PENDAHULUAN
Fenomena kontemporer menunjukkan adanya kecenderungan umat Kristen di berbagai belahan dunia mulai mengabaikan pertemuan ibadah. Perkembangan teknologi digital, budaya individualisme, serta meningkatnya kesibukan dunia kerja telah melahirkan praktik ibadah yang semakin personal dan privat. Banyak orang lebih memilih mengikuti ibadah secara daring karena dianggap lebih praktis, efisien, dan sesuai dengan gaya hidup modern. Di sisi lain, arus sekularisasi juga membuat sebagian orang Kristen menilai ibadah komunal sebagai sesuatu yang tidak lagi esensial, melainkan opsional belaka.(1)
Fenomena serupa juga tampak di Indonesia. Pola hidup masyarakat urban yang sangat sibuk, kompetisi kerja yang ketat, serta budaya hiburan pada akhir pekan seringkali menggeser prioritas beribadah ke gereja. Tidak sedikit umat Kristen lebih memilih menghabiskan waktu untuk rekreasi, kegiatan keluarga, atau bahkan pekerjaan tambahan dibanding menghadiri ibadah.(2)Selain itu, kebiasaan beribadah secara daring sejak pandemi Covid-19 juga memengaruhi perilaku keagamaan sebagian jemaat, di mana ibadah komunal dianggap dapat digantikan dengan konsumsi rohani secara individual.(3)
Dalam konteks lokal di Mamasa, permasalahan ini memiliki nuansa yang unik. Sebagai masyarakat yang cenderung agraris dan masih kuat dengan tradisi sosial budaya, kehadiran dalam ibadah seringkali dipengaruhi oleh faktor ekonomi maupun psikologis. Ada jemaat yang memilih tidak hadir karena merasa tidak memiliki uang untuk memberi persembahan, sehingga enggan datang agar tidak merasa malu di hadapan sesama. Ada pula yang secara jujur mengaku “malas” tanpa mampu menjelaskan alasan di balik sikap tersebut.(4) Fenomena ini menunjukkan bahwa problematika absensi jemaat bukan hanya soal sekularisasi modern, melainkan juga terkait dengan tekanan sosial-ekonomi, perasaan inferior, dan lemahnya motivasi spiritual. Situasi ini pada gilirannya mencerminkan bahwa pertemuan ibadah masih dipahami secara parsial, lebih sebagai kewajiban sosial atau beban ekonomis daripada sebagai panggilan iman dan sarana pertumbuhan rohani.
Kondisi ini sesungguhnya memiliki kemiripan dengan situasi jemaat mula-mula yang ditegur oleh penulis Surat Ibrani. Dalam Ibrani 10:25, penulis mengingatkan agar jemaat tidak meninggalkan pertemuan-pertemuan ibadah, karena kebiasaan demikian dianggap sebagai gejala kemunduran iman. Jemaat pada waktu itu sedang menghadapi tekanan eksternal berupa penganiayaan dan diskriminasi, serta tekanan internal berupa keletihan rohani dan kecenderungan untuk mundur dari iman kepada Kristus. Dengan demikian, teguran tersebut menegaskan pentingnya ibadah komunal sebagai wadah penguatan iman, saling menasihati, dan meneguhkan pengharapan menjelang kedatangan Kristus yang kedua kali.(5) Kajian-kajian terdahulu telah membicarakan persoalan ini dari berbagai perspektif. Beberapa penelitian menekankan fungsi ibadah sebagai ruang persekutuan yang membangun solidaritas iman dan identitas komunitas Kristen.(6) Ada juga yang menggarisbawahi dimensi pastoral, di mana absensi dalam ibadah dapat menimbulkan kerentanan spiritual dan melemahkan ikatan komunal jemaat.(7). Namun, kajian yang secara khusus mengaitkan fenomena kontemporer, baik dalam skala global, nasional, maupun lokal, terutama dalam konteks masyarakat Mamasa, dengan pesan teologis Ibrani 10:25 masih relatif jarang ditemukan.
Dari latar belakang tersebut, muncul pertanyaan penting yang menjadi fokus kajian ini: Mengapa penulis Surat Ibrani menekankan pentingnya pertemuan ibadah? Apa makna teologisnya bagi gereja di masa kini, khususnya dalam menghadapi fenomena absensi jemaat baik di tingkat global, nasional, maupun lokal? Pertanyaan ini signifikan untuk dijawab, sebab memahami teologi ibadah komunal menurut Ibrani 10:25 akan menolong gereja mengatasi berbagai tantangan pastoral dan sosial yang menyebabkan jemaat abai terhadap pertemuan ibadah, serta memberikan dasar biblika yang kokoh dalam membangun spiritualitas umat di tengah zaman yang terus berubah.
KAJIAN PUSTAKA
Kajian terhadap Ibrani 10:25 telah menjadi perhatian para ahli Perjanjian Baru dan teolog kontemporer. Secara historis, teks ini ditulis kepada jemaat Kristen Yahudi yang berada dalam tekanan sosial dan politik, sehingga sebagian dari mereka tergoda untuk meninggalkan komunitas iman. William L. Lane menekankan bahwa peringatan “jangan menjauhkan diri dari pertemuan ibadah” merupakan peringatan pastoral untuk mencegah kemurtadan dan melemahkan iman jemaat.(8) raig R. Koester menambahkan bahwa pertemuan ibadah dalam Ibrani berfungsi sebagai sarana peneguhan identitas eskatologis, karena melalui ibadah jemaat diarahkan pada pengharapan akan kedatangan Kristus.(9)
Dari perspektif teologis, ibadah komunal dipahami bukan sekadar kewajiban liturgis, melainkan ekspresi iman kolektif yang meneguhkan tubuh Kristus. James D. G. Dunn menegaskan bahwa gereja dalam Perjanjian Baru dibentuk melalui pertemuan ibadah yang menjadi ruang untuk mendengar firman, merayakan sakramen, dan saling meneguhkan.(10) Dalam konteks pastoral, Dietrich Bonhoeffer bahkan melihat persekutuan jemaat sebagai “karunia anugerah” yang menopang iman setiap orang percaya melalui doa, pujian, dan kesaksian bersama.(11)
Secara kontekstual, berbagai penelitian kontemporer menyoroti perubahan pola ibadah dalam gereja modern. Di tingkat global, Philip Jenkins menyinggung fenomena “unchurched Christians” yang merasa dapat hidup beriman tanpa keterikatan pada gereja.(12) Di Indonesia, Daniel Susanto menekankan bahwa ibadah daring pasca-pandemi telah menggeser orientasi spiritualitas sebagian umat dari komunal ke individual(13) Penelitian lain oleh Marthin Steven Lumingkewas menekankan bahwa absensi jemaat dalam ibadah dapat merusak ikatan identitas komunitas Kristen di Indonesia, terutama di tengah arus modernitas dan pluralisme budaya.(14)
Dalam konteks lokal, penelitian-penelitian sosial-keagamaan di Mamasa menunjukkan adanya faktor ekonomi dan budaya yang turut memengaruhi kehadiran jemaat dalam ibadah. Masyarakat agraris di wilayah ini seringkali menempatkan kewajiban adat dan kebutuhan ekonomi di atas persekutuan ibadah.(15) Beberapa kasus menunjukkan bahwa jemaat memilih tidak hadir dalam ibadah karena keterbatasan ekonomi (misalnya tidak mampu memberi persembahan) atau faktor psikologis sederhana seperti rasa malas. Hal ini memperlihatkan bahwa persoalan absensi jemaat bukan hanya akibat sekularisasi modern, melainkan juga terkait dengan kondisi sosial-ekonomi dan pola pikir masyarakat lokal.
Dari berbagai kajian tersebut, terlihat bahwa diskursus mengenai ibadah komunal sudah banyak dibahas, baik dari sisi biblika, teologi, maupun kontekstual. Namun, kajian yang secara khusus mengaitkan Ibrani 10:25 dengan fenomena absensi jemaat dalam konteks lokal Indonesia, khususnya Mamasa, masih jarang dilakukan. Oleh sebab itu, penelitian ini berupaya mengisi kekosongan tersebut dengan menawarkan analisis biblika yang relevan secara teologis sekaligus kontekstual.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teologis-biblika. Secara khusus, terdapat dua langkah utama yang ditempuh, yaitu analisis eksegetis terhadap teks Ibrani 10:25 dan pendekatan reflektif-pastoral untuk menghubungkan hasil eksegesis tersebut dengan konteks gereja masa kini.
1. Analisis Eksegetis Teks Ibrani 10:25
Langkah pertama adalah melakukan kajian eksegetis terhadap Ibrani 10:25 dengan memperhatikan konteks historis, linguistik, dan teologis. Analisis ini mencakup:
- Konteks historis: menelusuri situasi jemaat penerima Surat Ibrani, khususnya tekanan eksternal berupa penganiayaan dan marginalisasi sosial, serta tekanan internal berupa kecenderungan mundur dari iman.(16)
- Konteks linguistik: menelaah teks Yunani, khususnya kata ἐγκαταλείπω (egkataleipō, “meninggalkan” atau “mengabaikan”), yang menunjukkan tindakan aktif menjauhkan diri dari pertemuan jemaat.(17) Analisis juga memperhatikan penggunaan kata ἐπισυναγωγή (episynagōgē, “pertemuan/ibadah bersama”), yang menekankan pentingnya persekutuan komunal.(18)
- Konteks teologis: menghubungkan perintah dalam ayat ini dengan tema utama Surat Ibrani, yakni ketekunan dalam iman kepada Kristus, pengharapan eskatologis, dan fungsi persekutuan sebagai sarana saling menasihati dan menguatkan iman.(19)
Metode eksegesis ini menggunakan pendekatan sinkronis (memahami teks dalam bentuk finalnya) dan diakronis (mempertimbangkan konteks historis dan perkembangan tradisi). Dengan demikian, tafsiran yang diperoleh bukan hanya bersifat literer, tetapi juga historis dan teologis.
2. Pendekatan Reflektif-Pastoral
Langkah kedua adalah menghubungkan hasil eksegesis dengan konteks gereja masa kini melalui pendekatan reflektif-pastoral. Pendekatan ini menekankan dialog antara teks Alkitab dan realitas jemaat dalam konteks kontemporer. Refleksi dilakukan dengan memperhatikan tiga tingkat konteks:
- Konteks global: fenomena sekularisasi, individualisme, dan pergeseran ibadah ke ruang digital.
- Konteks nasional: perubahan pola ibadah di Indonesia, termasuk pengaruh pandemi Covid-19 dan budaya rekreasi akhir pekan.
- Konteks lokal: kondisi jemaat di Mamasa yang sering mengabaikan ibadah karena faktor ekonomi (ketidakmampuan memberi persembahan) maupun faktor psikologis (rasa malas tanpa alasan yang jelas).
Dengan pendekatan reflektif-pastoral, penelitian ini berupaya menemukan makna teologis dari Ibrani 10:25 yang relevan untuk membangun spiritualitas jemaat, memperkuat kesadaran akan pentingnya ibadah komunal, serta memberikan kontribusi praktis bagi pelayanan gereja.
PEMBAHASAN
a. Konteks Historis-Teologis Ibrani 10:25
Surat Ibrani ditujukan kepada jemaat Kristen Yahudi yang sedang berada dalam situasi sulit, baik secara sosial maupun spiritual. Mereka menghadapi tekanan eksternal berupa penganiayaan dan marginalisasi, serta tekanan internal berupa rasa letih dalam memelihara iman kepada Kristus.(20). Kondisi ini membuat sebagian jemaat mulai menjauhkan diri dari komunitas iman dan kembali kepada pola hidup lama, atau bahkan tergoda untuk meninggalkan iman kepada Kristus sama sekali.(21).
Secara teologis, penulis Ibrani melihat fenomena ini sebagai ancaman serius terhadap ketekunan iman. Kehadiran dalam pertemuan ibadah bukan hanya persoalan kebiasaan liturgis, melainkan bentuk nyata dari pengakuan iman dan solidaritas tubuh Kristus.(22) Dengan demikian, teguran agar tidak meninggalkan pertemuan-pertemuan ibadah (Ibr. 10:25) memiliki dimensi eskatologis yang kuat: komunitas iman dipanggil untuk bertahan, saling menguatkan, dan menantikan penggenapan janji Allah dalam Kristus.(23)
b. Makna Kata Kunci
Tiga istilah penting dalam Ibrani 10:25 memberikan kedalaman makna teologis yang perlu digali. Pertama, kata ἐγκαταλείπω (egkataleipō, “meninggalkan” atau “mengabaikan”) dipakai untuk menunjukkan tindakan sengaja menjauhkan diri dari komunitas iman.(24) Istilah ini memiliki nuansa serius, seolah menggambarkan pengkhianatan atau pelepasan diri dari kewajiban iman. Dalam konteks surat ini, meninggalkan ibadah berarti membuka diri terhadap bahaya kemunduran iman.
Kedua, istilah ἐπισυναγωγή (episynagōgē, “pertemuan” atau “perkumpulan”) mengacu pada ibadah komunal sebagai wadah persekutuan umat Allah.(25). Kata ini jarang dipakai dalam Perjanjian Baru (lih. 2 Tes. 2:1), sehingga pemakaiannya dalam Ibrani 10:25 menekankan sifat eskatologis dari ibadah jemaat: sebuah pertemuan yang mengarahkan umat kepada Kristus dan meneguhkan pengharapan akan kedatangan-Nya.
Ketiga, kata παρακαλέω (parakaleō, “menasihati” atau “menguatkan”) menggarisbawahi fungsi ibadah sebagai ruang saling meneguhkan iman.(26) Ibadah bukan sekadar rutinitas religius, melainkan momen di mana setiap anggota jemaat memberi dan menerima penguatan rohani. Aspek ini menegaskan bahwa kehidupan iman Kristen tidak dapat dipelihara secara individual, melainkan harus dijalani dalam kebersamaan tubuh Kristus.
c. Pesan Teologis Utama
Dari konteks historis dan analisis kata kunci di atas, terlihat bahwa pesan teologis utama Ibrani 10:25 adalah menegaskan kembali sentralitas ibadah komunal bagi umat percaya. Pertama, ibadah merupakan kebutuhan rohani. Kehadiran dalam ibadah menolong jemaat untuk tetap berakar pada firman, diperbaharui dalam iman, dan dipelihara oleh persekutuan tubuh Kristus. Tanpa ibadah, iman cenderung melemah dan mudah goyah di tengah tekanan hidup.(27)
Kedua, ibadah berfungsi sebagai sarana saling menguatkan. Dalam pertemuan jemaat, setiap orang percaya dipanggil untuk saling menasihati, mendukung, dan menopang satu sama lain. Hal ini sesuai dengan konsep gereja sebagai tubuh Kristus (1Kor. 12:12–27), di mana setiap anggota saling membutuhkan. Kehadiran bersama bukan hanya memperkuat relasi horizontal antarjemaat, tetapi juga memperkokoh ikatan vertikal dengan Allah.(28)
Ketiga, ibadah memiliki dimensi kesiapan eskatologis. Penulis Ibrani menekankan agar pertemuan ibadah dilakukan “semakin giat menjelang hari Tuhan” (Ibr. 10:25b). Artinya, ibadah mempersiapkan umat untuk menyambut kedatangan Kristus dengan tekun dan setia. Dalam perspektif ini, ibadah bukan hanya refleksi masa lalu atau pemeliharaan masa kini, tetapi juga proyeksi masa depan, yaitu kesiapan umat Allah dalam menyongsong penggenapan janji keselamatan.(29)
Dengan demikian, Ibrani 10:25 menegaskan bahwa ibadah komunal adalah fondasi iman Kristen: sebagai kebutuhan rohani, wadah saling meneguhkan, dan tanda kesetiaan umat dalam pengharapan eskatologis.
d. Implikasi bagi Gereja Masa Kini
1. Bahaya Mengabaikan Ibadah
Fenomena meninggalkan ibadah bukan sekadar persoalan disiplin rohani, tetapi memiliki konsekuensi teologis yang serius. Ketika umat percaya mulai jarang hadir atau bahkan menjauhkan diri dari ibadah, iman mereka rentan mengalami kemunduran.(30) Alkitab menunjukkan bahwa iman membutuhkan pemeliharaan melalui firman, doa, dan persekutuan (Kis. 2:42). Mengabaikan ibadah berarti menutup diri dari sarana anugerah yang Allah sediakan untuk memperkuat iman umat-Nya.(31)
Dalam konteks gereja masa kini, kebiasaan absen dari ibadah dapat dipengaruhi berbagai faktor: kesibukan dunia kerja, kenyamanan gaya hidup modern, hingga pengaruh digital yang membuat orang lebih memilih aktivitas pribadi.(32) Namun, apapun alasannya, bahaya rohani tetap nyata: iman yang tidak dipelihara melalui ibadah akan mudah goyah, bahkan bisa menuju pada penolakan implisit terhadap Kristus.
2. Pentingnya Ibadah sebagai Tubuh Kristus
Ibadah jemaat tidak hanya bersifat individual, tetapi komunal. Kehadiran umat dalam ibadah melambangkan realitas tubuh Kristus yang hidup, di mana setiap anggota saling menopang dan menguatkan.(33) Paulus menekankan bahwa tubuh Kristus terdiri dari banyak anggota dengan fungsi berbeda, tetapi satu dalam Kristus (1Kor. 12:12–27). Demikian pula, ibadah menjadi ruang aktualisasi persatuan dan keragaman karunia Roh Kudus.
Dalam perspektif ini, ketidakhadiran dalam ibadah bukan hanya kehilangan berkat pribadi, tetapi juga mengurangi kekayaan tubuh Kristus secara keseluruhan.(34) Ketika seorang anggota absen, komunitas iman kehilangan kesempatan menerima penguatan melalui kehadirannya. Oleh karena itu, ibadah adalah panggilan bersama yang meneguhkan identitas gereja sebagai umat Allah yang dipersatukan dalam Kristus.
3. Relevansi bagi Era Digital dan Gaya Hidup Modern
Tantangan baru muncul dalam era digital, ketika ibadah daring atau konten rohani di media sosial sering dianggap dapat menggantikan ibadah komunal.(35) Memang, teknologi memberi manfaat besar, terutama dalam kondisi darurat (misalnya pandemi). Namun, ibadah daring tidak sepenuhnya menggantikan nilai pertemuan fisik, karena esensi ibadah Kristen mencakup persekutuan nyata, sakramen, dan relasi langsung antarjemaat.(36)
Selain itu, gaya hidup modern yang serba cepat sering membuat ibadah dianggap opsional dibandingkan kebutuhan jasmani atau hiburan. Di sinilah gereja perlu mengingatkan bahwa ibadah bukan beban, melainkan kebutuhan rohani yang esensial. Kehadiran dalam ibadah memampukan umat untuk tetap hidup dalam iman, saling menguatkan, serta menantikan kedatangan Kristus dengan setia.(37). Dengan demikian, pesan Ibrani 10:25 tetap sangat relevan untuk menegur, mengoreksi, dan membimbing gereja masa kini.
KESIMPULAN
Kajian terhadap Ibrani 10:25 menegaskan bahwa ajakan untuk tidak menjauhkan diri dari pertemuan ibadah merupakan pesan yang lahir dari konteks jemaat yang sedang mengalami tekanan iman, keletihan rohani, dan godaan untuk mundur dari komitmen kepada Kristus. Teks ini menekankan bahwa ibadah bukan hanya rutinitas religius, melainkan kebutuhan rohani yang vital, tempat umat saling meneguhkan dan mempersiapkan diri menyongsong kedatangan Kristus.
Analisis leksikal terhadap istilah egkataleipō (meninggalkan), episynagōgē (pertemuan), dan parakaleō (menguatkan/menasihati) memperlihatkan tiga pesan utama: pertama, meninggalkan ibadah sama dengan menjauhkan diri dari komunitas iman; kedua, pertemuan ibadah adalah sarana ilahi untuk membangun iman umat; dan ketiga, persekutuan dalam ibadah memberi kekuatan saling menasihati agar jemaat tetap setia. Dengan demikian, pesan teologis Ibrani 10:25 mencakup ketekunan, persekutuan, dan kesiapan eskatologis.
Dalam konteks gereja masa kini, pesan ini sangat relevan. Bahaya mengabaikan ibadah nyata dalam berbagai bentuk: kesibukan kerja, kenyamanan gaya hidup modern, hingga kecenderungan menggantikan pertemuan fisik dengan ibadah daring. Namun, Ibrani 10:25 mengingatkan bahwa ibadah adalah identitas tubuh Kristus yang tidak dapat digantikan. Kehadiran umat dalam ibadah memampukan gereja untuk bertumbuh sebagai komunitas iman yang saling menopang, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi penggenapan janji Allah.
Fenomena lokal, seperti yang terjadi dalam masyarakat Mamasa, memperlihatkan bahwa absennya jemaat dari ibadah sering dipengaruhi faktor sosial-ekonomi maupun motivasi spiritual yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan meninggalkan ibadah bukan hanya isu teologis, tetapi juga sosial dan pastoral. Karena itu, gereja dipanggil untuk menjawabnya dengan pendekatan yang komprehensif: menguatkan iman melalui firman, mengatasi hambatan sosial-ekonomi jemaat, dan menumbuhkan kesadaran rohani akan pentingnya persekutuan umat Allah.
SARAN
Pertama, gereja masa kini perlu memperkuat pelayanan penggembalaan yang menekankan kembali makna ibadah sebagai sarana perjumpaan dengan Allah dan komunitas. Pendidikan jemaat yang kontekstual, baik melalui kotbah, katekisasi, maupun kelompok kecil, sangat penting agar umat tidak memandang ibadah sebagai beban, melainkan kebutuhan rohani yang mendasar.
Kedua, gereja perlu peka terhadap hambatan sosial-ekonomi jemaat yang membuat mereka enggan hadir dalam ibadah. Pendekatan pastoral yang menghapus stigma terhadap mereka yang tidak mampu memberi persembahan, serta upaya pemberdayaan ekonomi jemaat, menjadi bagian integral dari penggembalaan yang holistik.
Ketiga, dalam menghadapi era digital, gereja dipanggil untuk menggunakan teknologi secara bijak. Ibadah daring dapat menjadi pelengkap, tetapi tidak boleh menggantikan pertemuan fisik yang esensial bagi kehidupan tubuh Kristus. Gereja perlu menegaskan kembali bahwa ibadah komunal adalah tempat saling meneguhkan iman, sesuatu yang tidak tergantikan oleh pengalaman virtual.
Hormat Saya
Penulis dari Pinggiran
0 Comments