I. Latar Belakang Historis Kitab Samuel
-
A. Penulis, Waktu, dan Tempat Penulisan
-
Kitab Samuel secara tradisional dikaitkan dengan nabi Samuel, bersama Natan dan Gad sebagai rekan penyusun setelah kematiannya, sebagaimana disebut dalam 1 Tawarikh 29:29(1). Tradisi Yahudi menegaskan bahwa bagian awal kitab ini ditulis oleh Samuel, sedangkan bagian-bagian sesudahnya, terutama yang mencakup masa pemerintahan Daud, disusun oleh para nabi penerusnya. Meskipun demikian, kajian modern memandang Kitab Samuel sebagai hasil kompilasi dan redaksi teologis dari sumber-sumber sejarah dan tradisi lisan Israel yang disusun oleh penulis atau redaktor dari kalangan nabi pada masa kerajaan atau pascapembuangan(2).
Waktu penulisan Kitab Samuel kemungkinan besar terbentang antara abad ke-10 hingga abad ke-6 s.M., dengan bagian-bagian inti berasal dari masa pemerintahan Daud, kemudian disunting ulang pada masa pembuangan di Babel untuk memberikan refleksi teologis atas sejarah monarki Israel(3). Tempat penyusunannya diduga berada di wilayah Israel bagian selatan (Yehuda), pusat pemerintahan Daud, sementara penyuntingan akhirnya kemungkinan dilakukan di lingkungan pembuangan Babel.
Secara teologis, penulis tidak bermaksud hanya mencatat kronologi peristiwa, melainkan menafsirkan sejarah dalam terang kedaulatan Allah yang menuntun Israel dari masa hakim-hakim menuju berdirinya kerajaan di bawah Daud sebagai bagian dari rencana keselamatan-Nya(4).
-
Dalam kanon Ibrani, Kitab Samuel merupakan satu kitab yang disebut Sefer Shmuel (“Kitab Samuel”), dan baru dipisahkan menjadi 1 dan 2 Samuel oleh penerjemah Septuaginta (LXX) karena panjangnya teks Ibrani(5). Kitab ini menempati posisi penting sebagai jembatan antara masa hakim-hakim dan masa raja-raja, sehingga secara literer dan teologis merupakan bagian dari apa yang disebut para ahli sebagai Sejarah Deuteronomistis, bersama dengan kitab Ulangan, Yosua, Hakim-hakim, dan Raja-raja(6).
Kitab Samuel melanjutkan kisah penilaian rohani dari Hakim-hakim (“pada masa itu tidak ada raja di Israel, setiap orang berbuat sesuai pandangannya sendiri”, Hak. 21:25) menuju permintaan Israel akan raja seperti bangsa-bangsa lain (1Sam. 8:5). Dengan demikian, Kitab Samuel menjadi transisi naratif dan teologis dari teokrasi menuju monarki, di mana Allah tetap Raja sejati atas umat-Nya meski mereka memiliki pemimpin manusia(7).
-
Kitab Samuel disusun untuk menegaskan bahwa kedaulatan Allah bekerja melalui sejarah bangsa Israel, bahkan di tengah kelemahan manusia. Tujuan utama kitab ini adalah:
-
Konteks sosial Israel pada masa Samuel ditandai oleh perpecahan antar suku, ancaman eksternal dari bangsa Filistin, dan kemerosotan rohani dalam kepemimpinan imam (1Sam. 2:12–17). Bangsa Israel belum memiliki pemerintahan pusat; mereka hidup sebagai konfederasi suku-suku yang longgar di bawah para hakim lokal. Kondisi ini menimbulkan ketidakstabilan politik dan keputusasaan militer, sehingga rakyat menuntut raja agar dapat “memerintah atas kami seperti segala bangsa lain” (1Sam. 8:5).
Dari sisi rohani, kemerosotan rumah tangga imam Eli dan penyalahgunaan tabut perjanjian menandai krisis spiritual nasional, yang memunculkan panggilan nabi Samuel sebagai pemimpin rohani pembaharu. Dengan demikian, Kitab Samuel lahir dari konteks perubahan besar dalam identitas bangsa Israel, dari komunitas suku yang terpecah menuju bangsa dengan pemerintahan monarki di bawah Allah yang berdaulat(9).
-
Secara modern, Kitab Samuel dibagi menjadi dua bagian: 1 Samuel dan 2 Samuel.
-
Kedua kitab ini membentuk satu kesatuan naratif dengan pola teologis yang jelas:
Allah mengangkat, menilai, dan menegakkan pemimpin berdasarkan ketaatan, bukan kekuasaan.
II. Struktur Naratif Kitab 1 Samuel
-
A. Latar Awal - Krisis Kepemimpinan dan Panggilan Samuel (1 Sam. 1-7)
-
Kisah kelahiran Samuel membuka kitab ini dengan suasana krisis yang mendalam dalam kehidupan rohani Israel. Secara historis, periode ini merupakan masa transisi dari zaman Hakim-hakim menuju munculnya sistem kerajaan. Pada masa itu, bangsa Israel hidup dalam kemerosotan moral dan kekacauan spiritual, sebagaimana disiratkan dalam pernyataan terakhir kitab Hakim-Hakim: “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hak. 21:25). Dalam konteks itulah, kisah Hana dan kelahiran Samuel bukan sekadar kisah keluarga, melainkan simbol intervensi Allah terhadap bangsa yang kehilangan arah rohani.(10)
Doa Hana yang penuh iman (1 Sam. 1:10–11) mencerminkan kerinduan umat yang menantikan pemulihan rohani melalui karya Tuhan. Ketidaksuburan Hana bukan hanya penderitaan pribadi, tetapi juga gambaran kondisi Israel yang mandul secara spiritual. Ketika Tuhan “mengingat” Hana (ay. 19), tindakan itu melambangkan kasih karunia ilahi yang kembali bekerja dalam sejarah umat-Nya. Samuel, yang namanya berarti “Allah telah mendengar,” menjadi tanda nyata bahwa Allah tidak berdiam diri terhadap krisis kepemimpinan yang melanda umat-Nya.(11)
Kisah iman seorang perempuan yang menjadi titik awal kebangkitan rohani Israel melalui kelahiran Samuel (1 Sam. 1:9–20).
Motif kesetiaan pribadi dalam kisah Hana dan Elkana menonjol di tengah kebobrokan umum imam Eli dan anak-anaknya. Hana menunjukkan bentuk iman yang murni, sebuah kesetiaan pribadi yang menjadi benih pembaruan spiritual bangsa. Ketika ia menyerahkan Samuel untuk melayani di rumah Tuhan (1 Sam. 1:28), tindakan itu menjadi bentuk pengorbanan iman yang mendahului kebangunan rohani nasional. Dalam konteks teologis, penyerahan Samuel mengandung makna bahwa kebangkitan sejati selalu dimulai dari keluarga dan individu yang setia kepada Allah, bukan dari sistem keagamaan yang mapan tetapi korup.(12) Hana menegaskan hal ini dalam nyanyiannya (1 Sam. 2:1–10), yang menjadi semacam teologi reversi, Allah yang meninggikan yang hina dan merendahkan yang sombong. Nyanyian ini menubuatkan kebesaran Allah yang kelak akan dinyatakan dalam kepemimpinan Daud. Secara literer, mazmur Hana menjadi bingkai teologis seluruh kitab Samuel: Allah berdaulat atas sejarah dan menegakkan kerajaan-Nya melalui orang yang rendah hati. Dengan demikian, kisah awal ini bukan sekadar pengantar naratif, tetapi fondasi teologis yang mengarahkan pembaca pada maksud Allah dalam mengangkat pemimpin sejati bagi Israel.(13)
-
Setelah latar awal kelahiran Samuel, narasi berlanjut pada kondisi rohani Israel yang semakin memburuk melalui kisah keluarga imam Eli. Anak-anak Eli, Hofni dan Pinehas, digambarkan sebagai imam yang korup dan menyeleweng, memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi, termasuk mengambil bagian terbaik dari korban umat secara paksa dan memperlakukan perempuan secara tidak pantas (1 Sam. 2:12–17). Kejatuhan moral ini menjadi cerminan krisis kepemimpinan spiritual di Israel; di tengah hukum dan ritual yang dijalankan, hati para pemimpin Allah sudah jauh dari kesetiaan dan keadilan yang dituntut Tuhan(14).
Narasi ini menekankan kontras antara korupsi keluarga Eli dan kesalehan Samuel muda, yang tumbuh di bawah bimbingan iman ibunya dan lingkungan Kemah Suci. Samuel digambarkan sebagai sosok yang “dibesarkan di hadapan Tuhan” (1 Sam. 2:26), menandai munculnya figur nabi yang akan menjadi agen perubahan rohani dan moral bangsa Israel. Proses panggilan Samuel (1 Sam. 3:1–21) menunjukkan bahwa Allah bekerja secara rahasia dan penuh hikmat, memilih hati yang bersih untuk memulihkan umat-Nya meskipun institusi religius tampak gagal(15).
Allah memanggil nabi baru di tengah kejatuhan spiritual keluarga Eli, menandai awal kebangkitan rohani Israel (1 Sam. 2:12–3:21).
Panggilan Samuel juga menggambarkan transisi kepemimpinan rohani: dari imam yang korup ke nabi yang setia. Meskipun masih muda, Samuel mampu mendengar suara Tuhan dan menyampaikan wahyu-Nya dengan keberanian (1 Sam. 3:19–21). Narasi ini menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan bukan ditentukan oleh usia atau jabatan formal, melainkan oleh kesetiaan dan kemampuan mendengar kehendak Allah. Tema ini penting bagi pembaca modern, karena menekankan bahwa Allah selalu menyiapkan pemimpin sejati meski sistem yang ada gagal(16). Secara teologis, kisah kejatuhan keluarga Eli dan panggilan Samuel menunjukkan pola berulang dalam sejarah Israel: kebobrokan manusia diimbangi oleh intervensi ilahi melalui figur yang setia. Dengan demikian, Samuel menjadi model nabi yang menegakkan firman Tuhan di tengah kondisi sosial-politik yang rusak, sekaligus memperlihatkan bahwa keberhasilan reformasi rohani bergantung pada panggilan dan ketaatan individu, bukan semata-mata sistem atau institusi(17).
-
Setelah panggilan Samuel, narasi berlanjut pada peristiwa yang menggambarkan konsekuensi rohani dan politik dari ketidaktaatan Israel. Pada 1 Samuel 4:1-22, Israel menghadapi bangsa Filistin dalam peperangan, namun mereka mengalami kekalahan yang memalukan. Tabut perjanjian dibawa ke medan perang sebagai lambang kehadiran Allah yang dijadikan “jimat” untuk kemenangan militer. Pendekatan ini menunjukkan kesalahpahaman fundamental tentang hubungan umat dengan Allah, yakni percaya pada simbol ritual semata tanpa ketaatan dan kesalehan pribadi(18).
Kekalahan Israel dan jatuhnya tabut ke tangan Filistin menandai kehancuran simbolik dan nyata dari kepemimpinan spiritual yang lemah, termasuk kematian Hofni dan Pinehas, anak-anak Eli. Kejadian ini menegaskan bahwa Allah tidak bisa diperalat oleh manusia untuk tujuan duniawi. Melalui peristiwa ini, pembaca disadarkan akan hubungan yang benar antara umat dan Allah, di mana kemenangan dan keberhasilan bukan semata-mata hasil ritual, melainkan ketaatan dan integritas moral(19).
Samuel memimpin umat Israel dalam doa dan pertobatan setelah kehancuran akibat ketidaktaatan, menandai pemulihan rohani bangsa (1 Sam. 4:1-7:17).
Namun, narasi juga menyoroti pemulihan dan kehadiran Allah yang aktif di tengah penderitaan. Pada 1 Samuel 5-6, tabut yang jatuh ke tangan Filistin menimbulkan malapetaka bagi bangsa tersebut, hingga akhirnya mereka mengembalikannya ke Israel. Peristiwa ini menegaskan bahwa kedaulatan Allah tidak terbatas oleh ketidaktaatan manusia, dan Allah selalu menemukan cara untuk menegakkan kehendak-Nya. Samuel kemudian menjadi pusat pembimbingan rohani yang memulihkan umat melalui peringatan dan perintah Allah (1 Sam. 7:3-17), termasuk kemenangan Israel atas Filistin di Mizpa, yang menunjukkan pemulihan rohani melalui doa, pertobatan, dan kepemimpinan yang benar(20). Secara teologis, kisah ini memperlihatkan polarisasi antara simbolisme ritual dan realitas ketaatan rohani. Tabut Allah tidak sekadar artefak fisik, tetapi peringatan bahwa Allah menuntut kesetiaan, pertobatan, dan pemimpin yang mendengar suara-Nya. Samuel muncul sebagai figur yang mampu mengarahkan bangsa kepada Allah secara benar, memperlihatkan bahwa kebangkitan spiritual bangsa selalu dimulai dari figur yang setia dan peka terhadap panggilan ilahi. Tema ini memiliki relevansi bagi jemaat modern, menekankan bahwa keberhasilan komunitas iman bergantung pada kepatuhan terhadap firman Tuhan, bukan sekadar simbol atau ritual formal(21).
-
Kisah dalam 1 Samuel 8 menjadi salah satu titik krisis paling menentukan dalam sejarah kepemimpinan Israel. Pada masa tuanya, Samuel yang telah memimpin bangsa itu dengan integritas menempatkan anak-anaknya sebagai hakim di Bersyeba. Namun, mereka tidak berjalan dalam kebenaran seperti ayahnya, melainkan mencari keuntungan dan menerima suap. Situasi inilah yang menjadi pemicu munculnya desakan dari para tua-tua Israel untuk memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa lain. Permintaan ini pada permukaannya tampak logis dan realistis, tetapi secara teologis mengandung penolakan mendalam terhadap pemerintahan ilahi yang telah menuntun Israel sejak zaman Musa(22).
Samuel merasa kecewa dengan permintaan tersebut, tetapi Allah menegaskan bahwa “bukan engkau yang mereka tolak, melainkan Akulah yang mereka tolak supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka” (1Sam. 8:7). Ayat ini menyingkapkan realitas rohani yang mendasar bahwa Israel tidak sekadar menolak seorang pemimpin manusia, tetapi menolak otoritas Allah sendiri.
Di tengah kemerosotan rohani dan kegagalan manusia, Israel menolak pemerintahan ilahi dan menginginkan raja seperti bangsa lain (1 Sam. 8:1–22).
Mereka ingin menyesuaikan diri dengan sistem politik bangsa-bangsa lain yang bersandar pada kekuatan militer dan simbol kekuasaan duniawi. Dalam narasi ini, tampak bahwa keinginan untuk menjadi “seperti bangsa lain” merupakan bentuk kompromi spiritual yang mengikis identitas teokratis Israel sebagai umat pilihan Allah(23).
Samuel, sebagai nabi dan hakim terakhir, memperingatkan mereka tentang konsekuensi dari keinginan tersebut. Ia menyampaikan bahwa raja yang mereka dambakan akan mengambil anak-anak mereka menjadi tentara, menuntut pajak berat, dan memperbudak mereka (ay. 11–17). Namun, bangsa itu tidak bergeming dan tetap bersikeras: “Tidak! Harus ada seorang raja atas kami” (ay. 19). Di sinilah tampak ketegangan antara kehendak manusia dan kedaulatan Allah. Tuhan mengizinkan keinginan mereka, bukan sebagai bentuk restu, melainkan sebagai pelajaran rohani agar mereka menyadari konsekuensi dari penolakan terhadap pimpinan ilahi(24).
Dari sudut pandang teologis, perikop ini menggambarkan paradoks mendalam dalam relasi antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia. Allah tetap berdaulat meskipun umat-Nya memilih jalan yang keliru; Ia bekerja melalui keputusan manusia untuk menggenapi rencana penebusan-Nya yang lebih besar. Dalam konteks ini, monarki Israel bukan semata-mata hasil pemberontakan manusia, tetapi juga instrumen Allah untuk mempersiapkan kedatangan Raja sejati, yaitu Yesus Kristus, yang memerintah bukan dengan pedang, tetapi dengan kasih dan kebenaran(25).
Kisah ini juga mengandung relevansi spiritual yang kuat bagi gereja masa kini. Banyak komunitas Kristen, seperti halnya jemaat di konteks modern (misalnya di Lakahang), sering tergoda untuk meniru sistem dan pola dunia dalam mengelola kepemimpinan gerejawi. Namun, teks ini mengingatkan bahwa ketika umat Allah lebih mengandalkan kekuasaan manusia daripada pimpinan Roh Kudus, maka mereka sedang berjalan di jalur yang sama dengan Israel pada masa Samuel. Dengan demikian, panggilan utama dari pasal ini adalah untuk menegaskan kembali kedaulatan Kristus sebagai satu-satunya Raja dan Gembala sejati umat-Nya(26).
-
Narasi pengangkatan Saul dalam 1 Samuel 9-15 menandai peralihan besar dari sistem pemerintahan teokratis ke monarki dalam sejarah Israel. Saul, putra Kish dari suku Benyamin, digambarkan sebagai seorang muda yang tampan dan tinggi, sosok yang secara fisik memenuhi harapan bangsa akan seorang pemimpin yang gagah. Namun, kisah ini dengan cepat menunjukkan bahwa ukuran lahiriah bukanlah jaminan ketaatan kepada kehendak Allah(27).
Pemilihan Saul terjadi bukan karena kebajikan rohani yang luar biasa, melainkan sebagai respons Allah terhadap permintaan rakyat yang ingin memiliki raja seperti bangsa-bangsa lain. Dalam konteks teologis, pengangkatan Saul bersifat ambivalen bahwa ia adalah anugerah sekaligus teguran. Allah mengizinkan Saul naik takhta untuk menyingkapkan bagaimana kekuasaan tanpa ketaatan akan membawa kehancuran.
Dari pilihan Allah hingga penolakan karena ketidaktaatan, kisah Saul mencerminkan bahaya kepemimpinan tanpa ketaatan (1 Sam. 9:1–15:35).
Meski awalnya rendah hati dan dipenuhi Roh Tuhan (1Sam. 10:9-10), Saul kemudian menunjukkan ketidaksabaran dan ketidaktaatan yang serius terhadap perintah Allah, terutama dalam dua insiden besar bahwa persembahan yang dilakukan tanpa menunggu Samuel (1Sam. 13) dan ketidaktaatan dalam menumpas Amalek (1Sam. 15)(28).
Kisah kejatuhan Saul memperlihatkan tema sentral ketaatan sebagai ukuran sejati kepemimpinan rohani. Ketika Samuel menegurnya dengan kalimat tajam, “Ketaatan lebih baik dari pada korban sembelihan” (1Sam. 15:22), teks ini menegaskan prinsip teologis bahwa relasi dengan Allah tidak dapat digantikan oleh ritual keagamaan atau simbol jabatan. Saul berusaha mempertahankan legitimasi politiknya, namun kehilangan legitimasi rohaninya. Ia masih memerintah secara formal, tetapi Allah telah memilih Daud sebagai penggantinya, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati dalam pandangan ilahi bergantung pada kerendahan hati dan kesediaan tunduk kepada firman Tuhan(29).
Secara naratif, bagian ini menampilkan kontras tajam antara Saul dan Samuel. Samuel berdiri sebagai figur profetik yang setia, sementara Saul menjadi simbol kegagalan manusia dalam mengandalkan kekuatannya sendiri. Dalam konteks sejarah keselamatan, kejatuhan Saul membuka jalan bagi penggenapan janji Allah melalui keturunan Daud, yang kelak memuncak dalam pribadi Kristus, Raja sejati yang taat sepenuhnya kepada kehendak Bapa (Flp. 2:8). Oleh karena itu, tragedi Saul bukan sekadar catatan sejarah, tetapi cermin bagi setiap pemimpin rohani agar berhati-hati terhadap godaan ambisi dan ketidaktaatan(30).
Dalam refleksi kontekstual masa kini, khususnya dalam kehidupan gereja, narasi ini berbicara kuat tentang bahaya kepemimpinan yang kehilangan arah spiritual. Di banyak jemaat, termasuk di wilayah-wilayah seperti Lakahang, muncul kecenderungan untuk mengagungkan figur pemimpin karismatik tanpa menilai kedalaman spiritualitas dan ketaatannya kepada firman Tuhan. Kisah Saul menjadi peringatan bahwa keberhasilan semu dapat menutupi kehancuran batiniah. Allah memanggil para pemimpin gereja bukan untuk berkuasa, melainkan untuk melayani dalam ketaatan dan kerendahan hati, sebab hanya di situlah kerajaan Allah benar-benar dinyatakan(31).
-
Pidato perpisahan Samuel dalam 1 Samuel 12 merupakan momen penting yang menandai transisi dari masa kepemimpinan teokratis kepada monarki Israel. Dalam pidatonya di hadapan seluruh bangsa, Samuel menegaskan integritas pelayanannya sekaligus memperingatkan umat agar tetap setia kepada hukum Tuhan di bawah pemerintahan raja yang baru. Ia menyatakan bahwa permintaan akan raja bukanlah penolakan terhadap dirinya semata, melainkan penolakan terhadap kepemimpinan Allah sendiri(32).
Samuel menantang bangsa Israel untuk bersaksi terhadap ketulusannya dalam memimpin mereka, dan seluruh rakyat mengakui bahwa ia tidak bersalah terhadap siapa pun (1Sam. 12:3–5). Dengan demikian, Samuel meneguhkan otoritas moralnya untuk menasihati bangsa dan raja baru. Ia mengingatkan mereka bahwa keberhasilan pemerintahan tidak bergantung pada struktur politik, tetapi pada ketaatan kepada hukum Tuhan(33).Pidato ini memiliki karakter profetik dan pedagogis. Samuel meninjau ulang sejarah karya penyelamatan Allah sejak keluaran dari Mesir, menegaskan bahwa Allah senantiasa setia meskipun umat sering memberontak. Dengan mengingatkan hal ini, Samuel hendak menanamkan kesadaran historis bahwa ketaatan kepada Tuhan merupakan syarat mutlak bagi kelangsungan kerajaan.
Momen perpisahan Samuel yang mengguncang hati Israel, menegaskan bahwa kuasa Allah tetap bekerja melalui teguran dan kasih setia-Nya.
Ketika bangsa menolak pemerintahan Allah dengan meminta raja, mereka sebenarnya telah memilih jalan yang berisiko: Tuhan tetap memberi mereka raja, tetapi dengan peringatan keras agar raja dan rakyat sama-sama tunduk pada hukum-Nya(34).
Untuk menegaskan otoritas peringatannya, Samuel memohon kepada Tuhan agar menurunkan hujan dan guruh di musim panen, suatu tanda kuasa ilahi yang mengejutkan bangsa (1Sam. 12:17–18). Fenomena alam ini bukan sekadar keajaiban simbolik, tetapi manifestasi langsung dari murka Allah terhadap ketidaktaatan umat. Rakyat pun menjadi takut dan mengakui dosa mereka karena telah meminta raja. Namun demikian, Samuel tidak meninggalkan mereka dalam keputusasaan, melainkan menegaskan janji kasih setia Allah: “Jangan takut! ... sebab Tuhan tidak akan menolak umat-Nya oleh karena nama-Nya yang besar” (1Sam. 12:20–22). Pidato ini meneguhkan kebenaran bahwa anugerah Allah selalu melampaui hukuman, tetapi hanya dapat dinikmati melalui pertobatan yang sejati(35).
Secara teologis, pesan utama Samuel berfokus pada supremasi hukum Tuhan di atas otoritas manusia. Raja, meskipun memiliki kekuasaan politik, harus tunduk pada kedaulatan Allah. Konsep ini mencerminkan prinsip dasar teologi kerajaan dalam Perjanjian Lama: kekuasaan politik adalah mandat ilahi yang harus dijalankan dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Ketika prinsip ini diabaikan, seperti yang kelak terjadi pada Saul, maka kerajaan akan kehilangan dasar moral dan spiritualnya(36).
Dengan demikian, pidato perpisahan Samuel bukan sekadar penutup masa pelayanan, tetapi juga fondasi moral bagi pemerintahan monarki Israel. Ia memperingatkan umat bahwa ketaatan terhadap hukum Tuhan merupakan syarat keberlangsungan hidup nasional dan spiritual. Pesan Samuel tetap relevan hingga kini: pemimpin dan umat Allah dipanggil untuk hidup dalam integritas dan ketaatan kepada firman, sebab hanya di sanalah kerajaan manusia dapat berdiri kokoh di bawah kedaulatan Allah(37).
-
Kisah Saul dalam 1 Samuel 13:1-15:35 menyoroti titik kritis kejatuhan seorang raja yang diurapi Allah akibat ketidaktaatannya. Dua tindakan utama menandai kejatuhan Saul: pertama, melakukan korban persembahan tanpa menunggu Samuel (1Sam. 13:8-14), dan kedua, gagal menumpas bangsa Amalek secara tuntas serta mempertahankan rampasan yang seharusnya dimusnahkan (1Sam. 15:1-23).(38)
Tindakan pertama menunjukkan ketidaksabaran dan kurangnya kepercayaan Saul terhadap pimpinan ilahi. Sebagai raja, ia mengambil inisiatif sendiri ketika menunggu Samuel dianggapnya sebagai lamban. Perilaku ini menandakan penekanan pada kekuatan politik dan insting manusia dibandingkan ketaatan kepada Tuhan. Samuel kemudian menegurnya bahwa “ketaatan lebih baik daripada korban sembelihan” (1Sam. 15:22), menegaskan prinsip bahwa hubungan dengan Allah didasarkan pada ketaatan, bukan sekadar ritual formal.(39)
Ilustrasi momen kritis ketika Saul gagal menuruti perintah Allah, menandai awal penolakannya sebagai raja.
Kedua, ketidaktaatan Saul yang lebih serius terjadi ketika ia mengampuni raja Amalek dan mempertahankan rampasan terbaik, padahal Allah memerintahkan agar seluruh bangsa Amalek dan segala miliknya dimusnahkan (1Sam. 15:3,9). Peristiwa ini menekankan bahwa keputusan politik yang menyimpang dari kehendak Allah membawa konsekuensi rohani yang serius, yaitu penolakan Saul sebagai raja (1Sam. 15:23).(40) Kontras antara Saul dan Daud juga menjadi sangat jelas. Saul mengandalkan kekuatan dan popularitas, sedangkan Daud dipilih karena hati yang tunduk pada Allah (1Sam. 16:7). Ketidaktaatan Saul menyebabkan Roh Tuhan meninggalkannya (1Sam. 16:14) dan memunculkan kecemburuan yang memicu upayanya berulang kali untuk membunuh Daud. Kisah ini menekankan bahwa kepemimpinan yang diurapi Allah hanya efektif ketika dijalankan dalam ketaatan penuh.(41) Dengan demikian, narasi Saul memberi peringatan teologis abadi: keberhasilan lahiriah dan kekuasaan politik tidak menggantikan ketaatan kepada Allah. Integritas dan kesetiaan pada perintah Tuhan adalah fondasi utama bagi keberlangsungan kepemimpinan, dan ketidaktaatan akan menimbulkan penolakan ilahi serta kehancuran spiritual.(42)
-
Peristiwa pengurapan Daud menandai titik balik penting dalam sejarah Israel, di mana Allah memilih pemimpin bukan berdasarkan penampilan lahiriah, melainkan hati yang tunduk kepada-Nya. Ketika Samuel diutus untuk mengurapi raja baru, Allah menegaskan bahwa manusia melihat apa yang tampak di mata, tetapi Tuhan melihat hati (1Sam. 16:7). Prinsip ini menjadi fondasi teologis bagi kepemimpinan yang sesuai kehendak Allah, di mana ketaatan, kerendahan hati, dan kesetiaan menjadi kriteria utama.(43)
Daud, anak bungsu Isai dari Betlehem, dipilih bukan karena status sosial atau kemampuan militer, tetapi karena kesetiaan dan hati yang takut akan Allah. Pengurapan ini menandai transisi dari kepemimpinan Saul yang bersifat karismatik dan politis menuju model monarki teologis yang mengutamakan ketaatan dan pengurapan ilahi. Sebagai simbol raja ideal, Daud menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati tidak ditentukan oleh kekuasaan manusia, melainkan oleh persetujuan Allah.(44)
Selain pengurapan, kisah ini juga menampilkan dinamika politik dan sosial. Ketika Daud mulai melayani di istana Saul sebagai pemain kecapi untuk menenangkan Saul yang diganggu roh jahat, ia menunjukkan ketulusan dan kesetiaan meski berada di bawah pengawasan raja yang cemburu (1Sam. 16:21–23). Hal ini memperlihatkan karakter Daud yang mengutamakan kehendak Allah di atas keselamatan pribadi atau ambisi politik, sehingga menjadi teladan bagi pemimpin dan umat yang hidup di tengah tekanan sosial atau konflik kepemimpinan.(45) Narasi pengurapan ini juga membangun tema besar kontras antara hati yang dipilih Allah dan hati yang ditolak-Nya. Saul, meskipun diurapi, kehilangan Roh Tuhan karena ketidaktaatannya (1Sam. 16:14), sementara Daud dipersiapkan untuk memimpin Israel sebagai raja yang taat dan dipercaya oleh Allah. Peristiwa ini menjadi pengingat teologis bahwa legitimasi pemimpin di hadapan Tuhan tidak ditentukan oleh kekuatan fisik, keturunan, atau popularitas, tetapi oleh hati yang tunduk kepada kehendak-Nya.(46)
-
Pertempuran antara Daud dan Goliat merupakan salah satu narasi paling ikonik dalam Kitab Samuel karena menyajikan kontras tajam antara kekuatan fisik yang sombong dan keberanian rohani yang bersumber dari iman. Goliat, seorang prajurit raksasa dari Filistin, tampil dengan perlengkapan perang lengkap dan tantangan verbal yang menghina barisan Israel maupun Allah mereka(47). Ketakutan bangsa Israel, termasuk Saul, menunjukkan bahwa mereka tidak kalah karena senjata, melainkan karena kehilangan keyakinan rohani(48).
Sebaliknya, Daud memasuki panggung sejarah bukan sebagai prajurit, melainkan sebagai pengantar makanan bagi saudara-saudaranya. Ketidaksiapannya secara militer justru menonjolkan kemurnian imannya, sebab keberaniannya tidak didasarkan pada pengalaman perang, melainkan pada kesaksian akan pertolongan Allah di masa lalu terhadap dirinya ketika melawan singa dan beruang (1Sam. 17:37).(49)
Penolakan Daud atas baju zirah Saul (ay. 39) memiliki makna simbolis. Ia bukan hanya menolak perlengkapan perang yang tidak cocok, tetapi sekaligus menolak model kepemimpinan Saul yang mengandalkan kekuatan manusia semata(50). Sebaliknya, batu dan umban yang ia gunakan menjadi alat penyingkapan bahwa Allah dapat memakai sarana sederhana untuk mempermalukan arogan duniawi(51). Kemenangan Daud berdampak transformasional bagi bangsa Israel. Ketakutan mereka berubah menjadi keberanian, dan pasukan yang semula pasif berubah menjadi pengejar Filistin (ay. 52)(52). Dengan demikian, narasi ini bukan sekadar kisah kepahlawanan, tetapi pernyataan teologis bahwa Allah berpihak kepada mereka yang percaya, bukan kepada yang tampak kuat. Dalam perspektif tipologis Perjanjian Baru, Daud bahkan sering dipandang sebagai gambaran pendahulu Kristus, yang mengalahkan musuh besar bukan dengan kekerasan, melainkan melalui ketaatan dan keyakinan penuh kepada Allah(53).
-
Narasi dalam 1 Samuel 18-20 memperlihatkan kontras yang tajam antara dua sikap terhadap karya Allah dalam sejarah: satu lahir dari kerendahan hati dan kesetiaan perjanjian, seperti yang ditunjukkan oleh Yonatan; yang lain berasal dari ambisi pribadi yang penuh kecemburuan, seperti yang tampak dalam diri Saul. Sebagai putra mahkota, Yonatan memiliki alasan kuat untuk melihat Daud sebagai ancaman terhadap posisinya. Namun, justru sebaliknya, Kitab Suci mencatat bahwa “jiwa Yonatan berpaut kepada jiwa Daud” (1Sam. 18:1), sebuah ungkapan yang sarat makna perjanjian, menggema dengan nada kesetiaan (hesed) yang menjadi ciri khas hubungan Allah dengan umat-Nya.(54) Kesediaan Yonatan untuk melepaskan jubah dan senjatanya lalu menyerahkannya kepada Daud adalah sebuah tindakan simbolis yang kuat, menandakan penyerahan hak sebagai pewaris takhta dan pengakuan tulus terhadap rencana Allah yang jauh melampaui ambisi pribadinya.(55)Dalam konteks etika kepemimpinan, Yonatan menjadi model kerelaan menyerahkan kuasa demi kebenaran ilahi.
Sebaliknya, sikap Saul mencerminkan kegelisahan eksistensial seorang pemimpin yang telah kehilangan arah teologis. Mula-mula ia memberi Daud kedudukan penting dalam struktur militer, seolah mengakui potensi yang Allah tanamkan. Namun, begitu terdengar nyanyian para perempuan Israel, “Saul mengalahkan beribu-ribu, tetapi Daud berpuluh-puluh ribu” (1Sam. 18:7), hati Saul mulai dikoyak oleh rasa iri yang perlahan berubah menjadi paranoia. Ia tidak lagi melihat Daud sebagai alat dalam rencana Allah, melainkan sebagai ancaman terhadap egonya sendiri.(56) Bukannya mengenali Daud sebagai instrumen pilihan Allah untuk membawa keselamatan bagi Israel, Saul justru memandangnya sebagai ancaman yang harus disingkirkan. Kebencian pun tumbuh, berujung pada berbagai upaya pembunuhan. Sikap ini menandai pergeseran tragis dalam kepemimpinan, dari semangat pelayanan menuju obsesi mempertahankan kekuasaan pribadi. Narasi ini menjadi peringatan yang tajam: ketika ketaatan kepada firman Allah digantikan oleh ambisi dan ketakutan, karisma rohani yang seharusnya membangun dapat berubah menjadi alat kekerasan yang merusak.
Hubungan antara Daud dan Yonatan memperlihatkan sebuah teladan etika perjanjian yang tidak dibangun atas dasar keuntungan strategis, melainkan berakar pada pengakuan akan kedaulatan Allah. Dalam kesadaran akan karya Tuhan yang melampaui kepentingan pribadi, mereka mengikat janji suci dengan nama Tuhan sebagai saksi. Perjanjian itu bukan hanya berlaku selama mereka hidup, tetapi juga mencakup komitmen untuk menjaga dan melindungi keturunan satu sama lain, bahkan setelah salah satu dari mereka meninggal dunia (1Sam. 20:14-17).(57) Dalam konteks ini, persahabatan antara Daud dan Yonatan bukan sekadar ungkapan kasih pribadi, melainkan sebuah tindakan profetis yang menegaskan bahwa kerajaan sejati tidak dibangun di atas warisan kekuasaan, melainkan di atas kesetiaan terhadap kehendak Allah. Relasi mereka mencerminkan sebuah komitmen spiritual yang melampaui kepentingan dinasti, menjadi benih awal dari konsep koinonia, persekutuan yang saling mengasihi dan melayani, yang kelak ditegaskan dalam Perjanjian Baru sebagai fondasi komunitas iman Kristen.
Secara teologis, kisah ini menegaskan bahwa Allah tidak membangun kerajaan-Nya dengan cara-cara kompetitif ala manusia, melainkan melalui mereka yang rela mengosongkan diri demi kebenaran. Saul menjadi gambaran pemimpin yang pernah dipakai Allah, namun kehilangan legitimasi rohani karena enggan tunduk pada kehendak-Nya. Yonatan, meskipun secara sah adalah pewaris takhta, justru memilih untuk menyerahkan haknya dan menghormati keputusan Allah yang menetapkan Daud sebagai raja. Sementara itu, Daud memperlihatkan kesabaran yang mencerminkan karakter mesianik, ia tidak merebut kuasa dengan paksa, melainkan menanti waktu Tuhan dengan setia. Dengan demikian, perikop ini mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati dalam terang iman bukanlah soal posisi atau warisan kekuasaan, melainkan soal kerendahan hati dan kesediaan untuk tunduk pada rencana Allah, bahkan jika itu berarti melepaskan hak pribadi demi kebenaran yang lebih besar.
(58)
-
Daud, yang sebelumnya disambut dengan sorak-sorai rakyat, kini memasuki babak paling kelam dalam hidupnya, menjadi pelarian yang diburu oleh raja yang dulu mengangkatnya. Namun, kisah ini bukan sekadar drama politik atau strategi bertahan hidup. Ini adalah sebuah sekolah rohani, tempat Allah menempa pemimpin pilihan-Nya melalui tekanan batin, keterasingan sosial, dan kabut ketidakpastian. Dalam kesendirian dan bahaya, Daud belajar mengenal Allah bukan hanya sebagai penolong, tetapi sebagai pembentuk karakter dan sumber pengharapan sejati.(59) Daripada membalas Saul atau merebut takhta dengan kekuatan, Daud memilih jalan kerendahan hati dan penyerahan total kepada Allah. Dalam pelariannya, ia tidak mengandalkan strategi politik, melainkan bergantung pada pemeliharaan ilahi. Ia mencari roti di Nob, berpura-pura gila di Gat, bersembunyi di gua Adulam, bahkan sampai berlindung di wilayah bangsa Filistin, musuh Israel sendiri. Semua ini bukan sekadar taktik bertahan hidup, melainkan ekspresi iman yang menolak kekerasan dan menanti waktu Tuhan dengan sabar.(60)
Menariknya, justru di tengah masa pengungsian yang penuh tekanan, Daud mulai membentuk sebuah komunitas alternatif. Orang-orang yang tertindas, terbelit hutang, dan patah hati datang kepadanya, dan “ia menjadi pemimpin mereka” (1Sam. 22:2). Ini bukan sekadar kumpulan pelarian, melainkan cikal bakal komunitas yang dibangun atas dasar solidaritas dan pengharapan. Narasi ini mengajarkan bahwa kepemimpinan rohani tidak tumbuh dari kenyamanan atau fasilitas, melainkan dari keberpihakan kepada mereka yang terpinggirkan. Di tempat sunyi dan terasing, Daud mulai memimpin bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan empati dan keberanian untuk hadir bersama yang lemah.(61) Dalam masa pelariannya, Daud tidak hanya ditempa untuk bertahan secara pribadi, tetapi juga mulai belajar menggembalakan mereka yang terluka dan terpinggirkan. Pengalaman ini menjadi semacam prakonfigurasi dari panggilannya kelak sebagai “gembala Israel” (2Sam. 5:2), bukan sekadar pemimpin politik, melainkan pelayan umat yang memahami penderitaan mereka dari dalam. Di tengah gua dan pengasingan, Daud mulai menjalani proses pembentukan rohani yang mempersiapkannya untuk memimpin dengan hati seorang gembala.
Ada dua momen penting dalam kisah ini yang menegaskan kedewasaan etis Daud sebagai calon pemimpin umat. Di gua En-Gedi (1Sam. 24) dan di perkemahan Saul (1Sam. 26), Daud memiliki peluang nyata untuk menghabisi Saul, musuh yang terus mengejarnya. Namun, ia memilih untuk tidak melakukannya. Keputusannya bukan didorong oleh kalkulasi politik, melainkan oleh keyakinan teologis yang mendalam: “Aku tidak akan mengulurkan tanganku kepada tuanku, sebab dialah orang yang diurapi TUHAN” (1Sam. 24:7). Dalam sikap ini, Daud menunjukkan bahwa integritas rohani lebih utama daripada kemenangan instan, dan bahwa menghormati pengurapan Allah adalah bagian dari kepemimpinan yang sejati.(62) Di titik inilah terang ketaatan kepada Allah bersinar lebih kuat daripada godaan kemenangan sesaat. Daud menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati tidak dibentuk oleh ambisi yang tergesa, melainkan oleh kesediaan untuk menunggu waktu Tuhan. Ia menolak jalan pintas menuju takhta, memilih untuk tetap menghormati otoritas yang telah diurapi, meski itu berarti menunda penggenapan janji. Dalam sikap ini, kita belajar bahwa dalam kerajaan Allah, integritas lebih utama daripada hasil cepat, dan kesetiaan lebih mulia daripada strategi.
Dengan demikian, masa pelarian Daud bukanlah tanda kegagalan, melainkan ruang pembentukan, sebuah inkubasi rohani di mana Allah mempersiapkan kerajaan-Nya dari dalam diri sang hamba. Seperti Kristus yang harus mengalami penolakan sebelum dimuliakan, Daud pun menapaki jalan penderitaan sebelum menerima mahkota. Ia terlebih dahulu memikul salib dalam bentuk pengasingan, pengkhianatan, dan ketidakpastian, sebelum diangkat sebagai gembala umat Allah. Di sini kita melihat bahwa dalam ekonomi Kerajaan Surga, kemuliaan tidak datang lewat jalan pintas, melainkan melalui proses penyangkalan diri dan kesetiaan dalam penderitaan.(63)
(58)
-
Akhir hidup Saul, sebagaimana dicatat dalam 1 Samuel 28-31, merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah awal kepemimpinan Israel. Setelah berulang kali menolak firman Tuhan, Saul akhirnya mendapati dirinya terputus dari sumber petunjuk ilahi. Ketika ancaman dari bangsa Filistin semakin mendekat, ia mencari jawaban, melalui mimpi, Urim, dan para nabi, namun semuanya bungkam (1Sam. 28:6). Keheningan surgawi ini bukan sekadar ketiadaan arahan spiritual, melainkan menjadi penanda tragis bahwa ikatan perjanjian antara Allah dan sang raja telah benar-benar retak. Saul tidak hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan relasi.(64)
Dalam keputusasaan yang mendalam, Saul mengambil langkah yang secara terang-terangan melanggar hukum Taurat: ia mendatangi seorang pemanggil arwah di En-Dor. Ironisnya, raja yang sebelumnya memerintahkan penyingkiran para peramal dan pemanggil arwah dari negeri itu (1Sam. 28:3), kini justru menjadi orang yang mencarinya. Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran terhadap ketetapan ilahi, tetapi juga menjadi pernyataan tragis bahwa Saul lebih memilih mendengar suara orang mati daripada mempercayai Allah yang hidup. Di titik ini, kita melihat bukan hanya kehancuran moral, tetapi juga keretakan total dalam relasi perjanjian antara raja dan Sang Pemberi mandat.(65) Banyak penafsir melihat insiden ini sebagai titik puncak dari kemerosotan rohani Saul. Ia tidak lagi menjalankan peran sebagai raja teokratis yang tunduk kepada kehendak Allah, melainkan tampil sebagai penguasa yang telah kehilangan arah, baik secara moral maupun teologis. Dalam keputusasaan, ia melangkah keluar dari koridor perjanjian, menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa ketaatan hanya akan berujung pada kehancuran spiritual.(66)
Pertempuran di Bukit Gilboa menjadi babak akhir yang memilukan dalam kisah kepemimpinan Saul. Ia menyaksikan pasukannya porak-poranda, anak-anaknya gugur di medan perang, dan tubuhnya sendiri dilukai dengan parah. Didorong oleh rasa malu dan ketakutan akan ditangkap oleh musuh, Saul akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri (1Sam. 31:4). Tindakan tragis ini bukan hanya mencerminkan keputusasaan pribadi, tetapi juga menandai putusnya hubungan antara Saul dan Allah. Ia tidak wafat sebagai martir iman, melainkan sebagai lambang kepemimpinan yang pernah dimulai dengan panggilan ilahi, namun berakhir dalam kehancuran karena kehilangan arah rohani.(67)
Akhir kisah Saul menyimpan pelajaran teologis yang tajam: kejatuhan seorang pemimpin rohani bukanlah peristiwa mendadak, melainkan hasil dari rangkaian pilihan kecil yang terus menerus mengabaikan ketaatan. Saul, yang awalnya dipilih dan diurapi oleh Allah, perlahan kehilangan arah rohani karena lebih takut pada manusia daripada kepada Tuhan (lih. 1Sam. 15:24). Ia tidak kehilangan panggilannya sekaligus, tetapi mengikisnya sedikit demi sedikit melalui kompromi dan ketidaktaatan. Karena itu, narasi ini menjadi peringatan serius bagi siapa pun yang memegang otoritas bahwa keberhasilan sejati bukan hanya ditentukan oleh permulaan yang baik, tetapi oleh ketekunan dalam menjaga kesetiaan sampai akhir.(68)
III. Analisis Teologis dan Naratif
-
Tema sentral yang merangkai seluruh kisah dalam Kitab 1 Samuel adalah penegasan bahwa Allah adalah Raja sejati atas Israel, meskipun bangsa itu menginginkan pemimpin manusia seperti bangsa-bangsa lain. Allah tidak pernah menyerahkan kendali sejarah sepenuhnya kepada kebebasan manusia. Sebaliknya, Ia bekerja di dalam, melalui, bahkan melampaui keputusan manusia untuk menegakkan kehendak-Nya. Permintaan Israel akan seorang raja memang mencerminkan penolakan terhadap pemerintahan Allah(69), namun respons Allah justru memperlihatkan kedaulatan-Nya yang bersifat paradoksal: Ia mengizinkan keinginan itu terjadi, tetapi tetap mengarahkan jalannya sesuai dengan rencana ilahi. Dalam kerangka ini, kedaulatan Allah tidak menghapus kebebasan manusia, melainkan mengintervensinya secara bijak dan providensial. Bahkan ketika umat memilih pemimpin yang keliru "Saul" Allah tetap bekerja untuk menghadirkan pemimpin yang berkenan di hati-Nya, yaitu Daud. Kisah ini mengajarkan bahwa sejarah keselamatan tidak bergantung pada kesempurnaan pilihan manusia, tetapi pada kesetiaan Allah yang terus menuntun umat-Nya menuju maksud-Nya yang mulia.
Kedaulatan Allah dalam Kitab 1 Samuel tidak hadir sebagai gagasan abstrak, melainkan nyata dalam tindakan-tindakan konkret yang membentuk jalannya sejarah umat. Allah “mengingat” doa Hana (1Sam. 1:19), “memanggil” Samuel di malam sunyi (1Sam. 3:4), “menyesal” telah mengangkat Saul sebagai raja (1Sam. 15:11), dan “memilih” Daud dari antara anak-anak Isai (1Sam. 16:1–13). Setiap transisi kepemimpinan bukan sekadar hasil dari dinamika sosial atau manuver politik, melainkan buah dari intervensi aktif Allah dalam sejarah manusia.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran klasik John Calvin, yang menegaskan bahwa kedaulatan Allah tidak hanya mencakup keselamatan pribadi, tetapi juga menyentuh ordo politicus, tatanan politik dan pemerintahan bangsa-bangsa. Dalam perspektif Alkitab, kepemimpinan tidak pernah bersifat netral. Setiap bentuk otoritas manusia selalu berada di bawah pengawasan ilahi, dan karenanya memikul tanggung jawab spiritual yang besar(70). Allah bukan hanya memperhatikan siapa yang memimpin, tetapi juga bagaimana kepemimpinan itu dijalankan, apakah selaras dengan kehendak-Nya atau justru menyimpang dari jalan perjanjian.
Meski menekankan kedaulatan Allah, Kitab 1 Samuel tidak jatuh ke dalam fatalisme. Allah memang menetapkan pemimpin, tetapi tetap menuntut ketaatan dari mereka yang diangkat-Nya. Saul bukan ditolak karena ia bukan pilihan Allah, melainkan karena ia gagal hidup seturut kehendak-Nya. Ini menunjukkan bahwa kedaulatan ilahi berjalan berdampingan dengan tanggung jawab etis manusia. Seperti yang ditegaskan oleh Walter Brueggemann, narasi ini menghadirkan “ketegangan antara kendali ilahi dan peran manusia” sebagai inti teologi kepemimpinan Israel(71). Dengan kata lain, Allah menetapkan raja, tetapi raja tetap harus tunduk pada firman-Nya. Ketika ketaatan hilang, maka legitimasi kekuasaan pun ikut lenyap.
Akhirnya, tema kedaulatan Allah dalam Kitab 1 Samuel tidak hanya berbicara tentang masa lampau Israel, tetapi juga menyuarakan kritik profetis yang relevan bagi kepemimpinan masa kini. Dalam konteks gereja dan masyarakat modern, termasuk di lingkungan lokal seperti Lakahang, narasi ini mengingatkan bahwa keberhasilan seorang pemimpin tidak bergantung pada karisma pribadi, garis keturunan, atau dukungan mayoritas. Yang menjadi penentu sejati adalah keselarasan hati pemimpin dengan kehendak Allah.
Baik dalam ranah rohani maupun publik, kepemimpinan yang tidak tunduk kepada Allah akan mengalami keruntuhan, sebagaimana yang terjadi pada Saul. Sebaliknya, pemimpin yang berjalan dalam kesederhanaan dan ketaatan seperti Daud akan diperlengkapi oleh Allah, bahkan dalam situasi yang paling rapuh. Kitab 1 Samuel menegaskan bahwa Allah tetap memegang kendali atas sejarah umat-Nya. Ia terus bekerja, memilih, membentuk, dan menggantikan pemimpin, sesuai dengan rencana kekekalan-Nya.
-
Narasi 1 Samuel menghadirkan tiga figur sentral yang masing-masing mencerminkan wajah berbeda dari ketaatan terhadap Allah. Samuel tampil sebagai nabi yang memegang teguh integritas profetik tanpa tawar-menawar. Ia tidak sekadar menyampaikan firman, melainkan juga menjaga kemurniannya dari intervensi politik maupun tekanan massa(72). Dalam dirinya, ketaatan bukan hanya tindakan, tetapi juga keberanian moral untuk tetap berdiri di pihak kebenaran ketika mayoritas memilih kompromi. Samuel menjadi representasi pelayan Tuhan yang tidak mengukur keberhasilan dari penerimaan publik, melainkan dari kesetiaan kepada mandat ilahi.
Berbeda dengan keteguhan Samuel, Saul menunjukkan bentuk ketaatan yang setengah hati. Ia memang menjalankan perintah Tuhan, tetapi hanya selama itu tidak mengancam citra dirinya atau kepentingan pribadinya. Ketika Allah memerintahkannya untuk memusnahkan seluruh bangsa Amalek beserta ternaknya, Saul memilih untuk menyisakan sebagian, konon sebagai persembahan bagi Tuhan. Namun di balik tindakan itu, tersembunyi niat untuk mempertahankan dukungan rakyat. Ketaatan Saul tampak lebih sebagai strategi politik daripada wujud kesetiaan sejati(73). Inilah gambaran ketaatan yang tidak utuh, ketaatan yang dipilih-pilih, lalu dibungkus dengan alasan rohani agar tampak benar di mata manusia. Sosok Saul mencerminkan banyak pelayan dan jemaat masa kini yang tidak secara langsung menolak firman Tuhan, tetapi justru menafsirkannya sesuai kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka tidak melawan terang-terangan, namun menggantinya dengan pembenaran spiritual yang halus, seolah-olah demi Tuhan, padahal demi menjaga posisi, pengaruh, atau kenyamanan. Ini adalah bentuk ketaatan yang kehilangan hati, karena lebih sibuk menjaga citra daripada mendengar suara Tuhan.
Daud hadir sebagai sosok yang penuh warna, tidak sempurna, namun memiliki respons yang berbeda saat berhadapan dengan teguran Tuhan. Ketika ia jatuh dalam kesalahan, Daud tidak berusaha membela diri atau menyusun alasan, melainkan memilih jalan pertobatan yang tulus dan rendah hati. Di sinilah letak kekuatan ketaatannya: bukan karena ia tak pernah gagal, tetapi karena hatinya tetap lembut dan siap dibentuk kembali oleh Allah(74). Ketaatan, dalam diri Daud, bukanlah sesuatu yang kaku atau sekali jadi. Ia lebih menyerupai irama rohani, bergerak, bernafas, dan terus diperbarui. Ini mengajarkan kita bahwa kesetiaan kepada Tuhan bukan soal tidak pernah salah, tetapi tentang bagaimana kita merespons ketika salah itu terjadi. Ketiga tokoh ini: Samuel, Saul, dan Daud, menyusun sebuah spektrum ketaatan yang utuh dan menggugah. Samuel mencerminkan ketaatan yang kokoh dan tanpa kompromi, seorang nabi yang berdiri tegak di tengah tekanan, setia pada suara Tuhan meski harus melawan arus. Saul, sebaliknya, memperlihatkan ketaatan yang dibalut ego: ia taat sejauh itu tidak mengganggu kepentingan pribadinya, dan mudah tergelincir dalam pembenaran rohani yang manipulatif. Sementara Daud, dengan segala kelemahannya, menunjukkan ketaatan yang bertumbuh, yang tidak berhenti pada kesalahan, tetapi terus membuka hati untuk ditegur dan dipulihkan.(75). Dari ketiganya, muncul satu pertanyaan reflektif yang jauh lebih penting daripada sekadar memilih tokoh favorit: “Di posisi manakah saya saat ini: Samuel, Saul, atau Daud?” Pertanyaan ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyinari kondisi batin kita. Ia mengajak kita berhenti sejenak dari peran sebagai penonton kisah Alkitab, dan mulai menjadi pelaku yang bercermin, bertanya, dan bertumbuh dari dalam.
-
Dalam narasi 1 Samuel, spiritualitas dan politik tidak pernah berdiri sejajar tanpa saling bersentuhan; keduanya justru terjalin erat dalam satu poros utama bahwa otoritas Allah sebagai sumber sah kekuasaan. Di tengah masyarakat Israel purba, tidak dikenal pemisahan tegas antara agama dan negara seperti dalam konsep sekularisasi modern. Seluruh tatanan sosial-politik berakar pada keyakinan bahwa Allah adalah Raja tertinggi, dan setiap bentuk pemerintahan manusia hanyalah perpanjangan tangan dari kehendak ilahi.(76) Maka, ketika bangsa Israel mengajukan permintaan untuk memiliki raja seperti bangsa-bangsa lain (1Sam. 8:5), mereka sesungguhnya tidak sekadar mengusulkan perubahan sistem pemerintahan, tetapi sedang mempertanyakan dan bahkan menggoyahkan bentuk otoritas ilahi yang selama ini dijalankan melalui sistem teokratis.
Samuel tampil sebagai figur kepemimpinan yang utuh, nabi yang mendengar suara Allah dan hakim terakhir yang menuntun umat. Ia bukan pemimpin yang mengandalkan pasukan atau harta, melainkan memimpin dengan kekuatan moral dan kepekaan terhadap pewahyuan ilahi. Dalam dirinya, spiritualitas dan politik berpadu, menghadirkan model kepemimpinan yang berakar pada kehendak Allah, bukan ambisi manusia.(77) Namun peralihan dari sistem kenabian-hakim menuju sistem monarki di era Saul memperlihatkan ketegangan terbesar dalam sejarah Israel: apakah kerajaan manusia dapat berjalan tanpa menggeser kerajaan Allah? Saul, sebagai raja pertama, gagal menjaga keseimbangan ini. Ia sering mengambil keputusan politik tanpa konsultasi rohani (1Sam. 13:8–14), dan sebaliknya, kadang menggunakan simbol-simbol religius untuk menutupi kepentingan politiknya (1Sam. 15:15). Di sinilah terlihat bahwa krisis spiritual sering kali berawal dari krisis kepemimpinan politik.
Sebaliknya, Daud meskipun tidak luput dari kesalahan moral, memperlihatkan pemahaman bahwa kekuasaan politik tidak dapat dipertahankan tanpa fondasi spiritual yang benar. Ketika ia memiliki kesempatan untuk membunuh Saul di gua En-Gedi (1Sam. 24), ia menolak demi menghormati “orang yang diurapi Tuhan.”(78) Tindakan ini tidak saja menunjukkan integritas pribadi, tetapi juga membuktikan bahwa kesetiaan kepada Allah harus melampaui kepentingan politis. Dengan demikian, spiritualitas dan politik tidak boleh dibiarkan bersaing, melainkan harus disinergikan di bawah prinsip ketaatan ilahi.
Dalam perspektif teologis kontemporer, dinamika ini memberikan pelajaran penting bagi gereja modern maupun negara-negara yang memiliki warisan religius kuat. Kekuasaan politik yang kehilangan akar spiritual akan berujung pada tirani atau kekacauan moral, sedangkan spiritualitas yang alergi terhadap struktur politik hanya akan menghasilkan idealisme pasif tanpa transformasi sosial.(79) Oleh sebab itu, narasi 1 Samuel mengajukan paradigma kepemimpinan yang integratif: kuasa politik harus dikendalikan oleh suara profetik, dan suara profetik harus berani berbicara kepada kuasa politik.
-
Dalam struktur teologi kepemimpinan Israel purba, jabatan nabi (navi’) dan raja (melek) tidak berdiri sebagai dua sistem yang berlawanan, tetapi sebagai dua instrumen berbeda yang sama-sama dimaksudkan untuk mewakili kedaulatan Allah. Nabi berfungsi sebagai mediator suara Allah, sementara raja bertindak sebagai mediator pemerintahan Allah di bidang sosial-politik(80). Dengan demikian, relasi antara nabi dan raja bukan sekadar relasi kuasa, tetapi relasi “otoritas transenden” dan “otoritas imanen” yang seharusnya berjalan dalam harmoni ilahi. Ketika harmoni itu terjaga, seperti pada relasi Samuel dan Daud, maka pemerintahan berjalan dalam terang perjanjian Allah; tetapi ketika hal itu retak, seperti dalam relasi Samuel dan Saul, maka kehancuran menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan.
Kitab 1 Samuel memperlihatkan bahwa jabatan kenabian mendahului jabatan kerajaan, menandakan bahwa firman lebih tinggi dari mahkota(81). Samuel tidak hanya mengurapi raja, tetapi juga menjadi penilai moral atas kepemimpinan raja. Dalam pengertian politiko-teologis, ini menempatkan nabi sebagai checks and balances terhadap potensi absolutisme kekuasaan. Model ini berbeda dari sistem monarki kafir kuno, di mana raja adalah representasi langsung dari dewa-dewa; dalam Israel, raja adalah pelayan Allah, bukan ganti Allah. Dengan demikian, kedaulatan Allah tidak pernah diserahkan sepenuhnya kepada manusia, melainkan dipercayakan secara terbatas dengan pengawasan kenabian.
Daud menjadi contoh ideal dari relasi yang benar antara kenabian dan kerajaan. Kendati telah diurapi sebagai raja, ia tetap tunduk pada teguran nabi Natan. Ketika ditegur karena dosa perzinahan dan pembunuhan, Daud tidak mengeraskan hati seperti Saul, melainkan merendahkan diri dalam pertobatan(82). Dengan demikian, legitimasi kerajaan dalam perspektif Allah tidak diukur berdasarkan prestasi militer atau popularitas, melainkan sensitivitas terhadap firman dan kerendahan hati terhadap teguran profetik. Namun demikian, peran kenabian tidak hanya bersifat korektif, tetapi juga kreatif. Nabilah yang menafsirkan sejarah dalam terang kedaulatan Allah. Samuel bukan hanya pemberi peringatan, tetapi juga pembentuk imajinasi kolektif Israel tentang apa artinya menjadi umat kerajaan Allah. Ia menulis sejarah, memimpin ibadah, menafsirkan kemenangan maupun kekalahan dalam kerangka kehendak ilahi(83). Dengan demikian, baik nabi maupun raja adalah dua wajah dari satu panggilan bahwa mewujudkan pemerintahan Allah secara historis dalam realitas duniawi. Struktur ganda ini kemudian menemukan kepenuhannya dalam figur Mesias, Raja yang juga Nabi, bahkan Imam. Di dalam Kristus, seluruh ketegangan antara otoritas moral dan otoritas politik menemukan satu kesatuan eskatologis(84). Dengan demikian, 1 Samuel bukan hanya catatan historiografi, tetapi juga arsitektur teologis bagi pemahaman kepemimpinan rohani dalam perspektif Kerajaan Allah.
IV. Relevansi Teologis Kitab 1 Samuel bagi Iman Kristen Masa Kini
-
Salah satu pesan utama dari Kitab 1 Samuel adalah bahwa panggilan Tuhan sering datang bukan kepada mereka yang secara lahiriah tampak layak, tetapi kepada mereka yang bersedia merespons dengan ketaatan. Samuel yang masih anak-anak dipanggil Tuhan pada malam hari ketika ia belum memahami suara ilahi, namun ia menjawab dengan kesediaan: “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1 Sam. 3:10). Respons ini menjadi model paradoksal bahwa kesiapan hati jauh lebih penting daripada kedewasaan usia atau kedudukan sosial(85). Dalam konteks gereja masa kini, termasuk pelayanan jemaat di wilayah pedesaan seperti Lakahang, panggilan Tuhan tidak selalu hadir dalam bentuk jabatan struktural atau gelar pendidikan rohani, tetapi melalui dorongan lembut Roh Kudus untuk melayani dalam kesetiaan sehari-hari.
Ketaatan Samuel terlihat bukan hanya pada saat dia pertama kali mendengar suara Tuhan, tetapi pada keberaniannya menyampaikan firman yang keras kepada Imam Eli. Di sini, ketaatan bukan sekadar mendengar, tetapi bertindak sesuai kebenaran meski berisiko secara relasional(86). Fenomena ini menegaskan bahwa ketaatan dalam pelayanan tidak boleh dikompromikan oleh kenyamanan atau rasa sungkan terhadap otoritas manusia. Dalam konteks pelayanan gerejawi masa kini, seorang pelayan yang taat harus berani menyuarakan kebenaran firman meskipun tidak populer atau berpotensi menimbulkan resistensi.
Di sisi lain, kisah Saul memberikan kontras tajam tentang ketaatan yang bersyarat. Saul tidak menolak Tuhan secara langsung, tetapi memilih menaati sebagian perintah-Nya sambil menyisakan ruang bagi kepentingan pribadi (1 Sam. 15:9). Model “ketaatan selektif” ini banyak ditemukan dalam pelayanan modern di mana seseorang tetap aktif di gereja namun hanya menaati firman sejauh tidak mengganggu ambisi atau reputasi(87). Kitab 1 Samuel dengan demikian memperingatkan bahwa Tuhan tidak mencari pelayan yang sekadar aktif, tetapi pelayan yang tunduk sepenuhnya.
Daud sendiri menjadi contoh ketaatan yang bertumbuh melalui proses, bukan instan. Ia tidak langsung menjadi raja setelah diurapi, tetapi harus melewati masa pelarian yang panjang untuk membuktikan kesetiaannya kepada Allah sebelum menerima takhta(88). Ketaatan dalam pelayanan bukan sekadar mengikuti panggilan, tetapi bertahan dalam panggilan meskipun prosesnya lama dan berat.
Dengan demikian, Kitab 1 Samuel mengajarkan bahwa ketaatan terhadap panggilan Tuhan dalam pelayanan bukan hanya soal mendengar dan menyetujui, tetapi soal konsistensi antara komitmen, keteguhan hati, dan keberanian menempatkan kehendak Tuhan di atas segala pertimbangan pribadi. Gereja masa kini membutuhkan lebih banyak pelayan model Samuel dan Daud, bukan sekadar mereka yang berkata “Aku bersedia,” tetapi mereka yang berani berkata “Aku akan tetap taat, sekalipun berat.”
-
Kepemimpinan dalam perspektif Kitab 1 Samuel tidak pernah dilepaskan dari dimensi moral dan spiritual. Seorang pemimpin tidak hanya dinilai dari kecakapannya secara strategis, tetapi terutama dari ketakutannya akan Allah sebagai dasar integritas. Ketika Saul kehilangan sikap hormatnya terhadap perintah Tuhan dan lebih memilih untuk menyenangkan rakyatnya, Alkitab mencatat bahwa Allah menolak kepemimpinannya(89). Ketidaktaatan kecil yang dianggap sepele, seperti menyisakan jarahan dan menunda penghukuman Amalek, ternyata merupakan indikator dari kegagalan spiritual yang mendalam. Dengan demikian, integritas seorang pemimpin rohani tidak diukur dari keberhasilannya di hadapan manusia, tetapi dari ketaatannya di hadapan Allah.
Sebaliknya, Daud menjadi contoh kepemimpinan yang berakar pada rasa gentar terhadap kekudusan Tuhan.
Meskipun ia memiliki kesempatan untuk membunuh Saul dan mengakhiri penderitaannya, ia menolak melakukan hal itu karena menghormati Saul sebagai “orang yang diurapi Tuhan”(90). Keputusan ini menunjukkan adanya pengendalian diri yang tidak didorong oleh strategi politis, tetapi oleh ketundukan spiritual terhadap otoritas ilahi. Dalam dunia kepemimpinan modern yang sering menghalalkan ambisi dan manipulasi, teladan Daud mengingatkan bahwa otoritas sejati hanya dimiliki oleh mereka yang tahu bagaimana tunduk kepada Allah lebih dahulu. Dalam konteks gereja masa kini, khususnya di wilayah pedesaan seperti Lakahang, sering kali muncul pemimpin yang aktif secara struktural tetapi kurang memiliki kedalaman spiritual. Mereka rajin dalam kegiatan seremonial namun lemah dalam konsistensi moral dan kepekaan terhadap suara Tuhan.
Model kepemimpinan seperti ini membawa dampak serius, karena gereja akhirnya lebih mengandalkan karisma manusia daripada otoritas ilahi(91). Kitab 1 Samuel secara tegas menyatakan bahwa keberhasilan pelayanan tidak ditentukan oleh keberanian fisik, kecerdasan administratif, atau popularitas sosial, tetapi oleh kemampuan seorang pemimpin untuk mendengarkan dan menaati firman Allah dengan penuh kesungguhan. Oleh sebab itu, pembaruan gereja dimulai bukan dari strategi pertumbuhan atau modernisasi liturgi, tetapi dari pembaruan hati para pemimpinnya. Ketakutan akan Allah harus menjadi fondasi bagi setiap keputusan, pengajaran, maupun tindakan pastoral. Tanpa itu, segala bentuk kepemimpinan rohani hanya akan menjadi bungkus religius yang kosong. Kitab 1 Samuel menghadirkan satu pesan penting bahwa lebih baik memiliki pemimpin yang sederhana tetapi takut akan Allah, daripada memiliki pemimpin yang populer namun tidak lagi mendengar suara-Nya.
-
Relasi antara jemaat dan pemimpin gereja merupakan aspek krusial yang membentuk kesehatan rohani sebuah komunitas iman. Kitab 1 Samuel menekankan pentingnya hubungan timbal balik yang berdasarkan ketaatan kepada Allah dan integritas kepemimpinan. Samuel, sebagai nabi sekaligus pemimpin rohani, menunjukkan bahwa otoritas yang sah tidak hanya berasal dari jabatan formal tetapi dari pengakuan jemaat terhadap kesetiaan dan ketundukan pemimpin kepada kehendak Tuhan(92). Dalam konteks jemaat di Lakahang, hal ini relevan karena hubungan antara pelayan gereja dan jemaat bukan sekadar administratif, melainkan membangun ikatan spiritual yang kokoh.
Keterbukaan dan komunikasi menjadi kunci dalam relasi ini. Daud, meskipun dikejar Saul, tetap menjaga hubungan yang sehat dengan orang-orang yang setia kepadanya, termasuk Yonatan. Model ini mengajarkan bahwa pemimpin yang takut akan Allah akan memperlakukan jemaat dengan penghormatan, mendengar masukan, dan bertindak untuk kebaikan bersama, bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau politik gereja(93). Dalam konteks Lakahang, hal ini dapat diterjemahkan sebagai praktik kepemimpinan yang transparan, bertanggung jawab, dan membangun kepercayaan jemaat.
Selain itu, relasi yang sehat juga mencakup proses pembinaan rohani. Samuel sering memberikan arahan, nasihat, dan teguran kepada Israel ketika mereka menyimpang dari kehendak Allah. Hal ini menekankan bahwa pemimpin bukan sekadar administratur, melainkan pembimbing rohani yang memfasilitasi pertumbuhan iman jemaat(94). Di Lakahang, pemimpin gereja yang efektif adalah mereka yang mampu menjadi mentor, menasihati, dan mengarahkan jemaat dengan bijaksana, sehingga komunitas iman tidak hanya patuh secara formal tetapi juga bertumbuh secara spiritual. Dinamika ini juga menekankan tanggung jawab jemaat. Kitab 1 Samuel menunjukkan bahwa ketika rakyat menuntut raja, mereka juga diingatkan untuk mematuhi perintah Tuhan, bukan sekadar keinginan pribadi. Dengan demikian, relasi antara pemimpin dan jemaat adalah dua arah: pemimpin menuntun dengan takut akan Allah, dan jemaat merespons dengan ketaatan dan dukungan rohani(95). Konsep ini relevan bagi gereja masa kini, termasuk Lakahang, karena memupuk rasa saling menghormati dan tanggung jawab bersama dalam pertumbuhan iman. Dengan pemahaman ini, hubungan antara pemimpin dan jemaat tidak semata-mata hierarkis atau formal, tetapi menjadi interaksi spiritual yang memperkuat ketaatan kolektif kepada Allah. Kitab 1 Samuel menegaskan bahwa pemimpin yang bijaksana dan jemaat yang taat menciptakan komunitas iman yang stabil, tangguh menghadapi tekanan eksternal, dan mampu menegakkan prinsip-prinsip kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
-
Kitab 1 Samuel secara konsisten menekankan bahwa kepemimpinan rohani dan politik di Israel purba selalu berada di bawah pengawasan Allah. Dalam konteks ini, tanggung jawab seorang pemimpin tidak berhenti pada administrasi atau pengambilan keputusan strategis; melainkan pada bagaimana ia menyeimbangkan kuasa yang dimiliki dengan kesetiaan kepada Allah. Saul, meski diurapi menjadi raja, gagal menyadari bahwa kekuasaan yang dianugerahkan kepadanya adalah mandat ilahi, bukan kesempatan untuk mengekspresikan ambisi pribadi(96). Ketika ia tidak sepenuhnya menumpas Amalek dan mempersembahkan korban tanpa perintah Tuhan, ia menunjukkan bahwa ambisi pribadi telah mengalahkan ketaatan. Tindakan itu bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan bentuk penyalahgunaan kuasa yang berujung pada kejatuhannya.
Sebaliknya, Daud menunjukkan bahwa pengaruh duniawi, seperti kesempatan untuk membunuh Saul atau memperluas wilayah, harus disikapi melalui prinsip rohani. Ia menolak untuk bertindak di luar kehendak Allah, menunjukkan bahwa tanggung jawab rohani mencakup pengendalian diri dan penundukan diri pada kedaulatan ilahi(97).
Dalam praktik modern, hal ini relevan bagi pemimpin gereja atau komunitas Kristen, termasuk di Lakahang, di mana pengaruh sosial, politik, atau ekonomi sering menjadi godaan untuk menyimpang dari integritas rohani.
Selain itu, tanggung jawab rohani juga menuntut pemimpin untuk mendidik jemaat agar mampu menilai pengaruh dunia secara kritis. Samuel berperan sebagai nabi dan mentor yang menegur, mengarahkan, dan mengingatkan rakyat tentang kehendak Allah. Pemimpin masa kini harus mencontoh prinsip ini: memimpin jemaat tidak hanya melalui program dan kegiatan, tetapi melalui pengajaran moral dan spiritual yang menekankan kedaulatan Tuhan di tengah tekanan dunia(98).
Di Lakahang, konteks sosial dan budaya yang unik menuntut pemimpin untuk bersikap bijaksana dalam menanggapi kuasa dan pengaruh yang datang dari pemerintah lokal, ekonomi desa, atau tokoh masyarakat. Tanggung jawab rohani bukan hanya soal kepatuhan pribadi, tetapi juga membimbing jemaat agar tetap berpegang pada prinsip Alkitab, menolak kompromi dengan praktik yang merusak iman, dan membangun kesadaran kolektif tentang kedaulatan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
V. Kesimpulan Akhir
-
Kitab 1 Samuel menampilkan narasi transisi kritis dalam sejarah Israel, dari periode hakim-hakim menuju monarki, dan menekankan kedaulatan Allah atas kepemimpinan umat-Nya. Melalui tokoh-tokoh sentral seperti Samuel, Saul, dan Daud, kitab ini menegaskan prinsip bahwa kepemimpinan yang sah tidak bergantung pada jabatan atau kekuatan dunia, melainkan pada kesetiaan kepada kehendak Allah, integritas, dan kemampuan untuk menegakkan hukum-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Samuel sebagai nabi dan pemimpin rohani menunjukkan bahwa otoritas yang diterima oleh rakyat harus selalu dibarengi dengan ketaatan kepada Allah dan tanggung jawab moral.
Kehidupan Saul dan Daud memberikan kontras yang tajam: Saul menggambarkan bahaya ketidaktaatan, kesombongan, dan penyalahgunaan kuasa, sementara Daud menunjukkan bahwa ketaatan, kerendahan hati, dan penundukan diri pada kehendak Allah menghasilkan kepemimpinan yang diberkati dan berkelanjutan.
Dinamika ini menekankan bahwa kuasa duniawi harus diselaraskan dengan prinsip rohani bahwa pemimpin yang bijaksana mampu menyeimbangkan tuntutan politik, sosial, dan spiritual demi kemuliaan Allah dan kebaikan umat-Nya. Analisis naratif juga menyoroti relasi antara pemimpin dan jemaat. Hubungan ini bersifat timbal balik, di mana pemimpin menuntun dan membimbing dengan integritas, sementara jemaat merespons dengan ketaatan dan dukungan rohani. Dalam konteks jemaat Lakahang, prinsip ini sangat relevan bahwa kepemimpinan gereja yang sehat tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mencakup mentoring, komunikasi terbuka, dan pembinaan rohani yang konsisten, sehingga membentuk komunitas iman yang kuat dan tangguh menghadapi pengaruh dunia. Selain itu, kitab ini menekankan tanggung jawab rohani dalam menghadapi kuasa dan pengaruh dunia. Pemimpin gereja harus mampu menyikapi tekanan ekonomi, politik, maupun sosial tanpa mengkompromikan prinsip firman Tuhan.
Di Lakahang, penerapan ini berarti pemimpin dan jemaat harus selalu berpegang pada Alkitab sebagai pedoman etis, menolak praktik yang merusak integritas, dan menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa setiap keputusan dan tindakan adalah bagian dari pelayanan kepada Allah.
Secara keseluruhan, Kitab 1 Samuel memberikan panduan teologis dan etis yang relevan bagi jemaat Kristen masa kini. Kisah kepemimpinan dan relasi rohani di Israel purba menjadi cermin bagi kehidupan iman kontemporer, menegaskan bahwa ketaatan kepada Allah, integritas pemimpin, dan tanggung jawab jemaat merupakan fondasi bagi pertumbuhan spiritual, stabilitas komunitas, dan keberhasilan pelayanan. Dalam konteks Lakahang, penerapan prinsip-prinsip ini mampu memperkuat kepemimpinan gereja, membina relasi jemaat yang sehat, dan memelihara ketaatan kolektif kepada Tuhan di tengah tantangan dunia modern.
Hormat Saya
Penulis dari Pinggiran
Catatan Kaki
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 143. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W.W. Norton, 1999), 12–14. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Samuel: The New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 2021), 27. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2016), 4. ↩
- R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 697. ↩
- Martin Noth, The Deuteronomistic History (Sheffield: JSOT Press, 1991), 34. ↩
- Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2017), 169. ↩
- John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove: IVP Academic, 2020), 293. ↩
- Bill T. Arnold, 1 and 2 Samuel, NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2003), 41. ↩
- John H. Walton & Andrew E. Hill, A Survey of the Old Testament, 4th ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 243. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 8. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel: The New American Commentary, Vol. 7 (Nashville: B&H Publishing, 1996), 67. ↩
- Ralph W. Klein, 1 Samuel (Waco: Word Books, 1983), 22. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel: The New American Commentary, Vol. 7 (Nashville: B&H Publishing, 1996), 73–75. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 21–23. ↩
- Paul R. House, 1, 2 Samuel, New American Commentary (Nashville: B&H Publishing, 2021), 41–42. ↩
- John H. Walton & Andrew E. Hill, A Survey of the Old Testament, 4th ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 251. ↩
- Bill T. Arnold, 1 and 2 Samuel, NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2003), 55–57. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel: The New American Commentary, Vol. 7 (Nashville: B&H Publishing, 1996), 95–98. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 35–38. ↩
- John H. Walton & Andrew E. Hill, A Survey of the Old Testament, 4th ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2018), 258–260. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W.W. Norton, 1999), 37–39. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel: Interpretation: A Bible Commentary for Teaching and Preaching (Louisville: Westminster John Knox Press, 2016), 61. ↩
- Ralph W. Klein, 1 Samuel (Word Biblical Commentary, Vol. 10; Grand Rapids: Zondervan, 2018), 91–92. ↩
- David Firth, 1 & 2 Samuel: Apollos Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 122–124. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2019), 546–547. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W.W. Norton, 1999), 73–75. ↩
- Dale Ralph Davis, 1 Samuel: Looking on the Heart (Fearn: Christian Focus, 2017), 103–105. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2016), 96–98. ↩
- David Firth, 1 & 2 Samuel: Apollos Old Testament Commentary (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 185–187. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2019), 551–552. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 192. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 117. ↩
- Ralph W. Klein, 1 Samuel: A Commentary (Minneapolis: Fortress Press, 2020), 258. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC; Nashville: B&H Publishing, 2018), 271. ↩
- Patrick D. Miller, Divine Command and Human Obedience (Louisville: Westminster John Knox, 2019), 138. ↩
- Craig G. Bartholomew, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story, 3rd ed. (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 152. ↩
- Dale Ralph Davis, 1 Samuel: Looking on the Heart (Fearn: Christian Focus, 2017), 110–112. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC; Nashville: B&H Publishing, 2018), 292–294. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 125–127. ↩
- Ralph W. Klein, 1 Samuel: A Commentary (Minneapolis: Fortress Press, 2020), 301–304. ↩
- Craig G. Bartholomew, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story, 3rd ed. (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 156–157. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2019), 132. ↩
- Ralph W. Klein, 1 Samuel: A Commentary (Minneapolis: Fortress Press, 2020), 312. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC; Nashville: B&H Publishing, 2018), 298–299. ↩
- Craig G. Bartholomew, The Drama of Scripture: Finding Our Place in the Biblical Story, 3rd ed. (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 159. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 156. ↩
- Dale Ralph Davis, 1 Samuel: Looking on the Heart (Fearn: Christian Focus, 2000), 181. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 123. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel, NAC 7 (Nashville: Broadman & Holman, 1996), 193. ↩
- John Woodhouse, 1 Samuel: Looking for a Leader (Wheaton: Crossway, 2014), 305. ↩
- David T. Tsumura, The First Book of Samuel, NICOT (Grand Rapids: Eerdmans, 2007), 455. ↩
- Graeme Goldsworthy, Gospel and Kingdom (Carlisle: Paternoster, 2000), 72. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox, 1990), 137. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W.W. Norton, 1999), 105. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 215. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Life (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 214. ↩
- Eugene H. Peterson, Leap Over a Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians (New York: HarperCollins, 1997), 89. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: John Knox Press, 1990), 168. ↩
- Robert Alter, The David Story: A Translation with Commentary of 1 and 2 Samuel (New York: W. W. Norton, 1999), 138–140. ↩
- David Firth, 1 & 2 Samuel: A Kingdom Comes (Nottingham: Apollos, 2009), 224. ↩
- Gordon Keddie, Dawn of a Kingdom: 1 Samuel (Darlington: Evangelical Press, 1988), 291. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Life (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 456. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 191. ↩
- Robert P. Gordon, 1 & 2 Samuel: A Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2020), 242. ↩
- Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. II (Peabody: Hendrickson Publishers, 1994), 215. ↩
- Dale Ralph Davis, 1 Samuel: Looking on the Heart (Fearn: Christian Focus Publications, 2014), 295. ↩
- John Woodhouse, 1 Samuel: Looking for a Leader (Wheaton: Crossway, 2015), 515. ↩
- Lihat 1 Samuel 8:7; band. Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (NAC Vol. 7; Nashville: B&H Publishing, 1996), 113. ↩
- John Calvin, Institutes of the Christian Religion, Book IV, Chapter 20 (Peabody: Hendrickson, 2008), 1489. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Interpretation Commentary Series; Louisville: Westminster John Knox, 1990), 23. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 45. ↩
- Robert B. Chisholm, Interpreting the Historical Books (Grand Rapids: Kregel Academic, 2006), 89. ↩
- Gordon D. Fee dan Douglas Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth (Grand Rapids: Zondervan, 2014), 95. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 317. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 52. ↩
- John Goldingay, Old Testament Theology: Israel’s Gospel (Downers Grove: IVP Academic, 2003), 451. ↩
- Robert P. Gordon, 1 & 2 Samuel: A Commentary (Sheffield: JSOT Press, 1984), 201. ↩
- N. T. Wright, God in Public: How the Bible Speaks Truth to Power Today (London: SPCK, 2016), 89. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 1990), 23. ↩
- John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 2006), 285. ↩
- Tremper Longman III, How to Read the Psalms (Downers Grove: IVP Academic, 2010), 56. ↩
- Gordon J. Wenham, Story as Torah: Reading Old Testament Narrative Ethically (Grand Rapids: Baker Academic, 2004), 77. ↩
- N. T. Wright, Jesus and the Victory of God (Minneapolis: Fortress Press, 1996), 512. ↩
- Dale Ralph Davis, 1 Samuel: Looking on the Heart (Fearn: Christian Focus, 2000), 45. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (Nashville: B&H Publishing, 1996), 62. ↩
- Eugene H. Peterson, Leap Over a Wall: Earthy Spirituality for Everyday Christians (New York: HarperCollins, 1997), 88. ↩
- Walter Brueggemann, David’s Truth in Israel’s Imagination and Memory (Minneapolis: Fortress Press, 1985), 21. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 143. ↩
- Robert B. Chisholm, 1 & 2 Samuel (Grand Rapids: Baker Academic, 2013), 214. ↩
- John C. Maxwell, Called to Lead: 26 Leadership Lessons from the Life of the Apostle Paul (Nashville: Thomas Nelson, 2011), 57. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 201. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (Nashville: B&H Publishing, 1996), 325. ↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Leadership Patterns (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 147. ↩
- Gordon J. Wenham, Story as Torah: Reading Old Testament Narrative Ethically (Grand Rapids: Baker Academic, 2004), 105. ↩
- Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2012), 223. ↩
- Robert D. Bergen, 1, 2 Samuel (Nashville: B&H Publishing, 1996), 412. ↩
- John H. Walton, Ancient Israelite Leadership Patterns (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 159. ↩
0 Comments