Kebenaran Hati di Tanah Pinggiran: Renungan dari Etika Kerajaan Allah

“Jikalau hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”
(Matius 5:20)
Dalam kehidupan
masyarakat pedesaan seperti di pinggiran Lakahang, Kabupaten Mamasa, keseharian
berjalan dengan ketenangan yang khas: ladang digarap, anak-anak sekolah
berjalan kaki, warga saling sapa di gereja dan di pasar. Tapi di balik
keramahan itu, kita juga tahu ada realitas yang lebih dalam, relasi yang retak,
luka lama yang tidak disembuhkan, dendam yang diam-diam dipelihara, dan
persaingan tersembunyi di antara warga jemaat.
Di tengah suasana seperti
ini, ajaran Yesus tentang Etika Kerajaan Allah terasa begitu tajam dan
relevan. Ia tidak hanya berbicara tentang apa yang tampak, tetapi menyentuh
inti terdalam dari kehidupan manusia: yakni hati.
1.
Ketika Kemarahan Tak Terucap Tetap Mengikat
Yesus berkata bahwa bukan hanya pembunuhan yang berdosa, tetapi kemarahan
dalam hati pun sama beratnya (Mat. 5:21–22). Di Lakahang, tidak jarang kita
melihat orang diam, tidak berkata kasar, tidak memaki, tetapi hatinya penuh
kemarahan karena persoalan tanah, hutang yang belum dibayar, atau kata-kata
lama yang tak pernah dimintakan maaf.Budaya “diam demi damai” memang tampak bijak. Tapi Yesus tahu, diam bukan
selalu tanda damai. Damai sejati hanya terjadi ketika hati dibersihkan, ketika
kita berdamai bukan hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan diri sendiri
dan Allah. Etika Kerajaan Allah menantang kita: Apakah kita benar di mata
manusia, atau sungguh murni di hadapan Allah?
2.
Ketika Nafsu Disamarkan sebagai Hak Pria
Di komunitas kita, peran laki-laki seringkali dominan, dan sikap tak hormat
terhadap perempuan kadang disamarkan sebagai “kebiasaan”. Yesus berkata, melihat
dengan nafsu pun sudah berdosa (Mat. 5:28). Ia menyentuh titik yang banyak
disembunyikan: bagaimana pikiran dan pandangan kita terhadap sesama, terutama
perempuan.Apakah kita memandang sesama sebagai ciptaan Allah yang mulia, atau sebagai
objek keinginan? Etika Yesus menantang kita untuk menguduskan pikiran, bukan
hanya perbuatan. Masyarakat yang benar tidak dibangun dari tindakan luar yang
sopan, tetapi dari hati yang takut akan Allah.
3.
Ketika Balas Dendam Bersembunyi di Balik Senyum
Yesus berkata: “Jangan melawan orang yang berbuat jahat kepadamu...
kasihilah musuhmu” (Mat. 5:39, 44). Ini sangat berat. Tapi lihatlah, dalam
masyarakat seperti kita, orang bisa saja memberi senyuman dan berjabat tangan,
namun hatinya penuh dendam dan kenangan pahit.Yesus tidak puas dengan wajah ramah. Ia ingin hati yang menginginkan yang
terbaik, bahkan bagi musuh. Di sinilah kasih sejati diuji. Mampukah kita
mendoakan orang yang pernah menyakiti kita? Etika Kerajaan Allah bukan untuk orang
yang kuat secara jasmani, tapi untuk mereka yang hatinya diubahkan oleh kasih
karunia.
4.
Karakter Lebih dari Sekadar Tradisi
Kita bangga dengan liturgi, kebaktian, dan budaya gereja yang terjaga. Tapi
Yesus berkata, “Setiap pohon dikenal dari buahnya” (Luk. 6:44). Bukan bentuk
ibadah yang Allah nilai, tetapi buah kehidupan kita. Apakah kata-kata kita
membawa damai atau luka? Apakah tindakan kita mencerminkan kasih, atau
kepentingan pribadi?Di akhir zaman, kita tidak akan dihakimi berdasarkan seragam paduan suara
atau seberapa rajin menghadiri ibadah, tetapi oleh setiap kata ceroboh yang
keluar dari mulut kita (Mat. 12:36). Karena melalui kata-kata itulah hati kita
terbuka di hadapan Allah.
5.
Kerajaan Allah Dimulai dari Desa
Doa Penutup
Tuhan, ubahlah hatiku agar kebenaran-Mu bukan hanya kutunjukkan dalam perbuatan, tetapi benar-benar mengalir dari dalam batin yang Kau sucikan. Ajarku mengasihi musuh, mengampuni yang menyakiti, dan hidup murni di hadapan-Mu, baik di hadapan orang, maupun ketika tak seorang pun melihat. Hadirlah, ya Tuhan, di tengah-tengah kampung kami, dan nyatakan Kerajaan-Mu di sini dan sekarang. Amin.
0 Comments