property='og:image'/>

Negeri Seribu Bambu

Negeri Seribu Bambu: Potret Sosial, Budaya, dan Refleksi Iman dari Lakahang

Di tengah perbukitan Kecamatan Tabulahan, Kabupaten Mamasa, berdiri sebuah kelurahan kecil bernama Lakahang. Masyarakat menyebutnya dengan penuh kebanggaan sebagai Negeri Seribu Bambu. Julukan ini bukan sekadar nama, melainkan sebuah simbol hidup: bambu yang tumbuh di sepanjang aliran sungai, kebun, dan persawahan, yang tetap teguh meski ditebang, menjadi lambang ketekunan dan ketahanan masyarakat setempat.
Namun, sebagaimana banyak kampung lain di daerah pedalaman Indonesia, Lakahang kini menghadapi tantangan baru: perubahan sosial, pergeseran budaya, dan bahkan ancaman dari gaya hidup modern yang masuk melalui generasi muda.
Artikel ini mencoba melihat Lakahang dari tiga dimensi: sosial, budaya, dan refleksi iman, sambil mengaitkannya dengan perdebatan teologi modern dan ortodoks yang memperlihatkan pentingnya kembali kepada Allah yang berdaulat penuh dalam menghadapi tantangan zaman.

1.      Dimensi Sosial: Antara Ketabahan dan Tantangan Modern
Sebagian besar masyarakat Lakahang bekerja sebagai petani, pedagang kecil, atau guru. Hidup mereka bersahaja, berpola pada ritme alam, dan berakar pada tanah yang diwariskan turun-temurun. Hidup dalam kebersamaan masih kuat, tetapi arus globalisasi perlahan-lahan mulai merambah. Anak-anak muda tidak lagi hanya mewarisi ketekunan orang tua mereka, tetapi juga diperkenalkan pada gaya hidup perkotaan melalui media sosial, televisi, atau interaksi dengan dunia luar. Salah satu cerita yang mencemaskan adalah kecenderungan sebagian anak muda untuk mencoba-coba narkoba. Meskipun fenomena ini belum masif, tanda-tandanya telah tampak dalam pengakuan mereka sendiri. Ini menunjukkan sebuah jurang antara kebijaksanaan lama yang tahan uji dengan tantangan baru yang menggoda.

Firman Tuhan telah mengingatkan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Dengan kata lain, masyarakat Lakahang membutuhkan suatu fondasi rohani yang kuat untuk menghadapi perubahan sosial yang cepat, agar ketabahan mereka tidak terkikis oleh modernitas yang merusak.

2.      Dimensi Budaya: Bambu sebagai Simbol Identitas
Bambu bukan hanya tumbuhan yang memenuhi tanah Lakahang, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Dari pagar kebun, alat rumah tangga, topi petani, hingga bahan penting rumah adat Toraja (longa), bambu telah menjadi simbol identitas yang meresap ke dalam denyut budaya. Bahkan saat terbakar, bambu masih bersuara, sebuah metafora tentang daya hidup yang tidak mudah dibungkam.
Alkitab sendiri sering menggambarkan alam sebagai cermin kebesaran dan pelajaran kehidupan: “Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mazmur 1:3). Bambu Lakahang, dengan daya tahannya, merefleksikan gambaran orang benar yang bertahan dalam badai kehidupan.
Namun, budaya juga rapuh bila tidak dijaga. Modernitas bisa memisahkan generasi muda dari akar budayanya. Jika bambu adalah lambang ketekunan, maka kehilangan makna bambu berarti kehilangan kompas kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, ada tanggung jawab kolektif untuk menanamkan nilai-nilai budaya sebagai warisan iman, bukan hanya tradisi mati.

3.      Refleksi Iman: Allah yang Berdaulat dalam Sejarah
Fenomena sosial dan budaya di Lakahang tidak dapat dipisahkan dari refleksi iman. Kehidupan manusia selalu berada dalam ketegangan antara kesetiaan kepada Allah dan godaan dunia. Perdebatan teologi di Eropa modern, antara Schleiermacher yang menekankan perasaan, Ritschl yang menekankan etika, dan Barth yang kembali kepada firman Allah, menunjukkan bahwa manusia mudah terseret ke dalam subjektivitas atau moralitas kosong bila tidak berpegang teguh pada Allah yang sejati.
Van Til dengan tegas mengingatkan bahwa hanya teologi Reformasi, yang menekankan Allah berdaulat penuh sebagaimana diajarkan oleh Luther, Calvin, dan Arminius, yang setia kepada Kitab Suci. Lakahang, sebagai sebuah potret kecil dunia, juga harus kembali pada keyakinan yang sama: bahwa hanya Allah yang berdaulat yang dapat menjaga masyarakat dari kehancuran moral.
Yesus sendiri berkata:

“Akulah pokok anggur yang benar dan Bapakulah pengusahanya. Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (Yohanes 15:1, 4).

Dengan kata lain, baik ketabahan sosial maupun kekayaan budaya tidak akan cukup jika dipisahkan dari Kristus. Generasi muda Lakahang harus diarahkan untuk tinggal dalam Dia agar tidak kehilangan arah di tengah arus zaman.

Kesimpulan
Lakahang, Negeri Seribu Bambu, menyimpan pelajaran berharga bagi kita semua. Dari sisi sosial, ia menunjukkan ketabahan masyarakat sederhana yang mulai diuji oleh modernitas. Dari sisi budaya, ia memperlihatkan kekuatan simbol bambu sebagai penopang identitas dan keberlangsungan hidup. Dan dari sisi iman, ia memanggil kita untuk kembali pada Allah yang berdaulat penuh, sebagaimana ditegaskan oleh para reformator, karena hanya dengan demikian kehidupan dapat bertumbuh dengan benar. Di tengah ancaman narkoba, pergeseran budaya, dan tekanan zaman, suara bambu yang tetap teguh berdiri adalah panggilan bagi masyarakat Lakahang, dan bagi kita semua, untuk berakar dalam Kristus, Sang sumber hidup sejati. Seperti tertulis: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).

Post a Comment

0 Comments