TAKUT AKAN TUHAN SEBAGAI PERMULAAN HIKMAT: KAJIAN TEOLOGIS ATAS KITAB AMSAL DAN PARALELNYA DENGAN AMENEMOPE SERTA AHIQAR
I.
Pendahuluan
Tradisi hikmat merupakan salah satu warisan intelektual dan spiritual
paling berharga dari dunia kuno. Dalam konteks Alkitab, kitab Amsal menempati
posisi sentral sebagai representasi literatur hikmat Israel. Ia bukan hanya
kumpulan peribahasa moral, tetapi juga sebuah karya yang menekankan bahwa
hikmat sejati berakar pada relasi dengan Allah: “Takut akan TUHAN adalah
permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7). Pernyataan ini menegaskan bahwa,
sekalipun terdapat nilai-nilai universal dalam peribahasa, dasar teologis kitab
Amsal berbeda secara fundamental dari karya-karya hikmat bangsa lain di Timur
Dekat kuno. Namun, kajian filologis dan perbandingan teks sejak awal abad ke-20
menunjukkan adanya kemiripan yang signifikan antara Amsal 22:17–24:22 dengan
karya hikmat Mesir kuno, khususnya Instruction of Amenemope. Selain itu,
hikmat Ahiqar dari tradisi Asyur/Aram juga memperlihatkan paralel dengan
peribahasa Ibrani dalam bentuk, struktur, dan substansi moral. Fenomena ini
memunculkan pertanyaan penting: Apakah kitab Amsal berdiri sendiri secara
eksklusif, ataukah ia merupakan hasil interaksi dan dialog kreatif dengan
literatur hikmat di sekitarnya?
Kajian perbandingan ini penting, karena membantu kita memahami dua hal
sekaligus. Pertama, hikmat Israel tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan
dalam konteks budaya global dunia kuno. Kedua, meskipun ada kemiripan, Israel
selalu memberikan penekanan unik: hikmat bukan semata-mata hasil refleksi
manusia, tetapi anugerah yang mengalir dari Allah sebagai sumber kehidupan.
Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bersifat filologis atau historis,
tetapi juga menyentuh dimensi teologis dan spiritual. Dalam kerangka iman,
refleksi atas tradisi hikmat kuno ini juga memiliki relevansi kontekstual.
Kehidupan masyarakat pedalaman, seperti di Lakahang, Tabulahan (Mamasa,
Sulawesi Barat), sarat dengan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Nilai-nilai sederhana seperti hidup rukun, menghargai tanah warisan, bekerja
keras di ladang, dan menjaga kehormatan keluarga sesungguhnya selaras dengan
prinsip-prinsip hikmat yang ditemukan dalam kitab Amsal maupun teks Amenemope
dan Ahiqar. Namun, yang membedakan adalah penegasan iman Kristen bahwa segala
hikmat manusia hanya menemukan maknanya bila diikat dalam takut akan Tuhan.
Dengan demikian, perbandingan ini dapat menjadi sarana untuk meneguhkan iman,
sekaligus mengapresiasi kebijaksanaan universal yang Allah izinkan hadir dalam
berbagai budaya.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk (1) menelaah tradisi hikmat
dalam kitab Amsal, (2) memperkenalkan dan membandingkannya dengan Instruction
of Amenemope dari Mesir dan hikmat Ahiqar dari Asyur/Aram, serta (3)
merumuskan refleksi teologis-spiritual yang relevan bagi kehidupan umat
Kristen, khususnya dalam konteks pedalaman.
II.
Hikmat dalam Kitab Amsal
Kitab Amsal merupakan salah satu karya kunci dalam literatur hikmat
Perjanjian Lama. Tradisi Yahudi menempatkan kitab ini dalam kumpulan Ketuvim
(Tulisan-tulisan), bersama Mazmur, Ayub, dan Pengkhotbah. Secara literer, kitab
Amsal terdiri dari kumpulan pernyataan singkat, padat, dan praktis yang memuat
nasihat moral dan sosial. Akan tetapi, jika diteliti lebih dalam, Amsal
bukanlah sekadar koleksi pepatah rakyat, melainkan hasil refleksi teologis yang
menempatkan “hikmat” dalam kerangka relasi dengan Allah.
2.1.
Konsep Hikmat dalam Kitab Amsal
Hikmat (ḥokmâh) dalam kitab Amsal bukanlah sekadar kecerdasan
intelektual atau keterampilan praktis, melainkan sebuah pola hidup yang berakar
pada sikap takut akan Tuhan. Pernyataan pembuka kitab ini menegaskan hal itu: “Takut
akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7). Dengan demikian,
hikmat bukan hasil dari spekulasi manusia, melainkan respons etis dan religius
terhadap Allah yang menjadi sumber kehidupan. Konsep hikmat dalam Amsal juga
bersifat holistik: ia mencakup dimensi etika (misalnya kejujuran,
kerajinan, keadilan), sosial (hubungan antar sesama, keluarga, dan komunitas),
serta spiritual (keterikatan kepada Tuhan). Hal ini terlihat jelas dalam seruan
berulang agar anak-anak Israel mendengarkan didikan orang tua dan tidak menolak
didikan Tuhan (Ams. 3:1–12). Dengan demikian, hikmat dalam Amsal tidak pernah
terlepas dari konteks iman komunitas perjanjian.
2.2.
Struktur dan Tema Utama Kitab Amsal
Secara umum,
kitab Amsal dapat dibagi ke dalam beberapa bagian:
a.
Pendahuluan (Ams. 1–9) – Bagian ini berbentuk
prolog panjang yang menekankan nilai hikmat, disertai personifikasi “hikmat”
sebagai seorang perempuan yang berseru di jalan (Ams. 8:1–36). Hikmat di sini
bukan sekadar abstraksi, melainkan sesuatu yang bersifat aktif dan bahkan ilahi,
karena digambarkan hadir bersama Allah sejak penciptaan.
b.
Kumpulan Amsal Salomo (Ams. 10–22:16; 25–29) –
Bagian ini berisi pepatah singkat dua baris yang menyajikan kontras antara
orang benar dan fasik, rajin dan malas, bijak dan bodoh.
c.
Perkataan Orang Bijak (Ams. 22:17–24:22) –
Bagian ini memiliki kemiripan mencolok dengan Instruction of Amenemope
dari Mesir, baik dalam bentuk maupun substansi.
d.
Tambahan lain (Ams. 30–31) – Termasuk perkataan
Agur dan Lemuel, serta gambaran tentang istri yang cakap (Ams. 31:10–31).
Tema utama yang
berulang dalam kitab Amsal meliputi: takut akan Tuhan sebagai dasar hikmat,
kejujuran, keadilan sosial, disiplin, pengendalian diri, kerja keras, dan
kesetiaan dalam relasi keluarga. Dengan demikian, kitab Amsal menegaskan bahwa
kehidupan sehari-hari umat Allah harus ditata berdasarkan nilai-nilai hikmat
yang mencerminkan karakter Allah sendiri.
2.3.
Dimensi Teologis dan Spiritual
Yang membedakan Amsal dari karya hikmat bangsa lain ialah dimensi
teologisnya. Amsal tidak menempatkan hikmat sebagai sekadar “kearifan
manusiawi”, tetapi sebagai partisipasi dalam tatanan ilahi. Hikmat
dipandang sebagai sarana Allah menuntun umat-Nya agar hidup dalam jalan
kebenaran. Dalam konteks spiritual, hikmat menolong orang percaya untuk
menghadapi realitas hidup dengan bijaksana, bukan dengan mengandalkan kekuatan
sendiri, melainkan dengan mengakui kedaulatan Allah. Sebagaimana ditulis: “Percayalah
kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu
sendiri” (Ams. 3:5).
2.4.
Refleksi Kontekstual
Bagi masyarakat pedalaman seperti di Lakahang, nilai-nilai hikmat dalam
Amsal memiliki resonansi yang kuat. Prinsip kejujuran, kerja keras, serta
hormat kepada orang tua merupakan hal yang dijunjung tinggi dalam kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi, Amsal memberikan fondasi rohani yang lebih dalam:
segala kearifan lokal hanya akan menemukan kekuatan dan arah yang benar bila
diletakkan dalam terang takut akan Tuhan. Dengan demikian, hikmat Amsal dapat
dipahami sebagai jembatan antara kearifan tradisi lokal dan iman Kristen yang
hidup.
III.
Ajaran Amenemope dan Paralelnya dengan
Amsal
Salah satu teks hikmat paling penting dari Mesir kuno yang memiliki
relevansi langsung dengan Kitab Amsal adalah Ajaran Amenemope
(Instruction of Amenemope). Teks ini diperkirakan ditulis pada zaman Kerajaan
Baru Mesir, sekitar abad ke-12 SM, dan berisi nasihat moral, etika sosial,
serta prinsip-prinsip kebijaksanaan yang diajarkan seorang pejabat Mesir
bernama Amenemope kepada putranya.[1]
Dalam tradisi literatur kebijaksanaan, teks ini dapat dikategorikan sebagai didactic
wisdom (hikmat pengajaran), karena menekankan nilai-nilai praktis untuk
kehidupan yang tertib, etis, dan selaras dengan tatanan kosmos.[2]
1.
Struktur dan Isi Pokok Ajaran Amenemope
Ajaran Amenemope terdiri dari 30 bagian (chapters) yang masing-masing
memuat instruksi moral dan etis.[3]
Tema-tema yang ditonjolkan antara lain:
a.
Ketulusan dan kejujuran dalam berbicara.
b.
Penolakan terhadap keserakahan dan kekerasan.
c.
Kepedulian terhadap orang miskin dan lemah.
d.
Peringatan terhadap kesombongan dan
ketidakadilan.
Ajaran
tersebut menekankan sikap rendah hati, kesabaran, serta hidup sesuai dengan
tatanan ilahi (maat) yang dipercayai masyarakat Mesir sebagai hukum
moral kosmik.[4]
2.
Paralel dengan Kitab Amsal
Hubungan literer antara Ajaran Amenemope dan Kitab Amsal telah lama
menjadi perdebatan akademis. Banyak peneliti menemukan adanya kemiripan
langsung antara teks Amenemope dengan Amsal 22:17–24:22.[5]
Bagian ini dalam Amsal dikenal sebagai “perkataan orang bijak” (the
sayings of the wise), yang diyakini memuat pinjaman atau setidaknya pengaruh
dari tradisi hikmat Mesir.
Beberapa paralel penting dapat dicatat:
a.
Amsal 22:22–23:
"Janganlah
merampasi orang miskin, karena ia miskin, dan janganlah menginjak-injak orang
yang lemah di pintu gerbang; sebab TUHAN akan membela perkara mereka, dan
mengambil nyawa dari orang yang merampasi mereka."
b.
Amenemope, Bab 2:
"Waspadalah
jangan sampai engkau merampasi orang miskin atau menindas orang lemah, sebab
Tuhan akan mendengar seruan mereka dan akan membalas kepada si pelanggar."[6]
Kedua teks ini menekankan nilai keadilan sosial, perlindungan bagi kaum
miskin, serta keyakinan bahwa Allah/dewa akan bertindak membela pihak yang
tertindas.
Selain itu, Amsal 22:24–25 memperingatkan agar tidak bersahabat dengan
orang yang lekas marah, yang sejalan dengan Amenemope Bab 10, yang juga
menasihati agar menjauh dari orang pemarah yang dapat menyeret seseorang ke
dalam kesulitan.[7]
3.
Implikasi Teologis dan Historis
Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah penulis Amsal secara
langsung meminjam dari teks Amenemope, ataukah keduanya merupakan bagian dari
arus kebijaksanaan Timur Dekat kuno yang lebih luas? Mayoritas sarjana
menyatakan bahwa Amsal kemungkinan besar mengadaptasi unsur-unsur Amenemope,
namun menyuntikkan dasar teologis khas Israel, yaitu bahwa hikmat sejati
berakar pada takut akan TUHAN (lih. Ams. 1:7).[8]
Dengan demikian, meskipun ada paralel, Kitab Amsal tidak sekadar menyalin teks
Mesir, melainkan mengontekstualisasikannya dalam kerangka iman Israel.
Bagi pembaca masa kini, perbandingan ini mengingatkan bahwa hikmat Allah
dapat berbicara melampaui batas budaya. Israel bukanlah bangsa yang terisolasi,
melainkan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Namun, Israel menegaskan
kembali identitasnya dengan memusatkan segala hikmat pada relasi yang benar
dengan TUHAN.
IV.
Ahiqar dan Tradisi Hikmat Asyur/Aram
1.
Latar Belakang dan Naskah Ahiqar
Tradisi hikmat di Timur Dekat Kuno tidak hanya berkembang di Mesir atau
Israel, tetapi juga di kawasan Mesopotamia dan Aram. Salah satu teks penting
adalah Kisah dan Ajaran Ahiqar (The Story and Wisdom of Ahiqar), sebuah karya
berbahasa Aram yang ditemukan dalam papirus Elephantine di Mesir (abad ke-5
SM). Ahiqar digambarkan sebagai penasihat raja Asyur (kadang Sanherib, kadang
Esarhaddon) yang terkenal karena kebijaksanaannya. Naskah Ahiqar terdiri dari
dua bagian: (1) kisah hidup Ahiqar yang penuh intrik politik, dan (2) kumpulan
ajaran atau peribahasa moral yang disampaikannya. Bagian kedua inilah yang
paling erat paralelnya dengan literatur hikmat Alkitab, khususnya Kitab Amsal.[9]
2.
Isi dan Tema Utama Hikmat Ahiqar
Ajaran Ahiqar memuat nasihat-nasihat praktis mengenai kehidupan, antara
lain: kesetiaan terhadap raja, pentingnya kerendahan hati, menjaga perkataan,
keadilan, serta kewaspadaan terhadap sahabat yang berkhianat. Misalnya, salah
satu nasihat berbunyi:
“Anakku, jangan mengangkat dirimu di
hadapan tuanmu, jangan berbicara banyak bila engkau belum ditanya.”[10] Nasihat
ini sangat dekat dengan Amsal 25:6–7: “Jangan meninggikan dirimu di hadapan
raja, atau berdiri di tempat para pembesar; karena lebih baik orang berkata
kepadamu: ‘Naiklah ke mari,’ daripada engkau direndahkan di hadapan orang
mulia.”
Demikian pula, Ahiqar menekankan disiplin
lidah:
“Anakku, janganlah bibirmu terbuka
terlalu lebar; lidah adalah pedang yang dapat membunuh.”[11] Paralelnya
ditemukan dalam Amsal 18:21: “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka
menggemakannya, akan memakan buahnya.”
Tema-tema ini memperlihatkan kesamaan
pandangan moral antara hikmat Aram-Asyur dengan hikmat Israel, meskipun lahir
dalam konteks budaya yang berbeda.
3.
Perbandingan dengan Kitab Amsal
Beberapa aspek paralel antara Ahiqar dan Amsal dapat disarikan sebagai
berikut:
a.
Kesetiaan dan penghormatan kepada penguasa – Ahiqar
menekankan hormat pada raja, mirip dengan Amsal 24:21: “Hai anakku, takutlah
akan TUHAN dan akan raja; jangan melawan terhadap kedua-duanya.”
b.
Pengendalian lidah dan kebijaksanaan berbicara –
Amsal maupun Ahiqar menekankan bahwa kata-kata dapat membawa kehidupan atau
kehancuran (bdk. Ams. 12:18; 15:1).
c.
Kerendahan hati sebagai dasar hikmat – Ahiqar mendorong
sikap rendah hati, sebagaimana Amsal 22:4: “Ganjaran kerendahan hati dan takut
akan TUHAN adalah kekayaan, kehormatan, dan kehidupan.”
d.
Prinsip keadilan dan pergaulan sosial – Baik Ahiqar
maupun Amsal menekankan pentingnya keadilan dalam relasi sosial, serta
kewaspadaan terhadap orang fasik atau sahabat palsu.
4.
Refleksi Teologis dan Spiritualitas
Bagi umat di pedalaman seperti di Lakahang, hikmat Ahiqar menunjukkan
bahwa kebijaksanaan bukan hanya milik Israel, tetapi merupakan pencarian
universal umat manusia. Namun, perbedaan mendasarnya ialah bahwa hikmat Israel
berakar pada takut akan TUHAN (Ams. 1:7), sedangkan Ahiqar menekankan
loyalitas kepada raja dan kehati-hatian hidup. Di sini iman Kristen melihat
bahwa segala hikmat sejati menemukan puncaknya dalam Kristus sebagai “hikmat
Allah” (1 Kor. 1:24). Nasihat Ahiqar yang mengajarkan kehati-hatian dalam
perkataan dan kerendahan hati tetap relevan, tetapi bagi orang percaya, nilai-nilai
ini ditopang oleh panggilan untuk hidup dalam terang kasih Allah.
Dalam konteks masyarakat pedalaman, nasihat Ahiqar tentang kesetiaan,
kerendahan hati, dan pengendalian lidah bisa menjadi inspirasi etis. Namun,
iman menambahkan dimensi rohani: bukan hanya supaya hidup lebih tertib, tetapi
agar kehidupan sosial benar-benar menjadi kesaksian tentang kebaikan Allah.
Dengan demikian, hikmat kuno ini, jika dipahami dalam terang Kitab Suci, dapat
memperkaya refleksi iman dan etika jemaat.
V.
Perbandingan Teologis dan Relevansi bagi
Gereja Masa Kini
1.
Perbandingan Teologis
Tradisi hikmat Israel yang tercermin dalam Kitab Amsal jelas memiliki
titik temu dengan literatur kebijaksanaan di Timur Dekat Kuno, khususnya Instruction
of Amenemope dari Mesir dan The Words of Ahiqar dari Asyur/Aram.
Ketiganya berbagi perhatian pada persoalan moralitas praktis, etika sosial, dan
tata laku manusia dalam masyarakat. Namun, terdapat perbedaan fundamental dalam
fondasi teologis. Hikmat Mesir dan Asyur cenderung berakar pada kosmos dan
tatanan sosial yang dianggap sakral, di mana harmoni dengan alam dan ketaatan
pada raja dipandang sebagai dasar etika. Amenemope, misalnya, menekankan sikap
rendah hati, kesabaran, dan ketekunan sebagai jalan mencapai kehidupan yang
tenteram, tetapi motivasinya lebih pada menjaga keseimbangan sosial dan
menghindari malapetaka dalam kehidupan sekarang.[12]
Demikian pula Ahiqar menekankan nilai-nilai seperti ketaatan kepada penguasa,
kesetiaan, dan pengendalian diri, yang bertujuan melestarikan stabilitas
politik dan keluarga.[13]
Sebaliknya, hikmat Israel berdiri di atas fondasi teologis yang unik:
“Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7). Etika dalam Amsal
tidak sekadar pragmatis atau sosial, melainkan lahir dari relasi perjanjian
dengan Allah Israel. Artinya, kejujuran, kesabaran, dan ketaatan bukan hanya
sarana menjaga harmoni sosial, tetapi wujud kesetiaan pada Tuhan yang kudus dan
berdaulat. Dengan demikian, perbandingan teologis ini memperlihatkan bahwa
meskipun Israel mengenal dan mungkin menyerap bentuk-bentuk literatur
kebijaksanaan sekitarnya, mereka memberi makna baru yang berakar pada iman
monoteistik.[14]
2.
Relevansi bagi Gereja Masa Kini
Dalam konteks gereja masa kini, khususnya di pedalaman seperti Lakahang,
relevansi dari perbandingan ini terletak pada bagaimana umat Kristen belajar
menghargai nilai-nilai hikmat universal, sekaligus mengakarnya dalam iman
kepada Kristus. Gereja tidak bisa menutup mata bahwa masyarakat sekitar juga
memiliki tradisi kebijaksanaan, baik melalui pepatah leluhur maupun adat
istiadat. Namun, seperti Israel yang memberi makna baru pada bentuk hikmat
asing, gereja dipanggil untuk menafsir ulang nilai-nilai tersebut dalam terang
Injil.
Pertama, hikmat Alkitab mengingatkan bahwa setiap kebijaksanaan sejati
harus bersumber pada takut akan Tuhan. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong,
kesabaran dalam menghadapi kesulitan, dan ketaatan pada orang tua adalah hal
yang baik, tetapi harus dihidupi sebagai bagian dari kesetiaan kepada Allah,
bukan sekadar tuntutan budaya.
Kedua, perbandingan ini mendorong gereja untuk lebih terbuka dan
dialogis. Jika Amsal dapat bersuara sejajar dengan Amenemope dan Ahiqar, maka
gereja pun dipanggil untuk membaca, menghargai, dan bahkan belajar dari tradisi
kebijaksanaan lokal. Namun, pada saat yang sama gereja tidak kehilangan
identitasnya: Kristus adalah hikmat Allah yang sejati (1Kor. 1:24).
Ketiga, relevansi pastoral dari teks hikmat sangat nyata. Di tengah
situasi kehidupan yang penuh tantangan – entah karena keterbatasan ekonomi,
kebakaran yang melanda seperti yang dialami warga Lakahang, atau kesulitan
dalam meraih pendidikan – umat diajak untuk tetap berpegang pada hikmat Allah
yang melampaui keadaan. Seperti Amsal 3:5–6 menegaskan: “Percayalah kepada
TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu
sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”
3.
Refleksi Iman
Bagi jemaat di pedalaman, pesan ini menghadirkan penghiburan sekaligus
tantangan. Penghiburan, karena Allah yang sama yang menjadi dasar hikmat Israel
juga hadir menyertai mereka di tengah kesederhanaan dan penderitaan. Tantangan,
karena umat dipanggil untuk menghidupi hikmat itu secara nyata: tidak sekadar
tahu pepatah, tetapi mengamalkannya dalam kasih, kejujuran, dan kesetiaan pada
Kristus. Hikmat Amsal yang dibandingkan dengan Amenemope dan Ahiqar menunjukkan
bahwa Allah berdaulat di atas seluruh kebudayaan. Semua kebijaksanaan sejati
menemukan titik puncaknya di dalam Kristus, Sang Hikmat Allah (Kol. 2:3). Oleh
sebab itu, gereja masa kini dipanggil untuk meneladani kearifan lokal yang
baik, namun menempatkannya dalam terang Injil sehingga lahir sebuah kehidupan
yang berakar, bertumbuh, dan berbuah dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus.
[1] Richard J. Clifford, The Wisdom
Literature (Nashville: Abingdon Press, 1998), 50.
[2] James Crenshaw, Old Testament
Wisdom: An Introduction (Louisville: Westminster John Knox, 2010), 102.
[3] John Ruffle, The Teaching of
Amenemope and Its Connection with the Book of Proverbs (Tyndale Bulletin
28, 1977), 29–68.
[4] Roland Murphy, The Tree of Life: An
Exploration of Biblical Wisdom Literature (Grand Rapids: Eerdmans, 2002),
23.
[5] Michael V. Fox, Proverbs 10–31: A
New Translation with Introduction and Commentary, AB 18B. (New York:
Doubleday, 2009), 694.
[6] Ruffle, The Teaching of Amenemope
and Its Connection with the Book of Proverbs, 35.
[7] James L. Kugel, The Great Poems of
the Bible (New York: Free Press, 1999), 215.
[8] Tremper Longman III, Proverbs (Baker
Commentary on the Old Testament Wisdom and Psalms) (Grand Rapids: Baker
Academic, 2006).
[9] James M. Lindenberger, The Aramaic
Proverbs of Ahiqar (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1983),
12–15.
[10] Ibid., 47.
[11] Ibid., 63.
[12] John H. Walton, Ancient Near Eastern
Thought and the Old Testament: Introducing the Conceptual World of the Hebrew
Bible (Grand Rapids: Baker Academic, 2018), 327–330.
[13] James B. Pritchard, Ancient Near
Eastern Texts Relating to the Old Testament, ed. (Princeton: Princeton
University Press, 2016), 427–431.
[14] Tremper Longman III, The Fear of the
Lord Is Wisdom: A Theological Introduction to Wisdom in Israel (Grand
Rapids: Baker Academic, 2017), 55–59.



0 Comments