property='og:image'/>

TAKUT AKAN TUHAN SEBAGAI PERMULAAN HIKMAT

TAKUT AKAN TUHAN SEBAGAI PERMULAAN HIKMAT: KAJIAN TEOLOGIS ATAS KITAB AMSAL DAN PARALELNYA DENGAN AMENEMOPE SERTA AHIQAR

I.              Pendahuluan

Tradisi hikmat merupakan salah satu warisan intelektual dan spiritual paling berharga dari dunia kuno. Dalam konteks Alkitab, kitab Amsal menempati posisi sentral sebagai representasi literatur hikmat Israel. Ia bukan hanya kumpulan peribahasa moral, tetapi juga sebuah karya yang menekankan bahwa hikmat sejati berakar pada relasi dengan Allah: “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7). Pernyataan ini menegaskan bahwa, sekalipun terdapat nilai-nilai universal dalam peribahasa, dasar teologis kitab Amsal berbeda secara fundamental dari karya-karya hikmat bangsa lain di Timur Dekat kuno. Namun, kajian filologis dan perbandingan teks sejak awal abad ke-20 menunjukkan adanya kemiripan yang signifikan antara Amsal 22:17–24:22 dengan karya hikmat Mesir kuno, khususnya Instruction of Amenemope. Selain itu, hikmat Ahiqar dari tradisi Asyur/Aram juga memperlihatkan paralel dengan peribahasa Ibrani dalam bentuk, struktur, dan substansi moral. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: Apakah kitab Amsal berdiri sendiri secara eksklusif, ataukah ia merupakan hasil interaksi dan dialog kreatif dengan literatur hikmat di sekitarnya?

Kajian perbandingan ini penting, karena membantu kita memahami dua hal sekaligus. Pertama, hikmat Israel tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks budaya global dunia kuno. Kedua, meskipun ada kemiripan, Israel selalu memberikan penekanan unik: hikmat bukan semata-mata hasil refleksi manusia, tetapi anugerah yang mengalir dari Allah sebagai sumber kehidupan. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bersifat filologis atau historis, tetapi juga menyentuh dimensi teologis dan spiritual. Dalam kerangka iman, refleksi atas tradisi hikmat kuno ini juga memiliki relevansi kontekstual. Kehidupan masyarakat pedalaman, seperti di Lakahang, Tabulahan (Mamasa, Sulawesi Barat), sarat dengan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Nilai-nilai sederhana seperti hidup rukun, menghargai tanah warisan, bekerja keras di ladang, dan menjaga kehormatan keluarga sesungguhnya selaras dengan prinsip-prinsip hikmat yang ditemukan dalam kitab Amsal maupun teks Amenemope dan Ahiqar. Namun, yang membedakan adalah penegasan iman Kristen bahwa segala hikmat manusia hanya menemukan maknanya bila diikat dalam takut akan Tuhan. Dengan demikian, perbandingan ini dapat menjadi sarana untuk meneguhkan iman, sekaligus mengapresiasi kebijaksanaan universal yang Allah izinkan hadir dalam berbagai budaya.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk (1) menelaah tradisi hikmat dalam kitab Amsal, (2) memperkenalkan dan membandingkannya dengan Instruction of Amenemope dari Mesir dan hikmat Ahiqar dari Asyur/Aram, serta (3) merumuskan refleksi teologis-spiritual yang relevan bagi kehidupan umat Kristen, khususnya dalam konteks pedalaman.

II.           Hikmat dalam Kitab Amsal

Kitab Amsal merupakan salah satu karya kunci dalam literatur hikmat Perjanjian Lama. Tradisi Yahudi menempatkan kitab ini dalam kumpulan Ketuvim (Tulisan-tulisan), bersama Mazmur, Ayub, dan Pengkhotbah. Secara literer, kitab Amsal terdiri dari kumpulan pernyataan singkat, padat, dan praktis yang memuat nasihat moral dan sosial. Akan tetapi, jika diteliti lebih dalam, Amsal bukanlah sekadar koleksi pepatah rakyat, melainkan hasil refleksi teologis yang menempatkan “hikmat” dalam kerangka relasi dengan Allah.

2.1.       Konsep Hikmat dalam Kitab Amsal

Hikmat (ḥokmâh) dalam kitab Amsal bukanlah sekadar kecerdasan intelektual atau keterampilan praktis, melainkan sebuah pola hidup yang berakar pada sikap takut akan Tuhan. Pernyataan pembuka kitab ini menegaskan hal itu: “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7). Dengan demikian, hikmat bukan hasil dari spekulasi manusia, melainkan respons etis dan religius terhadap Allah yang menjadi sumber kehidupan. Konsep hikmat dalam Amsal juga bersifat holistik: ia mencakup dimensi etika (misalnya kejujuran, kerajinan, keadilan), sosial (hubungan antar sesama, keluarga, dan komunitas), serta spiritual (keterikatan kepada Tuhan). Hal ini terlihat jelas dalam seruan berulang agar anak-anak Israel mendengarkan didikan orang tua dan tidak menolak didikan Tuhan (Ams. 3:1–12). Dengan demikian, hikmat dalam Amsal tidak pernah terlepas dari konteks iman komunitas perjanjian.

2.2.       Struktur dan Tema Utama Kitab Amsal

Secara umum, kitab Amsal dapat dibagi ke dalam beberapa bagian:

a.             Pendahuluan (Ams. 1–9) – Bagian ini berbentuk prolog panjang yang menekankan nilai hikmat, disertai personifikasi “hikmat” sebagai seorang perempuan yang berseru di jalan (Ams. 8:1–36). Hikmat di sini bukan sekadar abstraksi, melainkan sesuatu yang bersifat aktif dan bahkan ilahi, karena digambarkan hadir bersama Allah sejak penciptaan.

b.             Kumpulan Amsal Salomo (Ams. 10–22:16; 25–29) – Bagian ini berisi pepatah singkat dua baris yang menyajikan kontras antara orang benar dan fasik, rajin dan malas, bijak dan bodoh.

c.             Perkataan Orang Bijak (Ams. 22:17–24:22) – Bagian ini memiliki kemiripan mencolok dengan Instruction of Amenemope dari Mesir, baik dalam bentuk maupun substansi.

d.             Tambahan lain (Ams. 30–31) – Termasuk perkataan Agur dan Lemuel, serta gambaran tentang istri yang cakap (Ams. 31:10–31).

Tema utama yang berulang dalam kitab Amsal meliputi: takut akan Tuhan sebagai dasar hikmat, kejujuran, keadilan sosial, disiplin, pengendalian diri, kerja keras, dan kesetiaan dalam relasi keluarga. Dengan demikian, kitab Amsal menegaskan bahwa kehidupan sehari-hari umat Allah harus ditata berdasarkan nilai-nilai hikmat yang mencerminkan karakter Allah sendiri.

2.3.       Dimensi Teologis dan Spiritual

Yang membedakan Amsal dari karya hikmat bangsa lain ialah dimensi teologisnya. Amsal tidak menempatkan hikmat sebagai sekadar “kearifan manusiawi”, tetapi sebagai partisipasi dalam tatanan ilahi. Hikmat dipandang sebagai sarana Allah menuntun umat-Nya agar hidup dalam jalan kebenaran. Dalam konteks spiritual, hikmat menolong orang percaya untuk menghadapi realitas hidup dengan bijaksana, bukan dengan mengandalkan kekuatan sendiri, melainkan dengan mengakui kedaulatan Allah. Sebagaimana ditulis: “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Ams. 3:5).

2.4.       Refleksi Kontekstual

Bagi masyarakat pedalaman seperti di Lakahang, nilai-nilai hikmat dalam Amsal memiliki resonansi yang kuat. Prinsip kejujuran, kerja keras, serta hormat kepada orang tua merupakan hal yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, Amsal memberikan fondasi rohani yang lebih dalam: segala kearifan lokal hanya akan menemukan kekuatan dan arah yang benar bila diletakkan dalam terang takut akan Tuhan. Dengan demikian, hikmat Amsal dapat dipahami sebagai jembatan antara kearifan tradisi lokal dan iman Kristen yang hidup.

III.        Ajaran Amenemope dan Paralelnya dengan Amsal

Salah satu teks hikmat paling penting dari Mesir kuno yang memiliki relevansi langsung dengan Kitab Amsal adalah Ajaran Amenemope (Instruction of Amenemope). Teks ini diperkirakan ditulis pada zaman Kerajaan Baru Mesir, sekitar abad ke-12 SM, dan berisi nasihat moral, etika sosial, serta prinsip-prinsip kebijaksanaan yang diajarkan seorang pejabat Mesir bernama Amenemope kepada putranya.[1] Dalam tradisi literatur kebijaksanaan, teks ini dapat dikategorikan sebagai didactic wisdom (hikmat pengajaran), karena menekankan nilai-nilai praktis untuk kehidupan yang tertib, etis, dan selaras dengan tatanan kosmos.[2]

1.             Struktur dan Isi Pokok Ajaran Amenemope

Ajaran Amenemope terdiri dari 30 bagian (chapters) yang masing-masing memuat instruksi moral dan etis.[3] Tema-tema yang ditonjolkan antara lain:

a.             Ketulusan dan kejujuran dalam berbicara.

b.             Penolakan terhadap keserakahan dan kekerasan.

c.             Kepedulian terhadap orang miskin dan lemah.

d.             Peringatan terhadap kesombongan dan ketidakadilan.

Ajaran tersebut menekankan sikap rendah hati, kesabaran, serta hidup sesuai dengan tatanan ilahi (maat) yang dipercayai masyarakat Mesir sebagai hukum moral kosmik.[4]

2.             Paralel dengan Kitab Amsal

Hubungan literer antara Ajaran Amenemope dan Kitab Amsal telah lama menjadi perdebatan akademis. Banyak peneliti menemukan adanya kemiripan langsung antara teks Amenemope dengan Amsal 22:17–24:22.[5] Bagian ini dalam Amsal dikenal sebagai “perkataan orang bijak” (the sayings of the wise), yang diyakini memuat pinjaman atau setidaknya pengaruh dari tradisi hikmat Mesir.

Beberapa paralel penting dapat dicatat:

a.             Amsal 22:22–23:

"Janganlah merampasi orang miskin, karena ia miskin, dan janganlah menginjak-injak orang yang lemah di pintu gerbang; sebab TUHAN akan membela perkara mereka, dan mengambil nyawa dari orang yang merampasi mereka."

b.             Amenemope, Bab 2:

"Waspadalah jangan sampai engkau merampasi orang miskin atau menindas orang lemah, sebab Tuhan akan mendengar seruan mereka dan akan membalas kepada si pelanggar."[6]

Kedua teks ini menekankan nilai keadilan sosial, perlindungan bagi kaum miskin, serta keyakinan bahwa Allah/dewa akan bertindak membela pihak yang tertindas.

Selain itu, Amsal 22:24–25 memperingatkan agar tidak bersahabat dengan orang yang lekas marah, yang sejalan dengan Amenemope Bab 10, yang juga menasihati agar menjauh dari orang pemarah yang dapat menyeret seseorang ke dalam kesulitan.[7]

3.             Implikasi Teologis dan Historis

Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah penulis Amsal secara langsung meminjam dari teks Amenemope, ataukah keduanya merupakan bagian dari arus kebijaksanaan Timur Dekat kuno yang lebih luas? Mayoritas sarjana menyatakan bahwa Amsal kemungkinan besar mengadaptasi unsur-unsur Amenemope, namun menyuntikkan dasar teologis khas Israel, yaitu bahwa hikmat sejati berakar pada takut akan TUHAN (lih. Ams. 1:7).[8] Dengan demikian, meskipun ada paralel, Kitab Amsal tidak sekadar menyalin teks Mesir, melainkan mengontekstualisasikannya dalam kerangka iman Israel.

Bagi pembaca masa kini, perbandingan ini mengingatkan bahwa hikmat Allah dapat berbicara melampaui batas budaya. Israel bukanlah bangsa yang terisolasi, melainkan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Namun, Israel menegaskan kembali identitasnya dengan memusatkan segala hikmat pada relasi yang benar dengan TUHAN.

IV.        Ahiqar dan Tradisi Hikmat Asyur/Aram

1.             Latar Belakang dan Naskah Ahiqar

Tradisi hikmat di Timur Dekat Kuno tidak hanya berkembang di Mesir atau Israel, tetapi juga di kawasan Mesopotamia dan Aram. Salah satu teks penting adalah Kisah dan Ajaran Ahiqar (The Story and Wisdom of Ahiqar), sebuah karya berbahasa Aram yang ditemukan dalam papirus Elephantine di Mesir (abad ke-5 SM). Ahiqar digambarkan sebagai penasihat raja Asyur (kadang Sanherib, kadang Esarhaddon) yang terkenal karena kebijaksanaannya. Naskah Ahiqar terdiri dari dua bagian: (1) kisah hidup Ahiqar yang penuh intrik politik, dan (2) kumpulan ajaran atau peribahasa moral yang disampaikannya. Bagian kedua inilah yang paling erat paralelnya dengan literatur hikmat Alkitab, khususnya Kitab Amsal.[9]

2.             Isi dan Tema Utama Hikmat Ahiqar

Ajaran Ahiqar memuat nasihat-nasihat praktis mengenai kehidupan, antara lain: kesetiaan terhadap raja, pentingnya kerendahan hati, menjaga perkataan, keadilan, serta kewaspadaan terhadap sahabat yang berkhianat. Misalnya, salah satu nasihat berbunyi:

Anakku, jangan mengangkat dirimu di hadapan tuanmu, jangan berbicara banyak bila engkau belum ditanya.[10] Nasihat ini sangat dekat dengan Amsal 25:6–7: “Jangan meninggikan dirimu di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar; karena lebih baik orang berkata kepadamu: ‘Naiklah ke mari,’ daripada engkau direndahkan di hadapan orang mulia.”

Demikian pula, Ahiqar menekankan disiplin lidah:

“Anakku, janganlah bibirmu terbuka terlalu lebar; lidah adalah pedang yang dapat membunuh.”[11] Paralelnya ditemukan dalam Amsal 18:21: “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.”

Tema-tema ini memperlihatkan kesamaan pandangan moral antara hikmat Aram-Asyur dengan hikmat Israel, meskipun lahir dalam konteks budaya yang berbeda.

3.             Perbandingan dengan Kitab Amsal

Beberapa aspek paralel antara Ahiqar dan Amsal dapat disarikan sebagai berikut:

a.              Kesetiaan dan penghormatan kepada penguasa – Ahiqar menekankan hormat pada raja, mirip dengan Amsal 24:21: “Hai anakku, takutlah akan TUHAN dan akan raja; jangan melawan terhadap kedua-duanya.”

b.             Pengendalian lidah dan kebijaksanaan berbicara – Amsal maupun Ahiqar menekankan bahwa kata-kata dapat membawa kehidupan atau kehancuran (bdk. Ams. 12:18; 15:1).

c.              Kerendahan hati sebagai dasar hikmat – Ahiqar mendorong sikap rendah hati, sebagaimana Amsal 22:4: “Ganjaran kerendahan hati dan takut akan TUHAN adalah kekayaan, kehormatan, dan kehidupan.”

d.             Prinsip keadilan dan pergaulan sosial – Baik Ahiqar maupun Amsal menekankan pentingnya keadilan dalam relasi sosial, serta kewaspadaan terhadap orang fasik atau sahabat palsu.

4.             Refleksi Teologis dan Spiritualitas

Bagi umat di pedalaman seperti di Lakahang, hikmat Ahiqar menunjukkan bahwa kebijaksanaan bukan hanya milik Israel, tetapi merupakan pencarian universal umat manusia. Namun, perbedaan mendasarnya ialah bahwa hikmat Israel berakar pada takut akan TUHAN (Ams. 1:7), sedangkan Ahiqar menekankan loyalitas kepada raja dan kehati-hatian hidup. Di sini iman Kristen melihat bahwa segala hikmat sejati menemukan puncaknya dalam Kristus sebagai “hikmat Allah” (1 Kor. 1:24). Nasihat Ahiqar yang mengajarkan kehati-hatian dalam perkataan dan kerendahan hati tetap relevan, tetapi bagi orang percaya, nilai-nilai ini ditopang oleh panggilan untuk hidup dalam terang kasih Allah.

Dalam konteks masyarakat pedalaman, nasihat Ahiqar tentang kesetiaan, kerendahan hati, dan pengendalian lidah bisa menjadi inspirasi etis. Namun, iman menambahkan dimensi rohani: bukan hanya supaya hidup lebih tertib, tetapi agar kehidupan sosial benar-benar menjadi kesaksian tentang kebaikan Allah. Dengan demikian, hikmat kuno ini, jika dipahami dalam terang Kitab Suci, dapat memperkaya refleksi iman dan etika jemaat.

V.           Perbandingan Teologis dan Relevansi bagi Gereja Masa Kini

1.             Perbandingan Teologis

Tradisi hikmat Israel yang tercermin dalam Kitab Amsal jelas memiliki titik temu dengan literatur kebijaksanaan di Timur Dekat Kuno, khususnya Instruction of Amenemope dari Mesir dan The Words of Ahiqar dari Asyur/Aram. Ketiganya berbagi perhatian pada persoalan moralitas praktis, etika sosial, dan tata laku manusia dalam masyarakat. Namun, terdapat perbedaan fundamental dalam fondasi teologis. Hikmat Mesir dan Asyur cenderung berakar pada kosmos dan tatanan sosial yang dianggap sakral, di mana harmoni dengan alam dan ketaatan pada raja dipandang sebagai dasar etika. Amenemope, misalnya, menekankan sikap rendah hati, kesabaran, dan ketekunan sebagai jalan mencapai kehidupan yang tenteram, tetapi motivasinya lebih pada menjaga keseimbangan sosial dan menghindari malapetaka dalam kehidupan sekarang.[12] Demikian pula Ahiqar menekankan nilai-nilai seperti ketaatan kepada penguasa, kesetiaan, dan pengendalian diri, yang bertujuan melestarikan stabilitas politik dan keluarga.[13]

Sebaliknya, hikmat Israel berdiri di atas fondasi teologis yang unik: “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7). Etika dalam Amsal tidak sekadar pragmatis atau sosial, melainkan lahir dari relasi perjanjian dengan Allah Israel. Artinya, kejujuran, kesabaran, dan ketaatan bukan hanya sarana menjaga harmoni sosial, tetapi wujud kesetiaan pada Tuhan yang kudus dan berdaulat. Dengan demikian, perbandingan teologis ini memperlihatkan bahwa meskipun Israel mengenal dan mungkin menyerap bentuk-bentuk literatur kebijaksanaan sekitarnya, mereka memberi makna baru yang berakar pada iman monoteistik.[14]

2.             Relevansi bagi Gereja Masa Kini

Dalam konteks gereja masa kini, khususnya di pedalaman seperti Lakahang, relevansi dari perbandingan ini terletak pada bagaimana umat Kristen belajar menghargai nilai-nilai hikmat universal, sekaligus mengakarnya dalam iman kepada Kristus. Gereja tidak bisa menutup mata bahwa masyarakat sekitar juga memiliki tradisi kebijaksanaan, baik melalui pepatah leluhur maupun adat istiadat. Namun, seperti Israel yang memberi makna baru pada bentuk hikmat asing, gereja dipanggil untuk menafsir ulang nilai-nilai tersebut dalam terang Injil.

Pertama, hikmat Alkitab mengingatkan bahwa setiap kebijaksanaan sejati harus bersumber pada takut akan Tuhan. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kesabaran dalam menghadapi kesulitan, dan ketaatan pada orang tua adalah hal yang baik, tetapi harus dihidupi sebagai bagian dari kesetiaan kepada Allah, bukan sekadar tuntutan budaya.

Kedua, perbandingan ini mendorong gereja untuk lebih terbuka dan dialogis. Jika Amsal dapat bersuara sejajar dengan Amenemope dan Ahiqar, maka gereja pun dipanggil untuk membaca, menghargai, dan bahkan belajar dari tradisi kebijaksanaan lokal. Namun, pada saat yang sama gereja tidak kehilangan identitasnya: Kristus adalah hikmat Allah yang sejati (1Kor. 1:24).

Ketiga, relevansi pastoral dari teks hikmat sangat nyata. Di tengah situasi kehidupan yang penuh tantangan – entah karena keterbatasan ekonomi, kebakaran yang melanda seperti yang dialami warga Lakahang, atau kesulitan dalam meraih pendidikan – umat diajak untuk tetap berpegang pada hikmat Allah yang melampaui keadaan. Seperti Amsal 3:5–6 menegaskan: “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

3.             Refleksi Iman

Bagi jemaat di pedalaman, pesan ini menghadirkan penghiburan sekaligus tantangan. Penghiburan, karena Allah yang sama yang menjadi dasar hikmat Israel juga hadir menyertai mereka di tengah kesederhanaan dan penderitaan. Tantangan, karena umat dipanggil untuk menghidupi hikmat itu secara nyata: tidak sekadar tahu pepatah, tetapi mengamalkannya dalam kasih, kejujuran, dan kesetiaan pada Kristus. Hikmat Amsal yang dibandingkan dengan Amenemope dan Ahiqar menunjukkan bahwa Allah berdaulat di atas seluruh kebudayaan. Semua kebijaksanaan sejati menemukan titik puncaknya di dalam Kristus, Sang Hikmat Allah (Kol. 2:3). Oleh sebab itu, gereja masa kini dipanggil untuk meneladani kearifan lokal yang baik, namun menempatkannya dalam terang Injil sehingga lahir sebuah kehidupan yang berakar, bertumbuh, dan berbuah dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus.



[1] Richard J. Clifford, The Wisdom Literature (Nashville: Abingdon Press, 1998), 50.

[2] James Crenshaw, Old Testament Wisdom: An Introduction (Louisville: Westminster John Knox, 2010), 102.

[3] John Ruffle, The Teaching of Amenemope and Its Connection with the Book of Proverbs (Tyndale Bulletin 28, 1977), 29–68.

[4] Roland Murphy, The Tree of Life: An Exploration of Biblical Wisdom Literature (Grand Rapids: Eerdmans, 2002), 23.

[5] Michael V. Fox, Proverbs 10–31: A New Translation with Introduction and Commentary, AB 18B. (New York: Doubleday, 2009), 694.

[6] Ruffle, The Teaching of Amenemope and Its Connection with the Book of Proverbs, 35.

[7] James L. Kugel, The Great Poems of the Bible (New York: Free Press, 1999), 215.

[8] Tremper Longman III, Proverbs (Baker Commentary on the Old Testament Wisdom and Psalms) (Grand Rapids: Baker Academic, 2006).

[9] James M. Lindenberger, The Aramaic Proverbs of Ahiqar (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1983), 12–15.

[10] Ibid., 47.

[11] Ibid., 63.

[12] John H. Walton, Ancient Near Eastern Thought and the Old Testament: Introducing the Conceptual World of the Hebrew Bible (Grand Rapids: Baker Academic, 2018), 327–330.

[13] James B. Pritchard, Ancient Near Eastern Texts Relating to the Old Testament, ed. (Princeton: Princeton University Press, 2016), 427–431.

[14] Tremper Longman III, The Fear of the Lord Is Wisdom: A Theological Introduction to Wisdom in Israel (Grand Rapids: Baker Academic, 2017), 55–59.

Post a Comment

0 Comments