
Beberapa waktu lalu, ketika saya mampir di sebuah toko, saya melihat sebuah peristiwa kecil yang menyentuh hati saya. Di depan saya ada seseorang yang sedang menelpon. Karena menggunakan pengeras suara, saya bisa mendengar jelas percakapannya. Yang menarik, lawan bicaranya menggunakan bahasa daerah, sementara ia menjawab dengan bahasa Indonesia.
Sebagai penutur bahasa daerah itu, saya langsung mengerti arti percakapan tersebut. Namun, yang membuat saya heran: mengapa ia tidak menjawab dengan bahasa daerahnya sendiri? Apakah ia merasa malu? Atau mungkin ia lebih percaya diri dengan bahasa Indonesia? Pertanyaan itu membuat saya merenung lebih dalam.
Fenomena ini sebenarnya cerminan dari budaya dan adat istiadat lokal yang perlahan-lahan mulai tergerus zaman. Banyak generasi muda kini lebih fasih berbahasa Indonesia bahkan bahasa asing, dibanding bahasa ibu mereka sendiri. Padahal, bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bagian dari jati diri dan warisan leluhur. Jika kita malu menggunakannya, maka suatu hari nanti bahasa dan adat itu bisa hilang dari generasi kita.
Hidup di pedalaman atau desa-desa tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai rohani. Adat, budaya, dan iman sering berjalan beriringan. Dalam banyak tradisi lokal, kita melihat ada nilai penghormatan, kebersamaan, gotong-royong, dan kesederhanaan yang sangat sesuai dengan ajaran Alkitab. Namun, jika budaya kita perlahan hilang, maka nilai-nilai rohani yang terkandung di dalamnya pun ikut tergerus.
Firman Tuhan mengingatkan:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” (Roma 12:2)
Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak hanyut begitu saja dalam arus zaman. Kemajuan dan modernisasi memang perlu, tetapi jangan sampai membuat kita kehilangan identitas budaya dan rohani kita. Sebab, di balik bahasa, adat, dan budaya kita, ada nilai iman yang meneguhkan kita untuk tetap hidup rendah hati, bersyukur, dan mengasihi sesama.
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk menjaga, merawat, dan memperkenalkan budaya lokal sebagai bagian dari kesaksian iman kita. Tidak ada yang perlu kita malu-kan dengan asal-usul kita. Kesuksesan, pendidikan, atau pencapaian apapun tidak boleh membuat kita melupakan jati diri dan akar budaya kita. Justru dengan bangga pada bahasa dan adat istiadat kita, kita sedang merawat warisan Tuhan yang telah menempatkan kita lahir dan bertumbuh di tanah ini.
Refleksi iman:
- Bahasa dan budaya daerah adalah karunia Tuhan yang membentuk identitas kita.
- Menjaga adat dan budaya lokal sama artinya menghormati karya Tuhan dalam sejarah hidup kita.
- Di tengah arus modernisasi, kita dipanggil untuk tetap berakar pada iman dan budaya yang sehat, yang selaras dengan Firman Tuhan.
Mari kita jangan pernah malu menggunakan bahasa daerah kita. Mari kita syukuri adat dan budaya yang telah diwariskan, dan tetap percaya diri dari mana kita berasal. Karena sehebat apapun pencapaian kita, tidak ada yang lebih mulia daripada hidup dengan jati diri yang utuh di hadapan Allah dan sesama.
Doa Penutup
Tuhan yang Mahabaik, kami bersyukur karena Engkau telah menciptakan kami dengan latar belakang, budaya, dan bahasa yang indah. Kami berterima kasih atas adat istiadat dan nilai-nilai luhur yang Engkau titipkan melalui leluhur kami. Tolong kami, ya Tuhan, agar tidak malu dengan jati diri kami, tetapi semakin bangga dan percaya diri sebagai umat-Mu. Mampukan kami menjaga warisan budaya dan iman ini, serta hidup sesuai kehendak-Mu di tengah arus zaman yang terus berubah. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.
0 Comments