property='og:image'/>

Himpitan Ekonomi di Pedalaman Mamasa: Potret Sosial dan Refleksi Iman dari Lakahang, Tabulahan

 Hidup dari Pinggiran Mamasa

Di ujung pedalaman Kabupaten Mamasa, tepatnya di Kelurahan Lakahang, Kecamatan Tabulahan, kehidupan sehari-hari masyarakat diwarnai oleh kesederhanaan sekaligus perjuangan. Wilayah ini bukanlah pusat ekonomi besar, melainkan kampung kecil yang terletak jauh dari keramaian kota. Jalanan yang berliku dan sarana ekonomi yang terbatas membuat warga Lakahang harus berjuang lebih keras dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Namun, di balik keterbatasan itu, Lakahang memiliki wajah lain: masyarakat yang masih hidup dalam kebersamaan, saling menolong, dan tetap setia pada nilai-nilai rohani. Hidup di pedalaman mengajarkan bahwa ekonomi memang penting, tetapi iman dan spiritualitas menjadi kekuatan utama untuk tetap bertahan.

Himpitan Ekonomi dan Masalah Akses Jalan

Meski jalan poros Mamasa–Lakahang kini sudah mulus dengan beton yang memudahkan transportasi dari kabupaten menuju kelurahan, situasi berbeda dialami warga dari desa-desa sekitar. Akses dari desa menuju ibu kota kecamatan di Lakahang masih tergolong parah dan rusak, apalagi saat musim hujan. Kondisi jalan yang sulit dilalui ini berdampak langsung pada perputaran ekonomi rakyat. Setiap hari Rabu, pasar kecamatan di Lakahang menjadi pusat aktivitas jual beli. Para petani dari desa-desa sekitar harus menempuh perjalanan berat membawa hasil bumi mereka, baik dengan kendaraan seadanya maupun dengan cara dipikul. Hasil panen utama yang dibawa ke pasar antara lain cokelat, kopi, minyak nilam, berbagai jenis buah-buahan, serta umbi-umbian. Sayangnya, keterlambatan atau kesulitan distribusi sering kali membuat harga jual tidak sebanding dengan tenaga dan ongkos yang dikeluarkan. Selain masalah akses, petani juga menghadapi harga komoditas yang fluktuatif. Kakao dan kopi yang seharusnya bernilai tinggi sering dihargai rendah di tingkat petani. Begitu pula minyak nilam yang sebenarnya punya pasar luas, tetapi belum dikelola dengan baik sehingga petani tidak merasakan keuntungan maksimal.

Potensi Ekonomi Desa yang Belum Tergarap Maksimal

Walau penuh tantangan, potensi ekonomi Lakahang dan sekitarnya sebenarnya cukup menjanjikan. Kakao dan kopi dikenal sebagai produk unggulan Mamasa, bahkan kualitasnya mampu bersaing di pasar nasional. Minyak nilam pun berpotensi besar karena dibutuhkan dalam industri parfum dan kosmetik. Selain itu, buah-buahan segar dan hasil umbi-umbian yang tumbuh di tanah Tabulahan bisa dikembangkan sebagai produk olahan, misalnya keripik, selai, atau minuman herbal. Dengan inovasi sederhana dan dukungan akses pasar yang lebih baik, hasil bumi rakyat bisa bernilai lebih tinggi. Sektor lain yang patut diperhatikan adalah pariwisata alam dan budaya. Dengan panorama pegunungan dan kehidupan masyarakat yang masih alami, Lakahang bisa menjadi destinasi wisata pedesaan. Jika dikembangkan, pariwisata dapat membuka peluang usaha baru, terutama bagi generasi muda yang selama ini cenderung memilih merantau.

Namun, untuk semua itu dibutuhkan sinergi: dukungan pemerintah, peran lembaga gereja, serta inisiatif warga sendiri. Tanpa kerja sama lintas pihak, potensi ini hanya akan berhenti sebagai wacana.

Sosial Masyarakat: Gotong Royong yang Masih Hidup

Walaupun terhimpit secara ekonomi, masyarakat Lakahang tetap memegang teguh nilai kebersamaan. Budaya gotong royong masih nyata: ketika ada yang membangun rumah, menanam padi, atau menghadapi duka, tetangga dan kerabat akan datang membantu tanpa pamrih.

Namun, himpitan ekonomi juga membawa dampak sosial. Banyak anak muda memilih meninggalkan kampung untuk merantau ke kota demi mencari pekerjaan yang lebih pasti. Hal ini membuat desa berkurang tenaga produktif, sementara orang tua semakin menanggung beban kerja di ladang. Jika tren ini terus berlanjut, generasi penerus pengelola potensi desa bisa semakin berkurang.

Refleksi Iman: Pengharapan dalam Keterbatasan

Masyarakat Lakahang sadar bahwa hidup di pedalaman tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai rohani. Gereja menjadi pusat penguatan iman sekaligus tempat masyarakat menemukan penghiburan dan solidaritas. Dalam doa dan ibadah, mereka belajar untuk tetap bersyukur sekalipun dalam keterbatasan.

Firman Tuhan berkata:

“Janganlah kamu kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Matius 6:25).

Ayat ini meneguhkan hati petani dan warga Lakahang, bahwa di balik kerja keras dan jerih payah, Allah tetap memelihara. Iman inilah yang membuat mereka mampu menghadapi kenyataan sulit tanpa kehilangan harapan.

Mazmur juga menegaskan:

“Apabila orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya.” (Mazmur 34:18).

Di tengah jalan rusak, harga panen yang jatuh, atau hasil jerih payah yang belum sebanding, masyarakat percaya bahwa Tuhan mendengar doa mereka.

Menatap Masa Depan dengan Iman dan Kerja Keras

Himpitan ekonomi memang nyata, tetapi bukan berarti tanpa solusi. Jalan yang rusak bisa diperbaiki jika ada kemauan bersama. Potensi hasil bumi bisa bernilai lebih tinggi jika diolah dengan kreatif. Pemuda desa bisa diberdayakan melalui pelatihan keterampilan dan pendampingan usaha.

Di sisi lain, iman kepada Kristus tetap menjadi fondasi. Tanpa pengharapan rohani, kerja keras sering berujung pada keputusasaan. Tetapi dengan iman, setiap usaha, sekecil apa pun, memiliki arti di hadapan Tuhan.

Penutup

Lakahang, Tabulahan, hanyalah satu contoh dari banyak desa di pedalaman Mamasa yang sedang menghadapi himpitan ekonomi. Namun dari kampung sederhana ini kita belajar arti ketekunan, kebersamaan, dan iman yang tidak tergoyahkan.

Seperti janji Tuhan:

“Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5).

Inilah yang menjadi pegangan masyarakat Lakahang. Meski hidup tidak mudah, mereka tetap berjalan dengan iman dan berusaha membangun masa depan yang lebih baik, untuk keluarga, untuk kampung, dan untuk generasi berikutnya.

  

Post a Comment

0 Comments