
RUU Perampasan Aset: Senjata Makan Tuan atau Jalan Menuju
Keadilan?
Di Indonesia, wacana Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perampasan Aset kembali mencuat dan menimbulkan polemik luas. Isu ini menjadi
salah satu pemicu gelombang demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesisa yang
berujung pada tindakan anarkis seperti pembakaran, perusakan, hingga penjarahan
di sejumlah wilayah, khususnya di Jakarta. Situasi ini memperlihatkan betapa
rentannya stabilitas sosial ketika kebijakan pemerintah dipersepsikan tidak
transparan dan berpotensi merugikan rakyat. Banyak pihak menilai bahwa
undang-undang ini bisa menjadi terobosan besar dalam pemberantasan korupsi.
Namun, di sisi lain, muncul keraguan besar: apakah para pejabat berani
mengesahkan aturan yang berpotensi menjerat mereka sendiri?
Pertanyaan ini sangat masuk akal.
Sebab, jika RUU ini benar-benar diberlakukan, bukan hanya rakyat kecil atau
pengusaha nakal yang bisa terkena, tetapi juga para elite politik dan pejabat
tinggi yang selama ini menyimpan harta dengan cara-cara yang tidak jelas.
Karena itu, sebagian orang menyebut RUU ini berpotensi menjadi “senjata makan
tuan”.
Suara dari Pinggiran: Lakahang,
Tabulahan, Mamasa
Di wilayah pelosok seperti Lakahang,
Kecamatan Tabulahan, Kabupaten Mamasa, suara rakyat sering kali tidak terdengar
keras di pusat. Namun, mereka juga merasakan dampak langsung dari ketidakadilan
yang lahir dari praktik korupsi. Infrastruktur jalan yang rusak, layanan
kesehatan yang minim, hingga kesenjangan pendidikan adalah bukti nyata bahwa
korupsi tidak hanya merugikan negara secara abstrak, tetapi menghantam
kehidupan nyata masyarakat kecil.
Bagi warga di pinggiran, isu RUU
Perampasan Aset bukanlah sekadar wacana politik, melainkan harapan agar ada
keadilan yang menyentuh hingga desa-desa terpencil. Jika uang hasil korupsi
bisa direbut kembali untuk rakyat, maka pembangunan di daerah tertinggal
seperti Mamasa akan lebih mungkin terlaksana.
Perspektif Iman: Keadilan
Menurut Alkitab
Alkitab berulang kali menegaskan
pentingnya keadilan dan larangan terhadap pencurian. Nabi Yesaya menegur
pemimpin yang menindas rakyatnya dengan keras:
“Celakalah mereka yang membuat
ketetapan-ketetapan yang tidak adil, dan mereka yang mengeluarkan
keputusan-keputusan yang menindas orang miskin” (Yesaya 10:1–2).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa
hukum yang adil bukan hanya soal aturan di atas kertas, tetapi harus menjadi
alat untuk melindungi rakyat kecil. Bila pemimpin takut dengan hukum yang adil
karena bisa menjerat dirinya sendiri, itu berarti ada sesuatu yang tidak beres
dalam integritas mereka.
Harapan Rakyat Kecil
RUU Perampasan Aset memang bisa
menjadi “senjata makan tuan” bagi pejabat yang korup. Tapi justru di situlah
kekuatannya. Kalau negara sungguh-sungguh berkomitmen pada pemberantasan korupsi,
tidak ada alasan untuk menunda atau menghindar dari pengesahan undang-undang
ini.
Bagi rakyat kecil, khususnya di Mamasa dan daerah lain yang terpinggirkan, undang-undang ini diharapkan menjadi simbol bahwa keadilan bukan hanya milik orang kuat di pusat, tetapi juga hak warga di desa-desa. Pada akhirnya, suara dari pinggiran harus terus digaungkan: Kami menunggu keadilan yang nyata, bukan janji kosong.
0 Comments