property='og:image'/>

Israel sebagai Bangsa Keajaiban: Refleksi Teologis-Biblika dan Kontekstual bagi Masyarakat Mamasa

 PENDAHULUAN

Fenomena teologis dan sosial sering kali bertemu dalam sebuah pernyataan publik yang memicu diskusi luas. Salah satunya adalah pernyataan Imam Hassen Chalghoumi yang menyebut Israel sebagai “bangsa keajaiban.” Ucapan ini tidak hanya mengandung unsur politik, tetapi juga membuka ruang bagi pembacaan teologis yang mendalam: bagaimana sebuah bangsa dipandang sebagai subjek intervensi ilahi di tengah pergumulan sejarah. Dalam konteks Alkitab, Israel sering kali diposisikan sebagai bangsa pilihan Allah, tempat Allah menyatakan kehendak-Nya bagi dunia (Ul. 7:6; Yes. 41:8–10). Namun dalam wacana kontemporer, status Israel juga menimbulkan polemik yang melibatkan aspek politik, etika, bahkan relasi antaragama.

Bagi gereja masa kini, narasi tentang Israel tidak hanya relevan dalam kerangka biblika, tetapi juga menyentuh aspek kehidupan sosial masyarakat. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, diskursus tentang Israel sering berhubungan dengan isu identitas, ketahanan iman, dan posisi umat Kristen dalam percaturan global. Masyarakat Kristen di pedalaman Mamasa, khususnya Kecamatan Tabulahan dan Kelurahan Lakahang, meskipun jauh dari hiruk pikuk politik internasional, tetap menghadapi realitas yang mirip: bagaimana memahami iman di tengah keterbatasan, tekanan sosial, dan dinamika budaya lokal. Hidup di daerah pedalaman dengan akses terbatas terhadap pendidikan, informasi, dan ekonomi, umat Kristen setempat sering kali menemukan kekuatan dalam iman yang sederhana, namun penuh daya tahan. Seperti halnya Israel yang bertahan di tengah gempuran sejarah, masyarakat pedalaman juga belajar bertahan melalui iman yang kokoh.

Dalam konteks inilah artikel ini hadir untuk mengkaji dan merefleksikan pernyataan Chalghoumi dengan dua tujuan utama. Pertama, untuk melihat bagaimana Alkitab, khususnya Kitab Amsal dan tradisi hikmat, dapat menolong umat memahami fenomena bangsa Israel dalam perspektif iman. Kedua, untuk menghubungkan refleksi itu dengan pengalaman masyarakat Kristen di Mamasa, yang hidup dalam keterbatasan tetapi tetap memelihara nilai-nilai spiritual dan ketahanan sosial. Dengan demikian, artikel ini bukan hanya kajian teologis, melainkan juga tawaran refleksi iman yang relevan dengan realitas sosial masyarakat pedalaman.

Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif-reflektif, dengan menafsirkan teks Alkitab secara teologis sekaligus mengaitkannya dengan pengalaman iman komunitas lokal. Kajian literatur dari sumber-sumber teologi kontemporer dilengkapi dengan observasi sosial dan refleksi iman yang tumbuh dari kehidupan jemaat di Kelurahan Lakahang. Harapannya, tulisan ini dapat memberi kontribusi pada diskursus akademik sekaligus memperkaya kehidupan rohani umat Kristen di pedalaman Mamasa.

PEMBAHASAN

1.             Tujuan Teologis-Biblika: Israel dalam Perspektif Hikmat Alkitab

Pernyataan Chalghoumi yang menyebut Israel sebagai “bangsa keajaiban” dapat ditafsirkan secara teologis dengan melihat bagaimana Alkitab memposisikan bangsa ini. Kitab Ulangan menegaskan, “Engkaulah bangsa yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya” (Ul. 7:6). Status Israel sebagai bangsa pilihan bukan karena kehebatan mereka, melainkan karena kasih dan janji Allah (Ul. 7:7–8). Dalam perspektif iman, “keajaiban” Israel bukanlah keunggulan politik atau militer, melainkan intervensi Allah yang berkarya melalui bangsa yang kecil dan rapuh untuk tujuan yang besar.[1] Dengan demikian, ucapan Chalghoumi memperoleh makna yang lebih mendalam: Israel adalah bangsa keajaiban karena menjadi sarana penyataan Allah dalam sejarah.

Tradisi hikmat Israel, khususnya dalam Kitab Amsal, menolong kita memahami makna eksistensi bangsa ini. Amsal 1:7 menegaskan, “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.” Hikmat Israel bukan sekadar strategi praktis dalam bertahan hidup, melainkan pengenalan akan Allah sebagai sumber kehidupan dan sejarah. Israel dapat bertahan dalam berbagai krisis, pembuangan, dan diaspora karena hidupnya ditopang oleh hikmat ilahi, yakni kesadaran bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu. Hikmat ini sekaligus meneguhkan umat percaya bahwa keajaiban Israel bukanlah mitos, melainkan bukti nyata kuasa Allah yang menopang umat-Nya.[2]

Selain itu, hikmat Israel berhubungan erat dengan spiritualitas Kristiani. Mazmur-mazmur Israel membentuk kerangka doa gereja, nubuat para nabi melahirkan pengharapan mesianik, dan tradisi perjanjian menginspirasi pemahaman Kristen tentang karya keselamatan Yesus Kristus. Paulus sendiri menegaskan bahwa “segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci” (Rm. 15:4). Dengan demikian, Israel bukan hanya bangsa yang memiliki arti historis, melainkan juga sumber inspirasi rohani yang meneguhkan iman gereja sepanjang zaman.[3]

Dalam terang itu, spiritualitas Kristen masa kini dipanggil untuk melihat keajaiban Israel sebagai tanda kesetiaan Allah. Gereja, termasuk jemaat di Mamasa yang hidup dalam keterbatasan, dapat menemukan teladan dalam bangsa Israel: bagaimana umat kecil dapat dipakai Allah untuk menghadirkan terang di tengah dunia. Seperti Israel yang terus bertahan melalui doa, ketaatan, dan pengharapan, demikian pula gereja dipanggil untuk memelihara iman dalam kesetiaan kepada Allah. Inilah warisan hikmat yang melintasi zaman, dari Israel kuno hingga umat Kristen masa kini.


2.             Tujuan Kontekstual-Praktis: Israel dan Pengalaman Masyarakat Mamasa

Kisah Israel sebagai bangsa yang kecil namun dipelihara Allah memiliki makna yang relevan bagi masyarakat Kristen di Mamasa, khususnya di pedalaman Kecamatan Tabulahan dan Kelurahan Lakahang. Seperti Israel yang hidup di tengah bangsa-bangsa besar dan sering mengalami penindasan, umat Kristen di pedalaman menghadapi keterbatasan dalam pendidikan, ekonomi, maupun akses teknologi. Namun, keterbatasan itu bukan berarti ketiadaan pengharapan. Justru, seperti Israel yang tetap teguh karena mengandalkan Tuhan, masyarakat Mamasa dapat menemukan kekuatan rohani untuk bertahan melalui iman dan doa. Sebagaimana tertulis: “Allah adalah bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, penolong yang selalu hadir dalam kesesakan” (Mzm. 46:2).[4]

Israel kuno menghidupi identitasnya melalui perjanjian dengan Allah, sekalipun sering jatuh bangun dalam ketidaktaatan. Realitas ini mencerminkan pengalaman jemaat pedalaman yang bergumul dengan tantangan sosial, tetapi tetap berusaha setia dalam ibadah dan pelayanan. Nilai-nilai etis dari Taurat, seperti keadilan sosial, kepedulian kepada orang miskin, dan kesetiaan kepada Allah, dapat menjadi inspirasi praktis bagi gereja di Mamasa. Hidup dalam keterbatasan justru menjadi ruang untuk menghidupi solidaritas komunitas, sebagaimana nasihat Paulus: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2).[5]

Lebih jauh, pengalaman Israel yang tetap eksis meskipun dijajah, dibuang, bahkan tercerai-berai, dapat menjadi cermin bagi masyarakat Mamasa untuk menumbuhkan ketahanan sosial (resilience). Israel tidak pernah hilang dari sejarah karena memiliki narasi iman yang meneguhkan identitas kolektif mereka. Demikian pula, masyarakat Mamasa dapat meneguhkan identitasnya sebagai umat Allah dengan terus merawat iman dan tradisi rohani di tengah tekanan sosial dan keterbatasan sumber daya. Dengan demikian, iman menjadi basis kultural sekaligus sosial yang memberi daya tahan dalam menghadapi perubahan zaman.[6]

Akhirnya, kisah Israel mengajarkan bahwa Allah berkenan memakai yang kecil untuk melaksanakan karya besar-Nya (1Kor. 1:27–29). Hal ini memberikan harapan bagi jemaat di Mamasa bahwa meski hidup jauh dari pusat kota dan akses modern, mereka tetap dapat menjadi saksi Kristus bagi sesama. Spiritualitas Israel, ketaatan pada firman, doa yang tekun, dan pengharapan pada janji Allah, dapat menjadi model hidup beriman yang kontekstual. Dengan demikian, umat di Mamasa dapat melihat diri mereka sebagai bagian dari narasi besar karya Allah, yang terus berlangsung hingga kini.

KESIMPULAN

Kajian atas pernyataan Imam Hassen Chalghoumi tentang Israel sebagai “bangsa keajaiban” membuka ruang dialog antara teologi biblika dan realitas sosial kontemporer. Dari perspektif Alkitab, khususnya melalui tradisi hikmat, Israel memang dipahami sebagai bangsa yang dipelihara Allah secara khusus. Status mereka sebagai umat pilihan bukan sekadar soal politik, melainkan wujud nyata intervensi Allah dalam sejarah, yang menunjukkan bahwa hikmat dan kedaulatan-Nya mengatasi segala keterbatasan manusia. Refleksi ini menegaskan bahwa sebutan “bangsa keajaiban” menemukan dasar teologisnya dalam karya penyelamatan Allah yang berlangsung terus-menerus.

Namun, pemahaman ini tidak boleh berhenti pada tataran biblika. Ia perlu ditarik ke dalam konteks kehidupan umat Kristen masa kini. Masyarakat pedalaman Mamasa, khususnya di Kecamatan Tabulahan dan Kelurahan Lakahang, menghadirkan cermin yang hidup dari kisah Israel: sebuah komunitas kecil yang bergumul dengan keterbatasan, tetapi tetap teguh beriman. Mereka menemukan kekuatan rohani dalam kesederhanaan, menafsirkan iman bukan sebagai wacana abstrak, melainkan sebagai daya tahan dalam menghadapi realitas sosial-ekonomi yang keras. Seperti Israel, mereka adalah “bangsa keajaiban” dalam skala lokal, bukan karena kehebatan mereka sendiri, melainkan karena karya Allah yang nyata di tengah kelemahan.

Dengan demikian, artikel ini mengajukan dua poin penting. Pertama, Israel dalam Alkitab adalah tanda kehadiran Allah yang menyatakan hikmat dan pemeliharaan-Nya kepada dunia. Kedua, umat Kristen di Mamasa dapat membaca kembali pengalaman mereka sendiri melalui lensa kisah Israel, sehingga iman tidak hanya dilihat sebagai tradisi, tetapi juga sebagai sumber ketahanan sosial dan spiritual. Refleksi ini sekaligus mengingatkan gereja bahwa setiap komunitas beriman, betapapun kecil dan terbatas, dapat menjadi saksi keajaiban Allah.

Akhirnya, kesadaran ini mengajak kita semua, baik di pusat kota maupun pedalaman, untuk menafsirkan iman bukan sebagai sesuatu yang jauh atau asing, melainkan sebagai pengalaman hidup sehari-hari yang terus dibentuk oleh hikmat Allah. Dalam kerangka itu, Israel bukan hanya fenomena sejarah, tetapi juga sebuah cermin yang menginspirasi umat Kristen di berbagai belahan dunia untuk tetap teguh, setia, dan bersyukur atas karya Allah yang melampaui zaman.

  


[1] Christopher J. H. Wright, The Mission of God: Unlocking the Bible’s Grand Narrative (Downers Grove: IVP Academic, 2020), 71–73.

[2] Tremper Longman III, The Fear of the Lord Is Wisdom: A Theological Introduction to Wisdom in Israel (Grand Rapids: Baker Academic, 2017), 19–21.

[3] Walter C. Kaiser Jr., Mission in the Old Testament: Israel as a Light to the Nations (Grand Rapids: Baker Academic, 2019), 45–47.

[4] Walter Brueggemann, Hopeful Imagination: Prophetic Voices in Exile (Minneapolis: Fortress Press, 2018), 55–56.

[5] Samuel Escobar, Mission in the Globalization Era (Downers Grove: IVP Academic, 2019), 104–106.

[6] Lamin Sanneh, Whose Religion Is Christianity? The Gospel beyond the West (Grand Rapids: Eerdmans, 2019), 67–70.

Post a Comment

0 Comments