property='og:image'/>

Roh Kudus dan Tradisi Massalu: Suatu Analisis Teologi Pastoral dalam Konteks Masyarakat Mamasa

PENDAHULUAN

Keselamatan dalam iman Kristen merupakan karya Allah yang telah digenapkan melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Di kayu salib Yesus berseru, “Sudah selesai” (Yoh. 19:30), menandakan bahwa karya penebusan telah lengkap dan sempurna. Namun, Alkitab juga menegaskan bahwa penerapan dan aktualisasi keselamatan itu dalam kehidupan orang percaya tidak berhenti pada peristiwa salib dan kebangkitan semata, melainkan diteruskan melalui karya Roh Kudus. Yesus berjanji kepada murid-murid-Nya: “Apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran” (Yoh. 16:13). Dengan demikian, Roh Kudus berperan sebagai pribadi ilahi yang menghadirkan keselamatan Kristus secara nyata dalam hidup individu maupun komunitas.[1]

Realitas di lapangan, khususnya di Kab. Mamasa (Kelurahan Lakahang, Kecamatan Tabulahan), memperlihatkan dinamika sosial dan spiritual yang kompleks. Kehidupan masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh iman Kristen, tetapi juga oleh tradisi adat yang masih kuat, salah satunya adalah praktik Massalu. Massalu dimengerti sebagai bentuk penyesalan yang mendalam atas pelanggaran terhadap perintah Tuhan, yang jika diabaikan diyakini akan mendatangkan malapetaka.[2] Dengan melakukan Massalu, seseorang diharapkan dapat kembali kepada kehidupan yang benar di hadapan Tuhan.[3] Tradisi ini menunjukkan adanya kerinduan masyarakat untuk hidup selaras dengan kehendak Allah, meskipun sering kali masih bercampur dengan pemahaman adat. Dalam situasi ini, gereja dipanggil untuk menolong jemaat memahami bahwa Roh Kuduslah yang sejatinya menuntun kepada pertobatan sejati dan kehidupan baru, sebagaimana tertulis: “Apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh” (Yoh. 3:6).[4]

Secara literatur, sejumlah kajian teologis telah membahas peran Roh Kudus dalam melanjutkan karya keselamatan Kristus. Teologi pneumatologis menekankan bahwa Roh Kudus bukan hanya sebagai penghibur, melainkan juga sebagai agen ilahi yang memperbarui hidup dan memimpin gereja ke dalam seluruh kebenaran.[5] Misalnya, Gordon Fee menegaskan bahwa seluruh pengalaman hidup orang percaya dalam Kristus tidak terlepas dari karya Roh Kudus yang mengaplikasikan penebusan secara nyata dalam kehidupan.[6] Sementara itu, Veli-Matti Kärkkäinen menyoroti bahwa pneumatologi harus selalu dibaca dalam konteks sosial dan budaya setempat agar relevan dengan pengalaman iman umat.[7] Namun, kajian yang secara khusus menghubungkan pneumatologi dengan konteks sosial budaya Kab. Mamasa, termasuk praktik Massalu, masih sangat terbatas. Belum banyak penelitian yang menelaah bagaimana pemahaman tentang Roh Kudus dapat memberikan kerangka teologis bagi umat Kristen di Kab. Mamasa untuk menafsirkan ulang tradisi adat, sehingga dapat diarahkan kepada terang Injil tanpa kehilangan jati diri budaya mereka.

Berdasarkan latar belakang ini, artikel ini bertujuan untuk menjelaskan peran Roh Kudus sebagai penerus karya keselamatan Kristus dan merefleksikannya dalam konteks sosial masyarakat Kab. Mamasa, khususnya di Kelurahan Lakahang, Kecamatan Tabulahan. Penulis ingin menunjukkan bahwa karya Roh Kudus tidak hanya bersifat personal-spiritual, tetapi juga sosial-kultural, yang memampukan jemaat untuk hidup benar di hadapan Tuhan sekaligus menata kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, artikel ini diharapkan memberi kontribusi teologis dan praktis bagi gereja dalam menghadirkan Injil yang relevan dan transformatif di Kab. Mamasa.

PEMBAHASAN

1.            Roh Kudus dan Pertobatan Sejati dalam Tradisi Massalu

Tradisi Massalu dalam masyarakat Kab. Mamasa dipahami sebagai ekspresi penyesalan yang mendalam terhadap pelanggaran yang dilakukan, baik terhadap Tuhan maupun komunitas. Tujuan utamanya adalah mengembalikan seseorang kepada kehidupan yang benar di hadapan Allah, sekaligus memulihkan relasi sosial yang terganggu akibat dosa.[8] Alkitab menegaskan bahwa pertobatan sejati tidak lahir dari usaha manusia semata, melainkan dari karya Roh Kudus yang menginsafkan manusia akan dosa. Yesus berkata, “Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman” (Yoh. 16:8). Dengan demikian, inti dari pertobatan bukan hanya rasa takut akan malapetaka, melainkan perubahan hati yang dituntun Roh Kudus.

Dalam terang Injil, Massalu memiliki kemiripan dengan pemahaman Alkitab mengenai pertobatan, namun Roh Kudus menggenapi makna terdalamnya. Paulus menegaskan bahwa “dukacita yang sesuai dengan kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan” (2 Kor. 7:10). Artinya, Roh Kudus tidak hanya bekerja untuk membebaskan manusia dari akibat sosial dosa, tetapi memulihkan relasi dengan Allah. Pertobatan sejati yang dikerjakan Roh Kudus menuntun pada perubahan hidup yang berpusat pada Kristus, melampaui tujuan adat Massalu yang lebih bersifat menjaga keseimbangan sosial.[9]

2.            Roh Kudus dan Pemurnian Tradisi

Tradisi Massalu tidak dapat dipisahkan dari konteks adat dan budaya Kab. Mamasa. Praktik ini memiliki nilai luhur, yaitu menegakkan kesadaran moral dan menuntun pada pemulihan hidup. Namun, dalam perjalanannya, Massalu berpotensi direduksi menjadi formalitas adat yang menekankan aspek ritual semata.[10] Di sinilah Roh Kudus hadir untuk memurnikan tradisi, yakni menyingkapkan makna sejati dari pertobatan dan mengarahkannya kembali kepada Kristus.

Alkitab mengingatkan bahwa “Allah adalah Roh; dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24). Roh Kudus menuntun orang percaya untuk hidup dalam kebenaran, sehingga tradisi yang baik sekalipun harus ditafsirkan kembali dalam terang Injil.[11] Pemurnian ini berarti bahwa Massalu tidak boleh hanya dipandang sebagai kewajiban adat untuk menghindari malapetaka, melainkan sebagai sarana pengingat akan kebutuhan manusia akan pengampunan Allah. Dengan demikian, Roh Kudus mengangkat tradisi lokal menjadi sarana yang memperkaya iman Kristen, sejauh ia ditafsirkan dalam terang Kristus.[12]

3.            Roh Kudus dan Solidaritas Sosial

Dimensi sosial dari Massalu menunjukkan bahwa dosa tidak hanya berdampak pada pribadi, tetapi juga pada komunitas. Seseorang yang melanggar dianggap membawa potensi malapetaka bagi seluruh masyarakat, sehingga pertobatan harus diakui secara terbuka. Praktik ini mencerminkan kesadaran kolektif bahwa hidup benar adalah tanggung jawab bersama.[13] Dalam terang iman Kristen, Roh Kudus menafsirkan ulang solidaritas ini menjadi persekutuan kasih dalam tubuh Kristus. Paulus menekankan, “Kita semua telah dibaptis dalam satu Roh menjadi satu tubuh” (1 Kor. 12:13).

Solidaritas sosial yang dibentuk Roh Kudus bukan hanya bertujuan menjaga harmoni sosial, tetapi membangun kasih yang saling menopang. Paulus menulis, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2). Solidaritas ini tidak berhenti pada kewajiban adat, melainkan pada rekonsiliasi sejati yang dilandasi kasih dan pengampunan.[14] Dengan demikian, Roh Kudus mengoreksi kelemahan Massalu yang kadang berpotensi menimbulkan stigma, dan menggantinya dengan persekutuan yang membebaskan sebagaimana ditegaskan Moltmann, bahwa karya Roh Kudus menghadirkan “persekutuan yang membebaskan” yang melampaui rasa takut dan keterpaksaan.[15]

4.            Roh Kudus sebagai Kuasa Pembaruan Hidup

Tujuan akhir Massalu adalah agar seseorang kembali hidup benar di hadapan Allah. Namun, perubahan hidup sejati hanya mungkin terjadi melalui kuasa Roh Kudus. Paulus menulis, “Jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup” (Roma 8:13). Roh Kuduslah yang menuntun manusia untuk meninggalkan cara hidup lama dan mengenakan manusia baru yang diciptakan sesuai dengan kehendak Allah (Ef. 4:22-24).[16]

Dalam masyarakat Kab. Mamasa, termasuk Kelurahan Lakahang, Massalu sering dipandang sebagai syarat mutlak untuk memperoleh kembali penerimaan sosial. Akan tetapi, Injil mengajarkan bahwa pembaruan hidup sejati bukanlah hasil kewajiban adat, melainkan karya Roh Kudus yang memberi kemampuan untuk hidup kudus. Gordon Fee menegaskan bahwa Roh Kudus adalah “the empowering presence of God” yang memampukan orang percaya menjalani hidup sesuai kehendak Allah.[17] Oleh karena itu, Massalu dapat dipahami sebagai bayangan dari karya Roh Kudus, namun hanya Roh Kudus yang sanggup menggenapi makna terdalamnya: menciptakan manusia baru yang hidup benar di hadapan Tuhan dan membawa damai bagi sesama.

KESIMPULAN

Kajian ini menunjukkan bahwa karya Roh Kudus melanjutkan dan menggenapi karya keselamatan Kristus dalam konteks universal maupun lokal. Melalui refleksi atas tradisi Massalu di Kab. Mamasa, ditemukan bahwa nilai-nilai luhur dalam tradisi tersebut memiliki titik temu dengan pemahaman Alkitab, namun membutuhkan pemurnian dalam terang Injil. Pertobatan sejati, pemurnian tradisi, solidaritas sosial, dan pembaruan hidup sejati hanya mungkin terjadi oleh kuasa Roh Kudus.

Pertama, Roh Kudus bekerja sebagai penginsaf dosa yang membawa pada pertobatan sejati (Yoh. 16:8). Massalu menekankan pentingnya penyesalan agar seseorang kembali hidup benar di hadapan Tuhan, tetapi Roh Kudus mengarahkan pertobatan itu kepada Kristus sebagai pusat keselamatan.

Kedua, Roh Kudus hadir untuk memurnikan tradisi dengan menyingkapkan makna terdalam dari Massalu. Tradisi yang baik sekalipun rentan menjadi formalitas adat. Roh Kudus menolong umat untuk melihat bahwa yang terpenting bukan sekadar ritual, melainkan relasi yang dipulihkan dengan Allah di dalam Kristus (Yoh. 4:24).

Ketiga, Roh Kudus menumbuhkan solidaritas sosial yang sejati. Massalu mengandung kesadaran bahwa dosa membawa dampak bagi komunitas, tetapi Roh Kudus melampaui itu dengan membangun tubuh Kristus yang penuh kasih dan pengampunan (1 Kor. 12:13; Gal. 6:2). Solidaritas yang dikerjakan Roh Kudus bukan hanya untuk menjaga harmoni sosial, melainkan menghadirkan rekonsiliasi yang membebaskan.

Keempat, Roh Kudus merupakan kuasa pembaruan hidup. Tujuan Massalu adalah pemulihan hidup, tetapi Injil menegaskan bahwa pembaruan sejati hanya dapat terjadi melalui Roh Kudus yang memampukan orang percaya hidup kudus (Roma 8:13–14). Dengan demikian, Massalu dapat dipahami sebagai bayangan dari karya Roh Kudus, namun hanya Roh Kudus yang memberi kemampuan sejati untuk hidup benar di hadapan Allah.

Dengan melihat keempat aspek ini, dapat disimpulkan bahwa Roh Kudus bukan hanya meneruskan karya Kristus secara abstrak, tetapi benar-benar menghadirkan pembaruan yang kontekstual dalam kehidupan masyarakat Kab. Mamasa. Tradisi Massalu tetap memiliki nilai luhur, namun Roh Kudus menafsirkan, memurnikan, dan menggenapinya sehingga menjadi sarana yang menolong umat hidup dalam pertobatan sejati, solidaritas, dan pembaruan hidup yang berpusat pada Kristus. Gereja di Kab. Mamasa, khususnya di Kelurahan Lakahang, dipanggil untuk membuka diri pada karya Roh Kudus agar tradisi lokal dapat diperkaya dan dipimpin menuju Injil, sehingga Kristus dimuliakan dan jemaat semakin diteguhkan dalam iman serta kesaksian sosial.



[1] John Stott, The Cross of Christ (Downers Grove: IVP, 2017), 341.

[2] N. T. Wright, Paul and the Faithfulness of God (Fortress Press, 2013), 77.

[3] Nayarpin Nayarpin, “Tinjauan Teologis-Praktis Massalu dalam Kehidupan Kekritenan di Gereja Toraja Mamasa Jemaat Minanga 1” (Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Toraja, 2021).

[4] Amos Yong, The Spirit Poured Out on All Flesh: Pentecostalism and the Possibility of Global Theology (Grand Rapids: Baker Academic, 2019), 112.

[5] Clark H. Pinnock, Flame of Love: A Theology of the Holy Spirit (Downers Grove: IVP Academic, 2018), 59.

[6] Gordon D. Fee, Paul, the Spirit, and the People of God (Grand Rapids: Baker Academic, 2016), 27–29.

[7] Veli-Matti Kärkkäinen, Pneumatology: The Holy Spirit in Ecumenical, International, and Contextual Perspective (Grand Rapids: Baker Academic, 2018), 202–204.

[8] John Mbiti, African Religions and Philosophy (Long Grove: Waveland Press, 2015), 201.

[9] Craig S. Keener, Gift and Giver: The Holy Spirit for Today (Grand Rapids: Baker Academic, 2020), 119.

[10]  Paul G. Hiebert, Transforming Worldviews: An Anthropological Understanding of How People Change (Grand Rapids: Baker Academic, 2017), 145.

[11] Anthony C. Thiselton, The Holy Spirit: In Biblical Teaching, through the Centuries, and Today (Grand Rapids: Eerdmans, 2019), 101.

[12] Amos Yong, Renewing Christian Theology: Systematics for a Global Christianity (Waco: Baylor University Press, 2014), 233.

[13] Mbiti, African Religions and Philosophy, 202. Mbiti, African Religions and Philosophy, 202.

[14] Miroslav Volf, Exclusion and Embrace (Nashville: Abingdon Press, 2019), 87–88.

[15] Jürgen Moltmann, The Spirit of Life: A Universal Affirmation (Minneapolis: Fortress Press, 2016), 56.

[16]  Thiselton, The Holy Spirit, 145–146.

[17] Gordon D. Fee, God’s Empowering Presence: The Holy Spirit in the Letters of Paul (Peabody: Hendrickson, 2018), 896.

Post a Comment

0 Comments