkan perlunya campur tangan ilahi. Origen menafsirkan kondisi ini secara alegoris sebagai lambang perbudakan dosa yang membelenggu manusia, sehingga pembebasan Allah menjadi gambaran keselamatan universal.(6) Brueggemann menekankan bahwa kisah ini juga mencerminkan dimensi politik dan sosial: Allah berpihak kepada yang tertindas dan menantang struktur kuasa yang tidak adil.(7)

Dalam situasi penindasan tersebut, Allah bertindak melalui panggilan Musa yang diutus untuk memimpin bangsa keluar dari Mesir. Peristiwa sepuluh tulah, Paskah, dan pembelahan Laut Teberau menyingkapkan kuasa Allah yang melampaui kekuatan Mesir dan dewa-dewanya. Bagi Israel, pengalaman ini adalah titik balik yang menegaskan identitas mereka sebagai umat pilihan. Pembebasan ini bukan sekadar politik, tetapi juga spiritual, karena berujung pada perjanjian di Gunung Sinai di mana mereka menerima hukum Allah sebagai pedoman hidup. Calvin menekankan bahwa hukum Taurat harus dibaca dalam terang anugerah: Allah terlebih dahulu menyelamatkan umat, baru kemudian memberi hukum untuk menjaga mereka dalam kekudusan.(8) Brevard Childs menyebut Sinai sebagai “momen konstitutif” di mana pembebasan dan hukum bersatu membentuk dasar eksistensi Israel sebagai umat Allah. (9)

Dengan demikian, Kitab Keluaran tidak hanya mengisahkan peristiwa historis, tetapi juga memberikan paradigma teologis yang terus relevan. Augustine menafsirkan peristiwa keluaran sebagai “prototipe keselamatan,” sebuah gambaran perjalanan umat Allah menuju Kerajaan-Nya.(10) Bagi gereja, Keluaran menjadi cermin karya Allah dalam Kristus yang membebaskan manusia dari dosa dan memanggil mereka menjadi umat yang kudus. Brueggemann menekankan bahwa pesan Keluaran selalu menantang gereja untuk memahami Allah sebagai pembebas yang berpihak pada kehidupan, bukan pada penindasan.(11) Dengan latar belakang ini, Kitab Keluaran menegaskan tema sentral: Allah yang setia, berdaulat, dan aktif membebaskan umat-Nya dari perbudakan untuk membentuk mereka menjadi komunitas perjanjian yang kudus.

Struktur dan Alur Utama Kitab Keluaran

1.     Penindasan Israel di Mesir dan Panggilan Musa (Pasal 1–4)

Kitab Keluaran diawali dengan gambaran penindasan bangsa Israel di Mesir. Setelah wafatnya Yusuf dan generasi yang mengenalnya, muncul seorang raja baru yang tidak mengenal jasa Yusuf, sehingga Israel dipandang sebagai ancaman potensial (Kel. 1:8–10). Firaun menindas mereka dengan kerja paksa, bahkan mengeluarkan dekret untuk membunuh bayi laki-laki Ibrani (Kel. 1:22). Peristiwa ini tidak hanya menunjukkan realitas historis penindasan politik, tetapi juga menghadirkan dimensi teologis: umat Allah menghadapi kuasa dunia yang berusaha menghancurkan janji-Nya. John Calvin menafsirkan penindasan ini sebagai sarana Allah untuk membentuk kerendahan hati Israel agar mereka tidak bersandar pada Mesir, melainkan pada Allah yang berdaulat.(12) Brevard Childs menambahkan bahwa kisah ini memperlihatkan dinamika sejarah keselamatan, di mana penderitaan umat bukan akhir, melainkan awal dari tindakan Allah yang membebaskan.(13)

Ilustrasi penindasan Israel di Mesir dan panggilan Musa dalam Kitab Keluaran 1–4, menggambarkan umat bekerja sebagai budak di bawah pengawasan Mesir dan Musa yang dipanggil Allah.
Israel dalam penindasan Mesir dan panggilan Musa — awal kisah pembebasan dalam Kitab Keluaran (Pasal 1–4).

Di tengah penindasan ini, narasi kelahiran Musa muncul sebagai tanda intervensi ilahi (Kel. 2:1–10). Musa, yang lahir di tengah ancaman pemusnahan bayi laki-laki, justru diselamatkan melalui ironi providensial: ia dipungut dan dibesarkan oleh putri Firaun. Peristiwa ini menegaskan bahwa Allah sanggup membalikkan strategi penindasan musuh menjadi sarana pemeliharaan rencana-Nya. Augustine menafsirkan kelahiran dan penyelamatan Musa sebagai gambaran penyelamatan ilahi yang tidak ditentukan oleh kekuatan manusia, melainkan oleh rahmat Allah yang bekerja melalui jalan yang tidak terduga.(14) Origen melihat kisah Musa sebagai tipe Kristus: seorang yang lahir di bawah ancaman penguasa dunia, tetapi dipelihara Allah untuk menjadi penyelamat umat-Nya.(15) Secara historis, kisah ini menekankan motif providensi, bahwa Allah mengarahkan jalannya sejarah menuju penggenapan janji-Nya.

Setelah dewasa, Musa mengalami kegagalan awal dalam upaya menolong bangsanya, hingga akhirnya ia melarikan diri ke Midian (Kel. 2:11–22). Namun, kegagalan ini bukan akhir, melainkan proses pembentukan pribadi Musa. Pengalaman hidup sebagai gembala di padang gurun menyiapkan dia untuk kelak menggembalakan bangsa Israel. Walter Brueggemann menyebut fase ini sebagai “masa transisi profetik,” di mana Musa ditempa untuk keluar dari pola pikir Mesir dan disiapkan untuk misi yang lebih besar.(16) Dalam perspektif teologis, Allah sering menggunakan pengalaman keterasingan dan kegagalan manusia sebagai sarana pendidikan rohani untuk mempersiapkan mereka bagi panggilan yang lebih besar. Calvin juga menegaskan bahwa Musa tidak boleh dipandang sebagai penyelamat karena kekuatannya sendiri, melainkan sebagai alat yang dipakai Allah setelah dibentuk melalui kelemahan.(17)

Puncak bagian ini terdapat pada panggilan Musa melalui pengalaman semak yang menyala namun tidak terbakar (Kel. 3:1–12). Peristiwa ini menyingkapkan Allah yang kudus, transenden, tetapi juga dekat dengan penderitaan umat-Nya. Nama ilahi “Aku adalah Aku” (YHWH) yang dinyatakan kepada Musa (Kel. 3:14) menegaskan kehadiran Allah yang kekal dan aktif dalam sejarah. Augustine melihat pernyataan ini sebagai pengungkapan Allah yang sejati, sumber keberadaan segala sesuatu.(18) Brevard Childs menekankan bahwa panggilan Musa bukanlah panggilan pribadi belaka, melainkan mandat teologis yang mengikat seluruh Israel sebagai umat yang dipanggil keluar.(19) Musa awalnya menolak panggilan itu, tetapi Allah menegaskan penyertaannya, menunjukkan bahwa keberhasilan misi bukan bergantung pada Musa, melainkan pada Allah yang berjanji untuk hadir. George W. Coats menafsirkan kisah ini sebagai paradigma panggilan profetik, di mana keraguan manusia dijawab oleh janji penyertaan Allah.(20) Dengan demikian, bagian awal Kitab Keluaran memperlihatkan bahwa penindasan dan panggilan saling terkait: Allah hadir dalam penderitaan dan memanggil seorang hamba untuk menjadi instrumen pembebasan umat-Nya.

2.     Tindakan Allah Membebaskan Israel melalui Tulah dan Peristiwa Paskah (Pasal 5–15)

Narasi pembebasan Israel melalui sepuluh tulah dan peristiwa Paskah merupakan pusat teologis Kitab Keluaran. Bagian ini menekankan bahwa pembebasan Israel bukanlah hasil negosiasi politik atau kekuatan manusia, melainkan karya langsung Allah yang menyingkapkan kuasa-Nya atas Mesir dan dewa-dewanya. Setiap tulah bukan sekadar bencana alam, tetapi tanda penghakiman Allah yang disengaja, yang mengungkapkan ketidakberdayaan Firaun di hadapan kuasa ilahi. Augustine menafsirkan tulah sebagai “pedang kebenaran” yang menundukkan kesombongan bangsa penyembah berhala dan menyatakan keadilan Allah bagi umat-Nya yang tertindas.(21)

Lebih lanjut, puncak dari tindakan Allah ini ditandai dalam peristiwa Paskah, di mana darah anak domba menjadi tanda perlindungan bagi umat Israel. Dalam tradisi Kristen, peristiwa ini dilihat sebagai tipologi karya penebusan Kristus, “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29). Calvin menekankan bahwa Paskah adalah “sakramen yang menunjuk kepada Kristus,” yang bukan saja menyelamatkan Israel dari maut, tetapi juga mengarahkan umat percaya kepada penggenapan yang sempurna dalam Injil.(22) Dengan demikian, Paskah menjadi titik teologis di mana sejarah keselamatan diproyeksikan dari Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru.

Secara historis, tulah-tulah ini juga merepresentasikan konflik antara Allah Israel dengan struktur imperium Mesir. Walter Brueggemann menekankan bahwa peristiwa Keluaran adalah “counter-narrative” terhadap ideologi penindasan Mesir, di mana Allah menampilkan diri sebagai Pembebas yang menegakkan keadilan di hadapan kekuasaan imperium.(23) Brevard Childs menambahkan bahwa struktur literer dari kisah tulah menegaskan tema “Allah melawan para dewa,” di mana setiap tulah secara simbolis melemahkan otoritas religius Mesir.(24) Dengan demikian, pembebasan Israel bukan sekadar peristiwa historis, melainkan juga pernyataan teologis tentang Allah yang berdaulat atas sejarah dan bangsa-bangsa.

Ilustrasi Musa membelah Laut Teberau dalam Kitab Keluaran 5–15, menggambarkan pembebasan Israel dari Mesir melalui tulah dan peristiwa Paskah.
"Musa memimpin Israel keluar dari Mesir melalui Laut Teberau — puncak karya pembebasan Allah dalam Kitab Keluaran (Pasal 5–15)."

Akhir dari kisah ini ditutup dengan penyeberangan Laut Teberau (Laut Merah), di mana Israel sepenuhnya dilepaskan dari kuasa Mesir. Tindakan Allah membelah laut menegaskan kuasa penciptaan yang sama kini bekerja untuk pembebasan. Dalam tradisi Patristik, Origen menafsirkan peristiwa ini sebagai gambaran baptisan, di mana umat Allah melewati air menuju kehidupan baru, sementara musuh mereka dibinasakan.(25) Dengan demikian, bagian Keluaran 5–15 bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga fondasi teologis tentang Allah yang menyelamatkan, membebaskan, dan menuntun umat-Nya ke dalam kehidupan baru.

3.     Perjalanan di Padang Gurun Menuju Sinai (Pasal 16–18)

Setelah dilepaskan dari Mesir, Israel memasuki masa transisi penting di padang gurun, suatu tempat yang menjadi arena ujian iman dan ketaatan kepada Allah. Pasal 16–18 menampilkan perjalanan Israel yang penuh pergumulan: kelaparan, kehausan, dan ketidakpuasan sering kali membuat mereka bersungut-sungut terhadap Musa dan Allah. Namun, Allah justru memakai situasi krisis ini untuk menunjukkan kesetiaan-Nya melalui pemberian manna dan air dari batu. John Calvin menafsirkan manna sebagai "tanda pemeliharaan Allah yang bukan hanya memberi cukup untuk tubuh, tetapi juga mendidik umat-Nya agar bergantung pada Firman yang keluar dari mulut-Nya."(26) Dengan demikian, padang gurun tidak semata-mata simbol kesulitan, melainkan juga sekolah iman di mana Israel belajar mengenal Allah sebagai Penyedia.

Ilustrasi perjalanan Israel di padang gurun menuju Sinai dalam Kitab Keluaran 16–18, menampilkan pemberian manna, air dari batu, dan kemenangan atas Amalek melalui doa Musa.
"Perjalanan Israel di padang gurun menuju Sinai: Allah menyediakan manna, air dari batu, dan memberi kemenangan atas Amalek (Keluaran 16–18)."

Kisah di Mara dan Masa-Meriba menegaskan aspek pedagogis ini. Augustine melihat peristiwa air dari batu sebagai tipologi Kristus, “Sang Batu Karang rohani yang mengalirkan kehidupan bagi umat-Nya.”(27) Paulus kemudian menggemakan hal ini dalam 1 Korintus 10:4, bahwa Kristuslah yang menyertai umat dalam perjalanan. Dari perspektif modern, Walter Brueggemann menekankan bahwa padang gurun adalah “ruang antara” (in-between space) di mana identitas Israel dibentuk, bukan lagi sebagai budak Mesir tetapi sebagai umat perjanjian yang dipersiapkan menuju Sinai.(28) Perjalanan ini memperlihatkan bahwa pembebasan bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu menuju relasi perjanjian yang lebih dalam dengan Allah.

Selain itu, narasi di padang gurun juga menyingkapkan dinamika sosial-politik dari umat yang baru saja dibebaskan. Musa menghadapi tantangan kepemimpinan, baik dari internal berupa sungut-sungut umat, maupun eksternal melalui serangan Amalek. Kemenangan Israel atas Amalek (Kel. 17:8–16) menunjukkan bahwa kemenangan sejati hanya datang dari tangan Allah, sementara Musa, Harun, dan Hur berperan sebagai perpanjangan tangan doa umat. Brevard Childs menekankan bahwa struktur literer bagian ini menyoroti peran doa syafaat dalam memelihara keberlangsungan umat.(29) Dengan demikian, peperangan Amalek bukan hanya narasi militer, melainkan pernyataan teologis tentang kuasa doa dan keterlibatan Allah dalam sejarah umat-Nya.

Akhir dari perjalanan menuju Sinai ditandai dengan kunjungan Yitro, mertua Musa, yang memberikan nasihat tentang struktur kepemimpinan (Kel. 18). Teks ini menegaskan pentingnya pembagian tanggung jawab dalam komunitas umat Allah. Origen membaca peristiwa ini sebagai pengajaran bahwa kepemimpinan rohani tidak boleh ditanggung sendirian, melainkan harus melibatkan partisipasi umat.(30) Dari perspektif kontemporer, Fretheim menekankan bahwa teks ini menunjukkan model kepemimpinan yang berbagi kuasa, suatu koreksi terhadap gaya kepemimpinan otoriter.(31) Maka, perjalanan Israel menuju Sinai adalah fase pembentukan: Allah menyatakan diri sebagai Penyedia, Penolong, dan Pembentuk komunitas, sekaligus mempersiapkan mereka untuk menerima hukum perjanjian di Sinai.

4.     Perjanjian di Gunung Sinai: hukum Taurat, Sepuluh Firman (Pasal 19–24).

Puncak teologis dari Kitab Keluaran terdapat pada peristiwa perjanjian di Gunung Sinai. Di sini, Israel yang telah ditebus dari Mesir diikat dalam relasi perjanjian dengan Allah sebagai umat kudus dan bangsa pilihan. Pemberian hukum bukanlah syarat untuk diselamatkan, melainkan konsekuensi dari anugerah pembebasan yang sudah mereka alami. John Calvin menekankan bahwa hukum di Sinai berfungsi sebagai “cermin” yang menunjukkan kehendak Allah dan memanggil umat untuk hidup dalam ketaatan sebagai respons terhadap kasih karunia-Nya.(32) Dengan demikian, hukum Taurat bukanlah beban legalistis, melainkan ekspresi dari hubungan perjanjian yang telah dibangun Allah dengan umat-Nya.

Ilustrasi Musa menerima Sepuluh Firman di Gunung Sinai dalam Kitab Keluaran 19–24, menggambarkan perjanjian Allah dengan Israel.
"Perjanjian di Gunung Sinai: Musa menerima Sepuluh Firman sebagai dasar identitas umat perjanjian (Keluaran 19–24)."

Bagian sentral dari perjanjian ini adalah Sepuluh Firman (Dekalog) yang termuat dalam Keluaran 20. Augustine menafsirkan Dekalog sebagai “kompendium moral” yang ringkas namun mencakup seluruh etika Kristen.(33) Bagi Augustine, hukum ini bukan hanya norma eksternal, melainkan sarana kasih karunia yang menuntun hati manusia kepada Allah. Origen melihatnya sebagai struktur rohani yang progresif: perintah pertama tentang kesetiaan kepada Allah menjadi fondasi bagi seluruh perintah lain, yang membentuk umat menuju kesempurnaan kasih.(34) Dengan demikian, Sepuluh Firman tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan inti moral dari seluruh hukum Taurat.

Dari perspektif modern, Brevard Childs menekankan bahwa struktur naratif Keluaran 19–24 menghubungkan peristiwa teofani di Sinai dengan peneguhan hukum.(35) Teofani yang penuh awan, gemuruh, dan suara sangkakala menegaskan kekudusan Allah, sehingga hukum dipahami bukan semata sebagai aturan sosial, melainkan firman ilahi yang mengikat. Walter Brueggemann menambahkan bahwa hukum di Sinai membentuk Israel sebagai komunitas alternatif, sebuah masyarakat yang berbeda dari pola penindasan Mesir.(36) Hukum ini bukanlah sistem abstrak, tetapi jalan hidup yang menekankan keadilan, kesetaraan, dan penyembahan eksklusif kepada Allah.

Akhir dari bagian ini (Kel. 24) menampilkan pengikatan perjanjian melalui darah korban yang dipercikkan pada mezbah dan umat. Peristiwa ini menegaskan dimensi sakral dari perjanjian: Israel menjadi umat Allah melalui ikatan darah yang mengikat kedua belah pihak. Terence Fretheim menafsirkan momen ini sebagai perjanjian yang melibatkan komitmen timbal balik, Allah berjanji menyertai umat-Nya, dan Israel dipanggil untuk menaati firman-Nya.(37) Dengan demikian, perjanjian di Gunung Sinai adalah dasar identitas teologis Israel sebagai umat perjanjian, yang hidup di bawah hukum Allah sebagai respons terhadap kasih pembebasan.

5.     Petunjuk dan Pembangunan Kemah Suci (Pasal 25–40)

Bagian akhir Kitab Keluaran menyoroti perintah Allah yang rinci mengenai pembangunan Kemah Suci, sebagai pusat kehadiran-Nya di tengah bangsa Israel. Pasal 25–31 memuat instruksi yang detail tentang rancangan Kemah Suci, termasuk perabot-perabot kudus seperti tabut perjanjian, meja roti sajian, kandil emas, mezbah, dan pakaian imam. Rincian ini menunjukkan bahwa Allah bukan hanya membebaskan umat-Nya, tetapi juga menyediakan sarana ibadah di mana umat dapat mengalami perjumpaan dengan-Nya. Augustine menekankan bahwa simbol-simbol dalam Kemah Suci mengarah pada Kristus sebagai penggenapan kehadiran Allah yang sejati di antara manusia (lih. City of God, XV). Origen juga menafsirkan dimensi alegoris Kemah Suci, melihatnya sebagai lambang dari jiwa manusia yang dipenuhi oleh kehadiran ilahi melalui Roh Kudus.(38)

Kemah Suci Israel di padang gurun dengan tabut perjanjian dan perabot kudus, menggambarkan kehadiran Allah di tengah umat menurut Kitab Keluaran 25–40.
Ilustrasi Kemah Suci di padang gurun: pusat ibadah dan kehadiran Allah di tengah Israel, sesuai dengan petunjuk dalam Keluaran 25–40.

Namun, di tengah instruksi tersebut, muncul kisah dramatis penyembahan anak lembu emas (Kel. 32). Episode ini menjadi ironi besar: sementara Musa menerima hukum dan petunjuk untuk ibadah yang benar, bangsa Israel justru jatuh ke dalam penyembahan berhala. Peristiwa ini menggambarkan betapa rapuhnya ketaatan manusia meskipun telah menerima penyataan Allah yang jelas. John Calvin dalam Commentaries on the Four Last Books of Moses menegaskan bahwa penyembahan lembu emas adalah bukti nyata dari kecenderungan hati manusia yang mudah berpaling, sehingga manusia membutuhkan anugerah Allah untuk tetap setia.(39)

Setelah peristiwa itu, terjadi pemulihan relasi melalui doa syafaat Musa dan pembaruan perjanjian (Kel. 34). Hal ini menegaskan bahwa meskipun umat Allah sering gagal, Allah tetap setia kepada janji-Nya. Brueggemann menafsirkan bahwa bagian ini bukan sekadar kisah sejarah, melainkan refleksi teologis bahwa kehadiran Allah di tengah umat selalu menjadi pusat identitas dan keberlangsungan mereka sebagai bangsa.(40) Oleh karena itu, pembangunan Kemah Suci yang dilanjutkan dalam pasal 35–40 menjadi tanda pemulihan perjanjian dan penggenapan janji Allah.

Akhir Kitab Keluaran ditandai dengan selesainya pembangunan Kemah Suci, dan kemuliaan Allah memenuhi tempat kudus itu (Kel. 40:34–38). Fretheim menekankan bahwa penutup ini menegaskan tema sentral Keluaran: Allah bukan hanya Penebus yang membebaskan umat dari perbudakan, melainkan juga Allah yang berdiam di tengah umat untuk menuntun perjalanan mereka.(41) Dengan demikian, struktur keseluruhan Kitab Keluaran bergerak dari pembebasan (keluar dari Mesir), menuju perjanjian (Gunung Sinai), dan akhirnya menuju penyertaan Allah (Kemah Suci). Ini adalah narasi yang menyatukan keselamatan, hukum, dan ibadah sebagai fondasi kehidupan umat Allah.

Tema-tema Teologis Utama

1.     Allah sebagai Penebus dan Pembebas umat-Nya

Kitab Keluaran menampilkan Allah sebagai Penebus yang menyatakan kuasa-Nya melalui pembebasan Israel dari Mesir. Peristiwa eksodus tidak sekadar menjadi catatan sejarah, tetapi menjadi dasar identitas umat Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Augustine menafsirkan peristiwa eksodus sebagai “figur keselamatan”, di mana Mesir melambangkan perbudakan dosa dan pembebasan Israel menunjuk kepada karya penebusan Kristus yang membebaskan manusia dari dosa dan maut.(42) John Calvin juga menekankan bahwa Allah membebaskan Israel bukan karena jasa mereka, melainkan karena kasih dan pemilihan-Nya yang berdaulat.(43) Dengan demikian, eksodus menjadi paradigma utama untuk memahami karya penyelamatan Allah dalam seluruh sejarah penebusan.

Bangsa Israel keluar dari Mesir dipimpin Musa, melintasi laut yang terbelah sebagai simbol Allah Penebus yang membebaskan umat-Nya.
"Allah menyatakan diri sebagai Penebus dan Pembebas umat-Nya melalui peristiwa eksodus, yang menjadi dasar identitas iman Israel dan gambaran penebusan dalam Kristus."

Pembebasan Israel tidak hanya bersifat politis, tetapi juga teologis: Allah bertindak sebagai Go’el (penebus) yang membela umat-Nya dari penindasan. Origen menekankan bahwa tindakan Allah ini bukan hanya pelepasan jasmani, melainkan juga gambaran transformasi rohani, di mana umat dipanggil untuk keluar dari “Mesir rohani” yaitu keterikatan pada dosa.(44) Dalam kerangka modern, Walter Brueggemann melihat eksodus sebagai momen teologis yang menegaskan Allah sebagai subjek utama sejarah, bukan hanya saksi pasif.(45) Brevard Childs menambahkan bahwa eksodus meneguhkan relasi perjanjian Allah dengan umat, sehingga pembebasan tidak dapat dipisahkan dari panggilan menuju ketaatan dan kekudusan.(46) Maka, penebusan yang Allah kerjakan bukanlah akhir, melainkan awal dari relasi yang lebih dalam dengan-Nya.

Dimensi soteriologis eksodus menemukan kepenuhannya dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam karya Yesus Kristus. Seperti Israel yang ditebus dari Mesir, demikian pula umat manusia ditebus dari dosa melalui darah Anak Domba Allah (Yoh. 1:29; 1 Kor. 5:7). Terence Fretheim menegaskan bahwa eksodus harus dipahami sebagai pola tindakan Allah yang berulang dalam sejarah, yakni Allah yang turun tangan untuk menyelamatkan umat-Nya dari penderitaan.(47) Oleh karena itu, eksodus bukan hanya kisah Israel, tetapi juga kisah universal tentang Allah yang membebaskan manusia dari kuasa yang menindas. Dalam konteks iman Kristen, tema ini memperlihatkan kesinambungan antara karya Allah dalam Perjanjian Lama dan penggenapannya dalam Kristus, Penebus sejati.

2.     Perjanjian Allah dengan umat Israel

Perjanjian di Gunung Sinai merupakan salah satu momen puncak dalam Kitab Keluaran, ketika Allah menetapkan hubungan yang unik dengan bangsa Israel. Perjanjian ini meneguhkan identitas Israel bukan hanya sebagai bangsa yang dimerdekakan dari perbudakan, tetapi juga sebagai umat pilihan yang hidup dalam komitmen kepada Allah. John Calvin menekankan bahwa perjanjian Sinai memperlihatkan kasih karunia Allah yang mendahului ketaatan manusia; Allah lebih dahulu memilih dan menebus Israel sebelum memberikan hukum sebagai pedoman hidup.(48) Augustine juga melihat perjanjian ini sebagai cara Allah mendidik umat-Nya, menuntun mereka dari “bayangan” hukum menuju “terang” Injil yang akan digenapi dalam Kristus.(49) Dengan demikian, perjanjian Sinai bukan sekadar kontrak legal, melainkan ekspresi kasih karunia Allah yang membentuk identitas umat-Nya.

Musa memegang loh batu Sepuluh Firman di Gunung Sinai, melambangkan perjanjian Allah dengan umat Israel.
"Perjanjian di Gunung Sinai meneguhkan identitas Israel sebagai umat pilihan Allah yang dipanggil untuk hidup dalam ketaatan dan kekudusan."

Isi perjanjian itu sendiri terpusat pada Sepuluh Firman, yang menjadi fondasi etis dan spiritual kehidupan umat Allah. Origen menafsirkan Sepuluh Firman sebagai hukum moral universal yang tidak hanya berlaku bagi Israel, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.(50) Brevard Childs menambahkan bahwa perjanjian Sinai memperlihatkan karakter Allah yang kudus sekaligus penuh belas kasih, karena hukum diberikan dalam konteks relasi, bukan sekadar aturan kaku.(51) Hal ini menunjukkan bahwa Israel dipanggil bukan hanya untuk menaati hukum, melainkan juga untuk hidup dalam relasi perjanjian dengan Allah yang hidup. Dengan demikian, ketaatan kepada hukum adalah respons kasih umat terhadap anugerah Allah yang telah membebaskan mereka.

Walter Brueggemann menekankan bahwa perjanjian Sinai mengikat Israel pada suatu pola hidup alternatif yang berbeda dari bangsa-bangsa lain, yaitu hidup dalam kesetiaan kepada Allah dan keadilan sosial.(52) Perjanjian ini membentuk komunitas yang bercirikan kekudusan, keadilan, dan kasih setia, sehingga mereka menjadi saksi bagi bangsa-bangsa lain. Terence Fretheim melihat perjanjian sebagai cara Allah menghadirkan diri di tengah kehidupan umat, menjadikan relasi itu bukan hanya bersifat vertikal (antara Allah dan umat), tetapi juga horizontal (antara sesama manusia).(53) Dengan demikian, perjanjian Sinai menjadi landasan teologis dan etis bagi kehidupan Israel sebagai umat yang ditebus.

Dimensi perjanjian ini akhirnya menunjuk kepada penggenapannya dalam Kristus, yang mendirikan perjanjian baru melalui darah-Nya (Luk. 22:20). Jika perjanjian Sinai menekankan hukum yang tertulis di loh batu, maka perjanjian baru dalam Kristus menekankan hukum yang ditulis di hati oleh Roh Kudus (Yer. 31:33; 2 Kor. 3:3). Augustine menafsirkan hal ini sebagai transisi dari “huruf yang membunuh” menuju “Roh yang memberi hidup.”(54) Dengan demikian, perjanjian Sinai tetap relevan, bukan sebagai sistem hukum yang legalistik, melainkan sebagai dasar pengertian akan kesetiaan Allah yang berlanjut dan menemukan kepenuhannya dalam karya Kristus.

3.     Kehadiran Allah melalui Taurat dan Kemah Suci

Salah satu tema teologis utama dalam Kitab Keluaran adalah bahwa Allah berkenan hadir di tengah umat-Nya. Kehadiran Allah ini dinyatakan melalui pemberian Taurat di Gunung Sinai dan pembangunan Kemah Suci sebagai tempat kediaman Allah di antara Israel. Augustine menekankan bahwa Taurat bukan sekadar hukum eksternal, tetapi sarana di mana umat belajar mengenal kehendak Allah dan dipersiapkan untuk penggenapannya dalam Kristus.(55) Demikian pula, Origen melihat Taurat sebagai “cermin rohani” yang menyingkapkan kebutuhan manusia akan anugerah Allah.(56) Dengan demikian, Taurat bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana yang menunjuk pada realitas kehadiran Allah di tengah umat.

Ilustrasi Kemah Suci Israel di padang gurun dengan tiang awan dan tiang api sebagai lambang kehadiran Allah di tengah umat.
"Kehadiran Allah melalui Taurat dan Kemah Suci meneguhkan relasi perjanjian-Nya, di mana Allah yang transenden memilih berdiam di tengah umat-Nya."

Kehadiran Allah juga diwujudkan secara konkret melalui Kemah Suci, yang dibangun sesuai petunjuk Allah kepada Musa. Kemah Suci menjadi simbol kehadiran Allah yang bergerak bersama umat dalam perjalanan mereka. John Calvin menekankan bahwa Kemah Suci mengajarkan umat tentang kesucian dan keteraturan ibadah, sekaligus menegaskan bahwa Allah memilih untuk “berdiam” di tengah bangsa yang lemah dan rapuh.(57) Brevard Childs melihat bahwa narasi pembangunan Kemah Suci (Kel. 25–40) bukan sekadar bagian teknis, tetapi memiliki makna teologis mendalam: Allah yang transenden memilih hadir secara imanen di tengah komunitas umat-Nya.(58) Kehadiran Allah ini meneguhkan identitas Israel sebagai umat perjanjian.

Walter Brueggemann menafsirkan Taurat dan Kemah Suci sebagai tanda bahwa Allah tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga menuntun umat dalam kehidupan sehari-hari.(59) Taurat mengarahkan umat untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah, sementara Kemah Suci menghadirkan Allah secara simbolis dalam ibadah dan persekutuan. Terence Fretheim menambahkan bahwa kehadiran Allah dalam Kemah Suci memperlihatkan solidaritas Allah dengan umat dalam perjalanan mereka, meneguhkan bahwa Allah bukan hanya Tuhan yang jauh, tetapi juga dekat.(60) Kehadiran ini bukan hanya untuk disembah, tetapi juga untuk membentuk umat agar menjadi kudus seperti Dia.

Secara tipologis, kehadiran Allah melalui Taurat dan Kemah Suci mencapai puncaknya dalam Yesus Kristus. Yohanes 1:14 menyatakan bahwa “Firman itu telah menjadi daging dan berdiam (eskenōsen, harfiah: berkemah) di antara kita,” menunjuk pada Kristus sebagai Kemah Suci yang sejati. Augustine menafsirkan hal ini sebagai pemenuhan janji Allah bahwa Ia akan tinggal bersama umat-Nya, bukan lagi dalam bangunan buatan tangan manusia, tetapi dalam diri Sang Anak.(61) Dengan demikian, Taurat dan Kemah Suci dalam Kitab Keluaran bukan hanya berfungsi bagi Israel, tetapi juga menunjuk pada kehadiran Allah yang sempurna dalam Kristus, yang menyertai umat-Nya sampai kepada kesudahannya.

4.     Konsep ibadah, kekudusan, dan ketaatan

Kitab Keluaran menekankan bahwa tujuan utama pembebasan Israel dari Mesir adalah agar mereka dapat beribadah kepada Allah. Sejak Musa diutus, Allah memerintahkan Firaun untuk melepaskan umat-Nya supaya mereka dapat melayani-Nya di padang gurun (Kel. 7:16). Augustine menekankan bahwa kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk hidup tanpa aturan, tetapi kebebasan untuk beribadah kepada Allah dalam kebenaran.(62) John Calvin juga menafsirkan eksodus sebagai peralihan dari “perbudakan manusia” menuju “perhambaan kepada Allah,” yang merupakan bentuk ketaatan sejati.(63) Dengan demikian, ibadah dalam Kitab Keluaran dipahami sebagai respons syukur umat terhadap karya pembebasan Allah.

Umat Israel beribadah di Kemah Suci dengan imam mempersembahkan korban di mezbah, melambangkan konsep ibadah, kekudusan, dan ketaatan dalam Kitab Keluaran.
"Ibadah di Kemah Suci menekankan panggilan umat untuk hidup dalam kekudusan dan ketaatan kepada Allah"

Konsep ibadah ini erat kaitannya dengan kekudusan. Israel dipanggil menjadi umat kudus karena Allah sendiri kudus (Kel. 19:6). Origen menafsirkan panggilan kekudusan ini sebagai proses transformasi rohani, di mana umat dipisahkan dari kebiasaan duniawi untuk diarahkan kepada kemurnian hidup.(64) Brevard Childs menambahkan bahwa kekudusan dalam Kitab Keluaran bukan sekadar kategori ritual, melainkan identitas yang menandai umat sebagai milik Allah.(65) Kekudusan menuntut keterpisahan dari praktik kafir, tetapi sekaligus keterlibatan dalam relasi etis yang adil dan penuh kasih di antara sesama.

Ketaatan menjadi aspek penting yang mengikat ibadah dan kekudusan. Walter Brueggemann menekankan bahwa Israel dipanggil untuk hidup dalam pola ketaatan yang meneguhkan keadilan sosial, sebagai tanda kesetiaan pada perjanjian dengan Allah.(66) Ketaatan ini tidak dipahami sebagai beban hukum, melainkan sebagai tanggapan terhadap kasih karunia yang telah mendahului. Terence Fretheim menambahkan bahwa ketaatan Israel bukan hanya bersifat legalistik, tetapi juga relasional, karena melalui ketaatan umat memelihara kehadiran Allah dalam kehidupan mereka.(67) Dengan demikian, ibadah sejati bukan hanya perayaan ritual, tetapi juga pola hidup yang mencerminkan kesetiaan dan kekudusan.

Dimensi ibadah, kekudusan, dan ketaatan ini mencapai kepenuhannya dalam Kristus, yang mengajarkan bahwa ibadah sejati harus dilakukan “dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24). Augustine menafsirkan hal ini sebagai penggenapan Taurat dalam kasih, di mana ketaatan kepada Allah bukan lagi sekadar kewajiban eksternal, tetapi ekspresi kasih yang lahir dari hati yang diperbarui.(68) Dengan demikian, Kitab Keluaran mengajarkan bahwa pembebasan umat Allah bertujuan untuk menuntun mereka pada kehidupan yang berpusat pada ibadah, yang ditandai dengan kekudusan dan ketaatan kepada Allah yang hidup.

Pesan Teologis dan Relevansi bagi Gereja Masa Kini

1.     Pemahaman tentang Allah yang Setia dan Berdaulat

Kitab Keluaran menegaskan bahwa Allah adalah pribadi yang setia pada janji-Nya kepada nenek moyang Israel, Abraham, Ishak, dan Yakub (Kel. 2:24). Kesetiaan Allah ini terlihat dalam tindakan-Nya yang membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, bukan karena kebaikan atau kekuatan Israel, melainkan karena kasih dan perjanjian-Nya yang tidak berubah.(69) Kesetiaan Allah dalam Keluaran menjadi dasar bagi gereja untuk memahami bahwa Allah tetap konsisten dalam melaksanakan rencana keselamatan-Nya bagi umat manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh Childs, narasi eksodus tidak hanya berbicara tentang pembebasan historis, tetapi juga mengungkapkan karakter Allah yang dapat dipercaya di sepanjang sejarah.(70)

Musa memimpin umat Israel menyeberangi Laut Merah yang terbelah, melambangkan Allah yang setia dan berdaulat atas umat-Nya dan sejarah.
"Allah yang setia dan berdaulat menuntun umat Israel keluar dari perbudakan Mesir, menunjukkan kesetiaan-Nya yang tak tergoyahkan dan kuasa-Nya yang mutlak."

Selain setia, Allah dalam Kitab Keluaran juga ditampilkan sebagai Allah yang berdaulat atas seluruh ciptaan. Tulah-tulah yang dijatuhkan atas Mesir (Kel. 7–12) menunjukkan kuasa Allah yang mutlak, bukan hanya terhadap Firaun tetapi juga terhadap dewa-dewa Mesir.(71) Brueggemann menekankan bahwa eksodus adalah momen teologis di mana Allah menunjukkan diri sebagai Tuhan yang membongkar tatanan penindasan dan menegakkan kehendak-Nya sendiri.(72) Dengan demikian, gereja masa kini belajar bahwa Allah bukan sekadar pelindung rohani, tetapi juga Raja yang berdaulat atas kehidupan sosial, politik, dan sejarah umat manusia.

Kesetiaan dan kedaulatan Allah dalam Kitab Keluaran juga memiliki dimensi etis bagi umat-Nya. Karena Allah setia, umat Israel dipanggil untuk menanggapi dengan kesetiaan melalui ketaatan pada hukum Taurat (Kel. 19–24).(73) Demikian pula, gereja masa kini dipanggil untuk menanggapi kesetiaan Allah dalam Kristus dengan hidup dalam iman dan ketaatan. Augustinus menegaskan bahwa kesetiaan Allah adalah dasar iman yang tidak tergoyahkan, sebab sekalipun manusia lemah dan berubah-ubah, Allah tetap teguh pada janji-Nya.(74) Hal ini menunjukkan bahwa doktrin kesetiaan Allah tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga bersifat pastoral yang memberi penghiburan bagi umat percaya.

Dengan memahami Allah yang setia dan berdaulat, gereja masa kini dipanggil untuk hidup dalam keyakinan bahwa Allah tetap bekerja dalam sejarah. Seperti Israel yang dituntun keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian, demikian pula gereja dituntun oleh Allah menuju kepenuhan keselamatan di dalam Kristus. Origen menafsirkan eksodus sebagai gambaran perjalanan jiwa manusia yang dipimpin Allah dari perbudakan dosa menuju kebebasan rohani.(75) Dengan demikian, pesan teologis dari Kitab Keluaran tetap relevan: Allah yang setia dan berdaulat menjadi dasar iman dan pengharapan gereja di setiap zaman.

2.     Keluaran sebagai Gambaran Keselamatan dalam Kristus

Kitab Keluaran secara teologis menampilkan eksodus Israel dari Mesir sebagai tipologi keselamatan yang digenapi dalam Kristus. Pembebasan Israel dari perbudakan Mesir merupakan gambaran awal dari karya penebusan Allah yang lebih besar, yakni keselamatan manusia dari dosa melalui Kristus.(76) John Calvin menekankan bahwa eksodus bukan hanya peristiwa historis, tetapi juga tanda dan bayangan dari karya penyelamatan Kristus, di mana darah Anak Domba Allah membebaskan umat dari hukuman dosa.(77) Augustinus juga menafsirkan pengalaman umat Israel menyeberangi Laut Merah sebagai simbol baptisan, di mana air melambangkan pembersihan dari dosa dan masuknya umat ke dalam hidup baru.(78)

Umat Israel menandai pintu dengan darah domba Paskah dan meninggalkan Mesir, melambangkan eksodus sebagai tipologi keselamatan dalam Kristus.
"Peristiwa Paskah dalam Keluaran menjadi gambaran keselamatan dalam Kristus, di mana darah Anak Domba Allah menebus umat dari dosa dan maut."

Peristiwa Paskah dalam Keluaran (Kel. 12) menegaskan tipologi ini secara teologis. Darah domba Paskah yang menandai pintu rumah Israel menjadi tanda keselamatan dan perlindungan dari kematian. Walter Brueggemann menekankan bahwa narasi ini menegaskan Allah sebagai Penyelamat yang aktif bekerja untuk umat-Nya, sekaligus membentuk kerangka pemahaman keselamatan yang berlanjut hingga Perjanjian Baru.(79) Dalam perspektif Kristiani, Yesus disebut sebagai Anak Domba Paskah sejati (1 Kor. 5:7), yang darah-Nya menebus umat manusia dari kuasa dosa dan maut. Terence Fretheim menambahkan bahwa tipologi eksodus mengajarkan gereja untuk memahami keselamatan sebagai karya Allah yang aktif dan mengubah hidup, bukan sekadar peristiwa masa lalu.(80)

Selain itu, perjalanan Israel melalui padang gurun menjadi simbol proses keselamatan yang progresif. Eksodus bukan sekadar pembebasan instan, tetapi perjalanan panjang yang membutuhkan iman, ketergantungan pada Allah, dan ketaatan pada petunjuk-Nya.(81) Brevard Childs menekankan bahwa narasi perjalanan ini mengajarkan bahwa keselamatan dalam Kristus juga mencakup pertumbuhan rohani dan kehidupan baru dalam relasi dengan Allah.(82) Dalam konteks gereja masa kini, pengalaman eksodus menginspirasi umat untuk memahami keselamatan sebagai proses transformatif yang menuntun dari “perbudakan dosa” menuju hidup dalam Roh.

Dengan demikian, Kitab Keluaran menyajikan gambaran keselamatan yang lengkap dalam Kristus, mulai dari pembebasan historis Israel, peristiwa Paskah, hingga perjalanan padang gurun yang membentuk iman dan ketaatan umat. Augustine menegaskan bahwa keselamatan sejati hanya ditemukan dalam Kristus, yang menggenapi seluruh tipologi eksodus dan membawa umat ke persekutuan kekal dengan Allah.(83) Pesan teologis ini tetap relevan bagi gereja masa kini, mengingat setiap orang percaya dipanggil untuk hidup dalam iman, taat, dan pengharapan akan karya penebusan Allah yang terus berlaku hingga kini.

3.     Prinsip Ibadah dan Ketaatan Umat Allah Sepanjang Masa

Kitab Keluaran menekankan bahwa ibadah dan ketaatan merupakan respons utama umat terhadap karya penyelamatan Allah. Setelah Allah membebaskan Israel dari Mesir, tujuan yang jelas adalah agar umat-Nya beribadah kepada-Nya (Kel. 7:16).(84) Pembebasan dari perbudakan bukan sekadar pelepasan sosial, melainkan transformasi relasional: Israel dipanggil untuk hidup sebagai umat perjanjian yang mengutamakan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Augustine menekankan bahwa ibadah sejati bukan terletak pada ritual semata, melainkan pada pengarahan hati yang sepenuhnya kepada Allah sebagai tujuan akhir manusia.(85) Dengan demikian, ibadah bukan hanya kegiatan kultis, melainkan wujud pengabdian total umat kepada Allah yang telah menebus mereka.

Umat Israel beribadah di Kemah Suci dengan imam memimpin, melambangkan prinsip ibadah dan ketaatan umat Allah sepanjang masa.
"Ibadah dan ketaatan adalah respons umat Allah terhadap kasih karunia-Nya, menegaskan kehidupan kudus dan pengabdian yang sejati sepanjang masa."

Pemberian Taurat dan petunjuk pembangunan Kemah Suci menegaskan bahwa ibadah harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan Allah.(86) John Calvin melihat Taurat bukan sekadar hukum legalistik, melainkan pedoman hidup kudus yang menuntun umat untuk menghormati Allah melalui ketaatan.(87) Dalam perspektif ini, ketaatan bukanlah beban, melainkan bentuk syukur dan pengakuan bahwa hidup umat sepenuhnya bergantung pada kasih setia Allah. Brevard Childs menekankan bahwa hukum-hukum dalam Keluaran membentuk komunitas perjanjian yang hidup dalam kehadiran Allah dan mencerminkan kekudusan-Nya.(88)

Prinsip ibadah dan ketaatan ini memiliki relevansi penting bagi gereja masa kini. Walter Brueggemann menegaskan bahwa ibadah dalam Alkitab selalu terkait dengan pembebasan, yakni tindakan Allah yang menuntut respons etis dari umat.(89) Oleh karena itu, ibadah Kristen tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, melainkan harus mencakup ketaatan dalam keadilan sosial, kesetiaan dalam relasi, dan kesalehan dalam perilaku. Terence Fretheim menambahkan bahwa kehadiran Allah di tengah umat melalui Kemah Suci menandakan bahwa ibadah adalah ruang perjumpaan transformatif, di mana Allah membentuk identitas umat untuk menjadi saksi-Nya di tengah dunia.(90)

Dengan demikian, Kitab Keluaran mengajarkan bahwa ibadah sejati adalah hidup dalam ketaatan yang konsisten kepada Allah, sebagai respons atas kasih karunia dan pembebasan yang telah diterima.(91) Bagi gereja masa kini, prinsip ini mengingatkan bahwa keselamatan yang dianugerahkan dalam Kristus menuntut komitmen yang nyata untuk hidup kudus, beribadah dengan tulus, dan menaati kehendak Allah sepanjang masa.

Kesimpulan

1.     Rangkuman Isi Kitab Keluaran

Kitab Keluaran menceritakan perjalanan umat Israel dari penindasan di Mesir menuju pembebasan dan pembentukan identitas sebagai umat pilihan Allah. Narasi dimulai dengan pertumbuhan populasi Israel di Mesir, diikuti oleh penindasan dan perbudakan yang dilakukan oleh Firaun (Kel. 1). Dalam konteks ini, Allah memanggil Musa untuk menjadi pemimpin pembebasan umat-Nya, menunjukkan kesetiaan dan kuasa-Nya yang tak tergoyahkan. Peristiwa tulah dan Paskah menandai karya Allah yang konkret dan menyelamatkan, membebaskan umat dari perbudakan serta menegaskan panggilan mereka untuk menjadi umat kudus yang beribadah kepada Allah.

Setelah pembebasan, perjalanan umat Israel melalui padang gurun menegaskan ketergantungan mereka pada pemeliharaan dan petunjuk Allah. Allah menyediakan manna, air dari batu, dan perlindungan dari musuh, sehingga perjalanan eksodus menjadi simbol pertumbuhan iman dan ketaatan umat. Pengalaman ini menekankan bahwa pembebasan bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga perjalanan rohani yang membentuk karakter umat sebagai komunitas perjanjian. Walter Brueggemann menekankan bahwa padang gurun adalah “laboratorium iman” di mana umat belajar hidup dalam ketergantungan total kepada Allah.

Puncak narasi Keluaran terjadi di Gunung Sinai, di mana Allah meneguhkan perjanjian melalui pemberian Taurat dan Sepuluh Perintah Allah. Hukum ini menegaskan prinsip ketaatan, kekudusan, dan tanggung jawab etis umat Israel. Petunjuk rinci tentang pembangunan Kemah Suci menunjukkan bagaimana Allah menghadirkan diri-Nya di tengah umat, sehingga ibadah mereka menjadi manifestasi hidup dalam perjanjian. Brevard Childs menegaskan bahwa Taurat dan Kemah Suci tidak hanya mengatur ritual, tetapi membentuk identitas sosial, spiritual, dan teologis umat sebagai saksi Allah di dunia.

Secara keseluruhan, Kitab Keluaran menyajikan kisah pembebasan, pembentukan perjanjian, dan peneguhan identitas umat Allah. Tema-tematis seperti Allah sebagai Penebus, Perjanjian Allah, Kehadiran Allah, dan konsep ibadah, kekudusan, serta ketaatan membimbing umat dalam memahami hubungan mereka dengan Allah. Selain itu, eksodus memiliki dimensi tipologis yang menunjuk pada keselamatan dalam Kristus, sehingga kitab ini bukan hanya relevan secara historis, tetapi juga memberikan pedoman teologis dan pastoral bagi gereja masa kini.

2.     Signifikansi Kitab Keluaran dalam Kanon Perjanjian Lama dan Kaitannya dengan Perjanjian Baru

Kitab Keluaran memiliki posisi strategis dalam kanon Perjanjian Lama karena menegaskan tema pembebasan, perjanjian, dan kehadiran Allah. Kisah eksodus menjadi referensi utama bagi para nabi dan penulis Perjanjian Lama, yang menekankan kesetiaan Allah kepada umat-Nya dan panggilan umat untuk hidup kudus dalam tanggung jawab sosial dan spiritual. Eksodus menegaskan identitas Israel sebagai umat pilihan yang dipanggil untuk mencerminkan kekudusan Allah di tengah bangsa-bangsa, sehingga hukum Taurat dan pembangunan Kemah Suci bukan hanya pengaturan ritual, tetapi juga sarana pembentukan komunitas yang setia kepada Allah.

Dalam konteks Perjanjian Baru, Keluaran dipahami sebagai tipologi keselamatan yang digenapi dalam Kristus. Darah domba Paskah, perjalanan menyeberangi Laut Merah, dan pemberian Taurat menjadi simbol yang menunjuk pada karya penebusan Kristus, yang membebaskan manusia dari dosa dan kuasa maut. Yesus disebut sebagai Anak Domba Paskah sejati (1 Kor. 5:7), yang darah-Nya menebus umat dari hukuman dosa, sehingga narasi eksodus memberikan dasar teologis bagi pemahaman keselamatan dalam iman Kristiani. Terence Fretheim menegaskan bahwa eksodus tidak hanya peristiwa historis, tetapi juga memberikan kerangka konseptual bagi gereja untuk memahami Allah sebagai Penyelamat yang aktif bekerja dalam sejarah manusia.

Selain aspek tipologi, Keluaran juga menekankan kesinambungan iman dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Kehadiran Allah di tengah umat melalui Kemah Suci menjadi bayangan bagi kehadiran Kristus di tengah jemaat (Yoh. 1:14). Hukum Taurat dan prinsip ketaatan yang ditetapkan Allah menegaskan standar moral dan etis yang digenapi dalam kehidupan dan ajaran Kristus, sehingga Kitab Keluaran tetap relevan sebagai pedoman spiritual dan teologis bagi gereja masa kini. Brevard Childs menekankan bahwa pemahaman kanonik ini membantu gereja melihat eksodus tidak hanya sebagai sejarah Israel, tetapi sebagai bagian integral dari rencana keselamatan Allah dalam Kristus.

Dengan demikian, Kitab Keluaran memiliki signifikansi historis, teologis, dan pastoral yang mendalam. Dalam kanon Perjanjian Lama, kitab ini membentuk identitas dan iman Israel; dalam Perjanjian Baru, eksodus menjadi gambaran keselamatan dalam Kristus. Eksodus menegaskan kesetiaan Allah, menuntun umat pada ketaatan dan ibadah yang kudus, serta menunjukkan karya Allah yang aktif dalam membebaskan, menuntun, dan menyelamatkan umat sepanjang sejarah. Pesan ini tetap relevan bagi gereja masa kini, yang dipanggil untuk hidup dalam iman, ketaatan, dan pengharapan akan keselamatan Allah.

Hormat Saya

Tanda tangan penulis

Penulis dari Pinggiran

Daftar Pustaka

  1. John Calvin, Commentaries on the Four Last Books of Moses (Grand Rapids: Baker, 1981), hlm. 5.
  2. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 3–5.
  3. Richard Elliott Friedman, Who Wrote the Bible? (New York: HarperOne, 2019), hlm. 52–70.
  4. Augustine, The City of God, Book XVI, hlm. 355.
  5. Walter Brueggemann, Exodus (Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 7–10.
  6. Origen, Homilies on Exodus, trans. Ronald E. Heine (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1981), hlm. 45.
  7. Walter Brueggemann, The Prophetic Imagination (Minneapolis: Fortress Press, 2001), hlm. 19–22.
  8. John Calvin, Commentaries on the Four Last Books of Moses, hlm. 28–30.
  9. Brevard S. Childs, The Book of Exodus, hlm. 23–25.
  10. Augustine, The City of God, Book XVIII, hlm. 412.
  11. Walter Brueggemann, Exodus, hlm. 15.
  12. John Calvin, Commentaries on the Four Last Books of Moses (Grand Rapids: Baker, 1981), hlm. 12.
  13. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 10.
  14. Augustine, The City of God, Book XVIII, hlm. 406.
  15. Origen, Homilies on Exodus, trans. Ronald E. Heine (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1981), hlm. 52.
  16. Walter Brueggemann, Exodus (Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 24.
  17. John Calvin, Commentaries on the Four Last Books of Moses, hlm. 20.
  18. Augustine, The City of God, Book VIII, hlm. 280.
  19. Brevard S. Childs, The Book of Exodus, hlm. 62.
  20. George W. Coats, Moses: Heroic Man, Man of God (Sheffield: JSOT Press, 1988), hlm. 15–17.
  21. Augustine, The City of God, Book X, dalam Nicene and Post-Nicene Fathers, Vol. 2 (Grand Rapids: Eerdmans, 1956), 345.
  22. John Calvin, Commentary on Exodus, diterjemahkan oleh C. W. Bingham (Grand Rapids: Baker, 1996), 114.
  23. Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 174.
  24. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 1974), 169.
  25. Origen, Homilies on Exodus, diterjemahkan oleh Ronald E. Heine (Washington D.C.: Catholic University of America Press, 1981), 289.
  26. John Calvin, Commentaries on the Four Last Books of Moses (Grand Rapids: Baker, 1981), hlm. 5.
  27. Richard Elliott Friedman, Who Wrote the Bible? (New York: HarperOne, 2019), hlm. 52–70.
  28. Augustine, The City of God, Book XVI, hlm. 355.
  29. Origen, Homilies on Exodus, trans. Ronald E. Heine (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1981), hlm. 45.
  30. John Calvin, Commentaries on the Four Last Books of Moses, hlm. 28–30.
  31. Augustine, The City of God, Book XVIII, hlm. 412.
  32. John Calvin, Commentary on Exodus, terj. C. W. Bingham (Grand Rapids: Baker, 1996), 295.
  33. Augustine, The Spirit and the Letter, dalam Nicene and Post-Nicene Fathers, Vol. 5 (Grand Rapids: Eerdmans, 1956), 87.
  34. Origen, Homilies on Exodus, terj. Ronald E. Heine (Washington D.C.: Catholic University of America Press, 1981), 301.
  35. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 1974), 415.
  36. Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 191.
  37. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: Westminster John Knox, 1991), 215.
  38. Origen, Homilies on Exodus, trans. Ronald E. Heine (Washington, D.C.: CUA Press, 1982), hlm. 215.
  39. John Calvin, Commentaries on the Four Last Books of Moses Arranged in the Form of a Harmony, Vol. 2 (Grand Rapids: Eerdmans, 1950), hlm. 291.
  40. Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), hlm. 564.
  41. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: Westminster John Knox Press, 1991), hlm. 343–345.
  42. Augustine, On Christian Doctrine, Book III.
  43. John Calvin, Commentary on Exodus (trans. Charles W. Bingham, Grand Rapids: Eerdmans, 1948), hlm. 25
  44. Origen, Homilies on Exodus, II.
  45. Walter Brueggemann, Exodus (Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 29–30.
  46. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 12–14.
  47. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: John Knox Press, 1991), hlm. 18.
  48. John Calvin, Commentary on Exodus (trans. Charles W. Bingham, Grand Rapids: Eerdmans, 1948), hlm. 237.
  49. Augustine, On the Spirit and the Letter, ch. 27.
  50. Origen, Homilies on Exodus, VIII.
  51. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 437–439.
  52. Walter Brueggemann, Exodus (Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 711–712.
  53. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: John Knox Press, 1991), hlm. 204.
  54. Augustine, On the Spirit and the Letter, ch. 15.
  55. Ibid, ch. 28.
  56. Origen, Homilies on Exodus, XII.
  57. John Calvin, Commentary on Exodus (trans. Charles W. Bingham, Grand Rapids: Eerdmans, 1948), hlm. 327.
  58. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 525–527.
  59. Walter Brueggemann, Exodus (Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 869–870.
  60. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: John Knox Press, 1991), hlm. 248–249.
  61. Augustine, Tractates on the Gospel of John, Tractate II.
  62. Augustine, On Christian Doctrine, Book III.
  63. John Calvin, Commentary on Exodus (trans. Charles W. Bingham, Grand Rapids: Eerdmans, 1948), hlm. 412.
  64. Origen, Homilies on Exodus, XIII.
  65. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 551.
  66. Walter Brueggemann, Exodus (Nashville: Abingdon Press, 1994), hlm. 999–1000.
  67. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: John Knox Press, 1991), hlm. 273–274.
  68. Augustine, Tractates on the Gospel of John, Tractate XV.
  69. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: Westminster John Knox, 2010), 45.
  70. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Louisville: Westminster John Knox, 2004), 25.
  71. John I. Durham, Exodus (Waco: Word Books, 2002), 96–97.
  72. Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament (Minneapolis: Fortress Press, 2005), 180.
  73. Christopher J. H. Wright, The Mission of God (Downers Grove: IVP Academic, 2006), 142.
  74. Augustine, The City of God, Book XVI, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), 326.
  75. Origen, Homilies on Exodus, trans. Ronald E. Heine (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1982), 27.
  76. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: Westminster John Knox, 2010), 50–51.
  77. John Calvin, Commentary on Exodus (trans. Charles W. Bingham, Grand Rapids: Eerdmans, 1948), 145–146.
  78. Augustine, City of God, Book XVI, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), 328.
  79. Walter Brueggemann, Exodus (Nashville: Abingdon Press, 1994), 420–422.
  80. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: John Knox Press, 1991), 210.
  81. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), 540–542.
  82. Brevard S. Childs, Old Testament Theology in a Canonical Context (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 120.
  83. Augustine, On Christian Doctrine, Book III, ch. 24.
  84. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: Westminster John Knox, 2010), 104.
  85. Augustine, Confessions, Book I, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 21.
  86. Brevard S. Childs, The Book of Exodus: A Critical, Theological Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1974), 527–528.
  87. John Calvin, Commentary on Exodus (trans. Charles W. Bingham, Grand Rapids: Eerdmans, 1948), 278.
  88. Brevard S. Childs, Old Testament Theology in a Canonical Context (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 122.
  89. Walter Brueggemann, Theology of the Old Testament: Testimony, Dispute, Advocacy (Minneapolis: Fortress Press, 1997), 430–432.
  90. Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville: John Knox Press, 1991), 255.
  91. Origen, Homilies on Exodus, trans. Ronald E. Heine (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1981), 112.

Post a Comment

0 Comments