property='og:image'/>

Kritik untuk Karyawan BRI yang Lupa Esensi Pelayanan

Kritik untuk Karyawan BRI yang Lupa Esensi Pelayanan

Seorang ibu sederhana di pedesaan menghadapi karyawan bank yang menagih dengan sikap keras

Di Mamasa, seorang ibu pernah mengambil kredit di salah satu unit BRI. Kredit itu bukan KUR bersubsidi yang sering dinikmati para petani, melainkan kredit komersial dengan bunga tinggi. Karena kebutuhan hidup, ia terpaksa menandatangani perjanjian. Awalnya semua berjalan lancar, hingga kemudian ekonomi keluarga goyah, angsuran mulai tersendat, dan tunggakan tak terhindarkan. Namun, si ibu tidak menyerah—ia berusaha keras, bahkan menjual aset demi menutup kekurangan.

Antara Pelayanan dan Arogansi

Di tengah kesulitan itu, muncullah seorang karyawan BRI—seorang perempuan yang dikenal “tegas.” Sayangnya, ketegasan itu lebih mirip arogansi. Ia datang ke rumah si ibu, menagih dengan sikap seolah-olah uang yang dipinjam adalah uang pribadinya. Kata-kata tajam, ancaman, dan suruhan “wajib” menghadap ke kantor pun terlontar. Padahal jarak kantor BRI dari rumah si ibu bukan dekat—2 sampai 3 jam perjalanan naik motor melewati jalan berliku.

Ironisnya, ketika si ibu sampai di kantor, kepala unit justru berkata: “Ibu tidak perlu datang, ini jauh sekali.” Sebuah tamparan telak yang mengungkap betapa sempitnya pemahaman sang karyawan tentang pelayanan publik.

Pelayanan Bukan Sekadar Menagih

BRI—“Bank Rakyat Indonesia”—harusnya berdiri bersama rakyat, bukan menindas dengan arogansi. Karyawan bank adalah perpanjangan tangan lembaga keuangan, bukan debt collector jalanan. Pelayanan yang sejati lahir dari empati, bukan dari suara keras dan ancaman.

Alkitab pun mengingatkan: “Hendaklah perkataanmu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang” (Kolose 4:6). Kasih dan bijaksana seharusnya jadi dasar interaksi, bahkan dalam urusan kredit.

Pelajaran untuk Semua

Peristiwa ini hendaknya menjadi cermin bagi siapa saja yang bekerja di lembaga pelayanan, khususnya lembaga keuangan. Menagih hutang memang tugas, tetapi memperlakukan nasabah dengan hormat adalah kewajiban moral. Rakyat kecil bukanlah obyek yang bisa ditindas, melainkan subyek yang berhak atas penghargaan.

Mari kita belajar, bahwa sikap angkuh hanya akan melukai hati dan mencoreng nama lembaga. Sebaliknya, sikap rendah hati dan empati akan meninggalkan kesan yang lebih dalam daripada sekadar angka-angka di buku pinjaman.

Label: Bank Rakyat Indonesia, Kredit Rakyat, Utang dan Cicilan, Pelayanan Publik, Keadilan Sosial, Mamasa, Opini Publik

Post a Comment

0 Comments