property='og:image'/>

Kasih Karunia yang Memulihkan: Menghadapi Perbedaan dan Persaingan dalam Pelayanan Gereja

PENDAHULUAN

Persekutuan Kristen dipahami secara universal sebagai wadah yang mempersatukan orang percaya untuk beribadah, bertumbuh dalam iman, dan saling menguatkan dalam kasih. Idealnya, persekutuan menjadi ruang di mana setiap orang dapat mengalami kehadiran Kristus yang hidup, serta menemukan sukacita dalam melayani-Nya tanpa tekanan atau persaingan. Hal ini sejalan dengan doa Yesus bagi murid-murid-Nya: “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yohanes 17:21). Kesatuan dalam Kristus merupakan identitas utama yang menandai gereja sebagai tubuh Kristus.

Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari ideal tersebut. Tidak jarang perbedaan tafsir teologis maupun penekanan pelayanan justru menimbulkan gesekan antar-hamba Tuhan. Persaingan dalam pelayanan muncul ketika fokus bergeser dari Kristus kepada keinginan untuk diakui. Lebih jauh lagi, kritik yang disampaikan tanpa kasih sering kali melemahkan, bahkan membuat pelayan merasa tersudutkan. Seperti pengalaman yang terjadi di beberapa persekutuan, perbedaan pemahaman tentang kasih karunia berdasarkan kitab Roma dan Efesus tidak mendorong kedewasaan rohani, melainkan melahirkan saling mencela dan akhirnya menyebabkan ada pelayan yang mengundurkan diri. Kondisi ini menunjukkan bahwa persekutuan masih bergumul dalam mewujudkan kesatuan iman sebagaimana yang diajarkan Paulus: “Supaya dengan sehati, seia sekata kamu memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus” (Roma 15:6).

Literatur teologi dan studi gerejawi pun telah banyak menyinggung pentingnya kasih karunia sebagai dasar pelayanan. John Stott, misalnya, menekankan bahwa kasih karunia tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga memampukan orang percaya untuk melayani dalam kerendahan hati dan kesatuan tubuh Kristus.[1] Sementara itu, N. T. Wright melihat kasih karunia sebagai dinamika transformasi hidup yang meniadakan persaingan dalam komunitas iman, karena setiap orang menerima anugerah yang sama.[2] Beberapa penelitian kontemporer tentang pelayanan gerejawi di Indonesia juga mengungkapkan bahwa konflik internal sering berakar pada ego sektoral, bukan pada perbedaan doktrin yang mendasar.[3] Dengan demikian, wacana tentang kasih karunia yang memulihkan relevan untuk diangkat, terutama dalam konteks perbedaan dan persaingan yang melemahkan pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas, artikel ini bertujuan untuk mengajak pembaca merenungkan kembali makna kasih karunia Kristus sebagai fondasi kesatuan dan pelayanan. Dengan meninjau perspektif Alkitab, khususnya dari surat Roma dan Efesus, penulis ingin menunjukkan bahwa perbedaan tafsir seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan kesempatan untuk memperkaya pemahaman iman. Lebih dari itu, artikel ini hendak menegaskan bahwa pelayanan sejati berakar pada kasih karunia, bukan persaingan, sehingga persekutuan dapat benar-benar menjadi ruang pemulihan, penguatan, dan kesaksian kasih Kristus bagi dunia.

1.      Kasih Karunia dalam Perspektif Roma dan Efesus

Kasih karunia merupakan inti dari Injil Yesus Kristus, dan Rasul Paulus menempatkannya sebagai pusat pemberitaannya, khususnya dalam surat Roma dan Efesus. Dalam Roma, Paulus menegaskan bahwa semua manusia telah berdosa dan berada di bawah hukuman Allah, tetapi Allah menyatakan kasih karunia-Nya dengan membenarkan orang berdosa melalui iman kepada Yesus Kristus. “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Roma 3:23–24). Ayat ini menekankan bahwa pembenaran bukanlah hasil usaha manusia, melainkan karya anugerah Allah semata.

Sementara itu, surat Efesus menggemakan nada yang sama, namun dengan penekanan yang lebih luas pada karya keselamatan sebagai inisiatif Allah sejak semula. Paulus menulis: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah; itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8–9). Di sini, keselamatan dipahami sebagai anugerah murni yang tidak dapat ditambahkan atau dikurangi oleh usaha manusia. Lebih jauh, Paulus menekankan bahwa kasih karunia tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga memanggil orang percaya untuk hidup dalam perbuatan baik yang Allah telah persiapkan (Efesus 2:10).

Perbedaan fokus antara Roma dan Efesus dapat dipahami sebagai dua sisi dari satu kebenaran besar: Roma menekankan aspek hukum dan pembenaran, sedangkan Efesus menyoroti dimensi kosmis dan rencana kekal Allah dalam Kristus. Namun, keduanya bersatu dalam pesan utama bahwa kasih karunia adalah dasar segala sesuatu. Hal ini meniadakan ruang bagi kesombongan rohani atau persaingan dalam pelayanan, karena semua orang percaya berdiri sama rata di hadapan Allah. Dalam kata-kata Douglas Moo, kasih karunia dalam Roma “menghapus segala alasan untuk membanggakan diri, sebab keselamatan sepenuhnya adalah karya Allah.”[4] Dengan demikian, kasih karunia bukan sekadar doktrin, melainkan pola hidup yang membentuk cara jemaat berelasi satu dengan yang lain.

Dalam konteks persekutuan Kristen, pemahaman yang benar tentang kasih karunia menolong jemaat melihat bahwa pelayanan adalah respons syukur, bukan ajang kompetisi. Persaingan dalam pelayanan menunjukkan bahwa kasih karunia belum sungguh dihayati sebagai fondasi. Sebaliknya, ketika jemaat menyadari bahwa setiap orang dipanggil hanya oleh kasih karunia, mereka dapat menghargai perbedaan karunia dan peran masing-masing. Sebagaimana Paulus menulis: “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia-Nya yang dianugerahkan kepadaku tidak sia-sia” (1 Korintus 15:10a). Ayat ini meneguhkan bahwa setiap pelayanan lahir dari kasih karunia, bukan dari persaingan antar-hamba Tuhan.

2.      Bahaya Persaingan dan Kritikan yang Melemahkan

Persaingan dalam pelayanan adalah salah satu gejala yang muncul ketika kasih karunia Kristus tidak lagi menjadi pusat orientasi hidup rohani. Alkitab menegaskan bahwa setiap orang percaya dipanggil bukan untuk bersaing, melainkan untuk melayani dengan kerendahan hati. Yesus sendiri mengingatkan murid-murid-Nya: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Matius 20:26). Ketika pelayanan berubah menjadi arena perebutan posisi, pengakuan, atau pembuktian diri, maka inti Injil yang menekankan kasih dan kerendahan hati digeser oleh ego manusia. Akibatnya, pelayanan tidak lagi menjadi sarana membangun tubuh Kristus, tetapi justru melukai sesama pelayan.

Kritikan dalam pelayanan memang diperlukan, tetapi harus disampaikan dengan kasih dan tujuan membangun. Paulus menulis kepada jemaat di Efesus agar mereka “bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala” dengan “berbicara benar di dalam kasih” (Efesus 4:15). Sayangnya, dalam praktiknya, kritik sering berubah menjadi cercaan yang menjatuhkan dan melemahkan rekan sepelayanan. Kritik semacam ini tidak hanya melukai hati pelayan, tetapi juga dapat mematikan semangat pelayanan dan bahkan menyebabkan seseorang memilih mengundurkan diri. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh Kristus sedang mengalami luka internal, yang sesungguhnya bertentangan dengan panggilan untuk saling menanggung beban (Galatia 6:2).

Beberapa penelitian pastoral menyatakan bahwa konflik dan persaingan dalam pelayanan sering berakar pada keinginan untuk memperoleh pengakuan dan kuasa, bukan karena perbedaan doktrin yang prinsipil.[5] Ketika kritik dilandasi oleh semangat menjatuhkan, maka persekutuan kehilangan fungsinya sebagai ruang pertumbuhan rohani. Alih-alih menghadirkan kesaksian yang memuliakan Kristus, persaingan yang tajam justru memperlihatkan kelemahan manusiawi yang belum ditundukkan kepada kasih karunia Allah. Dalam jangka panjang, sikap ini dapat menimbulkan perpecahan, memudarkan kesaksian gereja, dan menurunkan kualitas pelayanan.

Dengan demikian, persaingan dan kritik yang melemahkan adalah ancaman serius bagi persekutuan Kristen. Gereja dipanggil untuk mengingat bahwa kasih karunia telah mempersatukan setiap anggota tubuh Kristus, sehingga tidak ada seorang pun yang lebih tinggi dari yang lain. Paulus mengingatkan jemaat di Filipi: “Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri” (Filipi 2:3). Ayat ini menegaskan bahwa pelayanan sejati hanya dapat dijalankan dalam semangat kerendahan hati, bukan persaingan, dan kritik seharusnya diarahkan untuk membangun, bukan menghancurkan.

3.      Panggilan Kesatuan dalam Kristus

Kesatuan jemaat merupakan salah satu tema sentral dalam surat-surat Paulus, terutama dalam Efesus. Rasul Paulus menasihati: “Berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu” (Efesus 4:3–4). Ayat ini menegaskan bahwa kesatuan bukanlah sesuatu yang tercipta secara otomatis, melainkan harus diupayakan dengan kesadaran penuh. Kesatuan jemaat adalah buah dari karya Roh Kudus, tetapi tanggung jawab manusia adalah menjaga dan memeliharanya dengan kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kasih (Efesus 4:2).

Dalam realitas pelayanan, kesatuan sering kali terancam oleh ego, perbedaan perspektif, dan pola pikir dunia yang menekankan persaingan. Namun, Alkitab mengajarkan bahwa perbedaan dalam tubuh Kristus seharusnya memperkaya, bukan memecah belah. Paulus menggunakan gambaran tubuh dengan banyak anggota: “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus” (1 Korintus 12:12). Kesatuan dalam Kristus tidak berarti penyeragaman, melainkan harmoni dalam perbedaan, di mana setiap anggota memainkan peran sesuai dengan karunia yang telah Allah berikan.

Literatur teologi kontemporer menekankan bahwa kesatuan gereja adalah kesaksian yang paling kuat bagi dunia. Miroslav Volf, misalnya, menyatakan bahwa “gereja yang terpecah belah mengkhianati Injil yang diberitakannya, sebab Kristus datang untuk mendamaikan manusia dengan Allah dan sesamanya.”[6] Kesatuan bukan sekadar ideal etis, melainkan bagian integral dari Injil itu sendiri. Dengan demikian, setiap bentuk persaingan atau kritik yang menjatuhkan sesama pelayan berarti melawan panggilan Injil. Gereja dipanggil untuk hidup dalam solidaritas, saling menghormati, dan meneguhkan satu sama lain.

Kesatuan dalam Kristus juga berarti menghidupi kasih sebagai hukum yang utama. Paulus menegaskan: “Hendaklah segala sesuatu kamu lakukan dengan kasih” (1 Korintus 16:14). Kasih adalah perekat yang menyatukan jemaat dalam segala keberagaman dan perbedaan. Tanpa kasih, pelayanan menjadi kosong, seperti “gong yang berkumandang” (1 Korintus 13:1). Oleh karena itu, panggilan kesatuan adalah panggilan untuk kembali menempatkan kasih Kristus sebagai dasar setiap pelayanan. Hanya dengan demikian, gereja dapat menjadi saksi yang setia bagi dunia dan menghadirkan damai sejahtera Allah di tengah-tengah persekutuan.


4.      Penutup dan Refleksi

Kasih karunia Kristus adalah inti Injil dan fondasi utama dari kehidupan berjemaat. Roma dan Efesus menegaskan bahwa keselamatan adalah anugerah Allah semata, bukan hasil usaha manusia. Oleh karena itu, tidak ada ruang bagi kesombongan rohani ataupun persaingan dalam pelayanan. Jika setiap pelayan menyadari bahwa posisinya di hadapan Allah semata-mata karena kasih karunia, maka sikap rendah hati dan saling menghargai akan menjadi ciri utama dalam persekutuan Kristen. Paulus mengingatkan, “Sebab karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” (1 Korintus 15:10a).

Realitas persaingan dan kritik yang melemahkan dalam pelayanan menunjukkan betapa rapuhnya persekutuan bila kasih karunia tidak sungguh dihidupi. Ketika pelayanan berubah menjadi arena saling menjatuhkan, tubuh Kristus menderita luka internal. Padahal, gereja dipanggil untuk menjadi saksi kasih Kristus bagi dunia. Sebagaimana ditegaskan Yesus: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:35). Kasih yang lahir dari kasih karunia adalah identitas utama gereja, dan tanpanya pelayanan kehilangan makna sejati.

Bagi jemaat masa kini, refleksi ini menjadi panggilan untuk kembali menempatkan kasih karunia sebagai pusat kehidupan bersekutu. Perbedaan pemahaman teologis atau gaya pelayanan tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan, melainkan kesempatan untuk memperkaya iman. Kritik tetap perlu, tetapi harus disampaikan dengan kasih dan tujuan membangun. Persaingan harus ditinggalkan, diganti dengan semangat saling mendukung dan melengkapi. Dengan demikian, persekutuan dapat menjadi ruang pemulihan, bukan pelukaan; tempat penguatan, bukan pelemahan.

Akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa hanya dengan kembali kepada kasih karunia Kristus, persekutuan Kristen dapat hidup dalam kesatuan, kerendahan hati, dan kasih yang sejati. Kesatuan itu bukan hasil usaha manusia, tetapi karya Roh Kudus yang harus dijaga oleh setiap orang percaya. Jika jemaat dan hamba Tuhan mau membuka diri untuk diubahkan oleh kasih karunia, maka pelayanan gereja tidak lagi dipenuhi oleh kritik yang melemahkan, melainkan oleh semangat pengabdian bersama. Dengan begitu, gereja sungguh-sungguh dapat menjadi tubuh Kristus yang utuh dan saksi Injil yang hidup di tengah dunia.

 



[1] John Stott, The Message of Romans (Downers Grove: IVP, 2014).

[2] N. T. Wright, Paul and the Faithfulness of God (London: SPCK, 2013).

[3] Daniel Ronda, Pelayanan Gereja dan Dinamika Konflik Jemaat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018).

[4] Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans (Grand Rapids: Eerdmans, 2018), 156.

[5] Hendrikus S. Silooy, Konflik dan Rekonsiliasi dalam Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 87–90.

[6] Miroslav Volf, Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation (Nashville: Abingdon Press, 2019), 43. 

Post a Comment

0 Comments