property='og:image'/>

Ketika Kata-Kata Tak Sama dengan Tindakan

Ketika Kata-Kata Tak Sama dengan Tindakan: Kisah Refleksi dari Sebuah Dusun di Perbukitan

“Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1 Yohanes 3:18)

Di sebuah dusun kecil yang tersembunyi di antara pegunungan dan kabut pagi, hidup sepasang suami istri yang dikenal sebagai pasangan terpandang. Mereka tak memiliki anak, namun kehidupan mereka jauh dari kekurangan. Sang suami dikenal sebagai seorang pengusaha kecil-menengah yang sukses dalam bidang hasil tani, sementara istrinya memegang jabatan penting di lembaga pelayanan publik. Rumah mereka besar, kebunnya subur, dan kendaraan mereka selalu tampak terawat.

Bagi masyarakat sekitar, pasangan ini adalah simbol keberhasilan, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga dalam nilai-nilai spiritual dan sosial. Sang suami sering berbicara tentang kasih, kepedulian, bahkan mengkritik tetangga yang dianggapnya tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Ia suka mengutip ayat, menasihati dengan tutur lembut, dan dalam pertemuan warga, ia sering didaulat memberi wejangan.

Saya sendiri adalah salah satu dari banyak orang yang mengaguminya. Bahkan kami sering berjalan pagi bersama. Ia seperti guru spiritual yang merakyat, berjalan sambil tertawa, memberi wejangan ringan sambil melihat matahari menembus kabut. Saya percaya padanya. Saya percaya bahwa jika suatu hari saya butuh pertolongan, dia akan menjadi orang pertama yang membuka pintu rumahnya.

Suatu Hari yang Berat

Waktu itu musim hujan mulai datang. Saya tengah mengalami kesulitan. Sebuah utang yang harus segera dibayar telah jatuh tempo. Jaminan yang saya serahkan bisa disita jika saya gagal. Sore itu, dengan penuh harapan dan sedikit rasa malu, saya memberanikan diri datang ke rumah sahabat pagi saya itu.

Saya bercerita apa adanya. Tentang tanggungan. Tentang ketakutan. Tentang harapan. Ia mendengarkan. Lalu menjawab dengan nada bijak: “Saya paham, tapi uang sedang dialokasikan ke hal lain, besok saya beri kabar ya.” Saya lega. Masih ada harapan. Ketika saya memohon agar boleh sekadar meminjam sedikit saja, bukan seluruhnya, demi terhindar dari denda, ia berkata: “Oke, tapi saya harus bicara dulu dengan istri. Dia yang tahu kondisi keuangan kami.” Saya mengangguk. Kami pamit pulang. Saya dan istri menunggu. Dari balik jendela kios kecil kami, setiap motor lewat, saya berpikir: “Itu pasti dia.” Tapi jam terus berganti, dan malam pun lewat tanpa kabar.

Pagi berikutnya, saya tetap keluar jogging. Biasanya ia lebih dulu datang. Tapi pagi itu tak ada bayangnya. Hanya udara yang sunyi dan langkah kaki saya sendiri.

Ketika saya melintas di lorong kecil dekat rumahnya, saya sempat melihat sosoknya sekilas di bawah cahaya lampu halaman. Namun ia segera berbalik, menunduk ke tembok, dan masuk kembali ke dalam. Saya memanggilnya dengan suara bersahabat. Tapi hanya gumaman tak jelas yang saya dengar.

Saya terdiam. Hati saya seperti disiram air dingin.

Refleksi: Tentang Sosok dan Bayangan

Saya tahu, dalam hidup pedalaman seperti kami, cerita seperti ini tidak asing. Banyak yang bicara tentang kasih, tetapi tidak semua siap menolong. Banyak yang tampak religius di luar, tapi di dalamnya rapuh oleh kepentingan. Ada pula yang merasa memiliki lebih, tetapi enggan berbagi meski hanya sedikit.

Yang lebih menyakitkan bukan karena tak dibantu, tapi karena harapan yang digantung, kemudian dijatuhkan. Tapi dari rasa kecewa itu, saya belajar sesuatu: bahwa kebaikan sejati tak butuh banyak kata. Ia hadir dalam tindakan, sering kali dalam diam.

Untungnya, ada seorang tetangga lain, tak seberapa hartanya, tapi tulus hatinya. Dialah yang akhirnya membantu saya menyelamatkan bulan itu. Saya belajar, bahwa kekayaan tak selalu melahirkan kemurahan hati, dan bahwa kemiskinan tidak selalu berarti ketidakmampuan memberi.

Menjaga Warisan Kebaikan

Di dusun kami, dahulu leluhur kami hidup dengan nilai kamaloloam (kejujuran), ma'mesa (kebersamaan), dan mambare-bare bua pengkähä (membagi hasil). Budaya itu diwariskan lewat kerja bakti, pesta panen, dan cerita di bawah rumah panggung. Namun hari ini, semua itu mulai kabur, digantikan oleh individualisme yang berbalut status sosial dan modernisasi.

Anak-anak muda desa kami tetap berjalan kaki puluhan kilometer untuk menggapai sekolah menengah. Orang tua mereka bertani dengan harapan sederhana: agar anaknya bisa hidup lebih baik. Tapi semua itu bisa pupus jika orang dewasa tak memberi contoh nyata tentang apa artinya iman, tanggung jawab, dan ketulusan.

“Celakalah kamu... karena kamu seperti kuburan yang dilabur putih...”
(Matius 23:27)


Saya masih berjalan pagi. Tapi kini dengan pemahaman yang lebih utuh: bahwa iman sejati tak terlihat dari seberapa fasih kita bicara tentang kasih, tapi dari seberapa siap kita hadir saat kasih itu dibutuhkan.
Catatan Penulis:

Cerita ini adalah fiksi reflektif yang disusun berdasarkan berbagai pengalaman nyata masyarakat pedalaman. Nama, tempat, dan karakter telah disamarkan demi menjaga privasi. Bila ada kemiripan dengan kisah nyata, itu kebetulan semata dan bukan bentuk penghakiman terhadap individu tertentu.

Hormat Saya

Tanda tangan penulis

Penulis dari Pinggiran

Post a Comment

0 Comments