property='og:image'/>

Fondasi Iman dan Sejarah Keselamatan: Narasi Inti Sari Kitab Kejadian

LATAR BELAKANG

Kitab Kejadian menempati posisi fundamental dalam Alkitab, sebab ia menjadi pintu masuk bagi keseluruhan narasi besar karya Allah dalam sejarah. Nama Genesis berasal dari Septuaginta (LXX), terjemahan Yunani Perjanjian Lama, yang berarti “asal mula” atau “penciptaan.” Sementara dalam teks Ibrani, kitab ini diawali dengan kata bereshit (“pada mulanya”), yang kemudian dipakai sebagai judul kitab.(1) Tremper Longman III menegaskan bahwa penamaan ini menekankan peran Kitab Kejadian sebagai kitab asal usul, baik mengenai dunia ciptaan maupun umat pilihan Allah.(2) Dengan demikian, Kejadian bukan sekadar kisah purba, melainkan fondasi teologis bagi seluruh penyataan Allah yang berlanjut dalam kitab-kitab selanjutnya.

Secara tradisional, penulis Kitab Kejadian diyakini adalah Musa, yang menuliskan Pentateukh pada abad ke-15 atau 13 SM, tergantung pandangan kronologi keluarnya Israel dari Mesir.(3) John H. Sailhamer menekankan bahwa pandangan tradisional tentang Musa sebagai penulis tidak boleh diabaikan, karena kesatuan teologis Pentateukh sangat erat dengan figur Musa sebagai pemimpin, nabi, dan penyampai hukum.(4) Gordon J. Wenham menambahkan bahwa konteks penulisan kitab ini erat kaitannya dengan situasi Israel pasca-keluar dari Mesir: Kitab Kejadian mengajarkan bahwa Allah yang membebaskan Israel adalah Allah yang sama yang menciptakan langit dan bumi, serta Allah yang telah memilih nenek moyang mereka untuk menjadi umat perjanjian-Nya.(5) Dengan demikian, Kitab Kejadian memberikan identitas baru kepada bangsa Israel yang sedang membangun jati diri sebagai umat pilihan di tengah bangsa-bangsa lain.

Pemahaman tradisional ini juga sejalan dengan pandangan para teolog klasik. John Calvin dalam tafsirannya menegaskan bahwa Kitab Kejadian merupakan “cermin” di mana umat Allah dapat melihat kuasa dan kebaikan-Nya, baik dalam karya penciptaan maupun dalam pemeliharaan sejarah umat pilihan.(6) Calvin tetap meneguhkan bahwa Musa adalah penulis Pentateukh, dan tujuan penulisan Kejadian adalah untuk menuntun umat Israel mengenal Allah mereka dengan benar. Hal serupa ditegaskan oleh Augustine yang, dalam City of God, menempatkan Kejadian sebagai dasar narasi sejarah manusia, di mana penciptaan, kejatuhan, dan janji penebusan saling terkait dalam satu rencana Allah.(7) Dengan perspektif ini, Kejadian tidak hanya menjadi kitab sejarah awal, tetapi juga bagian integral dari teologi penebusan.

Selain Calvin dan Augustine, beberapa Bapa Gereja lainnya memberikan kontribusi penting. Origen, dalam Homilies on Genesis, menafsirkan Kejadian secara alegoris dengan menekankan kehadiran Kristus sebagai Firman yang aktif sejak penciptaan.(8) Irenaeus, dalam Against Heresies, menegaskan bahwa Allah Pencipta yang dinyatakan dalam Kejadian adalah Allah yang sama dengan Allah yang menyelamatkan di dalam Kristus, sehingga menolak pemisahan antara pencipta dan penebus sebagaimana diajarkan kaum Gnostik.(9) Perspektif klasik ini memperkuat pemahaman bahwa Kitab Kejadian bukan sekadar teks kuno, melainkan kitab yang terus berbicara bagi gereja sepanjang zaman sebagai dasar iman akan Allah yang berdaulat, setia, dan konsisten dalam rencana keselamatan-Nya.

Sejarah Awal (Kejadian 1–11)

1. Penciptaan Alam Semesta dan Manusia (Kejadian 1–2)
Salib dan cahaya kasih karunia
“Allah sebagai Pencipta yang berdaulat atas langit dan bumi (Kejadian 1:1)”

Kisah penciptaan dalam Kejadian 1–2 menegaskan bahwa Allah adalah pencipta yang berdaulat dan sumber segala sesuatu. John H. Walton menjelaskan bahwa teks ini tidak semata-mata memberi detail ilmiah, melainkan menekankan fungsi teologis: dunia diciptakan sebagai “bait Allah” di mana Ia berdiam dan manusia ditempatkan untuk mengelola ciptaan sebagai wakil-Nya.(10) Gordon Wenham menambahkan bahwa struktur penciptaan yang sistematis dalam tujuh hari memperlihatkan keteraturan dan tujuan Allah yang baik dalam mencipta dunia.(11) Dalam tradisi klasik, Augustine menegaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu ex nihilo (dari yang tidak ada), menunjukkan kemahakuasaan-Nya, serta menolak pandangan dualisme yang menyamakan Allah dengan ciptaan.(12) John Calvin menekankan bahwa kisah penciptaan merupakan “cermin kemuliaan Allah,” di mana manusia sebagai gambar Allah dipanggil untuk hidup dalam ketaatan dan pengabdian kepada-Nya.(13)

2. Kejatuhan Manusia dalam Dosa (Kejadian 3)
Jemaat beribadah bersama
“Kejatuhan manusia yang membawa dosa ke dalam dunia (Kejadian 3:6–7).”

Pasal ke-3 menggambarkan kejatuhan Adam dan Hawa, yang menolak kedaulatan Allah dan memilih menentukan jalan hidupnya sendiri. Tremper Longman III menyatakan bahwa kisah ini menjelaskan asal-usul dosa bukan sebagai mitos moral, melainkan sebagai realitas historis yang merusak relasi manusia dengan Allah, sesama, dan alam semesta.(14) Sailhamer menegaskan bahwa kejatuhan manusia menjadi titik balik dalam sejarah keselamatan, karena sejak saat itu Allah mulai menyingkapkan rencana penebusan-Nya.(15) Augustine menafsirkan kejatuhan ini sebagai bukti kehendak bebas manusia yang disalahgunakan, sehingga seluruh keturunannya turut menanggung dosa asal.(16) Origen, dalam pendekatan alegorisnya, melihat kejatuhan sebagai gambaran kondisi rohani manusia yang selalu digoda untuk meninggalkan ketaatan kepada Allah.(17) Dengan demikian, Kejadian 3 menempatkan dasar teologis bagi doktrin dosa, sekaligus menyingkapkan anugerah Allah melalui janji benih perempuan (proto-evangelium, Kej. 3:15).

3. Kain dan Habel serta Penyebaran Dosa (Kejadian 4–5)
Kisah Kain dan Habel – Kejadian 4, konsekuensi dosa: iri hati, kekerasan, dan pembunuhan.
“Kisah Kain dan Habel – Kejadian 4, konsekuensi dosa: iri hati, kekerasan, dan pembunuhan”

Kisah Kain dan Habel menampilkan konsekuensi langsung dari dosa: iri hati, kekerasan, dan pembunuhan. Gordon Wenham menekankan bahwa kisah ini menggambarkan dosa yang “mengintip di pintu” (Kej. 4:7), memperlihatkan realitas kuasa dosa yang merusak relasi manusia dengan sesamanya.(18) Tremper Longman menambahkan bahwa silsilah dalam pasal 5 memperlihatkan pola kematian yang terus berulang sebagai akibat dosa, sehingga manusia semakin jauh dari kehidupan kekal yang direncanakan Allah.(19) Calvin melihat kisah Kain sebagai peringatan bahwa ibadah yang tidak lahir dari hati yang benar tidak berkenan kepada Allah, dan bahwa kematian Habel adalah figur awal dari penderitaan orang benar.(20) Augustine menafsirkan Kain dan Habel sebagai simbol dua kota: kota manusia yang dibangun atas dasar kesombongan dan kekerasan, dan kota Allah yang dibangun atas iman dan kebenaran.(21) Dengan demikian, bagian ini menekankan bahwa dosa bukan hanya realitas pribadi, tetapi juga sosial dan struktural.

4. Air Bah di Zaman Nuh (Kejadian 6–9)
Jemaat beribadah bersama
“Allah yang menghakimi dosa, namun tetap memelihara umat melalui perjanjian dengan Nuh (Kejadian 9:13).”

Kisah air bah menggambarkan penghakiman Allah atas kejahatan manusia sekaligus pemeliharaan-Nya melalui Nuh dan keluarganya. John Walton menekankan bahwa peristiwa ini mencerminkan prinsip keadilan ilahi: Allah tidak membiarkan dosa merajalela, tetapi sekaligus membuka jalan bagi keberlangsungan hidup manusia.(22) Wenham menyebut air bah sebagai “penciptaan ulang” karena setelah penghakiman, Allah meneguhkan kembali mandat manusia melalui Nuh.(23) Calvin menafsirkan perjanjian Allah dengan Nuh dan tanda pelangi sebagai bukti kesetiaan Allah yang tidak berubah, meskipun manusia terus jatuh dalam dosa.(24) Augustine melihat air bah sebagai tipologi baptisan: air yang menghukum orang fasik tetapi menyelamatkan orang benar.(25) Dengan demikian, kisah Nuh mengajarkan keseimbangan antara keadilan dan kasih karunia Allah dalam sejarah.

5. Menara Babel dan Penyebaran Bangsa-Bangsa (Kejadian 10–11)
Menara Babel – Kejadian 11, kesombongan manusia dan intervensi Allah yang mengacaukan bahasa
“Menara Babel – Kejadian 11, kesombongan manusia dan intervensi Allah yang mengacaukan bahasa”

Menara Babel menampilkan puncak kesombongan manusia yang ingin “mencapai langit” dan membangun nama bagi dirinya sendiri. Sailhamer melihat kisah ini sebagai antitesis dari panggilan Abraham yang segera menyusul: manusia mencari nama bagi dirinya, tetapi Allah berjanji memberikan nama besar kepada Abraham (Kej. 12:2).(26) Longman menekankan bahwa penyebaran bangsa-bangsa akibat bahasa yang dikacaukan menandai intervensi Allah untuk membatasi kejahatan manusia, sekaligus membuka jalan bagi rencana keselamatan yang bersifat universal.(27) Calvin menafsirkan menara Babel sebagai simbol kesombongan rohani manusia yang berusaha mencapai keselamatan tanpa Allah, suatu usaha sia-sia yang selalu berulang dalam sejarah.(28) Augustine menegaskan bahwa Babel menjadi lambang “civitas terrena,” kota manusia yang berlawanan dengan “civitas Dei,” kota Allah yang penuh ketaatan.(29) Maka, peristiwa ini meneguhkan pesan bahwa hanya melalui panggilan dan janji Allah keselamatan sejati dapat ditemukan.

Dengan begitu, Sejarah Awal (Kejadian 1–11) memberi fondasi teologis yang kokoh: Allah sebagai pencipta, manusia sebagai gambar Allah yang jatuh ke dalam dosa, konsekuensi sosial dari dosa, penghakiman sekaligus pemeliharaan Allah, dan akhirnya intervensi ilahi terhadap kesombongan manusia. Seluruh bagian ini mengantar pada panggilan Abraham (Kej. 12), sebagai awal sejarah perjanjian Allah dengan umat pilihan-Nya.

Panggilan dan Janji Allah kepada Abraham (Kejadian 12–25)

“Panggilan dan janji Allah kepada Abraham – Kejadian 12–25, janji tanah, keturunan, dan berkat bagi segala bangsa.”
“Panggilan dan janji Allah kepada Abraham – Kejadian 12–25, janji tanah, keturunan, dan berkat bagi segala bangsa.”

1. Dimulai dari panggilan di Ur, janji tanah dan keturunan, serta ujian iman (termasuk pengorbanan Ishak).

Kejadian 12 menandai momen penting ketika Allah memanggil Abram keluar dari Ur-Kasdim menuju tanah yang akan ditunjukkan-Nya, dengan janji tanah, keturunan, dan berkat bagi segala bangsa (Kej. 12:1–3). Janji ini merupakan inti dari teologi perjanjian dalam Perjanjian Lama, yang kemudian digenapi dalam Kristus (Gal. 3:8, 16). Gordon Wenham menekankan bahwa panggilan Abram bukanlah respons terhadap keunggulan moralnya, melainkan semata-mata karena pemilihan kasih karunia Allah yang berdaulat.(30) John Walton juga menegaskan bahwa konteks dunia kuno menampilkan migrasi sebagai tindakan berisiko, sehingga ketaatan Abram menunjukkan iman yang radikal terhadap janji Allah.(31) Augustine dalam City of God menafsirkan panggilan Abraham sebagai permulaan umat baru yang dipisahkan dari bangsa-bangsa penyembah berhala,(32) sementara Calvin dalam komentarnya menyoroti bahwa janji kepada Abraham tidak hanya bersifat partikular bagi Israel, melainkan mengandung makna universal untuk seluruh umat manusia.(33)

Kisah Abraham selanjutnya (Kej. 15, 17, 22) memperlihatkan progresivitas janji Allah: peneguhan perjanjian melalui penyataan keturunan seperti bintang di langit (Kej. 15:5), pemberian tanda sunat sebagai identitas umat perjanjian (Kej. 17), dan ujian iman di Moria ketika Abraham diminta mempersembahkan Ishak (Kej. 22). Tremper Longman menekankan bahwa ujian tersebut bukan sekadar peristiwa etis, melainkan puncak narasi iman, di mana Allah menunjukkan diri sebagai penyedia (Yahweh Yireh) yang setia pada janji-Nya.(34) Origen membaca kisah ini secara tipologis, melihat pengorbanan Ishak sebagai bayangan dari pengorbanan Kristus,(35) sementara Calvin kembali menekankan aspek iman, bahwa Abraham percaya Allah mampu membangkitkan Ishak dari kematian (bdk. Ibr. 11:19).(36)Dengan demikian, bagian ini menegaskan tema besar bahwa janji Allah tidak dapat digagalkan oleh kelemahan manusia, melainkan digenapi oleh kesetiaan dan kedaulatan-Nya.

Kisah Ishak, Yakub, dan Esau (Kejadian 25–36)

Yakub bergumul dengan malaikat di tepi sungai Yabok – Kejadian 32, transformasi iman dan identitas Israel
“Yakub bergumul dengan malaikat hingga fajar, dan menerima nama baru: Israel (Kej. 32:22–32)”

2. Peneguhan janji perjanjian, konflik antar saudara, serta transformasi Yakub menjadi Israel.

Kisah generasi kedua dan ketiga leluhur Israel (Ishak, Yakub, dan Esau) memperlihatkan kesinambungan sekaligus kompleksitas dari janji perjanjian Allah. Ishak, meskipun lebih “tenang” dibanding Abraham, tetap mengalami peneguhan janji ilahi, termasuk janji keturunan dan tanah (Kej. 26:2–5). Gordon Wenham menekankan bahwa narasi Ishak menunjukkan kesinambungan janji Abrahamik: Allah yang sama hadir bagi generasi berikutnya meskipun dalam konteks konflik, kekeringan, dan ancaman eksternal.(37) Yakub dan Esau, anak-anak Ishak, menjadi simbol kontras antara pilihan Allah dan rencana manusia. John Walton menyoroti bahwa perbedaan takdir mereka bukan sekadar konflik keluarga, tetapi sebuah kisah pemilihan ilahi yang akan membentuk identitas Israel.(38) Calvin menafsirkan kisah ini sebagai peringatan bahwa berkat perjanjian bukanlah hasil usaha manusia, melainkan anugerah Allah yang memilih Yakub meski kelemahannya nyata.(39)

Transformasi Yakub dari seorang penipu (supplanter) menjadi Israel (“yang bergumul dengan Allah”) merupakan inti teologis bagian ini. Pertemuan Yakub dengan Allah di Betel (Kej. 28) dan pergumulannya dengan malaikat di tepi sungai Yabok (Kej. 32) menunjukkan dinamika iman yang penuh konflik namun berujung pada peneguhan identitas sebagai umat perjanjian. Tremper Longman melihat pengalaman ini sebagai gambaran perjalanan iman: dari pengandalan diri menuju ketergantungan penuh pada Allah.(40) Augustine menafsirkan pergumulan Yakub sebagai simbol pergumulan batin umat Allah dalam perjalanan iman,(41)sedangkan Origen membacanya secara alegoris sebagai gambaran doa yang tekun dan tidak melepaskan Allah hingga berkat-Nya diberikan.(42) Sailhamer menambahkan bahwa kisah Yakub juga mengarah ke tema besar Kitab Kejadian: Allah setia menepati janji-Nya meskipun umat-Nya lemah dan penuh intrik.(43) Dengan demikian, bagian ini menegaskan bahwa pemilihan ilahi berjalan melalui sarana yang penuh konflik manusiawi, namun tetap terarah pada rencana keselamatan Allah.

Kisah Yusuf dan Perjalanan Israel ke Mesir (Kejadian 37–50)

Kisah Yusuf di Mesir – Kejadian 37–50, Allah memakai penderitaan untuk tujuan penyelamatan
“Yusuf berdamai dengan saudara-saudaranya di Mesir, menegaskan rencana Allah yang berdaulat (Kej. 50:20)”

3. Allah memakai penderitaan untuk tujuan penyelamatan, menyiapkan Israel untuk kisah keluaran.

Kisah Yusuf memperlihatkan bagaimana Allah bekerja melalui penderitaan dan pengkhianatan untuk mewujudkan rencana penyelamatan-Nya. Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya karena iri hati (Kej. 37), namun di Mesir ia dipakai Allah untuk menyelamatkan banyak orang dari kelaparan. Gordon Wenham menekankan bahwa struktur narasi Yusuf menunjukkan motif providensia, di mana setiap detail penderitaan mengarah pada pemeliharaan ilahi yang tersembunyi.(44) John Walton menambahkan bahwa kisah ini harus dibaca dalam konteks teologi perjanjian: Allah menempatkan Israel di Mesir sebagai persiapan bagi kisah Keluaran, sehingga penderitaan bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari rencana besar.(45) Calvin menafsirkan pengalaman Yusuf sebagai bukti bahwa Allah dapat membalikkan kejahatan manusia menjadi sarana kebaikan,(46) sedangkan Augustine melihat Yusuf sebagai figur tipologis dari Kristus: ditolak oleh saudara-saudaranya, menderita, namun akhirnya menjadi alat keselamatan.(47)

Puncak teologi kisah ini terletak pada pengakuan Yusuf kepada saudara-saudaranya: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan” (Kej. 50:20). Tremper Longman menekankan ayat ini sebagai ringkasan teologi providensia dalam Kitab Kejadian: kuasa Allah melampaui niat jahat manusia.(48) Origen membaca kisah ini secara alegoris, menyoroti Yusuf sebagai teladan iman yang tetap setia dalam pencobaan dan menantikan penyertaan Allah.(49) Sailhamer menegaskan bahwa narasi Yusuf bukan hanya kisah pribadi, melainkan penutup teologis Kitab Kejadian yang menghubungkan janji Abraham dengan eksodus Israel.(50) Dengan demikian, bagian ini menekankan bahwa Allah berdaulat atas sejarah: penderitaan, pengkhianatan, dan kesulitan manusia tidak dapat menggagalkan rencana penyelamatan-Nya.

Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara

Kejadian 1–2 menegaskan Allah sebagai Pencipta yang berdaulat: alam semesta tidak sekadar “terjadi,” melainkan dibentuk oleh firman ilahi dan dinyatakan baik adanya (Kej. 1:1; 1:31). Penafsiran modern menekankan dimensi teologis dan fungsional dari narasi penciptaan, yaitu bahwa teks lebih ingin menekankan fungsi dan tujuan ciptaan dalam relasi dengan Allah ketimbang proses ilmiah. John H. Walton, misalnya, menafsirkan Kejadian 1 sebagai deskripsi mengenai “inaugurasi kosmos sebagai bait ilahi,” di mana Allah berdiam dalam ciptaan dan manusia dipanggil untuk menjadi pengelola ciptaan tersebut.(51) Gordon J. Wenham juga menyoroti keteraturan struktur tujuh hari penciptaan sebagai indikasi bahwa Allah menciptakan dengan maksud dan tujuan yang jelas, bukan secara acak atau mitologis.(52)
Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara – Kejadian 1–2, dunia dan manusia diciptakan baik adanya.
“Allah menciptakan dunia dengan baik adanya dan memelihara seluruh ciptaan-Nya (Kej. 1:31; 2:15)”

Selain peran-Nya sebagai Pencipta, Kejadian juga memperlihatkan Allah sebagai Pemelihara yang imanen. Setelah kejatuhan (Kej. 3), Allah tetap menjaga manusia, misalnya dengan memberikan pakaian kepada Adam dan Hawa (Kej. 3:21) dan menjamin keberlangsungan ciptaan pasca-banjir (Kej. 8:22). Tremper Longman menegaskan bahwa providensi Allah terlihat jelas dalam narasi-narasi tersebut, sebab tindakan ilahi tidak berhenti pada penciptaan, melainkan berlanjut dalam menopang ciptaan di tengah kerusakan akibat dosa.(53) Augustine dalam The City of God menekankan hal yang sama, bahwa seluruh tatanan ciptaan dipelihara oleh Allah meskipun manusia jatuh ke dalam dosa.(54) John Calvin dalam komentarnya atas Kejadian menambahkan bahwa pemeliharaan Allah adalah bukti kebaikan-Nya yang terus-menerus, sehingga manusia bergantung penuh kepada-Nya, baik dalam aspek jasmani maupun rohani.(55)

Tema ini menemukan peneguhannya dalam kesaksian Perjanjian Lama dan Baru. Mazmur 104, misalnya, menggambarkan pemeliharaan Allah yang memberi makanan, napas, dan kehidupan bagi seluruh ciptaan. Yesaya 45:18 menegaskan bahwa Allah menciptakan bumi “untuk didiami,” bukan sebagai kekacauan. Perjanjian Baru menafsirkan fungsi ini dalam terang Kristus, di mana Kolose 1:16–17 menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh dan untuk Kristus, dan Ibrani 1:3 menegaskan bahwa Ia menopang segala sesuatu dengan firman-Nya. Dengan demikian, doktrin penciptaan dalam Kejadian menyatu erat dengan doktrin providensi: Sang Pencipta adalah juga Sang Pemelihara yang menuntun sejarah menuju rencana penebusan-Nya.(56)

Kejatuhan dan Dosa Manusia (Kejadian 3)

Kejadian 3 menggambarkan salah satu peristiwa paling fundamental dalam Alkitab, yaitu kejatuhan manusia ke dalam dosa. Narasi ini menampilkan ketidaktaatan Adam dan Hawa terhadap perintah Allah, yang membuka jalan bagi masuknya dosa, penderitaan, dan kematian ke dalam dunia. Dalam perspektif naratif, kejatuhan bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pemberontakan eksistensial manusia terhadap Allah sebagai sumber kehidupan (Kej. 2:17; 3:6). Gordon Wenham menekankan bahwa narasi ini menunjukkan keterkaitan antara tipu daya ular, kelemahan manusia, dan konsekuensi kosmik dari dosa, sehingga tragedi ini tidak hanya bersifat pribadi tetapi universal.(57) John Walton menambahkan bahwa dosa dalam Kejadian 3 menandai pergeseran relasi: manusia yang diciptakan sebagai wakil Allah justru berusaha merebut otonomi ilahi, sehingga merusak struktur kosmos yang telah tertata.(58)
Kejatuhan manusia di Taman Eden – Kejadian 3, Adam dan Hawa jatuh dalam dosa karena tipu daya ular.
“Adam dan Hawa jatuh dalam dosa di Taman Eden, membuka jalan bagi penderitaan dan kematian (Kej. 3)”

Tradisi patristik juga memberi pengaruh besar dalam pemahaman teologi kejatuhan. Augustine dalam Confessions menekankan bahwa dosa manusia berasal dari “amor sui,” cinta diri yang melampaui cinta kepada Allah, sehingga menghasilkan ketidaktaatan.(59) Dalam The City of God, ia menafsirkan kejatuhan sebagai titik awal “massa perditionis” (massa yang binasa), yang hanya dapat ditebus melalui anugerah Allah. (60) Sementara Origen melihat kisah ini secara alegoris sebagai gambaran setiap manusia yang jatuh ketika meninggalkan firman Allah dan mengikuti hasratnya sendiri.(61) Tradisi Reformed kemudian menguatkan pemahaman ini. John Calvin, dalam komentarnya atas Kejadian, menegaskan bahwa dosa Adam mengakibatkan “corruptio totius naturae,” kerusakan total dari natur manusia, sehingga tidak ada bagian dari diri manusia yang luput dari pengaruh dosa.(62)

Konsekuensi dari dosa ini tampak jelas dalam narasi selanjutnya. Manusia mengalami keterasingan dari Allah (Kej. 3:8–9), konflik dalam relasi (3:16), penderitaan dalam kerja (3:17–19), dan akhirnya kematian (3:19). Paulus kemudian menafsirkan kejatuhan ini secara teologis dalam Roma 5:12–21, bahwa dosa masuk ke dalam dunia melalui satu orang, dan oleh dosa datanglah maut. Namun, meskipun Kejadian 3 menutup dengan pengusiran manusia dari taman Eden, ia juga mengandung benih pengharapan melalui proto-evangelium (Kej. 3:15), janji bahwa keturunan perempuan akan meremukkan kepala ular. Tremper Longman menekankan bahwa ayat ini merupakan titik awal dari rencana penebusan Allah yang digenapi dalam Kristus.(63) Dengan demikian, Kejadian 3 bukan hanya kisah tentang keruntuhan manusia, melainkan juga awal dari kisah penebusan ilahi yang mengalir sepanjang Alkitab.

Perjanjian dan Janji Allah (Kejadian 12:1–3)

Kejadian 12:1–3 menandai momen penting dalam sejarah keselamatan, di mana Allah memanggil Abram untuk meninggalkan tanah, keluarga, dan rumah ayahnya, dengan janji akan menjadikannya bangsa yang besar, memberkatinya, dan membuat namanya masyhur. Narasi ini tidak hanya menjadi fondasi sejarah Israel, tetapi juga fondasi teologi perjanjian. Gordon Wenham menekankan bahwa panggilan Abram adalah titik balik dari kisah universal (Kejadian 1–11) menuju kisah partikular Israel, di mana Allah bekerja melalui seorang individu untuk memberkati segala bangsa.(64) John Walton menambahkan bahwa janji kepada Abram memiliki dimensi universal, sebab sejak awal Allah bermaksud agar Israel menjadi saluran berkat, bukan sekadar penerima berkat.(65)
Panggilan dan Janji Allah kepada Abraham – Kejadian 12:1–3, janji tanah, keturunan, dan berkat bagi segala bangsa.
“Allah memanggil Abraham dan memberikan janji besar tentang tanah, keturunan, dan berkat (Kej. 12:1–3)”

Tradisi teologi klasik menafsirkan janji ini dalam kerangka perjanjian ilahi. Augustine melihat panggilan Abram sebagai wujud rahmat Allah yang memilih seorang manusia biasa untuk dijadikan alat rencana-Nya yang besar, di mana “civitas Dei” (kota Allah) mulai diwujudkan melalui garis keturunan iman.(66) Calvin menekankan aspek iman Abram, yang taat kepada panggilan Allah meskipun tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, sehingga menjadi teladan iman bagi umat Allah sepanjang zaman.(67) Dalam Perjanjian Baru, penafsiran janji ini diperluas. Paulus, dalam Galatia 3:8, menegaskan bahwa janji “segala bangsa akan mendapat berkat” digenapi dalam Kristus, sehingga semua orang yang beriman termasuk dalam keturunan Abraham secara rohani.

Tremper Longman menyatakan bahwa perjanjian ini harus dilihat sebagai fondasi bagi seluruh narasi Alkitab: sejak Kejadian 12, janji tentang tanah, keturunan, dan berkat membentuk pola yang berulang dan berkembang, hingga menemukan puncaknya dalam karya Yesus Kristus.(68) Dengan demikian, janji Allah kepada Abraham merupakan dasar bagi pemahaman teologi perjanjian: Allah yang berinisiatif, manusia yang merespons dengan iman, dan janji yang akhirnya meluas melampaui Israel kepada seluruh bangsa.

Pemeliharaan Allah dalam Sejarah)

Tema pemeliharaan Allah dalam Kitab Kejadian menegaskan bahwa Allah tidak hanya Pencipta, tetapi juga Allah yang menyertai dan menopang perjalanan umat-Nya sepanjang sejarah. Narasi Kejadian menunjukkan bahwa meskipun manusia berkali-kali jatuh dalam kelemahan dan dosa, Allah tetap hadir sebagai Allah yang aktif bekerja dalam peristiwa-peristiwa sejarah untuk mengarahkan umat-Nya kepada maksud penebusan-Nya. Misalnya, dalam kisah Nuh, Allah memelihara kehidupan manusia dan ciptaan dengan memberikan jalan keselamatan melalui bahtera (Kej. 6–9). Pemeliharaan ini bukan hanya bersifat jasmani, tetapi juga rohani, karena melalui tindakan penyelamatan itu Allah memperbarui perjanjian-Nya dengan manusia.(69)
Pemeliharaan Allah dalam Sejarah
“Melambangkan penyertaan Allah yang setia dari masa lalu hingga masa kini, sebagaimana Ia memelihara Nuh, Abraham, Yusuf, dan umat-Nya sepanjang sejarah.”

Selain itu, dalam kisah para leluhur Israel, seperti Abraham, Ishak, Yakub, hingga Yusuf, pemeliharaan Allah tampak melalui penyertaan yang konsisten di tengah situasi yang penuh tantangan. Pada Yusuf, misalnya, meski ia dijual sebagai budak ke Mesir, Allah tetap mengubah penderitaan itu menjadi sarana keselamatan bagi banyak orang (Kej. 50:20). Kisah ini menunjukkan bahwa pemeliharaan Allah melampaui rencana manusia, bahkan melalui penderitaan dan ketidakadilan, Allah tetap bekerja untuk menghadirkan kebaikan dan penggenapan janji-Nya.(70) Tema ini memperlihatkan bahwa Allah yang berdaulat senantiasa mengarahkan sejarah manusia kepada tujuan-Nya yang mulia.

Pemeliharaan Allah dalam sejarah tidak berhenti pada Kitab Kejadian, tetapi menjadi pola yang berlanjut dalam keseluruhan Alkitab. Pemazmur menegaskan bahwa “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Mzm. 23:1), sementara Yesus sendiri mengajarkan bahwa Bapa memelihara ciptaan-Nya hingga kepada hal-hal yang paling kecil (Mat. 6:26–30). Dengan demikian, Kitab Kejadian bukan hanya menceritakan asal-usul manusia dan bangsa Israel, tetapi juga memberikan landasan iman bagi umat Tuhan bahwa Allah yang setia senantiasa menopang, menuntun, dan memelihara mereka di tengah sejarah yang penuh dinamika.(71)

Asal-usul Bangsa Israel

Kisah para leluhur dalam Kitab Kejadian menegaskan bahwa asal-usul bangsa Israel tidak berakar pada keunggulan moral, politik, atau kekuatan militer, melainkan semata-mata pada kasih karunia dan pilihan Allah. Pemanggilan Abraham dari Ur (Kej. 12:1–3) menjadi titik awal narasi ini: Allah berinisiatif memanggil seorang yang tidak memiliki latar belakang istimewa untuk menjadi bapa suatu bangsa besar. Dalam perspektif ini, Israel lahir bukan sebagai hasil ambisi manusia, melainkan sebagai karya anugerah Allah yang berdaulat dalam sejarah.(72)
Abraham menatap langit penuh bintang sebagai lambang janji Allah tentang keturunan Israel, menggambarkan asal-usul bangsa Israel yang lahir dari kasih karunia Allah
“Asal-usul bangsa Israel berakar pada janji Allah kepada Abraham, bukan karena kekuatan manusia, melainkan karena kasih karunia-Nya yang kekal.”

Perjalanan leluhur Israel: Abraham, Ishak, Yakub, dan Yusuf, semakin menegaskan bahwa pemilihan Allah tidak bergantung pada keberhasilan manusia. Abraham sendiri sering diperlihatkan dalam kelemahan imannya (Kej. 16; 20), Yakub dikenal dengan kelicikan dan manipulasi, sementara Yusuf harus mengalami penderitaan panjang sebelum dipakai Allah untuk menyelamatkan keluarganya.(73) Meski demikian, Allah tetap setia melaksanakan janji-Nya. Hal ini memperlihatkan pola teologis yang konsisten: bahwa kasih setia Allah lebih besar daripada kegagalan manusia.(74)

Dari perspektif teologis, asal-usul Israel meneguhkan konsep election (pemilihan) yang berakar dalam rencana keselamatan Allah. Christopher J. H. Wright menekankan bahwa pemilihan Israel bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana bagi berkat Allah menjangkau segala bangsa.(75) Dengan demikian, identitas Israel selalu terkait dengan misi Allah yang universal, yakni menghadirkan berkat dan keselamatan bagi seluruh dunia (bdk. Yes. 49:6; Gal. 3:8).

KESIMPULAN

Kitab Kejadian menempati posisi fundamental dalam keseluruhan Alkitab karena menjadi dasar pengenalan akan Allah, manusia, dan sejarah penebusan. Narasi awal (Kej. 1–11) memperlihatkan Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara, yang menciptakan dunia dengan baik adanya (Kej. 1:31). Namun, kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 3) menyebabkan kerusakan relasi dengan Allah, sesama, dan alam semesta. Meski dosa berkembang semakin luas, Allah tetap meneguhkan kuasa dan kedaulatan-Nya dengan mengintervensi sejarah, seperti dalam peristiwa air bah (Kej. 6–9) dan menara Babel (Kej. 11). Dengan demikian, Kejadian 1–11 bukan hanya kisah asal-usul, melainkan juga teologi yang menegaskan bahwa Allah berdaulat atas ciptaan sekalipun manusia jatuh ke dalam dosa.

Sejarah para leluhur Israel (Kej. 12–50) memperlihatkan aspek lain dari karya Allah, yaitu pemilihan dan perjanjian-Nya. Panggilan Abraham (Kej. 12:1–3) menjadi titik balik yang menegaskan bahwa Allah merencanakan penyelamatan melalui satu bangsa yang lahir bukan karena kekuatan manusia, melainkan kasih karunia-Nya. Kisah Ishak, Yakub, Esau, dan Yusuf memperlihatkan keberdosaan dan kelemahan manusia, tetapi di sisi lain juga menampilkan kesetiaan Allah yang memelihara janji-Nya. Bahkan penderitaan Yusuf (Kej. 37–50) dijadikan sarana oleh Allah untuk menyelamatkan banyak orang dan menyiapkan Israel bagi karya penebusan berikutnya dalam Kitab Keluaran.

Secara teologis, Kitab Kejadian menekankan lima tema besar: Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara; kejatuhan manusia dalam dosa; perjanjian dan janji Allah; pemeliharaan Allah dalam sejarah; serta asal-usul bangsa Israel. Tema-tema ini saling terkait dan menunjuk kepada rencana Allah yang lebih besar, yaitu menghadirkan keselamatan universal melalui keturunan Abraham (bdk. Gal. 3:16). Dengan demikian, Kejadian bukan sekadar kisah purba atau sejarah etnis Israel, melainkan fondasi teologi Alkitab yang menjelaskan asal-usul dosa, janji penebusan, dan kesetiaan Allah.

Bagi pembaca masa kini, Kitab Kejadian meneguhkan bahwa kehidupan manusia dan sejarah dunia berada di bawah kedaulatan Allah. Ia tetap memelihara ciptaan-Nya, meskipun manusia sering gagal dan memberontak. Narasi ini mengingatkan bahwa keselamatan tidak dapat diupayakan oleh usaha manusia, melainkan merupakan anugerah Allah yang berakar pada janji perjanjian-Nya. Oleh sebab itu, Kitab Kejadian menuntun umat untuk hidup dalam iman, ketaatan, dan pengharapan kepada Allah yang setia, yang telah memulai karya penebusan sejak awal mula dunia.

Hormat Saya

Tanda tangan penulis

Penulis dari Pinggiran

Daftar Pustaka

  • R. K. Harrison, Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1969), hlm. 542.↩︎
  • Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2006), hlm. 49.↩︎
  • Gleason L. Archer, A Survey of Old Testament Introduction (Chicago: Moody Press, 1994), hlm. 187.↩︎
  • John H. Sailhamer, The Pentateuch as Narrative (Grand Rapids: Zondervan, 1992), hlm. 1–3.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 1–15 (Word Biblical Commentary, Vol. 1; Dallas: Word Books, 1987), hlm. xxx–xxxi.↩︎
  • John Calvin, Commentaries on the First Book of Moses Called Genesis, terj. John King (Grand Rapids: Baker, 2005), hlm. 23–25.↩︎
  • Augustine, The City of God, terj. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), Buku XI, hlm. 431–435.↩︎
  • Origen, Homilies on Genesis and Exodus, terj. Ronald E. Heine (Washington, DC: The Catholic University of America Press, 1981), hlm. 47–52.↩︎
  • Irenaeus, Against Heresies, terj. Dominic J. Unger (New York: Paulist Press, 1992), hlm. 120–125.↩︎
  • John H. Walton, The Lost World of Genesis One (Downers Grove: IVP Academic, 2009), hlm. 85–87.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 1–15 (Word Biblical Commentary, Vol. 1; Dallas: Word Books, 1987), hlm. 5–6.↩︎
  • Augustine, The City of God, terj. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), Buku XI, hlm. 431.↩︎
  • John Calvin, Commentaries on the First Book of Moses Called Genesis, terj. John King (Grand Rapids: Baker, 2005), hlm. 78–79.↩︎
  • Tremper Longman III, How to Read Genesis (Downers Grove: IVP Academic, 2005), hlm. 51–53.↩︎
  • John H. Sailhamer, The Pentateuch as Narrative (Grand Rapids: Zondervan, 1992), hlm. 107.↩︎
  • Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Buku VII, hlm. 96–97.↩︎
  • Origen, Homilies on Genesis and Exodus, terj. Ronald E. Heine (Washington, DC: The Catholic University of America Press, 1981), hlm. 105.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 1–15, hlm. 103.↩︎
  • Tremper Longman III, How to Read Genesis, hlm. 67.↩︎
  • Calvin, Commentaries on Genesis, hlm. 148–149.↩︎
  • Augustine, The City of God, Buku XV, hlm. 595.↩︎
  • Walton, The NIV Application Commentary: Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 2001), hlm. 289.↩︎
  • Wenham, Genesis 1–15, hlm. 171.↩︎
  • Calvin, Commentaries on Genesis, hlm. 282–283.↩︎
  • Augustine, The City of God, Buku XV, hlm. 630.↩︎
  • Sailhamer, The Pentateuch as Narrative, hlm. 121.↩︎
  • Longman, How to Read Genesis, hlm. 83.↩︎
  • Calvin, Commentaries on Genesis, hlm. 347.↩︎
  • Augustine, The City of God, Buku XVI, hlm. 664.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 1–15 (Word Biblical Commentary; Waco: Word Books, 1987), hlm. 275.↩︎
  • John H. Walton, The NIV Application Commentary: Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 2001), hlm. 406.↩︎
  • Augustine, The City of God, Book XVI, hlm. 312.↩︎
  • John Calvin, Commentary on Genesis, Vol. 1 (Grand Rapids: Baker, 1996), hlm. 343.↩︎
  • Tremper Longman III, Genesis (The Story of God Bible Commentary; Grand Rapids: Zondervan, 2016), hlm. 268–271.↩︎
  • Origen, Homilies on Genesis, hlm. 98–99.↩︎
  • John Calvin, Commentary on Genesis, Vol. 1, hlm. 410.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 16–50 (Word Biblical Commentary; Waco: Word Books, 1994), hlm. 182–185.↩︎
  • John H. Walton, The NIV Application Commentary: Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 2001), hlm. 565–568.↩︎
  • John Calvin, Commentary on Genesis, Vol. 2 (Grand Rapids: Baker, 1996), hlm. 144–146.↩︎
  • Tremper Longman III, Genesis (The Story of God Bible Commentary; Grand Rapids: Zondervan, 2016), hlm. 357–360.↩︎
  • Augustine, City of God, Book XVI, hlm. 432–434.↩︎
  • Origen, Homilies on Genesis, hlm. 129–131.↩︎
  • John H. Sailhamer, The Pentateuch as Narrative (Grand Rapids: Zondervan, 1992), hlm. 192–194.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 16–50 (Word Biblical Commentary; Waco: Word Books, 1994), hlm. 350–352.↩︎
  • John H. Walton, The NIV Application Commentary: Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 2001), hlm. 668–671.↩︎
  • John Calvin, Commentary on Genesis, Vol. 2 (Grand Rapids: Baker, 1996), hlm. 451–453.↩︎
  • Augustine, City of God, Book XVI, hlm. 447–449.↩︎
  • Tremper Longman III, Genesis (The Story of God Bible Commentary; Grand Rapids: Zondervan, 2016), hlm. 432–435.↩︎
  • Origen, Homilies on Genesis, hlm. 178–180.↩︎
  • John H. Sailhamer, The Pentateuch as Narrative (Grand Rapids: Zondervan, 1992), hlm. 206–208.↩︎
  • John H. Walton, The Lost World of Genesis One: Ancient Cosmology and the Origins Debate (Downers Grove: IVP Academic, 2009), 84–85.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 1–15, Word Biblical Commentary 1 (Dallas: Word, 1987), 6–7.↩︎
  • Tremper Longman III, Genesis, The Story of God Bible Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2016), 33–34.↩︎
  • Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XI.4–6.↩︎
  • John Calvin, Commentary on Genesis, trans. John King (Grand Rapids: Baker, 2005), 47–48.↩︎
  • ihat juga Richard Bauckham, Jesus and the God of Israel: God Crucified and Other Studies on the New Testament’s Christology of Divine Identity (Grand Rapids: Eerdmans, 2008), 187–190; serta Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image (Grand Rapids: Eerdmans, 1994), 15–18.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 1–15, Word Biblical Commentary 1 (Dallas: Word, 1987), 73–74.↩︎
  • John H. Walton, Genesis, NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), 212–213.↩︎
  • Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1998), XIII.12.↩︎
  • Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XIII.14–15.↩︎
  • Origen, On First Principles, trans. G. W. Butterworth (Gloucester: Peter Smith, 1973), IV.3.↩︎
  • John Calvin, Commentary on Genesis, trans. John King (Grand Rapids: Baker, 2005), 154–155.↩︎
  • Tremper Longman III, Genesis, The Story of God Bible Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2016), 57–59.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 1–15, Word Biblical Commentary 1 (Dallas: Word, 1987), 275–276.↩︎
  • John H. Walton, Genesis, NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), 402–403.↩︎
  • Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 2003), XVI.12.↩︎
  • John Calvin, Commentary on Genesis, trans. John King (Grand Rapids: Baker, 2005), 331–333.↩︎
  • Tremper Longman III, Genesis, The Story of God Bible Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2016), 141–143.↩︎
  • John H. Walton, Genesis: The NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 2001), 316–318.↩︎
  • Tremper Longman III, An Introduction to the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan Academic, 2017), 72.↩︎
  • Gordon J. Wenham, Genesis 16–50, Word Biblical Commentary (Dallas: Word Books, 1994), 482.↩︎
  • Gerhard von Rad, Genesis: A Commentary (Philadelphia: Westminster Press, 1972), hlm. 152.↩︎
  • Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology: An Exegetical, Canonical, and Thematic Approach (Grand Rapids: Zondervan, 2007), hlm. 327–329.↩︎
  • Walter Brueggemann, Genesis (Interpretation; Atlanta: John Knox Press, 1982), hlm. 196.↩︎
  • Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2006), hlm. 268–269.↩︎
  • Post a Comment

    0 Comments