property='og:image'/>

Iman yang Memudar dan Panggilan untuk Kembali Bertekun

 

Iman yang Memudar dan Panggilan untuk Kembali Bertekun

“Tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat.”

(Matius 24:13)

Setiap awal pertobatan seringkali ditandai dengan api rohani yang berkobar: doa menjadi napas, Alkitab dibaca setiap hari, dan meja ibadah tak pernah terlupakan. Namun seiring waktu, banyak orang merasakan apinya meredup, ibadah terlewat, doa menjadi jarang, dan pelayanan terasa seperti beban. Perubahan ini tidak hanya tampak di kota besar; ia juga nyata di pedalaman seperti Kelurahan Lakahang, Kecamatan Tabulahan. Di tempat yang masyarakatnya masih menjunjung nilai rohani, tantangan zaman justru menghadirkan godaan lain yang perlahan mengikis ketekunan iman.

Budaya yang Menopang Iman, dan Risikonya Tergeser

Masyarakat Lakahang kaya akan tradisi yang mendukung kehidupan rohani: gotong royong yang mengikat komunitas, penghormatan kepada orang tua, serta musyawarah sebagai cara menyelesaikan persoalan. Dahulu, pertemuan adat dan pertemuan gereja jamak saling memperkuat; iman dan budaya berjalan beriringan.

Namun arus modernisasi, akses internet, dan perubahan gaya hidup membuat prioritas bergeser. Generasi muda sering kali terikat layar ponsel, sementara ritme tradisi yang memerlukan kehadiran fisik mulai renggang. Jika budaya luhur dibiarkan pudar tanpa upaya pemeliharaan, kita berisiko kehilangan satu unsur penting yang selama ini menopang kehidupan rohani komunitas.

“Ingatlah akan masa lampau, sebab kamu, sesudah menerima terang, kamu bertahan dalam perjuangan yang berat.”, Ibrani 10:32

Ekonomi Desa: Tantangan yang Menguji Kesetiaan

Lakahang menyimpan potensi alam yang nyata: kebun kopi yang wangi, lahan kakao, dan kebun sayur yang subur. Namun masalah klasik seperti akses pasar, modal usaha, dan teknologi produksi membuat potensi ini belum sepenuhnya memberkati semua keluarga.

Situasi ekonomi yang rapuh sering kali menimbulkan tekanan spiritual: ketika penghasilan tidak cukup, pilihan pragmatis, misalnya bekerja lebih jam atau merantau, dapat mengurangi waktu untuk ibadah dan persekutuan. Dalam tekanan ekonomi, iman diuji; apakah kita akan mengutamakan Kerajaan Allah atau memilih solusi cepat yang mengikis komitmen rohani?

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”, Matius 6:33

Pendidikan dan Generasi Muda: Harapan dan Risiko

Generasi muda Lakahang menaruh harapan besar pada pendidikan. Banyak yang menempuh studi ke kota dengan niat kembali membangun kampung. Pendidikan membuka peluang, tetapi juga membuka pintu kepada budaya baru yang kadang menjauhkan dari disiplin rohani dan nilai lokal.

Pendidikan tanpa pijakan iman yang kuat berpotensi menjadikan generasi terlatih tetapi kehilangan akar. Oleh karena itu, pengasuhan iman di rumah dan gereja harus berjalan beriringan dengan pendidikan formal.

“Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu…”, Pengkhotbah 12:1

Menjaga Iman Sehari-hari: Praktik yang Konkret

Menjaga agar iman tidak memudar bukan perkara retorik, ia memerlukan praktik konkret:

·         Rutinitas rohani sederhana: doa pagi atau malam, pembacaan Alkitab singkat, dan kelompok doa kecil yang rutin.

·         Persekutuan yang inklusif: gereja dan tokoh adat bekerja sama merancang kegiatan yang menjembatani tradisi dan iman.

·         Pelatihan ekonomi berbasis komunitas: koperasi sederhana, pelatihan pasca panen, atau akses pasar bersama untuk mengurangi tekanan ekonomi yang memecah waktu rohani.

·         Pembinaan generasi muda: program mentoring, retret iman, dan penguatan nilai lokal di sekolah-sekolah desa.

Paulus memberi nasihat yang relevan bagi kita: “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” (Roma 12:11). Iman yang terpelihara adalah iman yang dirawat setiap hari.

Refleksi: Iman, Budaya, dan Harapan Lakahang

Hidup di pedalaman seperti Lakahang mengajarkan satu hal penting: iman tidak mungkin dipisahkan dari konteks sosial. Memelihara iman berarti pula memelihara budaya yang menunjang, menciptakan ekonomi yang adil, dan mendampingi generasi muda agar tidak kehilangan akar. Tantangan zaman harus dijawab bukan dengan penolakan total terhadap perubahan, tetapi dengan kebijaksanaan: mempertahankan nilai-nilai inti yang membentuk identitas rohani dan sosial.

Penutup, Bukan Sekadar Tulisan di Batu Nisan

Seiring kita bekerja menjaga iman dan membina komunitas, biarlah tujuan kita bukan sekadar memiliki ayat indah pada batu nisan. Lebih dari itu, kita menginginkan agar suatu hari kita dapat berkata dengan tenang seperti Rasul Paulus: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7)

Post a Comment

0 Comments