
(Analisis Kontekstual di Mamasa, Sulawesi Barat)
PENDAHULUAN
Fenomena
rendahnya rasa percaya diri generasi muda Indonesia masih menjadi persoalan
sosial yang serius. Sering kali masyarakat menilai masalah ini sebagai akibat
dari rendahnya kualitas intelektual, padahal berbagai penelitian menunjukkan
bahwa faktor utama justru terletak pada aspek psikologis dan sosial, khususnya
pola asuh serta budaya komunikasi dalam keluarga dan masyarakat.[1]
Budaya kritik yang cenderung menyoroti kesalahan dibandingkan mengapresiasi
usaha, membentuk generasi yang cerdas namun ragu untuk tampil dan bersaing
secara global.[2]
Konteks
ini dapat ditemukan dalam kehidupan sosial masyarakat Mamasa, khususnya di Kecamatan
Tabulahan dan Kelurahan Lakahang. Sebagai masyarakat pedesaan yang kaya akan
nilai adat dan budaya, kehidupan warga di wilayah ini kerap ditandai oleh
semangat kebersamaan, gotong-royong, serta penghormatan pada tradisi leluhur.
Namun demikian, arus modernisasi yang semakin deras mulai menggerus warisan
budaya lokal.[3] Hal ini tidak hanya
berdampak pada perubahan sosial, tetapi juga pada cara orang tua mendidik anak
dan membentuk karakter mereka.
Secara
ekonomi, desa-desa di Tabulahan memiliki potensi yang besar, terutama dalam
bidang pertanian, perkebunan, dan usaha rakyat berskala kecil. Potensi ini
sebenarnya dapat menjadi modal penting bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Namun, kurangnya kepercayaan diri, keterbatasan akses, dan minimnya
wawasan global sering membuat masyarakat enggan mengembangkan potensi tersebut
lebih jauh.[4] Kondisi ini berimbas
langsung pada generasi muda yang tumbuh di tengah keterbatasan, tetapi juga
memiliki peluang besar bila didukung oleh pola pendidikan dan pembinaan
karakter yang tepat.
Dalam
bidang pendidikan, perjuangan generasi muda pedesaan tidaklah mudah. Jarak
sekolah yang jauh, keterbatasan sarana belajar, hingga tekanan sosial-budaya
sering kali menimbulkan tantangan tersendiri. Namun, di balik kesulitan
tersebut, terdapat semangat pantang menyerah yang menjadi ciri khas anak-anak
dari pedalaman. Tantangannya ialah bagaimana semangat itu bisa ditopang oleh
rasa percaya diri yang sehat, sehingga generasi muda tidak hanya mampu
bertahan, tetapi juga berani melangkah maju.[5]
Lebih
jauh, masyarakat pedalaman Mamasa tidak bisa dilepaskan dari dimensi spiritual.
Nilai-nilai iman Kristen menjadi bagian integral dari kehidupan sosial mereka.
Iman tidak hanya dipahami secara ritual, tetapi juga sebagai kekuatan untuk
bertahan dalam menghadapi kesulitan ekonomi, tekanan budaya, maupun
keterbatasan pendidikan. Dalam terang iman, khususnya melalui firman Tuhan yang
menekankan kekuatan kata-kata positif (Ams. 16:24; Ef. 4:29), budaya apresiasi
seharusnya menjadi bagian dari pola pendidikan keluarga dan gereja. Dengan
demikian, refleksi iman dapat menjadi fondasi moral untuk membangun generasi
yang cerdas sekaligus percaya diri menghadapi tantangan global.[6]
Berdasarkan
latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menganalisis hubungan
antara budaya kritik negatif dengan rendahnya rasa percaya diri generasi muda,
mengangkat potensi sosial-ekonomi masyarakat Mamasa, serta menekankan
pentingnya budaya apresiasi dalam pendidikan anak. Selain itu, artikel ini juga
memberikan refleksi spiritual yang kontekstual dengan kehidupan masyarakat
pedalaman, sehingga diharapkan dapat menjadi kontribusi bagi pengembangan
budaya positif yang relevan, baik secara lokal maupun global.
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan corak sosial-teologis.
Fokus penelitian diarahkan pada pemahaman fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan
pendidikan di wilayah pedalaman Tabulahan, serta bagaimana kondisi tersebut
memengaruhi kemandirian iman jemaat. Data diperoleh melalui pengamatan
kontekstual terhadap kehidupan masyarakat desa, serta diperkaya dengan kajian
literatur terkini dalam bidang psikologi sosial, pendidikan pedalaman, dan
teologi praktis.
Analisis
dilakukan dengan metode naratif-reflektif, yakni menguraikan realitas kehidupan
masyarakat secara deskriptif lalu menafsirkannya dalam terang iman Kristen.
Dengan demikian, penelitian ini tidak bertujuan menguji hipotesis, melainkan
menghadirkan pemahaman yang lebih utuh tentang relasi antara faktor
sosial-budaya dengan pertumbuhan iman jemaat, serta menawarkan refleksi
teologis yang kontekstual untuk memperkuat kemandirian jemaat di pedalaman.
KAJIAN
PUSTAKA
1.
Teori Psikologi tentang Kepercayaan Diri
Kepercayaan
diri (self-confidence) dalam psikologi erat kaitannya dengan konsep self-efficacy
yang dikembangkan oleh Albert Bandura.[7]
Self-efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk
melakukan tindakan tertentu dalam situasi yang menantang. Tingginya
self-efficacy mendorong seseorang untuk lebih gigih, berani mengambil risiko,
dan mampu mengatasi kegagalan. Sebaliknya, rendahnya self-efficacy sering
membuat individu mudah menyerah dan enggan mencoba hal baru.[8]
Selain itu, growth
mindset yang diperkenalkan oleh Carol Dweck menekankan pentingnya pola pikir
bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui usaha, strategi, dan bimbingan.[9]
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan apresiatif, yang menghargai proses,
bukan sekadar hasil, cenderung memiliki rasa percaya diri lebih sehat. Hal ini
sejalan dengan penelitian psikologi pendidikan terbaru yang menekankan
pentingnya komunikasi positif dalam pembentukan karakter anak.[10]
2.
Budaya Kritik dan Transformasi Sosial
Dalam konteks
masyarakat Indonesia, budaya membandingkan anak dengan orang lain, kritik
negatif, dan penggunaan kata-kata yang merendahkan telah lama menjadi bagian
dari pola komunikasi keluarga.[11]
Tradisi ini sering dimaksudkan sebagai motivasi, namun penelitian menunjukkan
dampak sebaliknya, yakni menurunkan rasa percaya diri dan menginternalisasi
label negatif.[12]
Di wilayah
Mamasa, khususnya Kecamatan Tabulahan dan Kelurahan Lakahang, tradisi adat yang
dulunya sangat kuat mulai tergerus oleh arus modernisasi.[13]
Modernisasi membawa perubahan gaya hidup, cara pandang, serta pola interaksi
sosial, yang pada akhirnya turut memengaruhi pola asuh dan pendidikan anak.
Pergeseran ini menimbulkan tantangan ganda: menjaga warisan budaya lokal
sekaligus beradaptasi dengan nilai-nilai global.
3.
Ekonomi Desa dan Potensi Usaha Rakyat
Ekonomi
pedesaan umumnya ditopang oleh sektor pertanian, perkebunan, dan usaha mikro
kecil menengah (UMKM).[14]
Masyarakat Tabulahan memiliki potensi besar dalam hasil bumi seperti kopi,
kakao, dan hasil hutan non-kayu. Namun, keterbatasan akses pasar, teknologi,
serta kepercayaan diri dalam bersaing di tingkat global sering menjadi
penghambat pengembangan usaha.[15]
Penelitian terbaru menegaskan bahwa pembangunan ekonomi desa tidak cukup hanya
mengandalkan sumber daya alam, tetapi juga harus disertai dengan pembangunan
manusia, termasuk pembentukan rasa percaya diri dan keterampilan kewirausahaan
generasi muda.[16]
4.
Pendidikan di Pedalaman
Kondisi
pendidikan di pedesaan Indonesia, termasuk Mamasa, masih menghadapi tantangan
besar: keterbatasan infrastruktur, akses transportasi, tenaga pendidik, dan
fasilitas belajar.[17]
Anak-anak sering harus menempuh jarak jauh untuk bersekolah, sementara sarana
pendukung seperti buku, internet, dan laboratorium sangat minim. Walaupun
demikian, banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pedesaan memiliki daya
juang yang tinggi dan mampu bersaing bila diberi kesempatan yang setara.[18]
Dalam konteks
ini, pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga tentang
membentuk rasa percaya diri, motivasi, dan semangat untuk melampaui
keterbatasan. Guru, orang tua, dan tokoh masyarakat memiliki peran penting
dalam menanamkan budaya apresiasi yang membangun kepercayaan diri anak-anak
pedalaman.[19]
5.
Refleksi Iman dan Spiritualitas dalam Pendidikan
Karakter
Dalam
perspektif teologis, pembentukan karakter tidak bisa dilepaskan dari dimensi
iman. Firman Tuhan menegaskan bahwa kata-kata positif memiliki kuasa membangun
dan menyembuhkan (Ams. 16:24), sedangkan perkataan yang merusak dapat
menghancurkan semangat hidup seseorang (Ef. 4:29).[20]
Gereja sebagai bagian integral masyarakat Mamasa perlu menjadi teladan dalam
membangun budaya apresiasi, baik melalui khotbah, pelayanan anak, maupun
persekutuan keluarga.
Refleksi iman
ini memperlihatkan bahwa pendidikan percaya diri bukan semata-mata proyek
psikologi atau pedagogi, tetapi juga bagian dari panggilan rohani. Hidup di
pedalaman dengan segala keterbatasan menuntut masyarakat untuk memandang ke
depan dengan iman, bahwa Tuhan memampukan mereka mengembangkan potensi yang ada
demi kesejahteraan bersama.[21]
PEMBAHASAN
1.
Budaya Lokal dan Identitas Sosial
Budaya lokal
Mamasa, termasuk di Kecamatan Tabulahan dan Kelurahan Lakahang, merupakan
bagian dari kekayaan warisan Toraja Mamasa yang sarat dengan nilai adat,
kekerabatan, dan solidaritas sosial. Masyarakat pedesaan masih sangat
menjunjung tinggi tradisi kebersamaan, seperti gotong-royong dalam membangun
rumah, pesta adat, maupun dukungan kolektif saat mengalami duka cita. Namun,
pola kebersamaan ini perlahan mulai mengalami pergeseran seiring masuknya arus
modernisasi dan globalisasi. Perubahan gaya hidup, akses media sosial, dan
tuntutan ekonomi modern mulai menggerus pola relasi sosial yang dahulu sangat
erat.[22]
Fenomena ini
memperlihatkan adanya dilema: di satu sisi, masyarakat ingin maju dengan
menyesuaikan diri pada perkembangan zaman; di sisi lain, mereka juga menghadapi
risiko kehilangan akar budaya yang menjadi sumber identitas.[23]
Nilai adat seperti siri’ (harga diri), sipakaraja (saling
menghormati), dan kakalebuam (kerja sama) yang dahulu dihidupi secara
intens, kini semakin jarang menjadi rujukan dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Hal ini berdampak pada pola pikir generasi muda yang mulai lebih
individualistis, bahkan cenderung ragu terhadap kekuatan jati dirinya sebagai
orang Mamasa.[24]
Dalam konteks
Tabulahan, proses modernisasi ini makin terasa karena posisi wilayahnya yang
berbatasan dengan daerah lain sehingga akses budaya luar lebih mudah masuk.
Masyarakat, khususnya anak muda, menghadapi tantangan menjaga identitas sosial
mereka agar tidak merosot dari akar lokal. Di sinilah pentingnya penguatan
kembali pemahaman budaya lokal yang bersifat positif, bukan sekadar romantisasi
masa lalu, tetapi sebagai landasan bagi pembangunan sosial, pendidikan, maupun
mentalitas ekonomi.[25]
Alkitab sendiri
menekankan pentingnya menjaga identitas iman dan sosial di tengah perubahan
zaman. Rasul Paulus mengingatkan jemaat Roma agar tidak “serupa dengan dunia
ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu” (Rm. 12:2). Ayat ini dapat
dibaca secara kontekstual bahwa masyarakat Tabulahan tidak dipanggil untuk
menolak modernisasi secara mutlak, melainkan mengolahnya dengan tetap berpegang
pada nilai luhur budaya dan iman. Dengan demikian, budaya lokal bukan
penghalang kemajuan, melainkan fondasi spiritual dan sosial yang memperkuat
masyarakat menghadapi tantangan global.
2.
Ekonomi Desa dan Mentalitas Rakyat
Kondisi ekonomi
masyarakat di Kecamatan Tabulahan pada dasarnya bertumpu pada sektor pertanian
dengan komoditas unggulan kakao (cokelat). Hampir semua desa di kecamatan ini
menjadikan kakao sebagai tulang punggung ekonomi rumah tangga. Beberapa
wilayah, seperti Desa Gandang Dewata dan Saluleang, juga mengembangkan kopi
sebagai usaha tambahan, sementara Desa Pangandaran serta Desa Tampakkurra dan
Malatiro memiliki potensi nilam di samping kakao. Namun, secara umum,
ketergantungan pada kakao masih sangat dominan. Ketergantungan ini menciptakan
kerentanan ekonomi, terutama ketika harga kakao mengalami fluktuasi di pasar
global maupun nasional.[26]
Tantangan lain
yang dihadapi masyarakat Tabulahan adalah keterbatasan infrastruktur, khususnya
akses jalan. Beberapa jalur penghubung antar desa masih dalam kondisi rusak
parah, seperti dari Desa Pangandaran melalui Desa Burana menuju pusat kecamatan
di Kelurahan Lakahang. Pada musim hujan, kondisi jalan semakin memburuk
sehingga menyulitkan mobilitas hasil pertanian menuju pasar. Hal ini menjadi
hambatan utama bagi pengembangan ekonomi lokal yang lebih kompetitif.[27]
Di sisi sosial,
tradisi sipanganna (“saya bantu hari ini, besok dia bantu saya”) masih
terjaga di sebagian desa sebagai bentuk solidaritas masyarakat pedesaan.
Tradisi ini menjadi modal sosial yang penting dalam menopang kehidupan ekonomi,
karena mampu mengurangi beban kerja dan biaya produksi melalui sistem gotong
royong bergilir.[28] Namun, di tengah arus
modernisasi, nilai-nilai solidaritas ini mulai tergerus, khususnya di kalangan
generasi muda yang lebih terpengaruh oleh budaya individualistik.
Masalah lain
yang dihadapi masyarakat Tabulahan adalah keterbatasan modal dan mentalitas
dalam mengembangkan usaha. Banyak petani yang masih bergantung pada pola
tradisional dan kurang percaya diri untuk bersaing dalam skala pasar yang lebih
luas. Hal ini membuat potensi lokal, khususnya kakao, belum sepenuhnya diolah
menjadi produk bernilai tambah. Minimnya akses terhadap lembaga keuangan,
pelatihan usaha, dan teknologi pertanian juga memperparah kondisi ini.[29]
Jika melihat
potensi besar yang dimiliki, ekonomi Tabulahan sejatinya dapat berkembang lebih
baik bila ada dukungan pemerintah daerah dalam hal infrastruktur, permodalan,
dan pendidikan kewirausahaan. Selain itu, revitalisasi budaya kerja sama
seperti sipanganna perlu dipertahankan dan diperluas agar dapat menjadi
fondasi mentalitas positif dalam menghadapi tantangan global. Dengan demikian,
ekonomi desa tidak hanya bertumpu pada hasil bumi, tetapi juga berkembang dalam
kapasitas sumber daya manusia yang lebih berdaya saing.[30]
3.
Pendidikan di Pedalaman
Pendidikan di
Kecamatan Tabulahan, termasuk Kelurahan Lakahang, memiliki posisi yang sangat
penting sebagai sarana peningkatan kualitas hidup masyarakat. Secara umum,
kondisi sarana sekolah sudah cukup layak untuk ukuran pedalaman, meskipun masih
ada keterbatasan dalam hal kualitas guru. Banyak tenaga pendidik yang
ditempatkan di daerah ini belum sepenuhnya memiliki kompetensi memadai,
sehingga proses belajar-mengajar sering tidak maksimal.[31]
Kualitas sumber daya manusia yang terbatas pada akhirnya berpengaruh terhadap
pola pikir anak didik, terutama dalam membangun kepercayaan diri dan
keterampilan yang relevan dengan tantangan zaman.
Meskipun
demikian, semangat anak-anak muda di Tabulahan untuk melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi sangat tinggi. Fenomena ini mencerminkan adanya kesadaran
bahwa pendidikan merupakan jalan keluar dari lingkaran keterbelakangan
sosial-ekonomi.[32] Hanya saja, keterbatasan
informasi dan minimnya role model profesional di luar bidang tertentu membuat
pilihan jurusan mahasiswa dari Tabulahan cenderung sempit. Tiga jurusan yang
paling populer adalah pendidikan, teologi, dan kesehatan, sedangkan jurusan
lain yang lebih menantang (seperti teknik, hukum, atau ekonomi) masih jarang
diminati.[33]
Keterbatasan
dalam variasi pilihan jurusan ini menimbulkan implikasi serius pada kemandirian
berpikir anak muda. Sebagian besar dari mereka terjebak pada pola “ikut arus”
tanpa berani mengambil langkah inovatif atau mencoba bidang baru.[34]
Akibatnya, potensi yang ada sering tidak tergarap secara maksimal. Dalam jangka
panjang, hal ini bisa membuat Tabulahan kesulitan melahirkan pemimpin-pemimpin
lokal yang memiliki kapasitas di bidang strategis, seperti pembangunan
infrastruktur, pengelolaan ekonomi, atau advokasi kebijakan publik.
4.
Peran Gereja dan Spiritualitas
Peran gereja di
Tabulahan, baik GTM, GPIT, maupun GPdI, sangat besar dalam membentuk karakter
rohani anak-anak muda. Melalui ibadah kategorial, kelompok rumah tangga, dan
pelayanan anak, gereja memberikan landasan spiritual yang memperkuat motivasi
untuk terus menempuh pendidikan lebih tinggi.[35]
Gereja, dalam hal ini, tidak hanya berperan sebagai pusat ibadah, tetapi juga
sebagai wadah formasi mentalitas dan daya tahan iman di tengah keterbatasan
pedesaan. Firman Tuhan menegaskan bahwa hikmat adalah kunci utama dalam menata
kehidupan: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang
Mahakudus adalah pengertian” (Ams. 9:10). Ayat ini meneguhkan bahwa
pendidikan, baik umum maupun rohani, harus berjalan beriringan demi melahirkan
generasi yang berani, percaya diri, dan berdaya guna bagi bangsa maupun gereja.
5.
Refleksi Iman dan Kemandirian Jemaat
Kehidupan
masyarakat pedalaman Mamasa, khususnya di Kecamatan Tabulahan, tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai iman Kristen yang mengakar kuat dalam kehidupan
sosial mereka. Gereja-gereja lokal, seperti GTM, GPIT, dan GPdI, bukan hanya
berfungsi sebagai wadah ibadah, tetapi juga sebagai pusat pembentukan karakter
dan penguatan psikologis jemaat. Namun, peran ini sering kali masih terbatas
pada fungsi liturgis dan pelayanan rohani, sementara dimensi pemberdayaan
mentalitas dan kemandirian ekonomi belum sepenuhnya tergarap secara maksimal.[36]
Secara
psikologis, mentalitas masyarakat pedalaman kerap dibentuk oleh pengalaman
hidup yang keras, keterbatasan akses, serta pola pikir subsisten yang
diwariskan secara turun-temurun. Di satu sisi, hal ini membentuk daya tahan
(resilience) yang tinggi, tetapi di sisi lain, juga melahirkan pola pikir yang
kurang percaya diri untuk bersaing di luar lingkup lokal.[37]
Dalam konteks iman Kristen, pola pikir demikian seharusnya ditransformasi
melalui pengajaran dan teladan hidup yang mendorong jemaat agar menyadari
potensi ilahi yang ada dalam diri mereka (bdk. Ef. 3:20).
Tradisi budaya
lokal seperti sipanganna, "saya bantu hari ini, besok dia bantu
saya", sebenarnya merupakan modal sosial yang penting dalam menumbuhkan
solidaritas dan gotong royong. Nilai ini sejalan dengan prinsip gereja
mula-mula dalam Kisah Para Rasul 2:44–45, di mana orang percaya saling berbagi
sesuai kebutuhan masing-masing. Dengan demikian, iman dan budaya dapat
dipadukan untuk membentuk pola kemandirian yang bukan individualistik, tetapi
komunal, yang menguatkan masyarakat pedesaan dalam menghadapi tantangan
modernisasi.[38]
Namun, masalah
yang kerap muncul ialah mentalitas bergantung (dependency mindset), baik
kepada pemerintah, gereja, maupun tokoh adat. Pola ini membuat sebagian jemaat
kurang mengembangkan inisiatif untuk mandiri, meskipun peluang ekonomi (seperti
kakao dan nilam) tersedia. Gereja memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya
mengajarkan doktrin, tetapi juga menumbuhkan pola pikir yang sehat, yang
berakar pada iman bahwa manusia diciptakan untuk "bekerja dan mengusahakan
bumi" (Kej. 2:15). Iman Kristen seharusnya melahirkan etos kerja yang
produktif sekaligus rendah hati, sebagaimana ditegaskan Paulus bahwa
"barangsiapa tidak mau bekerja, janganlah ia makan" (2 Tes. 3:10).[39]
Dengan
demikian, refleksi iman bagi jemaat pedalaman di Tabulahan menekankan
pentingnya transformasi psikologis dari mentalitas ketergantungan menuju
mentalitas kemandirian. Gereja, adat, dan pendidikan dapat bersinergi sebagai
wadah pembentukan karakter, sehingga masyarakat tidak hanya bertahan hidup di
tengah perubahan zaman, tetapi juga mampu mengembangkan potensi diri dan
komunitas. Pada titik ini, iman bukan sekadar pelarian spiritual, melainkan
kekuatan yang menggerakkan jemaat untuk menjadi terang dan garam bagi
lingkungannya (Mat. 5:13–16).[40]
KESIMPULAN
Kajian sosial
terhadap kehidupan masyarakat di Kecamatan Tabulahan, khususnya Kelurahan
Lakahang, menunjukkan bahwa dinamika budaya, ekonomi, pendidikan, dan
spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat dalam membentuk identitas sosial
jemaat dan arah pembangunan masyarakat pedalaman. Pertama, dari aspek
budaya lokal, masyarakat Tabulahan masih memiliki warisan adat yang kuat, namun
modernisasi perlahan menggerus daya ikat tradisi tersebut. Beberapa nilai
gotong royong, seperti sipanganna (“saya bantu hari ini, besok dia bantu
saya”), masih dipraktikkan di sejumlah desa, tetapi kecenderungan
individualisme mulai tampak, terutama di kalangan generasi muda. Hal ini
berimplikasi pada identitas sosial masyarakat yang semakin cair dan menghadapi
tantangan dalam menjaga nilai kebersamaan.
Kedua, dalam
bidang ekonomi, potensi utama masyarakat Tabulahan terletak pada komoditas
kakao sebagai sumber penghidupan utama, dengan tambahan komoditas nilam di
beberapa desa. Namun, keterbatasan infrastruktur jalan, modal usaha, serta
mentalitas masyarakat yang masih kurang percaya diri untuk bersaing, menjadi
hambatan utama bagi perkembangan ekonomi yang lebih mandiri dan berdaya saing.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa meskipun ada peluang besar dalam sektor
pertanian, transformasi pola pikir menjadi lebih berorientasi wirausaha dan
terbuka terhadap inovasi sangat dibutuhkan.
Ketiga, dalam
bidang pendidikan, situasi yang ada mencerminkan ambivalensi. Di satu sisi,
fasilitas sekolah cukup memadai untuk ukuran daerah pedalaman, dan antusiasme
anak-anak melanjutkan studi ke perguruan tinggi sangat tinggi. Jarang ada anak
Tabulahan yang tidak melanjutkan kuliah. Namun, keterbatasan kualitas guru
serta pola pilihan jurusan yang sempit (terutama pendidikan, teologi, dan
kesehatan) menunjukkan masih adanya kendala dalam mengembangkan kemandirian
berpikir dan keberanian untuk menjelajahi bidang-bidang keilmuan lain. Hal ini
menandakan perlunya upaya sistematis dalam membangun mutu pendidikan dan
memperluas wawasan anak muda agar lebih adaptif terhadap tantangan global.
Keempat,
refleksi iman memperlihatkan bahwa gereja-gereja yang ada (GTM, GPIT, dan GPdI)
tetap menjadi fondasi utama pembentukan karakter dan penguatan spiritual
jemaat. Walaupun praktik keimanan kategorial masih sederhana dan terbatas,
khususnya di GTM dan GPIT, namun ketiga denominasi tersebut berperan dalam
menanamkan nilai moral dan religius bagi generasi muda. Iman Kristen, ketika
dipadukan dengan kesadaran sosial, dapat menjadi daya dorong bagi perubahan
mentalitas masyarakat, khususnya dalam menghadapi rasa tidak percaya diri,
kecenderungan bergantung, dan keterbatasan psikologis dalam bersaing dengan
dunia luar.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa kemandirian masyarakat Tabulahan tidak hanya bergantung
pada faktor ekonomi atau pendidikan semata, tetapi juga ditentukan oleh
integrasi antara budaya lokal, pola pikir, dan iman. Tantangan terbesar bukan
sekadar pada minimnya infrastruktur atau keterbatasan sumber daya manusia,
melainkan pada pembentukan mentalitas baru yang berani mengambil risiko,
kreatif, serta tetap berakar pada nilai-nilai iman yang memberi harapan dan
ketangguhan. Oleh karena itu, arah pembangunan masyarakat Tabulahan ke
depan sebaiknya difokuskan pada tiga aspek utama: (1) penguatan mentalitas
wirausaha dan keberanian bersaing; (2) peningkatan kualitas guru dan
diversifikasi pilihan studi generasi muda; serta (3) revitalisasi nilai budaya
dan iman Kristen yang menekankan kerja sama, pengharapan, dan kemandirian.
Integrasi ketiga aspek ini akan memberi landasan yang lebih kokoh bagi
masyarakat Tabulahan untuk tidak hanya bertahan di tengah modernisasi, tetapi
juga berkembang sebagai komunitas yang mandiri, berdaya saing, dan tetap setia
pada jati diri mereka sebagai masyarakat pedalaman yang beriman.
[1] Endang
Widyorini, Psikologi Sosial dan
Perkembangan Anak (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2020), 87–89.
[2] Albert Bandura, “Toward a Psychology of Human Agency: Pathways and
Reflections,” Perspectives on
Psychological Science Vol 13., no. (2) (2018): 130–136.
[3] Ratna Noviani, “Budaya Lokal dalam Arus Modernisasi: Tantangan Identitas
Generasi Muda,” Jurnal Antropologi
Indonesia Vol 43, no. (2) (2019): 112–125.
[4] Badan Pusat Statistik (BPS) Mamasa, Potensi
Desa Kabupaten Mamasa 2022 (Mamasa: BPS, 2022).
[5] Siti Nur Aisyah, “Pendidikan Anak Pedesaan: Antara Keterbatasan dan
Harapan,” Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan Vol 6, no. (1) (2021): 45–59.
[6] H.
Daniel Zacharias, Pastoral Care and the
Formation of Christian Character (London: Routledge, 2019), 54–56.
[7] Bandura, “Toward a Psychology of Human Agency: Pathways and Reflections,”
130–136.
[8] Judith
H Moskowitz dan Shira L. Tennen, Positive
Emotion and Resilience (New York: Springer, 2019), 42–44.
[9] Carol
S. Dweck, Mindset: Changing the Way You
Think to Fulfil Your Potential (London: Robinson, 2017), 23–25.
[10] Lina Marlina, “Komunikasi Positif dalam Pendidikan Anak,” Jurnal Psikologi Pendidikan Vol 8, no.
(1) (2020): 15–28.
[11] Widyorini,
Psikologi Sosial dan Perkembangan Anak,
87–89.
[12] Siti Aisyah, “Dampak Pola Asuh Otoriter terhadap Rasa Percaya Diri Anak,” Jurnal Psikologi Indonesia Vol 6, no.
(2) (2019): 101–112.
[13] Noviani, “Budaya Lokal dalam Arus Modernisasi: Tantangan Identitas
Generasi Muda.”
[14] Mamasa, Potensi Desa Kabupaten
Mamasa 2022.
[15] Irwan Abdullah, “Ekonomi Rakyat dan Tantangan Globalisasi,” Jurnal Sosiohumaniora Vol 22, no. (1)
(2020): 56–70.
[16] Sri Handayani, “Pengembangan Kewirausahaan Berbasis Potensi Lokal,” Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol 24, no.
(2) (2019): 123–137.
[17] Aisyah, “Pendidikan Anak Pedesaan: Antara Keterbatasan dan Harapan.”
[18] Hendrikus Johanis, “Ketangguhan Belajar Anak Pedesaan dalam Keterbatasan,”
Jurnal Ilmu Pendidikan Vol 7, no. (2)
(2020): 78–92.
[19] Marlina, “Komunikasi Positif dalam Pendidikan Anak.”
[20] Zacharias,
Pastoral Care and the Formation of
Christian Character, 54–56.
[21] Fransiskus Irwan Widjaja, “Iman Kristen dan Pemberdayaan Masyarakat
Pedesaan,” Jurnal Teologi dan Pelayanan
Vol 5, no. (1) (2018): 65–80.
[22] Liliweri
Alo, Budaya Lokal dalam Arus Globalisasi.
(Jakarta: Prenada Media, 2021), 45.
[23] Suharto Edi, “Identitas Lokal dan Modernisasi di Masyarakat Pedesaan,” Jurnal Sosiologi Pedesaan 9, no. 2
(2019): 101–118.
[24] “Yulianti, Rini. “Generasi Muda dan Pergeseran Nilai Budaya di Era
Digital,” Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora 12, no. 1 (2021): 55–67.
[25] Samosir
Tigor, Adat, Modernisasi, dan Ketahanan
Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 2020), 77.
[26] S. Yuliana, “Analisis
Rantai Pasok Kakao di Indonesia,” Jurnal Agro Ekonomi, vol. 39, no. 1,
2021, hlm. 35–47.
[27] A. Kadir & R. Rahmat,
“Pembangunan Infrastruktur Desa dan Dampaknya terhadap Ekonomi Lokal,” Jurnal
Pembangunan Daerah, vol. 7, no. 2, 2020, hlm. 88–102.
[28] R. Randa, “Modal Sosial
dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan Toraja,” Jurnal Ilmu Sosial Mamasa,
vol. 3, no. 1, 2019, hlm. 14–28.
[29] D. Hutapea, “Keterbatasan
Akses Permodalan dan Pengembangan Usaha Mikro di Perdesaan,” Jurnal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia, vol. 35, no. 2, 2022, hlm. 155–170.
[30] L. Susanti, “Revitalisasi
Kearifan Lokal sebagai Modal Sosial Ekonomi di Desa,” Jurnal Masyarakat dan
Budaya, vol. 24, no. 1, 2022, hlm. 55–70.
[31] Yuliana F. Sihombing,
“Kualitas Guru di Daerah 3T: Tantangan dan Harapan,” Jurnal Pendidikan
Indonesia 8, no. 2 (2019): 123–135.
[32] Andi Arifin, “Peran
Pendidikan dalam Mengentaskan Kemiskinan di Pedesaan,” Jurnal Ilmu Sosial
dan Humaniora 11, no. 1 (2020): 44–58.
[33] Maria R. Kiling, “Pilihan
Studi Mahasiswa dari Daerah Pedalaman: Studi Kasus NTT,” Jurnal Pendidikan
Tinggi 5, no. 2 (2021): 77–90.
[34] Ratna Dewi, “Kemandirian
Berpikir Generasi Muda di Era Globalisasi,” Jurnal Psikologi Pendidikan
12, no. 3 (2018): 201–214.
[35] Paulus L. Londa, “Peran
Gereja dalam Pendidikan Karakter Pemuda di Wilayah Minoritas Kristen,” Jurnal
Teologi Kontekstual 6, no. 1 (2022): 55–69.
[36] Y. Tuhumury, Iman dan
Pemberdayaan Masyarakat Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 45–47.
[37] R. Widyastuti, “Psikologi
Sosial dalam Konteks Pedesaan Indonesia,” Jurnal Psikologi dan Masyarakat
8, no. 2 (2019): 112–115.
[38] A. Simanjuntak,
“Solidaritas Sosial dalam Budaya Lokal dan Relevansinya bagi Gereja,” Gema
Teologi 43, no. 1 (2020): 99–103.
[39] S. Manullang, Etos
Kerja Kristen: Perspektif Alkitab dan Konteks Pedesaan (Bandung: Kalam
Hidup, 2021), 77–80.
[40] F. Siahaan, “Teologi
Kontekstual di Pedalaman: Integrasi Iman dan Budaya,” Veritas: Jurnal
Teologi dan Pelayanan 23, no. 2 (2022): 143–148.



0 Comments